• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

MARY POPPINS RETURNS (2018) REVIEW: A New Rendition With Beautiful Old Charm


Disney memiliki banyak stok film untuk dihadirkan kembali di layar lebar. Tak hanya film animasinya saja yang ditayangkan kembali dalam bentuk live-action, tetapi Disney juga punya memiliki misi menghadirkan nostalgia kepada penontonnya. Salah satunya lewat menghadirkan kembali sosok-sosok legendaris dari Disney dan hal ini sudah dicoba lewat sosok Winnie The Pooh yang hadir lewat film arahan Marc Forster, Christopher Robin.

Kali ini giliran kisah yang film pertamanya diadaptasi dari buku P.L. Travers yaitu Mary Poppins. Sosok penjaga anak-anak yang magis ini kembali hadir dengan rentang waktu yang cukup lama. Film pertama Mary Poppins dirilis di tahun 1964 dengan Julie Andrews sebagai pemeran utamanya. Robert Stevenson kala itu menjadi sutradara untuk Mary Poppins. Berselang 54 tahun, Mary Poppins kembali menyapa penonton generasi sekarang dengan banyak perubahan.

Perubahan pertama tentu pada pengarahnya, Rob Marshall ditunjuk sebagai komando tertinggi untuk film ini. Tak hanya itu, Julie Andrews tentu saja tak kembali menjadi sosok Mary Poppins dan aktor perempuan bertalenta bernama Emily Blunt yang berkesempatan untuk menggantikannya. Diramaikan oleh nama-nama lain mulai dari Ben Whishaw, Lin-Imanuel Miranda, Julie Walters, Meryl Streep, Colin Firth hingga Dick Van Dyke. Mary Poppins Returns dipilih menjadi judul untuk sekuelnya ini.


Dengan selang waktu yang cukup lama, tentu akan menjadi tugas dari Rob Marshall mengembalikan daya magis untuk Mary Poppins Returns. Bahkan, tugas utamanya tentu tak hanya mengembalikan nostalgia tetapi juga untuk mengenalkan sosok Mary Poppins dengan generasi sekarang yang mungkin tak banyak yang mengenal karakter film ini. Kepercayaan penonton zaman sekarang terhadap Mary Poppins Returns ini tentu hanya bertumpu pada nama Disney sebagai sebuah korporasi yang besar dan ternama.

Yang terjadi adalah Mary Poppins Returns tidak benar-benar bertumpu pada kesan nostalgia saja di dalam filmnya. Mary Poppins Returns berkerja sebagai rendisi baru dari nada-nada yang sudah ada di dalam film Mary Poppins sebelumnya. Dengan dasar itu, tentu saja Rob Marshall memiliki semangat menyampaikan misinya mengenalkan Mary Poppins kepada semua generasi baik yang mengenal maupun yang belum kenal. Belum lagi, performa Emily Blunt yang semakin memperkuat indahnya film ini.


Memang masih ada benang merah antara Mary Poppins Returns dengan film pendahulunya. Kisahnya masih berkutat pada karakter yang sama meskipun setting tahunnya sudah berbeda. Mary Poppins masih mendatangi keluarga Banks yang kali ini dirundung masalah. Michael (Ben Whishaw) sedang dalam kondisi terpuruk secara finansial dan datanglah berita buruk bahwa rumah yang ditinggali sejak kecil bersama orang tua dan Jane (Emily Mortimer), adik perempuannya, harus disita oleh bank.

Kebingungan Michael semakin menjadi-jadi karena dia juga baru ditinggal oleh istri tercintanya dengan ditinggal 3 anak yang dia sayangi. Ketika Michael mulai sibuk dengan kesedihannya, datanglah pengasuh dengan daya magis saat Michael dan Jane masih belia. Ya, Mary Poppins (Emily Blunt) hadir kembali ke keluarga Banks dan membantu Michael menjaga ketiga anaknya yaitu John (Nathanael Saleh), Anabel (Pixie Davies), dan George (Joel Dawson).


Mary Poppins Returns sebagai sebuah film berusaha untuk menjadi medium bagi penontonnya merasakan kembali kesenangan dan kebahagiaan menjadi anak kecil yang senang berimajinasi. Layaknya kisah dalam filmnya di mana Mary Poppins hadir untuk ketiga anak kecil ini untuk sedikit melupakan kejadian-kejadian sedih yang bahkan membuat masa kecil mereka tak bahagia. Selagi itu, masih diceritakan tanggung jawab Michael sebagai orang dewasa yang mencari sertifikat yang bisa menyelamatkan rumahnya.

Rob Marshall selaku sutradara dari Mary Poppins Returns masih memiliki visi untuk mewarisi keindahan dan daya pikat yang ada di dalam film Mary Poppins milik Robert Stevenson. Masih menjadikan film ini sebagai sebuah film musikal adalah salah satunya. Rob Marshall tentu tak lagi baru dalam menggarap sebuah film musikal. Akan dengan mudah bagi Mary Poppins Returns untuk memiliki sekuens-sekuens musikal yang sangat indah.

Musikalnya masih memiliki ciri khas dari Rob Marshall yang sangat teatrikal. Mulai dari prelude dari film ini yang sudah mengantisipasi penontonnya agar tahu apa yang mereka saksikan selebihnya dalam 130 menit. Beberapa sekuens musikalnya pun juga masih mengambil referensi dari film pendahulunya dengan tambahan animasi dua dimensi dengan pembaruan yang sangat memanjakan mata. Tentu saja, sekuens-sekuens dengan mudah memancarkan kemagisannya.


Tak hanya mewarisi keindahan lewat sekuens musikalnya, Mary Poppins Returns masih menjadi sebuah pengingat tentang semangat menjadi anak-anak. Baik di film pertama maupun di Mary Poppins Returns ini masih membahas tentang imajinasi seorang anak yang tak boleh dibatasi. Terkadang seseorang yang telah dewasa pun lupa bagaimana pentingnya sesekali menjadi anak-anak. Entah menjadikannya sebagai sebuah medium pelarian diri terhadap konflik orang dewasa yang semakin pelik, atau menjadikannya sebagai mencari sudut pandang yang lain.

Mary Poppins sebagai sosok karakter pengasuh ini adalah perwakilan dari pengontrol pentingnya bersenang-senang selagi masih bisa. Sepelik apapun hidup yang ada di sekitarmu, pastikan masih ada waktu dan kesempatan untuk tetap sadar dan tak menjadi gila karena dirundung masalah. Ya, Mary Poppins tentu cocok sekali dengan korporasi Disneyyang selalu memproduksi mimpi-mimpi yang penuh kebahagiaan sehingga apapun produk anak-anaknya selalu dijadikan standar tentang perilaku seorang anak.

 
Mary Poppins Returns memang datang tak sebagai sebuah karya yang sempurna. Dengan durasinya yang mencapai 130 menit, Mary Poppins Returnsmungkin hadir cukup panjang dengan beberapa konflik yang ditarik ulur. Meskipun, beberapa adegannya ini dijadikan sebagai sebuah pesan implisit dan simplifikasi tentang konflik dewasa agar bisa diceritakan kepada anak-anak. Meski tak baru, tetapi semangat itu selalu ada di dalam film Mary Poppins.

Diluar durasinya yang sedikit terlalu panjang, masih ada performa musikal yang indah untuk dinikmati mulai dari Can You Imagine That, Trip A Little Light Fantastic, The Place Where The Lost Things Go, hingga Nowhere To Go But Up yang menghangatkan hati. Tentu hal ini tak muncul begitu kuat apabila tak ada performa yang sangat menarik hati dari Emily Blunt. Dirinya bisa mentranslasikan Mary Poppins milik Julie Andrews dengan sangat baik di film terbarunya.


