• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

1917 (2019) REVIEW: Pesan Tentang Perdamaian Yang Tak Lekang oleh Zaman

 
Sebuah pesan tentang perdamaian mungkin masih akan terus menjadi hal yang memiliki relevansi di kehidupan manusia hingga sekarang.

Apalagi, sedang dalam gencar-gencarnya isu tentang perang dunia ketiga yang sempat muncul dipermukaan. Usaha untuk menghentikan sebuah perang telah terjadi sejak perang dunia pertama di tahun 1910an. Mengetahui adanya relevansi itu mungkin yang mendorong Sam Mendes ingin menyampaikan pesan yang sama lewat sebuah proyek film terbaru yang dia buat.

1917, sebuah film dengan premis sederhana tetapi penuh akan keambisiusan Sam Mendes. Tak hanya dalam menyampaikan pesannya, tetapi juga dalam proses pembuatannya. Film ini pun telah meraih beberapa nominasi Academy Awards salah satunya menjadi Best Pictures. Bahkan, sedang digadang menjadi frontrunner untuk membawa pulang piala. Bagaimana tidak didukung oleh banyak pihak, film ini menggunakan ilusi agar sepanjang 120 menitnya terasa hanya dalam satu shot utuh agar terasa lebih nyata.


Yang dilakukan oleh Sam Mendes di film 1917 tentu bukan tentang menceritakan sebuah kisah yang penuh intrik. Sebuah kisah sederhana tentang bagaimana perang akan dihentikan saja sudah cukup. Maka dari itu, 1917 punya plot cerita yang sangat sederhana. Tentang dua orang tentara yang mengabdi untuk negaranya bernama Schofield (George McKay) dan Blake (Dean-Charles Chapman). Mereka mendapatkan perintah dari sang atasan, General Erinmore (Colin Firth) untuk memberikan sebuah pesan.

Pesan sederhana untuk menyuruh sejumlah pasukan untuk menghentikan serangan yang akan mulai menyerang musuh di sebuah daerah. Tetapi, Schofield dan Blake diburu oleh waktu ketika harus  menyampaikan pesan tersebut kepada Colonel Mackenzie (Benedict Cumberbatch), yang memimpin pasukan tersebut. Karena sejatinya apabila pesan tersebut terlambat untuk disampaikan, maka peperangan yang jauh lebih besar akan segera terjadi.


“Time is the enemy”

Sebuah tagline dari film ini yang mungkin menggambarkan sebagian besar dari film 1917. Tentang bagaimana dua karakter ini berusaha untuk menyampaikan pesan lewat keterbatasan waktu yang juga memburu mereka. Karena dalam sebuah pesan terdapat konteks yang perlu diperhatikan, baik tentang waktu atau pun keadaan yang mempengaruhi pesan tersebut. Nantinya hal itu akan berpengaruh pula terhadap relevansi pesan yang akan diterima.

Bagaimana pesan yang dibawa oleh kedua karakter dalam film 1917 memiliki peran penting dan bahkan bisa mengubah segalanya dalam sebuah peperangan. Maka dari itu, bisa dibilang bahwa event atau pesan yang dibawa inilah pemeran utama dari film ini. Tahu kapasitas dalam filmnya inilah yang menjadi kekuatan bagi Sam Mendes dalam mengarahkan film terbarunya ini.

Maka dirinya menitikberatkan pada bagaimana ceritanya bisa tersampaikan. Bagaimana tujuan dalam film 1917 yang sederhana ini bisa diracik menjadi sesuatu yang luar biasa. Sehingga, bukan ensemble casts-nya yang menjadi peran utama, tetapi bagaimana Sam Mendes mengkombinasikan segala hal teknis dalam film ini digabung dengan pesan apa yang ingin disampaikan dalam filmnya yang menjadi bintang utama dari filmnya. 


Meski ‘sang pesan’ adalah sang pemeran utama, tetapi penonton tetap bisa menaruh simpati kepada pemainnya. George MacKay bisa menaruh urgensi dalam karakternya untuk hadir dan merasakan suasana tragedi di perang dunia pertama yang terjadi. Hal ini tetap dirasa penting oleh Sam Mendes agar filmnya tetap terasa hangat dan Indah. Bukan hanya sebuah tempat bagi dirinya untuk melakukan eksperimen untuk mengarahkan teknis-teknis utama yang memang menjadi keunggulan dari filmnya. Sehingga, ketika dirasa tepat, ada satu adegan yang bisa membuat penonton ikut merasakan sensasi investasi emosi tentang melepaskan, kemenangan, dan bahkan kehilangan.

