• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

WONDER WOMAN 1984 (2020) REVIEW: Petualangan Terbaru Diana Prince yang Lebih Personal

Di antara semua judul-judul besar yang mau mundur atau lari ke streaming services, ada beberapa judul pula yang memberanikan diri untuk tetap rilis di tengah keringnya film-film yang tayang di bioskop. Tentu, semua dengan harapan ingin ditonton oleh penontonnya. Meskipun dengan protokol kesehatan yang ketat, limitasi kursi penonton, dan masih banyak hal-hal kecil lain yang bisa jadi perhatian.

Warner Bros Pictures telah merilis dua filmnya ke pasar domestik dan internasional. Tenet milik Christopher Nolan dan selanjutnya adalah Wonder Woman 1984. Iya, sekuel dari Wonder Woman ini akhirnya dilepas untuk penontonnya. Tetapi, ada 2 cara penontonnya bisa menikmati film ini. Lewat bioskop tentu saja serta langganan streaming service HBO Max yang hanya dimiliki oleh para penduduk di Amerika Serikat sana.


Langkah yang berani.


Mungkin itu yang sedang dijalankan oleh Warner Bros Karena tak mau terus menerus menahan filmnya tanpa ada yang menghasilkan. Wonder Woman 1984 ini tetap dipegang kendalinya oleh sang sutradara film pertamanya, Patty Jenkins. Tentu saja, Gal Gadot tetap menjadi sang superhero bernama Diana Prince ini. Semakin meriah, Karena ada banyak nama-nama baru yang bergabung menjalankan proyek satu ini.


Kristen Wiig dan Pedro Pascal. Dua nama yang bergabung di dalam sekuel pahlawan super Perempuan dari Themyscira ini. Mereka menjadi super villain yang menghadang jalan Wonder Woman untuk bisa menyelamatkan dunia.



Lantas, apa yang terjadi oleh Diana Prince kali ini?


Berpuluh-puluh tahun semenjak Wonder Woman pertama, kali ini Diana Prince (Gal Gadot) hidup di tahun 1980-an. Di mana, banyak sekali perubahan yang terjadi di dalam hidupnya. Tetapi, satu hal yang tak berubah adalah kebenaran yang dianut olehnya sebagai sosok Wonder Woman dan cintanya kepada belahan hatinya, Steve (Chris Pine). Meski dia sudah pergi berpuluh-puluh tahun dan Diana telah menjalani berbagai macam kehidupan, tetapi hidupnya tetap dibayangi oleh sang kekasih hati.


Hingga akhirnya, di tempat Diana sedang bekerja, dia menemukan Sebuah batu yang sedang diteliti. Konon Katanya, batu tersebut bisa mengabulkan keinginan siapapun yang memegangnya. Tetapi, batu tersebut diteliti terlebih oleh Diana dan rekan kerja barunya, Barbara Minerva (Kristen Wiig). Di lain hal pula, seorang pengusaha bernama Maxwell Lord (Pedro Pascal) juga mengincar batu tersebut untuk menguasai dunia.



Mengantarkan satu film dengan adanya dua villain yang berbeda menjadi hal yang harus benar-benar diperhatikan. Meskipun, adanya villain yang tak Hanya satu ini sudah sering dipakai formulanya oleh DC films lantas tak semuanya berhasil dilakukan. Wonder Woman pertama pun sudah pernah memakai formula serupa. Nyatanya, semuanya terlalu dipermukaan dengan motif yang tak terlalu kuat.


Kelemahan yang ada di film pertamanya inilah yang sepertinya ingin diperbaiki oleh Patty Jenkins di film keduanya. Lewat Wonder Woman 1984, Patty Jenkins bisa mengenalkan karakter-karakter villain-nya dengan matang. Tetapi, dengan adanya ruang yang besar untuk para karakter-karakter lain untuk berkembang, ada juga yang harus dikorbankan. Durasi dari Wonder Woman 1984 harus merentang hingga 150 menit.


Mengurangi pula spektakel aksi di dalam filmnya hingga Wonder Woman 1984 ini berfokus kepada plot cerita. Tidak ada yang salah memang, Karena Wonder Woman 1984 juga cukup berhasil mengantarkan ceritanya dengan sangat menarik. Bukan karakter penjahatnya saja, tetapi juga karakter Diana yang juga ikut berkembang, ikut memperlihatkan berbagai macam emosi yang memperlihatkan sisi manusiawi di dalam dirinya sebagai pahlawan super.



Menunjukkan hati yang besar untuk bisa dirasakan penontonnya.


Inilah yang menjadi hal utama dari Wonder Woman 1984. Selama spektakel aksi tak bisa ditunjukkan terlalu banyak, tetapi penuturan kisahnya yang Penuh hati ini sangat menarik untuk diikuti. Penyampaian kisahnya yang emosional dan penuh harapan ini membuat Wonder Woman 1984 sangat nyaman untuk diikuti. Meski membangun tensinya perlahan, tapi penonton bisa paham benar dengan semua latar belakang kisahnya setiap karakternya.


Apa yang membuat Diana bisa memperlihatkan sisi vulnerability-nya yang jarang terlihat seperti di film sebelumnya. Bagaimana Barbara dan Maxwell akhirnya bisa mendapatkan kekuatan dan tak mau melepaskan hal tersebut dari hidupnya. Meskipun, harus ditutup dengan penyelesaian yang seperti ala kadarnya dan terasa penuh khutbah. Tetapi, masih ada segala macam emosi yang ditunjukkan di dalam filmnya.