Lagu-lagunya pun memiliki nada-nada yang sama dengan beberapa lagu milik Mary Poppins di film sebelumnya seperti Lets Go Fly A Kite hingga A Spoonful of Sugar yang digubah oleh Marc Shaiman. Inilah juga menjadi bukti bahwa Mary Poppins Returns milik Rob Marshall ini tak hanya sekedar meneruskan legacy dari film Mary Poppins sebelumnya. Tetapi, lebih kepada usaha Rob Marshall melakukan rendisi ulang dari nada-nada yang ada sehingga Mary Poppins Returns tetap menjadi karya yang bisa berdiri sendiri tetapi tak melupakan akarnya. Indah sekali.

MILLY & MAMET (2018) REVIEW: Karya Dari Hati Milik Ernest Prakasa Lainnya


Kisah Cinta dan Rangga masih memiliki celah untuk membangun dunianya lebih besar. Iya, seakan tak mau kalah dengan film-film pahlawan super milik luar negeri, kisah cinta super populer milik dalam negeri ini masih memiliki kisah yang menarik. Tetapi, kali ini yang punya hajat bukanlah Cinta dan Rangga dan problematika romansanya. Ada karakter lain di kisah Ada Apa Dengan Cinta yang kisahnya cukup menarik untuk digali lebih dalam, terlebih kisahnya yang mengagetkan muncul di film keduanya.

Inilah dia, Milly dan Mamet, yang entah darimana tiba-tiba saja mereka diceritakan menjalin hubungan, menikah, dan memiliki anak. Bila kisah Cinta dan Rangga lewat Ada Apa Dengan Cinta? 2 ini diarahkan oleh Riri Riza. Kali ini, yang memiliki kesempatan untuk menuturkan kisah Milly dan Mamet adalah seorang sutradara baru yang berpotensi di setiap filmnya. Ernest Prakasa, seorang komika terkenal yang terjun ke dunia penyutradaraan dan menelurkan hasil-hasil gemilang.

Ernest Prakasa ditunjuk untuk mengarahkan kisah cinta Milly dan Mamet agar dunia Ada Apa Dengan Cinta? ini punya sudut pandang lain selain Cinta dan Rangga. Milly & Mamet, judul dari film keempat Ernest Prakasa ini berkolaborasi kembali dengan istrinya, Meira Anastasia dalam penulisan naskahnya. Tak hanya dalam naskahnya saja, Meira Anastasia juga memiliki kesempatan untuk mengarahkan filmnya bersama dengan suami tercinta.


Tentu saja, Milly & Mametdibintangi oleh dua aktor utamanya, Dennis Adhiswara dan Sissy Prescillia. Tetapi, Ernest Prakasa berhasil menggaet nama-nama besar di dalam filmnya mulai dari Julie Estelle, Yoshi Sudarso, Eva Celia, dan beberapa komika lain yang biasa hadir untuk meramaikan film milik Ernest Prakasa. Hal menarik lainnya adalah kembalinya lagi Geng Cinta yang mendukung kisah Milly & Mamet sehingga tentu saja membuat film ini semakin meriah.

Milly & Mamet tentu menjadi salah satu film yang dinantikan di tahun 2018 ini. Salah satu penyebabnya adalah film ini adalah bagian dari kultur pop besar di Indonesia yaitu Ada Apa Dengan Cinta?. Serta, memberikan sudut pandang lain dalam dunia Ada Apa Dengan Cinta? yang mungkin membuat sebagian penikmatnya penasaran. Untungnya, Milly & Mamet berada di tangan yang cukup tepat. Milly & Mamet kembali jadi karya dari Ernest Prakasa yang cukup solid.


Linimasa waktu di dalam film Milly & Mamet ini berjalan secara paralel di antara film Ada Apa Dengan Cinta? pertama dan kedua. Sehingga di dalam film ini diceritakan Mamet (Dennis Adhiswara) yang sedang datang sendirian di acara reuni sekolah menengah atasnya kala itu. Tak sengaja dia kembali bertemu dengan Milly (Sissy Prescillia) di tengah kerumunan bersama dengan Gengnya selama sekolah. Milly yang sedang kurang memiliki hubungan baik dengan pacarnya, membuat Mamet berkesempatan untuk dekat dengannya.

Tetapi, poin dari film ini ternyata bukan menceritakan bagaimana Milly & Mamet mendekati satu sama lain. Melainkan menceritakan tentang bagaimana Milly & Mamet menghadapi problematika keluarga kecilnya. Mamet yang memiliki passion di bidang masak bertemu dengan Alex (Julie Estelle), teman lamanya yang ingin mengajak membuka restoran baru. Tetapi, pergolakan batin Mamet untuk menjalankan apa yang dia senangi ini adalah probelmatikanya. Dan Milly berusaha untuk mendampingi Mamet meskipun juga mengalami pergolakan batin yang sama.


Milly & Mamet sebagai sebuah film tak hanya bekerja sebagai film pendamping dunia Ada Apa Dengan Cinta? saja. Film ini sebenarnya bisa berdiri sendiri tanpa adanya embel-embel tersebut. Milly & Mamet adalah sebuah film komedi romantis yang bisa digunakan sebagai refleksi para pasangan baru yang baru saja membina rumah tangga. Konflik-konflik yang ada di dalam film Milly & Mamet ini akan terasa dekat dan relevan dengan target segmentasinya.

Milly dan Mamet sebagai karakter pendukung dalam Ada Apa Dengan Cinta? tentu masih belum punya penggalian karakter yang cukup karena pusat cerita berada di Rangga dan Cinta. Inilah tugas Ernest Prakasa untuk menggali kisah mereka. Dengan bantuan dari Meira Anastasia, terasa benar mereka sedang sedikit demi sedikit menggali karakter utamanya lebih dalam agar lebih dekat dengan penontonnya. Dengan begitu, konfliknya yang relevan bisa dengan mudah diterima dan itulah tugas dari kedua karakternya.

Milly & Mamet menjadi sebuah medium refleksi tentang kehidupan rumah tangga bagi para pasangan yang baru membina keluarga. Bagaimana mereka berkompromi dengan keputusan masing-masing tanpa harus mengorbankan sesuatu. Karakter Milly & Mamet berusaha untuk menjadi perwakilan para pasangan suami-istri, baik yang baru menikah ataupun sudah lama, untuk selalu tetap menjaga saling keterbukaan dan mau menerima pendapat satu sama lain dalam berkeluarga.


Meskipun, dalam usahanya menuturkan konfliknya yang relevan ini, Milly & Mamet masih terjebak dengan cara-cara penuturan nasihat yang literal. Sehingga, beberapa adegan di dalam film ini lebih terasa menggurui. Keberadaan Milly & Mamet sebagai film dari dunia Ada Apa Dengan Cinta? yang ternyata bisa berdiri sendiri ini ternyata sedikit berpengaruh dalam filmnya. Penonton yang mencari insights menarik dalam dunia Ada Apa Dengan Cinta? akan merasa kurang terjawab.

Ernest Prakasa dan Meira Anastasia memang masih menuliskan sedikit cerita dan adegan yang berhubungan dengan Ada Apa Dengan Cinta?. Tetapi, hal itu tak membuat Milly & Mamet benar-benar menjadi bagian dari dunia Ada Apa Dengan Cinta? selain nama karakternya saja. Tetapi, beberapa rasa penasaran pecinta dunia Ada Apa Dengan Cinta? mungkin masih kurang terpuaskan. Meskipun, mereka benar untuk memberikan diferensiasi dalam penuturan ceritanya dan itu cocok dengan kedua karakternya.