Sinema adalah sebuah trik sulap pertama yang ada di dunia dan film ini mampu menjelaskan hal itu. 1917 sebagai sebuah film perang berhasil menyodorkan trik sulapnya. Dengan memberikan ilusi kepada penonton sehingga suasana konfliknya terasa begitu nyata. One Continuous-Shot adalah triknya dan seakan seperti seorang pesulap asli, Roger Deaking mampu mengelabui dan mampu membuat penontonnya terperangah.

Trik sulapnya mampu membuat film 1917 dengan durasi 120 menit ini hanya seperti diambil dalam sekali take saja. Tetapi, tanpa visi yang kuat dari Sam Mendes, mungkin film 1917 ini hanyalah sebuah film penuh ambisi yang tak memiliki hasil sekuat ini. Sam Mendes berhasil mengolah film ini sehingga begitu terasa nyata. Musik milik Thomas Newman yang menghidupkan atmosfir mencekamnya dan tata set produksi yang juga berhasil menyakinkan penontonnya.


Jika dibilang film ini akan menjadi frontrunner di ajang Oscars tahun ini, tentu tak akan kaget. Selain bagaimana film ini dibuat dengan hati, pesan dari film ini pun jelas mewakili. Bagaimana pesan tentang perdamaian masih saja menjadi hal yang memiliki relevansi hingga kini.

Meski waktu adalah “musuh” di dalam film ini, tetapi pesan yang digaungkan oleh film 1917 ini tak akan pernah lekang diburu waktu. Sebuah film dengan setting perang dunia satu yang dibuat di masa kini ini berhasil menjadi sebuah karya klasik instan dan patut mendapatkan apresiasi. Sebuah pencapaian teknis yang mungkin akan jarang lagi terjadi di dalam dunia sinema terkini. Segera tonton di bioskop terdekat dengan layar besar dan tata sound system yang terbaik karena film ini luar biasa sekali!

UNDERWATER (2020) REVIEW: Masih Terjebak dalam Palung Samudra Terdalam

Menyelamatkan diri dari sesuatu bencana besar karena ulah manusia.

Bila diperhatikan premis ini mungkin sudah terasa biasa saja. Entah dengan setting mana pun dan bahkan karena alasan apa pun. Premis ini pula yang mau diangkat di film terbaru milik Kristen Stewart ini. Setelah beradua acting dengan cukup menarik lewat film Charlie’s Angels, awal tahun ini Kristen Stewart hadir lewat film Underwater.

Brian Duffield dan Adam Cozad berperan untuk menuliskan kisahnya selama 95 menit. Serta, William Eubank menjadi pemegang kendali utama untuk mengeksekusi naskah yang sudah ditulis oleh mereka. Dimeriahkan pula dengan beberapa nama seperti Jessica Chanwick, John Gallagher Jr. hingga sutradara Deadpool, T.J. Miller. Tak ada nama besar, karena memang kekuatan dari film ini berada di Kristen Stewart. Tak hanya sebagai nilai jual saja, tetapi juga secara untuk keseluruhan filmnya.

Selain menyelamatkan dirinya dari bencana yang terjadi di dasar laut, sesungguhnya Kristen Stewart juga perlu untuk menyelamatkan dirinya agar tak terjebak dengan film-film blockbuster yang generik. Atau bahkan, mensia-siakan potensi aktingnya yang gemilang. Karena yang sesungguhnya terjadi di film Underwater, performa Kristen Stewart lah yang bisa diunggulkan. Banyak sekali potensi untuk tontonan encekam, tetapi Underwatermalah memutuskan dirinya menjadi sebuah film yang semua tensinya serba diredam.


Diawali dengan sebuah tim yang sedang melakukan riset di bawah laut terdalam. Cerita diawali dengan narasi milik Norah Price (Kristen Stewart) yang sedang mempertanyakan hidupnya. Ketika dirinya merasa tak lagi merasakan apa-apa di bawah laut. Tetapi, setelah itu kejadian besar datang dalam kehidupan Norah. Sebuah gempa besar terjadi di tempat riset milik Norah dan timnya sehingga membuat tempat tersebut luluh lantak.