Perasaan penuh kasih, penuh cinta, dan penuh harapan. Hal-hal itu yang bisa dirasakan selama menonton film ini. Penuturan Patty Jenkins yang lembut di dalam film ini seakan menunjukkan bahwa perempuan dalam mengarahkan sebuah film memiliki keunggulannya dalam menuturkan rasa di dalamnya. Dibalut pula dengan akting Gal Gadot yang terlihat semakin matang. Chemistry-nya dengan Chris Pine sebagai sepasang kekasih yang sudah lama tak Bertemu bisa membuat penontonnya menaruh simpati.



Tak dengan kekurangan pula. Film yang sudah dibangun megah ini memiliki penyelesaian konflik yang terlalu mudah. Mungkin karena penggambaran karakter villain yang terlalu kuat juga jadi faktor utamanya. Terlebih final battle yang ada di film ini tak bisa menyamai kualitasnya dengan beberapa battle

scene yang ada di paruh awal dan tengahnya. Satu mitos legenda yang digunakan di dalam cerita di film ini tentang Asteria pun tak bisa tampil sempurna. Sehingga beberapa build-up cerita di awal seperti tidak ada pengaruh apa-apa. 


Tak ada kesan cynical di dalam Wonder Woman 1984 yang membuat filmnya semakin menyenangkan untuk diikuti. Apalagi, menyematkan Sebuah tribute ke beberapa film Superman di awal-awal film ini dan atmosfir yang sama ini juga menjadi kelebihan Wonder Woman 1984 dibanding film sebelumnya. Tak salah, apabila Warner Bros dan DC Films menunjuk Patty Jenkins untuk mengarahkan seri ketiga dari Wonder Woman nanti.


[NOW STREAMING] THE FIRST (2020)

Akan menjadi perjalanan menarik dalam sebuah film atau series untuk membahas bagaimana sebuah korporasi atau seseorang yang memiliki ambisi untuk terbang menembus atmosfir. Ada banyak beberapa film atau series yang mungkin akan membahas hal serupa. Tentu, ini bukan jadi hal baru bagi industri perfilman. Tapi, bagaimana para pembuatnya ini mengemas ceritanya itu yang menjadi pembeda bagi penontonnya.


Misi perjalanan ke Mars?


Sebuah perjalanan yang menarik bila menjadi sesuatu gambar bergerak. Sama persis yang dilakukan oleh sebuah serial televisi yang ada di Mola TV berjudul The First. Serial yang dibintangi oleh Sean Penn, Natascha McElhone, Lisa Gay Hamilton ini menyoroti sebuah misi pertama dari orang-orang di Bumi untuk melakukan perjalanan ke Mars. Tapi, bukan proses perjalanannya hingga akhirnya bisa sampai ke planet lain, tapi ada konflik yang berbeda yang disoroti oleh serial ini.


The First adalah sebuah series yang dibuat di tahun 2018 ini yang memiliki 1 season dalam penayangannya. Memiliki 8 episode di dalam musim pertamanya dengan mempunyai durasi kurang lebih 45 menit di setiap episodenya. Beau Willimon, menjadi orang dibalik serial ini dan pernah menangani serial lain yang tak kalah serunya. Meski dengan tema yang berat dan terlihat akan membahas lebih tentang segala perjalanan ilmiahnya. Tapi, The First memilih untuk menyoroti hal lain dalam prosesnya.



Bukan juga dibilang proses, karena perjalanan menuju Mars ini tak semulus yang akan dikira oleh orang-orang. Sebuah korporasi besar bernama Vista memiliki ambisi besar untuk bisa melakukan perjalanan ke Mars. Misinya ini pun penting karena ingin mencari alternatif kehidupan di Mars di mana orang-orang Bumi juga bisa ikut merasakannya. Maka dari itu, Laz Ingram (Natascha McElhone), berusaha keras agar misi ini tercapai.


Dikirimlah 5 orang untuk melakukan misi ini. Tetapi, misi harus menghadapi kenyataan pahit yang tak pernah dibayangkan oleh Laz Ingram sebelumnya. Ya, misi ini gagal. Pesawat luar angkasa yang mengangkut para astronot di dalamnya mengalami kecelakaan tragis dan menewaskan semuanya. Tentu, kejadian ini membuat banyak pihak terpukul. Tak hanya Laz Ingram sebagai seorang CEO dari korporasi ini. Tetapi, juga Tom Hagerty (Sean Penn), mantan pemimpin dari grup yang akan terbang ke Mars ini.


Kegagalan yang dialami oleh para karakter di dalam film ini menjadi sebuah hal yang menarik untuk dikulik. Biasanya, ada kesan hopeful dan memperlihatkan proses untuk menjalankan sebuah misi di Mars di beberapa film atau series serupa. Tapi, serial satu ini mengambil jalan lain. Memperlihatkan sisi vulnerability dari para karakternya untuk digali lebih dalam lagi untuk bisa menimbulkan simpati kepada penontonnya.



Menarik lagi, karena The First tak hanya bermain dan fokus terhadap proses menuju misinya. Tetapi, juga konflik lain dalam pro dan kontranya. Menggunakan kegagalan yang terjadi di awal episode ini sebagai pondasi cerita juga. Menjadikannya sebagai sebuah pelajaran untuk melakukan misi terbaru di dalam serialnya. Tak hanya drama memotivasi, tetapi juga menampilkan court room drama yang menarik untuk disimak. Memperlihatkan persuasi yang dilakukan oleh karakter-karakter utamanya yang bisa menarik simpati penontonnya.


Meyakinkan bahwa misi ini adalah misi terbaru yang belum pernah dilakukan oleh orang-orang lain sebelumnya. Menunjukkan pula bahwa misi ini juga dilakukan demi masa depan manusia yang lebih baik dengan berbagai alasan. Tetapi, juga ada zona abu-abu di dalam misinya yang membuat penontonnya akan mempertanyakan tujuannya dan itu sangat menarik untuk disimak.