Sebagai sebuah film komedi romantis, Milly & Mamet bisa menghibur penontonnya. Lontaran komedi di dalam film ini terasa lebih terkontrol dibandingkan dengan beberapa film Ernest Prakasa sebelumnya. Sehingga, di saat yang tepat, punchline-nya akan mengena penontonnya. Milly & Mamet dipenuhi dengan banyak bintang yang menjadi karakter pendukung yang cukup berarti. Seperti karakter Jojo yang menarik untuk mendukung durasi 101 menit filmnya, meskipun bisa saja karakter ini digali lagi untuk menjadi perwakilan konflik yang lebih relevan dengan anak millennials yang skeptis tentang rumah tangga.


Dengan beberapa kekurangannya ini, Mily & Mamet masih membuktikan bahwa Ernest Prakasa punya  daya magisnya untuk membuat sebuah film. Ini tentu saja menjadi salah satu karya solid lainnya dari Ernest Prakasa. Selain menghibur, beberapa adegan klimaksnya juga bisa dijaga dengan baik dan berhasil bermain dengan emosi penontonnya. Begitu pula dengan beberapa pemainnya yang bermain dengan porsinya yang pas. Bahkan, Yoshi Sudarso pun bisa membaik setelah Buffalo Boys.

SPIDER-MAN: INTO THE SPIDER-VERSE (2018) REVIEW : Salah satu Film Spider-Man Terbaik


Setelah lisensi Spider-Manmenjadi bagian dari Disney, Sony Pictures tentu kehilangan salah satu pundi uang terbesarnya. Tetapi, Sony tak melepaskan semua lisensinya ke Disney, dia masih memiliki sebagian hak untuk mengontrol karakter Spider-Mansebagai karakter dari komik Marvel. Maka, muncul ide dari Sony Picturesuntuk membuat sebuah film animasi tentang karakter Spider-Man ini. Proyek ini tentu dianggap sebelah mata oleh penikmat film.

Spider-Man: Into The Spider-Verse menjadi proyek film animasi berdasarkan karakter Spider-Man terbaru dari Sony Pictures. Film ini disutradarai oleh Bob Persichetti, Peter Ramsey, dan Rodney Rothman. Film ini juga mendapatkan supervisi naskah dari Phil Lord yang mendapatkan bantuan penulisan dari Rodney Rothman. Ketika sudah cukup banyak karakter Peter Parker di dalam film Spider-Man, film ini mengambil arc character Miles Morales sebagai gantinya.

Meskipun, ketika trailer film ini keluar, masih banyak yang beranggapan bahwa sudah terlalu banyak film dari karakter Spider-Man yang dibuat oleh Hollywood. Spider-Man: Into The Spider-Versediramaikan oleh banyak bintang yang menjanjikan. Ada Jake Johnson, Hailee Steinfield, dan Mahershala Ali di pengisi suaranya. Serta, Shameik Moore sebagai pengisi suara karakter utamanya, dan masih ada banyak nama seperti Nicolas Cage, Zoe Kravitz, hingga Liev Schreiber.


Hingga diwaktu film ini rilis, banyak reaksi positif yang keluar saat itu. Beberapa orang bahkan ada yang menobatkan film ini sebagai film Spider-Man terbaik yang pernah dibuat dan salah satu film animasi terbaik tahun ini. Sebagai film animasi, Spider-Man: Into the Spider-Verse memang bisa memberikan visual animai yang berbeda dengan film-film animasi komersial pada umumnya dan memberikan warna baru dalam medium film animasinya.

Sebagai sebuah film Spider-Man, film ini memang belum bisa dikategorikan sebagai yang terbaik dari yang sudah ada. Salah satu yang terbaik mungkin lebih tepat, karena Spider-Man: Into The Spider-Verse adalah sebuah film yang sangat solid. Spider-Man: Into The Spider-Versememiliki ide cerita yang gila tetapi juga memiliki pengarahan cerita yang sangat mumpuni sehingga ide gila itu bisa berubah menjadi sebuah film yang keren luar biasa.


Spider-Man: Into the Spider-Verseini memang terfokus pada sosok Miles Morales (Shameik Moore), seorang murid pintar yang merasa terjebak di sekolahnya dan keluarganya. Dia merasa keluarganya tidak mendukung hobinya yang suka membuat mural. Sehingga, dia pergi ke rumah pamannya untuk melampiaskan hal itu. Sang paman bernama Aaron (Mahershala Ali) ini mengajaknya ke sebuah tempat agar melampiaskan keinginan Miles.

Miles melampiaskan semua hobinya ke dalam mural yang dia buat hingga dirinya tak sadar bahwa ada laba-laba mutan yang mengigitnya. Keesokan harinya, Miles pun memiliki perubahan dan kekuatan. Ya, cerita Miles Morales masih terasa memiliki cerita Spider-Mansecara generik. Tetapi ide gila itu muncul ketika konflik utamanya muncul. Memberikan sebuah nafas segar sekaligus tributekepada komik-komik Spider-Man yang pernah ada.  

Di mana di dunia Miles, Peter Parker (Jake Johnson) masih lah menjadi sosok Spider-Man yang diagungkan banyak orang. Datanglah sang musuh bernama Wilson Fisk (Liev Schrieber) yang sedang berusaha membuat mesin yang bisa membuat dunia dari dimensi lain saling berdatangan. Hal inilah yang membuat semua karakter Spider-Man yang pernah dibuat bisa datang berada di satu dunia. Mulai dari Spider-Gwen, Spider-Ham, Spider-Noir, dan Spider-Man Peter Parker lain yang berbeda.


Ide gila macam ini tentu akan sangat susah untuk dijadikan sebuah film live action. Mengumpulkan bermacam-macam Spider-Man dengan berbagai konfliknya, selain budget yang akan membengkak sehingga sangat berisiko, juga belum tentu ceritanya bisa tersampaikan dengan baik seutuhnya. Bob Persichetti, Peter Ramsey, dan Rodney Rothman berhasil membuat Spider-Man: Into The Spider-Versemenjadi sebuah film animasi yang rumit tetapi masih sangat nikmat untuk diikuti.

Kerumitan di dalam filmnya masih dalam taraf yang menyenangkan. Seakan mereka bertiga tahu, bila film ini dijadikan sebagai sebuah film animasi, masih ada target segmentasi anak-anak yang juga harus bisa dicakup. Terlebih, film animasi ini juga membawa karakter superhero yang sangat dikenal oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Mereka bertiga seakan secara pelan-pelan menuntun semua penontonnya agar menikmati setiap alur cerita beserta konfliknya yang sedang ditawarkan.


Tak hanya sekedar rumit, tetapi setiap karakternya juga bisa digali dengan baik. Akan ada rasa simpati yang muncul kepada setiap karakter Spider-Man yang muncul dan karakter-karakter pendukung yang semakin mengembangkan karakter Miles Morales sebagai karakter utama. Dengan pengembangan karakter dan penuturan yang tepat, film ini tak hanya sekedar menghibur dan menyenangkan penontonnya. Di saat yang tepat, Spider-Man: Into The Spider-Verseakan bisa menyentuh penontonnya.