Mereka tentu berusaha untuk menyelamatkan diri dan berusaha untuk mencapai permukaan air laut. Tetapi, mereka harus ke pergi ke sebuah tempat yang berada di tempat yang jauh agar bisa selamat. Selama perjalanan, tak hanya mereka harus berjuang agar bisa sampai ke tempat tersebut dan menuju ke permukaan air saja. Tetapi, ada sesuatu lain yang mengejar mereka sehingga mereka benar-benar dalam keadaan terancam.


Sayang, keadaan terancam yang seharusnya bisa muncul dalam film Underwater ini tidak benar-benar terlihat. Tak dirasakan sama sekali tensi dari pengarahan William Eubank di film ini. Sehingga, tak ada urgensi yang cukup kuat untuk dirasakan penontonnya agar bersimpati kepada semua cerita yang berusaha disampaikan dan bahkan kepada setiap karakternya. Yang berusaha disampaikan oleh William Eubank adalah penyaduran beberapa film dalam genre-nya.

Ada yang berusaha untuk memberikan tribute untuk beberapa filmnya. Berusaha bahkan untuk menduplikasi apa yang dibuat oleh Ridley Scott dalam film Alien. Dari bagaimana film ini mencoba meniru set design karakter creature-nya hingga bagaimana film ini berusaha untuk membangun atmosfer horornya secara perlahan. Sayang, hal-hal yang berusaha untuk diterapkan di film ini malah belum punya pengarahan yang matang.

Ya, seharusnya ada banyak sekali potensi-potensi yang bisa digali dalam Underwater ini. Sebagai sebuah film thriller-survival, film ini tak berusaha mencekam penontonnya. Hingga film ini beralih ke sebuah creature feature yang juga tak punya identitasnya sendiri. Bahkan, terror sang musuh pun tak benar-benar ada di dalam film ini. Benar apabila Underwater ternyata malah menjadi tersesat dan terjatuh dalam palung terdalam di sebuah lautan atau Samudra. Padahal, bisa saja 94 menit film ini bisa benar-benar mengikat penontonnya.

Setidaknya, Kristen Stewart masih punya charisma yang kuat sebagai sebuah pemeran utama di dalam film ini. Tetapi, karakterisasi dalam naskah film ini juga belum kuat. Sehingga, problematika dari karakter yang diperankan oleh Kristen Stewart ini ternyata belum tentu bisa menarik perhatian penonton untuk bersimpati. Padahal, sejak awal film ini dimulai pun, narasi film sudah dimulai dari sudut pandang karakter ini.

Memang, Underwaterpunya banyak sekali potensi untuk menjadi sajian yang mencekam sepanjang durasi. Tetapi, apa boleh buat, usaha film ini untuk melesat naik menyelamatkan dirinya menuju permukaan dengan penuh harapan harus pupus begitu saja. Sebelum berhasil selamat, film ini sudah tenggelam duluan.


BOMBSHELL (2019) REVIEW: Sebuah Realita tentang Ketidakadilan Perempuan sebagai Pekerja Media

Pernah dalam sebuah kelas saat kuliah tahun 2015 lalu kalau tidak salah ingat. Seorang Dosen memberikan pertanyaan tentang bagaimana perempuan diperlakukan dalam sebuah media mereka bekerja. Berbeda atau tidak?

Dan dibuatlah menjadi sebuah tugas untuk menanyakan hal itu ke pekerjanya langsung. Temuan yang didapat adalah pekerja yang saya wawancara merasa bahwa tidak ada perbedaan. Bahkan, sang bos bilang bahwa dirinya sebagai perempuan adalah keuntungan bagi perusahaan. Soalnya, perempuan identik dengan kerjanya yang lebih teliti. Lantas, sang dosen malah berbalik tanya. “Lalu, bukankah statement dari bosnya itu malah membuat dirinya malah dibedakan? Harusnya, kamu tanya lagi lebih detil.”

Sejenak aku tertegun dan terdiam. Apa iya itu malah sebuah diskriminasi gender dalam pekerja media?