Nah, jadi, buat yang udah gak sabar buat nonton The First ini bisa langsung ke Mola TV. Harga langganannya juga sangat terjangkau dengan cuma Rp12.500 aja. Ini sudah termasuk langganan 30 hari. Kalau mau langsung nonton serialnya bisa langsung di sini

TENET (2020) REVIEW: Yang Baru Dari Nolan, Tapi Bukan yang Terbaik

Christopher Nolan dengan filmografinya menjadi hal yang menarik untuk diikuti. Banyak penikmat film yang menunggu apa yang bakal dibuat olehnya. Hal unik apa lagi yang bakal diangkat oleh sutradara ini utnuk dijadikan sebagai sebuah gambar bergerak.

Konsep fiksi ilmiah.


Hal yang pasti selalu ada di dalam film-film miliknya. Bahkan, dengan cerita yang Berdasarkan kisah nyata pun, Nolan juga bisa menyelipkan unsur tersebut di dalam filmnya. Yes, dengan Dunkirk, penonton dibawa ke penuturan cerita yang menarik di dalam filmnya. Maka dari itu, sangat menarik pula untuk menyaksikan project terbaru dari Nolan yang rilis di tahun ini, Tenet.


Tenet, yang harusnya tayang di bioskop tahun ini, menjadi salah satu film yang ditunggu. Menarik, karena Nolan berusaha menyembunyikan sesuatu di balik Trailer. Cerita apa lagi yang bakal disampaikan Christopher Nolan lewat Tenet ini. Menurutnya, ini adalah film heist yang tentu masih dengan signature cerita dan pengarahannya. Dibintangi oleh beberapa nama yang menarik untuk dikulik. Mulai dari John David Washington, anak dari Denzel Washington. Lalu, juga ada Robert Pattinson, Elizabeth Debicki, Kenneth Branagh, hingga Michael Caine.



Lantas seperti apa Tenet berjalan?


Christopher Nolan tak membuat filmnya untuk bertele-tele menceritakan awal mula filmnya dengan perlahan. Perjalanan film Tenet langsung berjalan kencang memunculkan sebuah keriuhan yang terjadi di sebuah tempat dengan berbagai macam misi. Iya, ditemukan seorang tokoh utama yang tanpa nama dan diperankan oleh John David Washington ini sebut saja The Protagonist. Dia tengah melakukan sebuah misi yang penonton tak beri tahu secara detil.


Tapi, ketika hidupnya dikira akan berakhir sampai misi itu selesai, nyatanya tidak. The Protagonist mencari tahu sesuatu yang dia temukan di saat menjalankan misi sebelumnya. Ada seseorang yang melakukan time inversion tetapi bukan dari pihaknya. Ketika diusut, hal ini ada hal yang berhubungan dengan kepentingan orang dari masa depan yang ingin membuat dunia semakin berantakan dan penuh akan perang. The Protagonist berusaha mencari siapa dalang dari semua hal ini.



Bukan yang terbaik dari Nolan, tapi gak seburuk yang dikata orang.


Pernyataan itulah yang terlintas ketika selesai menonton film terbaru dari Christopher Nolan. Iya, dengan premis cerita yang ringan dan sederhana ini, Nolan mengajak penontonnya itu mengarungi pemikirannya yang seperti labirin. Perjalanan untuk bisa mengetahui inti ceritanya tak semudah dari titik awal lalu lurus ke garis akhir. Tapi, akan diajak dulu ke alternatif jalan lain yang lebih berkelok untuk akhirnya bisa menemukan garis akhirnya. Lama, tapi sebenarnya perjalanan itu akan dibuat menarik oleh Nolan.


Ya, begitulah film-film Nolan. Tenet seakan ingin mengulang apa yang dia lakukan dengan Memento. Terlihat dengan bagaimana adegan utama di film ini sudah menyuguhkan keriuhan yang membuat penontonnya bertanya-tanya apa yang terjadi selanjutnya. Tapi, Nolan pun sudah menyuguhi tanda untuk penontonnya untuk tak terlalu ambil pusing dengan segala keribetan yang terjadi di dalam plotnya lewat dialog dari salah satu karakternya.


“Don’t try to understand it, just feel it”


Gak perlu kamu berusaha untuk memahami secara detail dengan segala keribetan teori tentang time inversion  di dalam film ini. Tentu masih ada hubungan di dalam ceritanya, tapi time inversion digunakan sebagai distraksi penonton untuk tetap terjaga, untuk tetap penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya. Karena setelahnya, segala keribetan itu pun akan terjawab sudah di sepertiga akhir dari filmnya. Semuanya akan terjawab dengan mudah sebenarnya.



Benar adanya dialog yang sudah ditebar di awal film ini. Tonton saja film berdurasi 150 menit ini dengan seksama, dengan berbagai macam cabang cerita yang menarik untuk diikuti. Tak Hanya fokus tentang heist motive menjadi jalan cerita utamanya. Tapi, cabang cerita lain tentang perjuangan seorang Ibu demi selalu dekat dengan anaknya yang juga cukup menyita perhatian. Itu pun diperkuat dengan pesona dan penampilan Elizabeth Debicki yang menarik.


Tenet, bila diartikan secara harfiah pun adalah sebuah keyakinan atau sebuah prinsip. Ya, ini yang berusaha ditekankan oleh Christopher Nolan di dalam filmnya. Keyakinan dari karakter yang dibuatnya ini memahami realita yang ada di sekitarnya. Begitu pula dengan pemahaman dari penontonnya karena segala cerita yang berusaha disampaikan oleh Christopher Nolan dalam Tenet ini sebetulnya adalah sebuah lingkaran yang tak tanpa henti. Berputar di situ-situ saja intinya, tapi terserah kamu mau memulai garis awalnya dari mana.