Selain bagaimana film ini bisa menuturkan kisah rumitnya dengan baik, Spider-Man: Into The Spider-Verse juga memiliki visual yang unik dan menarik. Kecantikan setiap menit animasinya akan terasa sangat berbeda dibandingkan dengan film-film animasi pada umumnya. Tidak berusaha menjadikannya menjadi senyata mungkin, tetapi lebih kepada menjadikannya sebagai tribut gambar pada komik yang terlihat di setiap framing filmnya.


Spider-Man: Into The Spider-Versepun masih dipercantik lagi dengan balutan musik dan soundtrack yang nuansanya makin mendukung filmnya. Sehingga, tentu saja Spider-Man: Into The Spider-Versemenjadi salah satu tontonan yang mencuri perhatian di tahun ini ketika menuju akhir tahun 2018. Menjadi yang terbaik bukan salah satu inti dari film ini, tetapi menjadi salah satu yang terbaik dan unik sepertinya lebih tepat dengan tujuan Spider-Man: Into The Spider-Verse. Hal itu sesuai dengan pesan di dalam filmnya, bahwa semua orang bisa menjadi yang terbaik.

AQUAMAN (2018) REVIEW : Another DC Films and Their Mess


Setelah mendapatkan film ensembel pahlawan super dari DC yaitu Justice League yang dirilis tahun lalu, tentu banyak orang yang ingin tahu bagaimana cerita masing-masing pahlawannya. Untuk tahun ini, datanglah kesempatan dari sosok Aquaman yang mendapatkan kisahnya sendiri. Keberadaannya mungkin sudah mulai diperhatikan di Justice League. Itupun terlebih karena pemeran Aquamanadalah Jason Momoa yang lebih dahulu terkenal sebelumnya.

Proyek Aquaman ini sudah direncanakan cukup lama dengan adanya James Wan sebagai komando dalam pengarahan filmnya. Tentu ada nama-nama lain yang cukup menggugah selera penonton untuk menunggu Aquaman. Selain Jason Momoa, ada nama Amber Heard sebagai Mera yang sudah muncul di film Justice League. Lalu tentu saja Patrick Wilson sebagai aktor favorit James Wan, ditemani oleh Nicole Kidman, Dolph Lundgren, hingga William Dafoe.

Melihat rekam jejak James Wan dalam mengarahkan film mulai dari franchise Fast & Furious hingga film horor sukses The Conjuring, tentu memberikan sedikit rasa percaya dengan performa Aquaman nantinya. Terlebih, beberapa set up milik Worlds of DC ini bisa dibilang masih belum cukup kuat meskipun sudah mengeluarkan film ensembel pahlawan supernya. Apalagi secara apa yang ditampilkan di layar, sebenarnya Aquaman memiliki daya tariknya sendiri karena menceritakan tentang dunia bawah lautnya.


Naskah dari Aquaman ditulis oleh David Leslie Johnson-McGoldrick dan Will Beall yang berangkat dari ide cerita ramai-ramai dari James Wan sendiri dan produser Worlds of DC, Geoff Johns. Dengan turunnya sang produser dari Worlds of DC dalam proses membentuk ide cerita, seharusnya bisa membuat Aquamanmenjadi awal baru yang pas untuk melanjutkan linimasa yang ada. Sayangnya, dengan durasi yang sudah mencapai 143 menit, Aquaman tak bisa menyampaikan cerita yang dia mau.

James Wan mungkin bisa mentranslasikan keinginan film ini secara visual. Aquaman tak dapat dipungkiri memiliki konsep dunia dan visual yang sangat menarik untuk dilihat. Sayangnya, sebagai sebuah standalone film pahlawan super yang baru saja memiliki film pertamanya, Aquaman terlihat memiliki keinginan untuk secara instan membuat dunianya menjadi sangat besar. Sehingga, banyak sekali kisah yang ingin disampaikan hingga membuat 143 menitnya pun terasa tak cukup menampungnya.


Seharusnya, mulainya Aquamanbisa diceritakan dengan cukup sederhana. Dimulai ketika Atlanna (Nicole Kidman) yang terdampar di sebuah tepian. Dia ditemukan oleh seorang manusia biasa bernama Tom Curry (Temuera Morrison). Atlanna dan Tom pun pada akhirnya menjalin cinta lalu menikah dan lahirlah seorang anak laki-lakinya bernama Arthur Curry. Tetapi, Atlanna harus  kembali lagi ke Atlantis yang berada di dalam lautan, tempat dia tinggal sebelumnya.  

Arthur (James Momoa) yang sudah menjadi sosok dewasa didatangi oleh Mera (Amber Heard) untuk memberikan kabar tentang dirinya yang masih menjadi bagian dari penduduk Atlantis. Arthur yang sudah mengetahui dirinya sebagai seorang manusia berkekuatan super kembali ke Atlantis untuk mencari tahu silsilahnya. Keberadaan Arthur yang dicemooh karena hasil hubungan gelap Atlanna harus memperebutkan tahta kerajaan Atlantis yang menjadi haknya.


Dengan sinopsis cerita seperti itu, Aquaman tentu punya banyak plot yang bisa dikembangkan dalam satu film. Tetapi, Aquaman tak hanya berhenti tentang perebutan tahta saja, film ini harus ditambahi dengan datangnya musuh Aquaman dari kejadian masa lalu. Black Manta yang juga ikut mengejar Aquaman untuk membalaskan dendam. Dan inilah yang membuat 143 menit dari Aquaman menjadi sangat berantakan meski visualnya cukup menarik.

Aquaman mengenalkan 15 menit pertamanya dengan sangat baik. Penonton diajak untuk mengenal bagaimana Atlanna dan Tom bisa saling mengenal satu sama lain hingga hadirnya Arthur sebagai buah cinta mereka. Tetapi, hal itu ternyata hanya berhenti sampai di 15 menit pertama saja. James Wan tak melanjutkan kisah dasar dari sosok Aquaman ini agar penonton semakin dekat dengannya. Film ini seakan lupa sebuah fakta bahwa sebenarnya sosok Aquaman yang telah muncul di film-film sebelumnya ini masih belum dikenalkan dengan lebih rinci.

Hasilnya, ketika masuk ke dalam konflik utama dari film ini, akan ada missing link yang membuat kurangnya rasa menaruh simpati kepada karakter utamanya. Seakan tak menghiraukan, James Wan pun tetap melanjutkan Aquaman dengan dihajar oleh visual spectacle yang cukup menawan. Warna-warnanya memang tak bisa segelap film-film DC sebelumnya, sehingga Aquaman tentu masih memiliki visual yang cukup memanjakan mata.


Dengan pengenalan karakter yang belum matang, film ini memiliki konflik dengan intrik perebutan tahta yang memerlukan penggalian karakter lebih dalam seharusnya. Membahas tentang nepotisme dalam sebuah kerajaan tentu sebenarnya sangat menarik dalam sebuah film pahlawan super. Sayangnya, Aquaman membuat konflik semacam ini hanya sebagai aksesoris saja karena poin utamanya tetap berada di bagaimana menjadikan film ini sebagai ajang unjuk visual yang megah.

Masih berusaha untuk bertahan dengan konfliknya yang semakin rumit, ternyata film ini semakin merumitkan dirinya dengan menambahkan banyak karakternya. Bahkan, masih memiliki intensi untuk menambahkan karakter villain yang menjadi setup. Mungkin, Warner Bros dan DC sudah memiliki ancang-ancang dan visi ke depan untuk membuat seri-seri selanjutnya dari film ini. Sehingga, terlalu banyak membangun cerita yang berpotensi menjadi sekuel.