Pernyataan dosen ini kembali teringat di memori aku saat menonton Bombshell yang disutradarai oleh Jay Roach. Iya, film ini terinspirasi dari kisah nyata tentant 3 perempuan yang sedang bekerja di perusahaan media terbesar di Amerika sana. Dibintangi oleh 3 aktris utama dengan performa yang luar biasa, Charlize Theron, Nicole Kidman, dan Margot Robbie. Mereka benar-benar menghidupkan film dengan performanya yang luar biasa.

Film ini menceritakan tentang bagaimana 3 perempuan yang sedang bekerja di media yang menemukan banyak masalah dalam prosesnya berkarir. Megyn Kelly (Charlize Theron), Gretchen Carlson (Nicole Kidman), dan Kayla Pospisil (Margot Robbie) adalah salah tiga pekerja media perempuan yang mengalami diskriminasi dalam perjalanannya. Mereka memang sudah cukup punya nama dalam yang besar saat bekerja. Tetapi, dalam prosesnya banyak hal-hal keji yang dilakukan oleh petingginya, Roger Ailes (John Litgow) yang ternyata malah memanfaatkan mereka.


Tetapi, tentu mereka hanya bisa diam atas tindakan semena-mena yang didapatkan. Faktor kuasa yang bisa menyebabkan apa yang sudah mereka bangun selama bertahun-tahun berkarir bisa hancur begitu saja dalam sekejap. Hingga suatu ketika, Gretchen sudah merencanakan untuk menuntut keadilan atas tindakan tak wajar yang dilakukan oleh Roger kepadanya. Mulai dari sinilah, perjuangan para pekerja perempuan dalam media dimulai.

Terkadang sebuah peristiwa yang sudah biasa terjadi dan terus menerus terulang akan menjadi sebuah ‘budaya’ yang akan dengan mudah dianggap lumrah oleh banyak orang. Praktik-praktik kerja media yang terkadang suka mendiskreditkan perempuan ini seakan menjadi hal yang wajar dan sering dilakukan. Hal inilah yang membuat perempuan itu sendiri seakan tak sadar bahwa mereka sedang dilecehkan. Merasa laki-laki telah memberikan panggung pada perempuan sehingga saling menyalahkan terhadap perempuan lainnya karena dianggap terlalu terbawa perasaan.

Ya, hal ini tergambar jelas lewat mise-en-sceneyang dihadirkan dalan film Bombshell. Memperlihatkan di satu adegan penting di mana, hal itu menunjukkan ketidakselarasan antara apa yang diucapkan oleh para perempuan dengan apa yang mereka hadapi dalam realitanya. \

Hal itu adalah saat sosok Perempuan sedang berusaha mendukung Roger Ailes dan merasa bahwa dirinya tidak pernah dituntut untuk mengenakan pakaian yang mini. Tetapi, saat sedang menyatakan hal tersebut di depan temannya, dirinya sedang mendapatkan kritik dari seseorang bahwa baju yang dirinya kenakan saat itu juga dirasa kurang tepat untuk tampil di televisi. Serta, masih banyak adegan yang menunjukkan pengorbanan wanita untuk bisa tampil di televisi. Contoh kecil seperti tumit yang lecet karena memakai sepatu hak tinggi setiap saat.

Inilah yang menarik untuk didiskusikan. Ketika para pekerja perempuan media itu menunjukkan bahwa masih ada kesetaraan di dalam pekerjaannya. Tetapi, secara langsung, adegan tersebut juga mempertunjukkan bahwa masih ada banyak tuntutan dan apa yang harus diperhatiakan oleh perempuan dan tubuhnya untuk bisa tampil di media tersebut. Ini semua karena Roger Ailes sebagai laki-laki yang memegang kendali. Lagi-lagi, praktik male gaze, sebuah pandangan dari laki-laki, sedang berusaha dilakukan.


Hal ini tentu mendukung pernyataan dosen saya kala itu yang berusaha skeptis tentang praktik kesetaraan oleh pekerja perempuan dalam suatu media dalam realitanya. Apa iya pernyataan bos tentang pekerjaan perempuan yang lebih teliti itu adalah sebuah pujian dan afirmasi. Atau hal itu malah menunjukkan bahwa ada praktik stereotypical dari subjektivitas laki-laki terhadap perempuan?

Menarik untuk didiskusikan lebih dalam. Bombshell tentu bisa menjadi medium untuk diskusi atas representasi permasalahan yang mungkin saja masih relevan dengan budaya media saat ini.