Maka dari itu, benar apabila menggunakan Time Inversion untuk menjalankan plot ceritanya. Konsep yang menarik sebenarnya. Apalagi untuk penonton yang memang mencintai atau gemar dengan film-film bertema serupa. Hanya saja, menyampaikan kisahnya yang terlalu bercabang dan rumit sendiri ini lah yang terkadang membuat filmnya agak sedikit kewalahan. Fokus yang terlalu banyak inilah yang membuat segalanya agak rumit untuk diikuti. Andai saja, Christopher Nolan fokus untuk menceritakan segala riweuhnya time inversion yang dia buat. Mungkin, segalanya berjalan dengan lancar.



Tapi, tetap saja, Tenet masih menjadi sebuah sajian yang menyenangkan untuk diikuti dengan segala action sequences yang sangat menarik. Dengan segala ledakan-ledakan tanpa CGI yang membuat penontonnya kagum. Akan sangat menarik apabila film ini disaksikan dengan layar yang besar. Jadi, tunggu saja, mungkin ketika waktunya tepat, film ini akan segera dirilis di Indonesia dengan format yang lebih layak dan sesuai. Mungkin buat yang Sudah tidak sabar seperti saya, menontonnya dalam format Bluray pun juga bisa.


Cuma, tentu akan rela untuk menonton film ini lagi di bioskop (Jika bioskop di sekitar daerah tempat saya tinggal sudah buka)

[NOW STREAMING] MOLA LIVING LIVE: Menilik Kehidupan Para Bintang


Pernah gak sih punya keinginan untuk tahu lebih dekat dengan beberapa nama terkenal dan mengetahui apa aja sih yang dibahas sama mereka? Mencari-cari info tentang mereka mungkin bisa jadi salah satu cara. Tapi, itu pun belum tentu bisa menjawab beberapa kebutuhan informasi yang ingin kita dapat.

Nah, Mola TV, sebagai salah satu platform streaming ini punya segmen sendiri biar bisa mengenal lebih dekat dengan nama-nama terkenal. Maka dari itu, Mola TV menyediakan ruang untuk mendekatkan penonton dengan nama-nama besar ini dengan lebih intimate yaitu Mola Living Live. Ini adalah acara di mana nama-nama besar akan bisa memberikan inspirasi secara langsung bagi para penontonnya agar bisa terasa lebih dekat.

Sudah ada banyak nama yang terlibat dalam acara Mola Living Live ini. Pastinya, nama-nama lain yang bakal terlibat bakal terus bertambah, nih. Mulai dari Luc Besson, Mike Tyson, Sharon Stone, Darren Aronofsky, hingga Spike Lee sudah dihadirkan untuk menginspirasi penonton yang memang passion dengan bidang yang ditekuni oleh nama-nama tersebut.


Dengan banyaknya nama-nama terkenal yang ada di dalam acara ini, tak membuat mereka membicarakan hal-hal yang sama. Tentu ada banyak topik yang bakal diangkat di setiap episode di Mola Living Live ini dan ternyata setiap nama-nama besar memiliki hal-hal yang menarik untuk dikulik. Ada sisi lain pula yang membuat wawancara yang dilakukan di acara ini tetap menarik untuk ditonton sampai akhir.


Tenang, bakal ada moderator keren yang nemenin sampai acara ini selesai juga kok. Para moderator ini juga disesuaikan dengan para bintang yang sedang hadir dan sesuai dengan bidang masing-masing. Mulai dari Reza Rahadian, Timo Tjahjanto, hingga Susi Pudjiastuti. Wah, jelas bakal menarik banget mengetahui moderatornya pun memiliki dasar pengetahuan yang sama yang membuat penonton bisa mendapatkan informasi yang jadi lebih kaya.


Membahas tentang perjalanan hidup para bintang dari awal hingga akhir. Problematika apa yang ditemukan oleh mereka. Hingga, membahas tentang proyek-proyek apa yang mereka kerjakan. Wah, ini pasti jadi bocoran buat kamu biar tahu apa aja sih yang mereka lakukan. Siapa tahu, kamu sebagai penggemar dari nama-nama tersebut bisa semakin kenal dan tahu bahkan bisa semakin excited untuk menantikan karya-karya terbaru yang akan mereka buat.


Maka dari itu, Mola Living Live juga gak bakal berhenti untuk terus mencari narasumber lain untuk bisa memberikan tontonan yang menginspirasi. Di tanggal 16 Desember 2020 nanti, Robert De Niro yang bakal hadir untuk membagikan ceritanya kepada penonton Mola TV yang ada di rumah. Jadi, buat kamu yang sudah mengagumi performa akting dari aktor legendaris ini saatnya siap-siap menyiapkan pertanyaan, karena kamu bisa tanya langsung di sesi tanya jawab.


Menilik dulu, siapa itu Robert De Niro, dia adalah salah satu aktor legendaris yang pernah terjun ke beberapa film dalam rekam jejaknya. Sudah juga bekerjasama dengan berbagai macam sineas legendaris pula seperti Martin Scorsese dengan berbagai judul. Dari Taxi Driver hingga The Irishman. Ada pula kolaborasinya dengan Michael Mann lewat Heat dan masih banyak lagi.


“One of the things about acting is it allows you to live other people's lives without having to pay the price.” - Robert De-Niro.


Sebuah kalimat menarik dari Robert De-Niro tentang bagaimana dirinya mencintai dunia perannya. Wah, bakal menjadi diskusi yang menarik nih.


Jadi, langsung siap-siap buat langganan Mola TV sekarang. Cuma Rp12.500 aja, kamu udah bisa akses selama satu bulan. Gak cuma bisa nonton acara keren ini, kamu juga bisa cari-cari film hidden gem yang keren-keren nih. Dengan pembayaran yang mudah pula, karena bisa memakai banyak metode pembayaran. Jadi, langsung streaming sekarang di sini dan jangan sampai ketinggalan ya!