Dengan segala konflik-konflik yang merumitkan diri sendiri, Aquaman menyelesaikan konflik demi konfliknya dengan cara yang terlalu mudah. Film ini ditutup dengan cara yang hampir mirip dengan bagaimana Batman V Superman : Dawn of Justice menyelesaikan filmnya meskipun tidak seburuk itu. Andai saja Warner Bros dan DC mau untuk menurunkan sedikit ambisinya, membuat Aquamanbenar-benar lepas dari bayang-bayang Justice League yang sudah porak poranda itu, film ini mungkin akan lebih baik. Sayangnya, Aquaman lagi-lagi menjadi entrydalam film Worlds of DC yang masih berantakan.

RALPH BREAKS THE INTERNET (2018) REVIEW: Babak Permainan Terbaru Yang Lebih Besar

Kedatangan Wreck-It Ralphpertama sebagai karya dari DisneyAnimation Studios cukup membuat orang terkagum-kagum. Film animasi ini berani untuk menyadur berbagai macam budaya populer untuk dimasukkan ke dalam filmnya. Meskipun, film ini harus kalah saing di ajang bergengsi sebagai film animasi terbaik dengan Brave yang dirilis oleh DisneyPixar kala itu. Pendapatan box office untuk film ini pun sebenarnya tak terlalu besar. Bisa jadi, ini adalah salah satu film animasi underrated kala itu.

Tetapi, tahun ini Disneymemutuskan untuk membuatkan kesempatan kedua untuk Ralph agar kembali bersinar seperti film pertamanya. Rich Moore sebagai sutradara film pertamanya masih ikut andil di film keduanya dengan bantuan oleh Phil Johnston. Mereka juga merangkap sebagai penulis naskah seperti film pertamanya tapi kali ini Pamela Ribon ikut membantu untuk menuliskan petualangan terbaru dari sosok Ralph dan Vanelloppe ini.

Tentu saja John C. Reily dan Sarah Silverman kembali mengisi suara duo Ralph dan Vanelloppe. Tetapi, di film keduanya tentu lebih meriah karena ada beberapa nama baru yang terlibat. Mulai dari Gal Gadot, Taraji P. Henson, dan beberapa nama besar lain yang dijadikan sebagai cameo di film ini. Petualangan kedua dari Wreck-It Ralph kali ini bertopik Ralph Breaks The Internet. Ya, di era digital, tentu karakter permainan analog seperti Ralph dan Vanellope akan bersaing dengan permainan daring yang lebih fleksibel.


Ralph Breaks The Internetmengusung tema dunia daring yang sedang menyerang kehidupan semua orang saat ini. Tentu saja, akan muncul banyak sekali relevansi yang muncul di dalam film ini terlebih tentang dunia digital. Rich Moore dan Phil Johnston memvisualisasikan bagaimana cara kerja kehidupan dunia maya yang digandrungi oleh banyak orang ini ke dalam filmnya. Hasilnya, Ralph Breaks The Internet bisa menawarkan dunia digital yang sangat imajinatif untuk semua usia.

Bukan hanya sekedar visualnya yang imajinatif, tetapi Ralph Breaks The Internet juga punya penuturan cerita yang sangat menyenangkan untuk diikuti. Tak hanya bisa dinikmati untuk anak-anak saja, Ralph Breaks The Internet juga bisa dijadikan medium mencari keseruan dan kesenangan untuk orang dewasa karena Ralph Breaks The Internet menyajikan budaya populer di dalam filmnya dengan kuantitas yang lebih banyak dan lebih megah dibanding film pertamanya.


Petualangan mereka berdua dimulai ketika Vanellope (Sarah Silverman) merasa bahwa kehidupannya di permainan Sugar Rush sudah tak lagi ada yang berbeda. Dirinya merasa bahwa segala sesuatu yang dilakukan di Sugar Rush sudah mudah ditebak. Adanya keluhan dari Vanellope ini menggerakkan hati Ralph sebagai temannya. Dia berusaha untuk memberikan sedikit sentuhan kecil di permainannya agar Vanellope tak lagi bosan dengan kehidupannya di Sugar Rush.

Saat seseorang memainkan permainannya, Ralph mengubah sedikit apa yang ada di sana. Mengetahui hal ini tentu Vanellope sungguh senang bisa menemukan perubahan dalam permainannya. Sayangnya, hal ini berbuah buruk untuk kelangsungan permainan Sugar Rush. Permainan miliki Vanellope pun rusak dan harus dicabut dari Arcade. Tentu saja, Ralph dan Vanellope berusaha untuk memperbaiki keadaan dan tersesatlah mereka di dalam dunia yang disebut Internet.


Jika film pertamanya lebih kepada tribute terhadap permainan-permainan analog dan budaya populer yang ada, film keduanya adalah cara Ralph Breaks The Internetmemberikan pengertian tentang dunia digital. Rich Moore dan Phil Johnston berusaha untuk menjelaskan mekanisme tentang dunia digital yang semua berada di satu linimasa dengan sistem kerja yang lebih cepat. Menunjukkan bagaimana budaya pengguna internet di zaman sekarang yang memiliki banyak platform.

Meski dengan pesan yang berat, tentu saja Rich Moore dan Phil Johnston tahu benar takaran dan target segmentasinya. Ralph Breaks The Internet memiliki penuturan cerita yang sederhana meskipun sebenarnya cara bertuturnya lebih kompleks daripada yang terlihat di layar. Caranya adalah dengan memberikan sebuah petualangan seru yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Durasinya yang mencapai 115 menit pun berhasil dimanfaatkan menjadi ruang bagi karakternya untuk berkembang.

Ralph Breaks The Internet jauh berkembang dan menggali lebih dalam perihal pertemanan kedua karakter utamanya. Bagaimana keduanya saling mengikhlaskan dan menyadari bahwa setiap orang punya jalannya masing-masing untuk menjadi sosok yang lebih baik. Ralph dan Venellope menjadi sebuah pion untuk mengantarkan pesan tentang persahabatan itu. Menjadi sahabat harus ikut senang dengan perkembangan mereka, bukan malah menghalangi apa yang mereka inginkan.


Hingga, dalam poin tertentu di dalam filmnya, Ralph Breaks The Internet bisa memunculkan sebuah momen yang sangat emosional. Perjalanan Ralph dan Venellope di dunia internet juga diwarnai dengan bertemu karakter-karakter baru. Karakter pendukungnya juga menjadi momentum penting bagi karakter utamanya untuk berkembang. Seperti karakter Shank dan Yas yang masing-masing memiliki caranya sendiri untuk membentuk karakter Ralph dan Venellope.

Jangan lupakan bagaimana Ralph Breaks The Internet memberikan surat cinta kepada budaya populer terutama budaya Disney sebagai korporasi besar yang menjadi bagian dari masa kecil banyak orang. Semua karakter Disney Princess bisa hadir di dalam satu frame dengan kekhasannya masing-masing. Memberikan satire jokestentang bagaimana princessdiinterpretasi oleh masyarakat luas dengan berbagai problematika dan lagu-lagunya. Meski sudah muncul di salah satu trailernya, tetapi porsi para Disney Princess di dalam film ini ternyata cukup krusialn dan banyak  di dalam filmnya.

Kejeniusan Rich Moore dan Phil Johnston tentang memberikan tributekepada karakter Disney Princess adalah dengan memberikan satu lagu tema bagi Vanellope yang notabene adalah seorang putri juga di permainannya. A Place Called Slaughter Race menjadi lagu tema Vanellope yang digubah oleh Alan Menken yang sudah biasa membuat lagu untuk DisneyPrincess. Belum lagi, beberapa scoringmilik Henry Jackman juga mengkomposisi ulang beberapa nada lagu-lagu Disney Princess menjadi satu dan tentu saja musik dari Star Wars juga tak kalah ketinggalan lengkap dengan adegan yang memiliki nuansa yang sama.