Tetapi mungkin, sebagai sebuah film itu sendiri, Bombshell terlalu menggebu-gebu dalam emenuturkan isunya yang sangat menarik. Perempuan dan diskriminasi atas apa yang dilakukannya adalah poin utama dalam film ini. Tetapi, semuanya ingin berusaha dirangkum. Sehingga, ada beberapa bagian yang terasa masih perlu banyak waktu untuk diolah. Ceritanya yang terkadang tidak runtut, hingga turn over konflik yang terlalu cepat terjadi.

Mungkin, itulah kelemahan Jay Roach dalam mengarahkan film ini. Naskah yang rumit dari Charles Randolph ini mungkin tak sepenuhnya bisa tersampaikan. Bahkan, akan ada cita rasa yang sama persis seharusnya seperti The Big Short.
 

Beruntung, film ini punya “3 srikandi” yang kuat dan mendukung 109 menitnya (Ya, versi Indonesia. Ada mungkin 9 menit terpotong.)

Charlize Theron adalah hal terkuat yang ada di dalam film ini. Performanya sebagai pekerja perempuan tangguh seperti Megyn Kelly dengan mudah meyakinkan penontonnya. Begitu pula dengan Nicole Kidman sebagai Gretchen Carlson dan Margot Robbie yang berhasil memperlihatkan betapa ambisiusnya karakter Kayla dalam film ini. Semuanya padu padan dan cukup membuat kekurangan dalam film ini sedikit terobati.

Bombshell memang tak sempurna, tetapi isunya sedang menjadi relevansi di berbagai belahan dunia. Sebagai medium berdiskusi? Tentu saja. Film ini sedang berusaha realita tentang praktik diskriminasi yang sering terjadi kepada perempuan sebagai pekerja media. Karena keadilan terhadap wanita ternyata masih fiktif belaka.

IP MAN 4: THE FINALE (2019) REVIEW: Babak Terakhir yang Tak Spesial dari Master Wing Cun


Bagi penggemar Donnie Yen, salah satu karakter yang menancap adalah saat dirinya sedang berperan sebagai IP Man.

Ya, karakter Ip Man sangat melekat dan filmnya pun sudah banyak penggemar. Dari seri pertama hingga tahun 2019 ini memasuki ke babak ke empat. Sekaligus, ini adalah seri terakhir dari kisah Ip Man yang terkenal sebagai master bela diri Wing Chun ini. Tetap disutradarai oleh Wilson Yip, Ip Man 4: The Finale ini digunakan sebagai kisah pamungkas untuk menutup kisahnya.

Lalu, bagaimana kisah ini diakhiri? Dimulai dari Master Yip (Donnie Yen) yang sedang divonis dokter terkena penyakit kanker. Tentu, hal ini sangat membuat dirinya terpukul dan ingin melakukan sesuatu di sisa-sisa hidupnya. Apalagi, dirinya memiliki satu anak laki-laki satu-satunya yang ternyata baru saja dikeluarkan dari sekolah karena sering membuat kegaduhan. Tentu, masa depan sang anak menjadi prioritas dari Master Yip.

Maka dari itu, terbanglah dirinya ke Amerika untuk mencari tahu sekolah-sekolah yang cocok untuk sang anak. Tetapi, perjalanan Master Yip tak semudah itu. Ada banyak konflik yang terjadi setibanya dia di Amerika. Apalagi di sana sedang sering sekali terjadi aksi rasisme terhadap keturunan Tiong Hoa yang menyebabkan hidup mereka di sana benar-benar tidak nyaman dan mengalami ketidakadilan.


Iya, Ip Man 4: The Finalemembahas isu yang seserius itu di dalam filmnya. Tetapi, tentu ini tetap saja film Ip Man yang tak mungkin akan membahas hal itu dengan sesuatu yang serius pula. Ip Man 4: The Finale mungkin lebih sederhana dalam penceritaannya. Bahkan terkadang terlalu menyedarhanakan konfliknya. Dalam 109 menit milik Ip Man 4: The Finale ada banyak cabang-cabang cerita yang muncul untuk dimasukkan ke dalam film ini.