NEVER RARELY SOMETIMES ALWAYS (2020) REVIEW: Perjalanan Perempuan Menentukan Keputusan Untuk Tubuhnya


Remaja dan eksplorasi terhadap tubuhnya. Menjadi sebuah persoalan yang mungkin akan terus terjadi selama mereka tak memiliki ruang untuk bisa mempelajarinya dengan tepat. Realita-realita tentang remaja dan kehidupan seksualnya yang beberapa tak ada yang mengerti dengan benar inilah yang perlu disebarkan. Dengan tujuan, memberikan realita kepada orang lain bahwa masih ada banyak orang-orang yang belum terpapar benar terhadap pendidikan seks.


Film dengan beragam fungsi, menjadi salah satu medium untuk memberi gambaran tentang realita yang ada. Mungkin dengan dasar inilah, Eliza Hittman membuat karya terbarunya. Never Rarely Sometimes Always, karya terbarunya ini tak hanya bertanggungjawab di kursi sutradara saja. Tapi, dia juga bertanggungjawab atas naskah di filmnya. Menarik, karena film ini pun menyoroti kehidupan karakter utama perempuan yang diperankan oleh Sidney Flanigan.


Menarik mendapatkan kisah tentang perempuan yang ditulis sendiri oleh perempuan. Karena pasti ada sensitivitas yang berbeda yang tak mungkin didapatkan dari sutradara dengan jenis kelamin berbeda. Seakan ini adalah medium bagi perempuan untuk menyuarakan pendapat dari sudut pandang mereka. Begitu pula yang terjadi di film Never Rarely Sometimes Always. Menyoroti problematika remaja perempuan yang sedang kehilangan arah saat menemui dirinya sedang hamil.



Ya, film ini dimulai dari masalah milik remaja perempuan usia 17 tahun bernama Autumn (Sidney Flanigan). Entah setelah berhubungan dengan siapa, di film ini diceritakan dia telah mengandung seorang bayi berumur 10 minggu kata klinik dekat rumahnya. Tapi, Autumn memutuskan untuk tak mempertahankan anak yang ada di dalam kandungannya. Dia berusaha melakukan aborsi agar bisa meneruskan hidupnya sebagai remaja SMA yang memasuki tahun terakhir sekolahnya.


Autumn pun tak memberitahukan perihal kehamilannya dengan keluarganya. Tapi, Autumn berusaha menceritakan problemnya ini ke sepupunya bernama Skylar (Taila Ryder). Tak berusaha untuk malah menilai perbuatan Autumn, Skylar berusaha mendukung apa yang ingin dilakukan oleh Autumn. Pergilah dia ke tempat di mana Autumn bisa ‘menghilangkan’ kandungan yang ada di dalam perutnya.



Memfokuskan filmnya ke masalah perempuan dengan tubuhnya.

Seperti yang sudah dibilang di sinopsis tadi, tak ada cerita tentang bagaimana Autumn bisa mengandung anaknya. Bersama siapa dia telah melakukan hubungan intimnya. Tapi, Never Rarely Sometimes Always ini lebih fokus terhadap Masalah Autumn dengan dirinya, dengan keputusan dalam hidupnya. Eliza Hittman seperti menggunakan filmnya sebagai medium perempuan untuk bersuara.


Menggunakan Autumn sebagai karakter yang bisa diasosiasikan dengan problematika perempuan yang relevan dengan kondisi masa kini. Di mana dia tetap teguh dengan pendiriannya, teguh akan pilihannya untuk menentukan hidupnya bakal seperti apa. Penonton akan diajak ke perjalanan Autumn yang atmosfirnya cukup gelap. Tetapi, Eliza Hittman tetap bisa memberikan ruang bagi penonton untuk bisa menaruh simpati terhadap karakternya.


Ini didukung dengan performa dari Sidney Flanigan yang bisa menghinoptis penontonnya. Mungkin tak banyak bicara, tapi subtlety dalam permainan perannya bisa mengungkapkan segala keresahan dalam dirinya. Memperlihatkan kebingungan, kehampaan, dan kecemasan karakter Autumn tanpa harus terlihat meluap-luap. Biarkan pula masalah di sekitar karakternya berkembang dan pada akhirnya sang karakter utamanya ini bisa mulai perlahan-lahan terbuka. Memeluk segala masalah dan trauma dari dalam dirinya hingga bisa melepaskan segala keresahannya.


Never. Rarely. Sometimes. Always. Empat kata yang menyusun menjadi judulnya ini ternyata berperan penting menjadi kunci di dalam filmnya. Autumn yang sudah lama memendam perasaan hanya bisa mengungkapkan apa yang dia rasa lewat empat opsi kata ini dalam yang biasa muncul dalam survey. Hingga pada akhirnya, penonton bisa mengetahui apa yang menyebabkan Autumn memutuskan untuk mengugurkan kandungannya.



HER LIFE. HER CHOICE. HER DECISION.

Mungkin itu juga yang pas menggambarkan film ini. Setelah filmnya berakhir pun, tak ada mengulik lagi seperti apa kehidupan Autumn setelahnya. Ini murni sebagai pengingat, sebagai medium bagi sang sutradara untuk lebih fokus terhadap problem yang dihadapi oleh seorang perempuan. 


Mereka hidup dengan penuh ancaman, kekerasan, dan kontrol atas tubuh serta keputusannya. Laki-laki dan kuasanya memiliki kontrol atas perempuan. Tetapi, perempuan sendiri tak pernah punya ruang untuk bergerak, mengekspresikan dirinya, memiliki kontrol pula atas dirinya. Yang mereka butuhkan pun sederhana. Mereka butuh ruang untuk menyampaikan suaranya, mereka butuh perempuan yang juga tahu akan perjalanannya. Mereka juga butuh perempuan yang memberikan support agar dirinya tahu bahwa dia tidak sendirian. Seperti yang dilakukan oleh Skylar kepada Autumn di film ini.