Tak salah bagi kalian yang ingin sejenakmelepaskan penat dengan menonton Ralph Breaks The Internet. 115 menit yang dibuat oleh Rich Moore dan Phil Johnston untuk film punya petualangan yang seru, referensi budaya populer yang jauh lebih megah, serta kisahnya yang emosional menjadi amunisi yang lebih dari cukup untuk merebut hati penontonnya. Ralph Breaks The Internet tak hanya menyamakan kualitasnya dengan film pendahulunya, tetapi juga menjadi sebuah babak baru dalam permainan Ralph dan Vanellope yang lebih besar dan lebih baik dari pendahulunya. Sangat menyenangkan! Dan jangan beranjak dari kursi ya, karena ada 2 adegan di mid dan after credit (abaikan klip video Payung Teduh).

SUZZANNA : BERNAPAS DALAM KUBUR (2018) REVIEW : Film Horor Untuk Bersenang-senang

Perfilman Indonesia sedang dipenuhi oleh bangkitnya kembali legenda-legenda industri hiburan ke dalam layar lebar. Warkop DKI Reborn salah satu pencetus kembalinya para legenda dan berhasil mengundang minta banyak orang. Kuantitas peraihan jumlah penontonnya pun fantastis dan menjadi film terlaris sepanjang masa di Indonesia. Tentu, ini membuat banyak insan perfilman mengembalikan lagi sosok legendaris mereka mulai dari Benyamin, Ateng, dan bahkan Koes Plus.

Tak salah bila Soraya Intercine Films pun tertarik untuk mengembalikan sosok legendaris di dunia perfilman horor di tahun 2018 ini. Ya, Soraya Intercine Films membangkitkan kembali sosok Suzzanna yang sangat legendaris itu. Tentu saja, nama Suzzanna sudah menjadi sebuah brand tersendiri di mata penonton. Proyek ini tentu mendapatkan sorotan dari berbagai macam pihak. Terlebih, ketika Soraya Intercine Films merilis salah satu foto dari filmnya yang tampak sangat meyakinkan.

Aktor perempuan yang mendapatkan kesempatan untuk menjadi sosok legendaris ini adalah Luna Maya. Foto Luna Maya sebagai Suzzanna beredar dan membuat calon penonton kagum karena tampak sangat mirip dengan sosok aslinya. Film Suzzanna ini hadir dengan tajuk Bernapas Dalam Kubur yang disutradarai oleh Anggy Umbara dan Rocky Soraya. Naskah dari film ini ditulis oleh Bene Dion Rajagukguk dan disemarakkan oleh Herjunot Ali, Asri Welas, Ence Bagus, Opie Kumis, dan masih banyak nama terkenal lainnya.


Suzzanna : Bernapas Dalam Kuburbukanlah sebuah remake dari salah satu judul di dalam filmografi milik Suzzanna. Kali ini lebih ke sebuah cerita baru meskipun tetap diadaptasi dari salah satu filmnya terdahulu. Serta memberikan sebuah penghormatan atas karya-karya film yang dibintangi oleh sosok legendaris itu. Tentu, dengan adanya sebuah nama legendaris yang diangkat dalam film ini akan muncul tanggung jawab untuk dihadirkan kepada penontonnya.

Tak bisa dipungkiri, Suzzanna : Bernapas Dalam Kubur adalah sebuah film horo yang tentu saja tak dibuat sembarangan. Segi visual, tentu saja filmini digarap dengan sangat teliti mulai dari tata produksi, tata gambar, hingga tata rias wajah untuk Luna Maya yang mendatangkan langsung orang rusia yang sudah biasa berkecimpung dengan hal tersebut. Hal ini agar Luna Maya bisa secara visual sangat mirip dengan sosok aslinya saat di layar.


Penuturan setiap kisahnya mungkin masih belum sempurna, padahal plot ceritanya sebenarnya begitu sederhana. Menceritakan tentang Suzzanna (Luna Maya) dan suaminya Satria (Herjunot Ali), mereka adalah pasangan yang sangat bahagia. Kebahagian mereka dirasa makin sempurna ketika Suzzanna mengabarkan sebuah berita bahagia kepada sang suami bahwa dirinya sedang mengandung anaknya. Tentu, berita ini membuat mereka bahagia bukan kepalang.

Tetapi, kebahagiaan itu tak berlangsung begitu lama ketika tiga anak buah dari Satria di kantornya ingin merampok rumah mereka karena tak mendapatkan kenaikan gaji seperti yang mereka inginkan. Secara tidak sengaja, Suzzanna memergoki ketiganya sedang memorakporandakan isi rumahnya. Melihat situasi ini, tentu saja membuat ketiga anak buah Satria ini panik dan melakukan tindakan di luar akal sehat mereka. Mereka tak sengaja membunuh Suzzanna dan menguburnya hidup-hidup. Suzzanna bangkit menjadi arwah gentayangan yang ingin balas dendam.


Ekspektasi penonton ketika mendengar kata Suzzanna sontak yang dipikir adalah betapa ngeri dan mistisnya sosok tersebut. Tentu, kembalinya Suzzanna lewat Bernapas Dalam Kubur tentu menjadi sebuah hal yang dinantikan. Tak lain karena penonton zaman sekarang ingin sekali lagi merasakan sensasi ngeri yang muncul dari sosok tersebut. Tentu saja, dengan mudah film ini akan mendapatkan raihan jumlah penonton yang fantastis. Film ini tentu medium yang cocok untuk ditonton ramai-ramai.

Suzzanna : Bernapas dalam Kuburdiawali dengan penggalian cerita yang cukup baik. Membangun simpati penonton agar karakternya terkesan lebih memiliki dimensi untuk cerita selanjutnya. Kedua karakter utama di dalam film ini adalah kuncinya. Interaksi satu sama lain dibuat seintim mungkin agar memiliki kontinuitas yang pas dengan apa yang terjadi di setiap adegan berikutnya. Hanya saja, dengan durasinya yang mencapai 120 menit, pembangunan karakternya itu terasa terlalu panjang.

Sesaat film ini lupa untuk masih memiliki misi sebagai sebuah film horor yang dinantikan oleh penontonnya. Suzzanna : Bernapas Dalam Kubur terlambat untuk menakut-nakuti penonton sehingga penonton mungkin akan bergumam dan menanyakan bagian seram dalam filmnya. Sayang, Anggy Umbara dan Rocky Soraya masih belum bisa membangun atmosfer horor yang kuat. Bahkan, jump scare yang digunakan film ini pun cukup lemah.


Tetapi, tak bisa dipungkiri, ada beberapa cara penyampaian ceritanya yang menarik untuk diikuti. Teror yang dilakukan oleh Suzzanna tak hanya menyerang secara langsung ke fisik manusia tetapi bagaimana karakter Suzzanna yang juga menyerang psikis pelakunya. Hal inilah yang membuat Suzzanna : Bernapas Dalam Kubur masih menyenangkan untuk diikuti apalagi ketika ditonton ramai-ramai dengan yang lain.