Naskah yang ditulis oleh Hiroshi Fukazawa dan Edmond Wong ini terasa tumpang tindih saat memasukkan ceritanya. Terasa bahwa masih ada banyak kisah-kisah dari master Yip yang ingin disampaikan. Hanya saja, ini adalah kesempatan terakhir dari mereka untuk menceritakannya. Akhirnya, Wilson Yip pun seakan bingung bagaimana untuk menerjemahkan setiap konklusi yang dari setiap konflik yang telah disampaikan di dalam filmnya.


Ada yang benar-benar diselesaikan, ada yang benar-benar dilupakan.

Mungkin konflik kecil itu niatnya akan digunakan sebagai pemicu akumulasi konflik di bagian klimaksnya. Tetapi, pionnya terlalu lemah dan terlalu prematur untuk dijadikan sebagai penguat filmnya. Jadi, ada banyak sekali alasan yang terkadang akan membuat dahi mengkerut. Atau bahkan, dilupakan begitu saja konklusinya agar tak terlalu lama.

Ya, itu ada benarnya juga sih. Karena apalah film-film Ip Man kalau terlalu fokus dalam ceritanya dan melupakan Wing Cun fighting sequences-nya. Meskipun, skalanya tak sebesar dua film pertamanya, tetapi yang keempat ini masih cukup seru untuk dilihat. Tak ada yang istimewa sebenarnya, tetapi setidaknya hal itu masih menjadi daya tarik untuk menyelesaikan menonton film ini.

Tentu, tujuan dari Ip Man 4: The Finale bukanlah menjadi sajian superior dalam kelas penuturan cerita. Menjadi film yang bisa dinikmati saja selama 109 menit ini saja sudah lebih dari cukup. Menonton film seperti ini tentu harus bisa menaruh ekspektasi seperti apa ketika masuk di dalam bioskop. Karena yang ditawarkan di film ini tentu saja bukan hal yang baru dan tak bertahan lama dipikiran penontonnya.


Ip Man 4: The Finale cukup memiliki amunisi untuk memenuhi kesenangan sementara untuk penontonnya. Selain fighting sequences, adegan tribute di menuju akhir film ini juga menjadi salah satu kekuatannya. Bagi penonton yang sudah menghabiskan waktu dan tenaga menonton semua seri film ini, tentu akan merasakan tanjakan emosional berkat formula nostalgianya.

Ya, sebagai penutup, mungkin ini pentutup yang rasanya kurang spesial. Formula ceritanya sama, bahkan fighting sequences-nya juga tak semegah di dua film pertamanya. Tetapi, buat kamu yang memang sudah mengikuti film ini dari awal. Rasanya mungkin kurang afdol jika melewatkannya begitu saja. Tonton saja, yang penting ekspektasinya juga dijaga ya.

NANTI KITA CERITA TENTANG HARI INI (2020) REVIEW: Surat Cinta untuk Memanusiakan Manusia


Mengangkat sebuah buku yang berisikan kata-kata mutiara jadi sebuah film? Gimana caranya, ya?

Sebuah pertanyaan yang mungkin persis ada di benak orang. Ketika tahu bahwa buku Marchella FP berjudul Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini akan diadaptasi ke layar lebar. Menarik? Iya, karena ingin tahu apa yang bisa diangkat dari kata-kata itu. Lalu, apalagi? Rumah produksi Visinema Pictures yang menangani film ini. Bahkan, Angga Dwimas Sasongko pula yang menangani langsung adaptasinya. Dibantu oleh Jenny Jusuf untuk meracik ceritanya dalam sebuah naskah utuh untuk filmnya.

Pemain-pemainnya pun menyegarkan. Ada Rachel Amanda dan Sheila Dara Aisha. Masih ada pula Rio Dewanto, Donny Damara, hingga Susah Bachtiar yang ikut andil dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Bukan menjadi sebuah film tentang seseorang, tetapi Visinema, Angga, dan Jenny membuat film ini menjadi sebuah film tentang keluarga. Tetapi, menariknya tetap bisa mengulik satu persatu anggotanya secara personal.


Kisah ini dimulai dari sebuah keluarga kecil yang mungkin terlihat sangat sempurna. Angkasa (Rio Dewanto), Aurora (Sheila Dara Aisha), dan Awan (Rachel Amanda), mereka adalah tiga bersaudara dari keluarga milik Ayah Rendra (Donny Damara) dan Ibu Ajeng (Susan Bachtiar). Mereka seakan menjalankan perannya masing. Sebagai seorang Ibu, Ayah, Kakak, dan adik. Dunia mereka berputar porosnya pada sosok Awan, sang anak bungsu.