Maka, penting untuk menonton Never Rarely Sometimes Always ini. Sebuah film yang mungkin akan menampar penontonnya. Menyusuri realita kehidupan yang gelap tentang perempuan dan tubuhnya hingga bagaimana perempuan mengambil keputusan dalam hidupnya. Setelah nonton pun, penonton akan merasa dihantui dengan penuturan filmnya yang lembut tapi berdampak sangat besar. Salah satu film penting dan terbaik di tahun ini.


Available on HBO MAX


GODMOTHERED (2020) REVIEW: Kisah Familiar dari Disney yang Membuat Hati Senang

Natal dan Tahun Baru. Menjadi momentum bagi film makers Hollywood untuk membuat film untuk menemani para penikmat film. Film-film bertema keluarga yang ringan tapi menyenangkan ini perlu hadir untuk memeriahkan momennya. Tentu, ini lahan Disney untuk membuat film dengan tema seperti ini. Meski bukan untuk dirilis secara teatrikal -selain kondisi pandemi yang tak kunjung mereda -tapi, Disney mencoba untuk menghadirkan semangat liburan ini ke dalam film yang dirilis langsung ke layanan streamingnya.

Tak hanya berkutat dengan setting waktu yang menyesuaikan momen liburan Natal dan Tahun Baru, tapi di film original-nya ini Disney bermain di ranahnya. Mengulik lagi tema fairy tale yang biasa diangkat oleh rumah produksi satu ini dengan sedikit twist yang lain. Godmothered, film persemabahan dari Disney untuk memeriahkan festive liburan tahun ini berasal dari sutradara Bridget Jones yaitu Sharon Maguire. Dimeriahkan pula oleh Jillian Bell dan Isla Fisher yang berkolaborasi di dalam film ini.


Dengan sajian trailer yang menarik, orang-orang yang suka dengan film tema serupa akan dengan mudah jatuh cinta dan menantikan film Godmothered ini. Apalagi, buat penonton yang Sudah familiar dengan cerita-cerita Disney dengan tema seperti ini. Godmothered tentu menjadi sajian yang sangat ringan untuk dinikmati sambil bersantai di rumah bersama keluarga. Jalinan ceritanya memang sederhana, tapi Godmothered bisa membuat penontonnya merasakan kenyamanan untuk menonton hingga akhir.



Gimana gak ringan? Kisahnya juga cuma menceritakan tentang seorang Ibu peri baru bernama Eleanor (Jillian Bell) yang tak Punya kesempatan untuk membuktikan skillnya. Sampai akhirnya dia menemukan sebuah pesan dari seorang anak yang ingin punya kehidupan bahagia. Eleanor merasa ini waktu yang tepat untuknya. Sehingga, dia memutuskan kabur dari negeri ‘dongeng’nya dan menyelesaikan misi dari anak ini untuk menemukan ‘hidup bahagia selamanya’.


Ketika Eleanor sudah rela kabur dan bertemu dengan anak ini, ternyata sang anak sudah berusia paruh baya. Ya, dia adalah Mackenzie (Isla Fisher) yang menjadi seorang janda anak dua yang ditinggal suaminya. Pertemuan pertama mereka tentu membingungkan. Apalagi Mackenzie yang notabene Sudah menjadi dewasa tentu akan susah percaya Eleanor adalah seorang Ibu Peri. Tapi, Eleanor tak patah semangat. Dia mencoba untuk terus membuat Mackenzie percaya dan mewujudkan impiannya.



Disney dan kisah di zona aman tapi bikin nyaman.


Inilah yang dirasakan setelah nonton Godmothered dari Disney yang diarahkan oleh Sharon Maguire yang menjadi Disney+ Originals. Kisah-kisahnya mungkin familiar dengan beberapa film-film Disney yang lain. Tak ada sesuatu yang baru yang dihadirkan di dalam Godmothered sebenarnya. Kisahnya juga sangat predictable. Ya, namanya juga film buat keluarga, jadi plotnya begitu sederhana dan ringan. Tapi, charm-nya masih bisa dirasakan dengan sangat kuat. Tipe-tipe film yang kalau kelar nonton, bisa bikin hati bahagia.


Perjalanan filmnya juga pas untuk diikuti berkat performa Jillian Bell dan Isla Fisher yang bisa menghidupkan suasana filmnya. Atmosfir film liburan yang menyenangkan ini melekat dengan mudah di dalam film ini. Tentu, menjadi teman tontonan liburan bersama keluarga yang sesuai. Tapi, ada beberapa perubahan pesan yang berusaha disampaikan tentang film ini. Godmothered berusaha medaur ulang pesan usang dari Disney tentang kehidupan “bahagia selamanya”.


Inilah menariknya Disney dengan karya-karya terbarunya. Meski tetap berada di zona aman dalam jalinan ceritanya, tapi ada redefinisi dalam pesan-pesan usangnya. Godmothered juga melakukan tren yang sama. Memberikan pengertian kepada penontonnya bahwa standar “bahagia selamanya” bagi Setiap orang mungkin berbeda-beda. Terutama pada karakter-karakter perempuan di dalam film ini.



Iya, perempuan biasanya menganggap bahwa “hidup bahagia selamanya” adalah dengan menikahi seorang “pangeran” tampan dalam hidupnya. Standar inilah yang berusaha dipatahkan dalam film Godmothered. Begitu pula dengan apa yang ditulis di dalam film ini. Perempuan bisa memilih apapun keputusan dalam hidupnya selama dia bahagia. Bahkan, lewat dominasi karakter perempuan di dalam film ini, menunjukkan bahwa sesama perempuan pun bisa menguatkan satu sama lain. Karena tak selamanya memiliki pendamping hidup adalah goals utama dari semua perempuan di dunia.