Jangan lupakan performa Luna Maya sebagai Suzzanna yang mungkin masih memiliki inkonsistensi dalam setiap adegannya. Tetapi, Luna Maya tentu saja mengerahkan semua performa terbaiknya dan di beberapa adegan masih bisa meyakinkan penonton bahwa dirinya adalah jelmaan sang sosok legendaris yang “bangkit dari kuburnya”. Juga, 3 pemain pendukung yaitu Asri Welas, Ence Bagus, dan Opie Kumis yang berhasil membuat film ini punya sisi komedi yang menyenangkan.


Suzzanna : Bernapas dalam Kuburmungkin masih belum sempurna, penceritaan setiap babaknya masih terbata-bata, apalagi di babak ketiga dari filmnya yang terasa dipercepat karena durasi sudah membengkak. Anggap saja ini adalah film untuk medium senang-senang. Film horor arahan Anggy Umbara dan Rocky Soraya masih bisa mengajak penonton merasakan kehidupan karakter hantunya, tertawa dengan keberadaan pemain pendukungnya, dan merasakan serunya aksi balas dendam di 20 menit akhir filmnya. Mari berharap, jika ada seri lainnya, bisa lebih baik dari ini.

FANTASTIC BEASTS : THE CRIMES OF GRINDELWALD (2018) : Jembatan Seri Baru Yang Rapuh

Kembalinya dunia sihir ditandai dengan Warner Bros menghidupkan karakter Newt Scamander lewat Fantastic Beasts and Where To Find Them yang dirilis pada tahun 2016 lalu. Kisah ini pun juga diangkat dari buku yang ditulis oleh JK Rowling. Pun, di dalam filmnya, JK Rowling juga ikut andil untuk menyajikan kisahnya ke dalam layar lebar lewat naskah yang ditulisnya. Pendapat tentang film ini cukup beragam, ada yang suka karena merasa nostalgia dengan dunia sihir tetapi ada pula yang tak suka karena berbeda dengan seri Harry Potter yang ditulisnya.

Tetapi, film itu hanyalah awal dari 5 seri Fantastic Beasts yang akan dirilis oleh Warner Bros nantinya. Pun, JK Rowling akan tetap ikut andil untuk menuliskan kisah-kisah selanjutnya. Maka di tahun ini, petualangan dunia sihir pun masih berlanjut. Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald adalah tajuk yang diambil untuk judul film keduanya. David Yates tetap melanjutkan tongkat estafetnya untuk mengarahkan film kedua dari petualangan Newt Scamander.

Film pertamanya yang ditutup dengan penyelesaian yang mencengangkan, tentu saja para penikmat film dan dunia sihir ingin tahu seperti apa kelanjutan dari Fantastic Beasts ini nantinya. Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwaldini tentu ditunggu sebagai jawaban atas film pertamanya. Pun, film ini kembali diramaikan oleh beberapa nama mulai Johnny Depp yang menjadi kunci di film ini. Belum lagi kedatangan Zoe Kravitz sebagai salah satu anggota keluarga Lestrange dan tentu saja Jude Law sebagai Albus Dumbledore muda.


Dengan banyaknya hal di dunia sihir milik Harry Potter yang kembali di film kedua dari Fantastic Beasts ini, ternyata tak menjadi jaminan bahwa film ini akan bisa menghibur penontonnya. Atau bahkan menyamai kekuatan film pertamanya –yang setidaknya menghibur sebagai sebuah film blockbuster. Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald datang sebagai film sekuel yang kembali dipenuhi dengan berbagai macam set updan tak benar-benar menjawab pertanyaan yang terbangun di film pertamanya.

Banyak sekali hal yang ingin diceritakan oleh JK Rowling di dalam film keduanya. Sehingga, film ini terasa tumpang tindih di berbagai bagian. Dengan durasi yang mencapai 134 menit, nyatanya hal ini tak cukup ruang bagi JK Rowling untuk menceritakan berbagai kisahnya yang rumit. Banyak problematika yang muncul di film keduanya. Begitu pula, karakter-karakter yang muncul di dalam filmnya hadir dengan urgensi yang tidak cukup kuat.


Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald dimulai dari Grindelwald (Johnny Depp) yang pada awalnya telah ditangkap dan menjadi tahan tiba-tiba melarikan diri. Dia bersama dengan komplotannya mengejar satu nama yaitu Credence (Ezra Miller) yang dianggap memiliki kekuatan yang cukup kuat dan besar untuk berada dengan komplotannya dan menuntaskan apa yang dimau oleh Grindelwald. Tetapi, perjalanan Grindelwald tentu saja tak mudah.

Ada banyak orang yang menghalangi rencana jahatnya salah satunya adalah Newt Scamander (Eddie Redmayne) yang pada awalnya sedang mencari seorang temannya, Tina Goldstein (Katherine Waterston) yang sedang menginvestigasi hal yang sama dengan Grindelwald. Kebingungan Newt Scamander ini menuntunnya kembali ke Hogwarts untuk menanyakan masalah Grindelwald kepada Albus Dumbledore (Jude Law). Mereka pun menyusun rencana untuk menghentikan Grindelwald.


Cerita untuk menghalangi rencana jahat Grindelwald ini menjadi poin utama dari film kedua Fantastic Beastsini. Hanya saja, ada banyak cerita tambahan yang secara tidak sadar mendistraksi bagaimana plot utama dari film ini berjalan dengan seharusnya. Film keduanya sibuk memperbesar Wizarding World dari JK Rowling yang semakin menambah setup dari franchise ini agar tetap berjalan. Sayangnya, David Yates tak bisa mengimbangi konsep besar yang dimiliki oleh JK Rowling di dalam film keduanya.

Konsep besar dalam naskah JK Rowling ini tentu adalah bahan bakar bagi franchise Fantastic Beasts agar tetap berjalan dan memiliki bahasan di setiap serinya. Tetapi, JK Rowling seakan tak mawas diri untuk menceritakan setiap ide yang ada di kepalanya yang ternyata menjadi bumerang bagi presentasi film keduanya. Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald pun menjadi salah satu entry dalam Wizarding World universe yang paling lemah.

Ada banyak cabang cerita yang membuat film ini terasa tak mengerti bagaimana untuk mengawali ceritanya. Dengan banyaknya cabang cerita tentu akan membuat bertambahnya karakter-karakter di dalam film ini yang hanya muncul untuk memenuhi layar tanpa ada cukup alasan yang kuat mereka harus hadir. Berharap saja, karakter-karakter ini akan memiliki ceritanya di seri Fantastic Beasts selanjutnya sehingga tak menjadi sia-sia.


Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald tak memiliki daya magis seperti di film-film Wizarding World lainnya. Film ini hanya berisikan konflik dan membangun cerita yang memiliki tendensi untuk membuat kisahnya menjadi memiliki citarasa film-film Harry Potter. Sayangnya, menjadikan seri ini agar memiliki citarasa magis yang sama dengan Harry Potter ternyata keputusan yang kurang tepat. Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwaldini kehilangan esensinya untuk menceritakan makhluk-makhluk fantastis seperti film pertamanya.

Sehingga, yang tersisa dalam film ini adalah kekuatan visual efek yang membuat penonton cukup kagum dan menikmatinya. Bahkan, keseruan magic adventure di dalam film keduanya ini pun tak sekental film pertamanya. Juga, musik andalan Harry Potter yang menjadi cameo di dalam film ini. Atau mungkin sebuah kejutan di akhir film yang tak sepenuhnya berjalan dengan baik. Sehingga, bagi penonton yang akan menonton film ini, anggap saja film ini hanya sebagai sebuah jembatan baru yang berdiri belum terlalu kokoh jadi perlu hati-hati untuk melewatinya.