Dengan pesan yang cukup berat ini, tapi Godmothered tahu bahwa film ini punya targetnya. Siapa lagi kalau bukan penonton keluarga dan untuk semua usia. Dengan pesannya yang besar, mungkin penyelesaian ceritanya juga dianggap terlalu mudah. Ini adalah kelemahan dari Godmothered. Penutupnya yang terlalu mudah, terlalu padat, tapi emosi yang disampaikan di film ini tak terlalu kuat. Jadinya, penyelesaian film ini akan berlalu begitu saja.


Belum lagi subplot lain yang hadir di film ini yang malah kesannya hanya sebagai pendamping. Mungkin hanya digunakan sebagai syarat agar plot ceritanya bisa berjalan sampai 100 menit. Tapi, semuanya terasa terlalu cepat, tanpa perlu dikulik lebih. Mungkin ini juga yang dilakukan agar film ini tetap terasa ringan untuk ditonton. 



Ya, tapi Godmothered tetap menyenangkan untuk disaksikan di tengah suasana pandemi yang tak kunjung mereda. Menonton film ini akan membuat hati bahagia. Apalagi, Godmothered serasa berusaha untuk mengingatkan penontonnya dengan film yang lain. Seperti kisah-kisah klasiknya, Cinderella hingga kisah klasik moderen-nya lewat Enchanted. Meski film ini belum bisa menyaingi keduanya, tapi ini adalah feel-good film yang sayang buat dilewatin gitu aja.

RIG 45 (2020) REVIEW: Kehidupan di Anjungan Penuh Malapetaka

Penasaran seperti apa sih kehidupan di sebuah anjungan?

Bakal ada banyak cerita yang bisa diangkat dengan premis cerita seperti ini. Bisa dengan kisah-kisah uplifting atau malah jadi cerita penuh misteri. Poin kedua yang disebutkan ini tadi yang diangkat oleh kreator dari sebuah series yang barus aja ditonton di Mola TV. Ola Noren dan Roland Ulvselius membuat sebuah kisah thriller dengan judul Rig 45.

Tak hanya dibuat menjadi satu film lepas, tapi menjadi sebuah limited series. Memiliki 6 episode dengan durasi masing-masing 45 menit, Rig 45 ini memiliki nuansa misteri yang kental. Dibintangi oleh beberapa nama seperti Lisa Henni, Gary Lewis, Joi Johansson, Judith Roddy, Christine Walker, dan masih banyak lagi. Mereka memerankan sebuah tim di anjungan tersebut yang sedang diteror oleh beberapa kejadian aneh.

Apa tuh kejadiannya?

Bukan, bukan kejadian supranatural. Tetapi, ada banyak kecelakaan janggal yang menimpa anggota tim Rig 45 yang sedang menjalankan tugas. Inilah yang membuat Andrea (Christine Walker) harus meninggalkan keluarganya di hari Natal untuk mengidentifikasi kasus tersebut. Andrea tidak bisa menolak karena ini adalah tugas dari atasannya. Sekaligus, menjadi ajang pembuktian dirinya agar bisa mendapatkan jabatan yang lebih tinggi di tempat dia bekerja.

Ketika sampai Andrea di Rig 45 dan melakukan investigasi, ada banyak sekali kejanggalan laporan-laporan yang telah dibuat. Belum lagi, dia juga harus menghadapi dengan anggota tim Rig 45 yang tak menyambutnya dengan baik. Tapi, tak hanya berhenti sampai di situ. Semenjak kedatangan Andrea pula lah, semakin banyak kejadian janggal yang menyerang setiap anggota tim Rig 45. Ada seseorang yang berusaha menyakiti mereka.

Nonton Rig 45 memang bikin deg-degan sepanjang musimnya. Penonton akan diajak untuk mengikuti setiap kejadian yang terjadi di anjungan yang penuh tragedi dan misteri ini. Cukup perlahan memang serial ini dimulai. Menyoroti terlebih dahulu kehidupan karakter Andrea yang memiliki problematika sendiri dengan dirinya dan keluarganya. Tetapi, hal itu tak berlangsung lama hingga akhirnya masuk ke konflik utamanya.

Dari adegan pembuka di episode pertamanya saja, penonton sudah diberikan sebuah adegan yang bikin kaget. Memperlihatkan salah satu anggota timnya yang jatuh saat bertugas dan membuat dirinya meregangkan nyawa. Adegan yang mendadak ini sudah membangun tensi bagi serial ini. Membuat penontonnya penasaran apa yang akan terjadi di sisa-sisa episode-nya yang tergolong cukup singkat ini nantinya.

Tapi, serial ini tak hanya fokus untuk mencari siapa pembunuhnya dengan straightforward. Tapi, penonton juga akan diajak untuk menyelami masa lalu kelam dari para karakter dan histori dari Rig 45 sendiri di masa lalunya. Ada beberapa kisah lama yang terkuak yang akan menjadi kunci dari serial ini nantinya di episode terakhir. Serta, penonton akan merasakan beberapa anomali dalam karakter-karakternya. Sehingga, semakin mempersulit penonton untuk menebak siapa yang melakukan kejahatan ini semua.

Serial yang bekerjasama dengan beberapa negara Eropa dan Amerika ini pintar dalam menutup misteri. Setiap kejadian janggal yang terjadi juga ditaruh pas di ending setiap episode sebagai bekal serta alasan bagi penontonnya untuk mau melanjutkan kisah selanjutnya dari serial ini. Salah satu alasan serial ini betah ditonton juga dengan performa para pemainnya ini. 

Semua jajaran pemainnya berhasil menerjemahkan keambiguitasan setiap karakternya dengan baik. Penonton yang awalnya tidak bersimpati dengan satu karakter di awal-awal, bisa jadi berubah pikiran di menuju akhir dan sebaliknya. Maka dari itu, seru untuk mengikuti kisah dari serial Rig 45 ini. Seperti sedang membaca kisah-kisah misteri dari Agatha Christie.

Salah satu serial televisi hidden gem yang ada di Mola TV dan wajib kamu tonton nih. Makanya, langganan Mola TV dulu deh. Cuma Rp12.500, udah bisa dapetin aksesnya selama satu bulan. Mau nonton film atau series yang gak pernah diomongin orang tapi gak kalah serunya dengan yang lain juga ada. Siapa tahu, juga bisa rekomendasiin tontonan baru ke yang lainnya. Kalau mau nonton serial ini, cek di sini

YOUNGER (TV SERIES) REVIEW: Seorang Paruh Baya Terjebak di Dunia Millenials?


Darren Star, sudah sering sekali membuat serial televisi yang menjadi phenomenon. Setelah nonton beberapa serial yang telah dia buat, tertariklah mata ini saat melihat Mola TV. Darren Star membuat sebuah series berjudul Younger yang dirilis di tahun 2015. Bukan karena nama Darren Star saja, tetapi konsep menarik dari serial televisi ini juga menjadi sorotan.

Serial televisi ini dibintangi oleh beberapa nama seperti Sutton Foster, Debi Mazar, Nico Tortorella, hingga Hillary Duff. Telah memasuki ke musim ketujuhnya di tahun ini, tapi mari kita bahas dulu season pertamanya ini. Di dalam satu musim, Younger memiliki 12 episode dengan durasi 20-30 menit per episode-nya. Sangat mudah untuk dilahap sekali duduk, apalagi dengan cerita yang ringan dan sangat menghibur setiap episode-nya.

Penonton akan diajak untuk mengenali seluk beluk kehidupan Liza Miller (Sutton Foster) yang keluarga kecilnya baru saja berantakan. Dia harus berpisah dengan suaminya karena sang suami berselingkuh dengan perempuan lain. Tak sampai di sana saja, kehidupan Liza pun harus berubah karena rumahnya harus dijual untuk menutupi hutangnya sendiri. Liza harus tinggal dengan sahabatnya, Maggie (Debi Mazar).

Liza juga harus mencari pekerjaan untuk dirinya sendiri untuk bisa mengembalikan kehidupannya. Kesusahan untuk mencari pekerjaan di usianya yang masuk paruh baya, Liza mengaku bahwa dirinya berusia 26 Tahun. Dia pun bisa masuk ke sebuah press company dan bertemu banyak orang baru di hidupnya. Dia berusaha untuk menutupi kehidupan aslinya demi bisa terus mempertahankan pekerjaan yang dimilikinya.

Ringan dan menyenangkan di setiap episode-nya.

Dengan durasinya yang singkat di setiap episode-nya, tetapi serial satu ini berhasil menghisap penontonnya dan tak terasa satu musim pun bakal habis di satu kali tonton saja. Mengikuti kisah Liza yang tak hanya menyembunyikan identitasnya saja, tapi juga mengikuti kisah Liza dalam pekerjaannya. Sehingga, konflik yang dihadirkan di dalam serial ini tak hanya di satu kisah saja tapi berkembang dengan melibatkan setiap karakter yang ada di dalamnya.

Setiap karakternya juga memiliki konfliknya sendiri yang menarik untuk diikuti. Mulai dari Kelsey, rekan kerja Liza yang dikontrol oleh pacarnya. Diana Trout, bosnya yang juga berusia paruh baya tapi sedikit sensitif dengan para Millenials. Ada juga love interest Liza yaitu Josh yang tak tahu akan kehidupan asli dari Liza. Karakter-karakter ini juga yang membuat Younger terasa semakin seru dan menggali kisahnya makin dalam.

Penonton akan ikut deg-degan dengan bagaimana karakter-karakter ini yang berinteraksi dengan Liza. Karena bisa jadi rahasia yang sudah dipendam Liza ini akan semakin terkuak. Segala kisahnya juga diarahkan dengan pas. Sehingga, semua yang disampaikan akan terasa on point. Mulai dari komedinya yang renyah tapi juga sangat witty. Menertawakan beberapa tragedi kehidupan yang dialami oleh Liza yang mungkin juga akan relatable dengan orang-orang di usianya.


Akan dengan mudah juga menyukai serial satu ini karena penonton akan dengan mudah menyukai dan menaruh simpati kepada karakter-karakternya. Ini penting karena serial ini juga memberikan ruang untuk karakter-karakter lain berkembang. Sehingga, mengikuti setiap episode dari serial ini akan sangat menarik dan membuat ketagihan. Hingga penonton tak sadar tiba-tiba sudah berada di episode penghujung musimnya.

Tak lain dan tak bukan juga berkat performance dari para pemainnya yang berhasil menginterpretasikan karakter rekaan Darren Star ini dengan baik. Meski dengan kisahnya yang familiar dan masih ada kekhasan Darren Star seperti biasanya, tapi Younger tetap bisa bersinar menjadi sebuah sajian yang tak akan membuat penontonnya bosan. Sekali tonton, bakal keterusan!

Kalo kamu mau nonton serial keren ini lewat Mola TV dengan harga langganan yang murah banget. Cuma Rp12.500 per bulannya dan terbukti bahwa streaming service satu ini selalu punya hidden gems yang layak buat ditonton. Salah satunya adalah Younger yang harus kamu masukin ke dalam daftar tontonan kamu sekarang. Buat yang mau nonton serial satu ini, langsung aja ke link ini.