 

A STAR IS BORN (2018) REVIEW: Debut Dengan Potensi Yang Terlewat


Berhasil masuk ke dalam nominasi Best Actor di beberapa ajang penghargaan film tak membuat Bradley Cooper lantas berpuas diri. Di tahun ini, Bradley Cooper memberanikan diri untuk mengarahkan sebuah film untuk pertama kalinya. Bradley Cooper memilih untuk mengarahkan cerita yang sudah pernah ada di perfilman Hollywood. A Star Is Bornmenjadi film yang diarahkan ulang oleh Bradley Cooper dan mendapatkan banyak sorotan.

A Star Is Born milik Bradley Cooper ini adalah kali keempatnya judul ini mendapat kesempatan untuk diceritakan ulang. Dimulai dari tahun 1937 yang dibintangi oleh Janet Gaynor, lalu di tahun 1954 yang dibintangi Judy Garland, hingga di tahun 1976 yang dibintangi oleh Barbra Streisand. Belum lagi, A Star Is Born pun pernah diadaptasi ulang oleh perfilman Bollywood. Lantas di tahun 2018 ini, Bradley Cooper memilih Lady Gaga untuk membintangi film debut arahannya ini.

Film ini tentu saja mendapat sorotan karena tak hanya ingin tahu bagaimana Bradley Cooper mengarahkan sebuah film tetapi juga ingin tahu bagaimana Lady Gaga bermain di dalamnya. Tak hanya berperan sebagai pengarah filmnya, Bradley Cooper juga memiliki andil dalam menuliskan naskah dari film ini. Meskipun, naskahnya tak benar-benar murni ditulis sendiri olehnya, Bradley Cooper masih mendapatkan bantuan dari Eric Roth dan Will Fetters.


Dengan kemasan trailer yang menarik, A Star Is Born milik Bradley Cooper ini terlihat punya potensi besar untuk bisa memuaskan penontonnya yang harus akan melodrama dalam sebuah film. Bahkan, beberapa orang menggadang film ini bakal bisa bersaing di beberapa ajang penghargaan film. Dengan segala hype yang ada di luar sana dan trailer yang sangat menarik, A Star Is Born ternyata tak memiliki hal yang spesial untuk dinikmati. Pengarahan dari Bradley Cooper ternyata tak cukup kuat untuk menceritakan ulang kisah yang sudah usang ini.

Secara plot besar, tentu saja A Star Is Born milik Bradley Cooper ini tak punya sesuatu yang baru. Kisahnya pun disadur dari film-film sebelumnya, namanya juga film yang diceritakan ulang. Hanya saja, A Star Is Bornmilik Bradley Cooper ini belum memiliki pengarahan yang cukup kuat. Dengan durasi yang mencapai 134 menit, tentu saja perlu ketelitian dari Bradley Cooper untuk menjaga tensinya di setiap babak. Babak pertamanya memang berjalan cukup memikat meski turbulensinya dalam penuturannya tetap ada. Sayang, semakin bertambahnya menit, A Star Is Bornsemakin hilang daya pikatnya.


Babak pertama dari A Star Is Born dimulai ketika Ally (Lady Gaga), seorang perempuan biasa yang sedang bekerja di bar bertemu dengan seorang bintang bernama Jack (Bradley Cooper). Di pertemuan pertama mereka, Ally sedang menunjukkan kemampuannya bernyanyi. Jack dengan mudah terpesona dengan kemampuan yang dimiliki Ally. Setelah pertemuan itu, Jack dan Ally terasa begitu akrab satu sama lain. Jack sering mengajak Ally untuk datang ke konsernya.

Hingga suatu ketika, Jack benar-benar meminta Ally untuk tampil di salah satu konsernya. Pada awalnya, Ally tidak mengindahkan permintaan tersebut hingga pada akhirnya Ally pun mengiyakan apa yang dimau oleh Jack. Penampilan mereka berdua ternyata memikat penonton, hingga Ally pun dilirik oleh seorang produser musik. Ally pun bangkit menjadi seorang penyanyi terkenal dan menjalani kehidupannya yang penuh liku bersama dengan Jack.


Perjalanan babak pertama dari A Star Is Born ini punya daya magisnya. Penonton merasakan betapa manisnya hubungan antara Jack dan Ally sebagai seseorang yang baru mengenal satu sama lain. Emosi keduanya muncul di beberapa bagian yang penting. Terlebih, ketika keduanya sedang melakukan performance di atas panggung membawakan lagunya yang berjudul Shallow. Daya magisnya muncul dengan baik dan memikat penontonnya. Meskipun dalam penuturannya, babak pertamanya masih sedikit terbata-bata.

Tetapi, perjalanan mereka tak malah membaik di paruh kedua hingga akhir. Pengarahan dari Bradley Cooper sebagai sutradara debut tak cukup kuat untuk menjalankan konflik yang semakin bertambahnya durasi semakin banyak untuk dihadapi. Kurang menampilkan proses berkembangnya Ally dan Jack di paruh kedua inilah yang membuat penonton tak bisa benar-benar bersimpati dengan karakternya. Sehingga, ketika konflik di dalam film ini semakin kompleks, penonton sudah cukup lelah untuk mengikutinya.

Ada banyak perjalanan yang sebenarnya terjadi di antara kedua karakternya. Tetapi, setiap perjalanannya terasa berjalan terlalu cepat untuk bisa membuat penontonnya terpikat dengan pesona kedua karakternya. Proses Ally menjadi bintang terjadi begitu cepat hingga saat Ally sudah menjadi sosok bintang yang karirnya cemerlang, film ini tiba-tiba terasa melambat. Penonton pun tak seberapa ingat seberapa spesialnya Ally hingga bisa lahir sebagai bintang karir yang meroket cepat. Inilah yang membuat A Star Is Born kurang maksimal padahal Bradley Cooper punya potensinya.


Dengan durasi sepanjang 134 menit, A Star Is Born seharusnya bisa memiliki ruang yang cukup untuk pelan-pelan menceritakan yang terjadi dalam proses kehidupan Ally. Begitu pula dalam mengarahkan karakter Jack yang memiliki konflik batin yang cukup menarik untuk diulik lebih lagi. Bradley Cooper berhasil menghidupkan karakter Jack yang hidupnya semakin pelik dengan adanya karir Ally yang semakin disorot oleh banyak pihak. Sayangnya, konflik batin itu tak cukup kuat untuk dirasakan oleh penontonnya.

Di babak penyelesaiannya pun, masih ada banyak subplot yang masuk ke dalam ceritanya. Jack dan Ally mengalami hidup yang semakin pelik ini ternyata cukup membuat lelah untuk diikuti. Hingga dalam penyelesaiannya, kurang memiliki efek emosional yang diharapkan oleh Bradley Cooper ketika tembang I’ll Never Love Again dilantunkan. Hingga yang diingat adalah A Star Is Born memiliki cukup banyak tembang yang bisa dinikmati oleh penontonnya.


Bradley Cooper sebagai sutradara debut untuk film ini terasa seperti kewalahan bagaimana caranya mengemas kehidupan Ally dan Jack yang masalah hidupnya sangat kompleks. Tetapi, Bradley Cooper memiliki sensitivitasnya untuk menghidupkan daya magis karakter dan lagu-lagunya sehingga A Star Is Born masih punya sinar di paruh pertamanya. Sesuai dengan judulnya, Lady Gaga memiliki potensi sebagai seseorang yang lahir sebagai bintang karena performa darinya ini mampu memikat penontonnya dengan baik meskipun filmnya bisa diarahkan dengan lebih baik lagi seharusnya.