Tetapi, siapa sangka, Awan yang selalu menjadi perhatian semua keluarganya ternyata tak suka dengan hal itu. Hingga, ada sebuah kejadian kecil terjadi dan membuat Awan mulai memberontak akan hidupnya yang selalu tak punya pilihan. Bertemulah dia dengan seorang bernama Kale (Ardhito Pramono) yang mungkin ia kagumi. Karena Awan merasa kehidupan Kale adalah kehidupan yang dirinya ingini. Menentukan pilihannya sendiri.


Setiap keluarga punya rahasia. Sebuah tagline dari film ini yang mungkin cukup mewakili apa yang terjadi di dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Ada perasaan terpendam dalam setiap karakternya yang mungkin tak ingin disampaikan kepada satu sama lain. Hal itu demi menjaga kebahagian yang terlihat utuh dalam sebuah sistem bernama keluarga.

Bukan hanya dalam karakternya, tetapi juga dengan bagaimana film ini dikemas. Keputusan Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini menggunakan alur maju mundur pun tentu punya alasan. Ada rahasia pula yang berusaha disimpan oleh Angga Dwimas Sasongko dan Jenny Jusuf untuk menyampaikan ceritanya. Menuturkan kisah yang penuh akan konflik seperti ini harus dibutuh penangan yang lebih hati-hati dalam penulisan skenarionya ataupun dalam pengarahannya.

Bila tidak, tentu saja akan dengan mudah membuat film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Inimenjadi sebuah kisah yang penuh akan dramatisasi berlebihan. Angga Sasongko tentu tahu akan risiko itu dan benar-benar menjauhkan paradigma itu ke dalam karya terbarunya. Boleh dibilang, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini benar-benar menjadi karya yang sangat matang dan bahkan berbeda dibanding dengan karya Angga yang lainnya.

Ada emosi yang berusaha diredam, ada kesabaran yang berusaha ditanam. Sehingga, ketika dalam sebuah momen yang dikira tepat, film ini punya pay off yang benar-benar setimpal dengan semua usaha Angga.


 “Sabar, satu persatu”

Sebuah kalimat yang ada di dalam buku dan juga filmnya dan ternyata diimplementasikan persis di dalam proses pembuatan filmnya. Sehingga, film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Iniberhasil menyampaikan pesannya dan memenuhi tujuannya. Mengajarkan penonton untuk sabar mengetahui apa rahasia yang tersimpan di dalam keluarga kecil ini.

Konflik setiap anggota keluarnya terasa pelik, tetapi semua menarik untuk dikulik. Yang menarik adalah setiap karakterny bisa punya ciri khasnya masing-masing. Semua ansembel aktingnya bisa meyakinkan penonton bahwa mereka adalah sebuah keluarga yang nyata Mudah bagi penonton untuk terkoneksi dan menaruh simpati karena ada kedekatan yang dibangun oleh karakter-karakternya.

Awan, Aurora, Angkasa, bahkan Kale adalah kita semua. Yang sedang mencari jati dirinya, mencari apa yang harus dirasa saat sebuah problematika datang dalam hidupnya. Yang berbeda hanyalah saat kamu harus menentukan untuk berada di posisi karakter mana yang sesuai. Itu semua bergantung referensi dan pengalaman masing-masing penontonnya.


Permainan simbol dalam mise-en-scenenya pun begitu subtle. Tak perlu secara harafiah tapi memiliki makna dan memainkan emosi penontonnya. Satu yang diingat, ketika adegan Awan di rumah sakit sedang membela kakaknya yang sedang dimarahi sang Ayah. Dunia yang selalu berporos pada sosok tertua dan termuda di rumah hingga melupakan si anak tengah. Hal ini tergambar dengan bagaimana  Aurora terlihat blur di tengah adegan yang dibuat oleh anggota keluarganya. Menandakan bahwa sang anak tengah yang selalu jadi bayang-bayang. Ada, tapi kadang tak dianggap.

Akumulasi emosi lewat bahasa gambar dan dialog yang rapi tanpa perlu meluap-luap di dalam film ini seakan menjadi pembeda dengan karya Angga Dwimas Sasongko sebelumnya. Sehingga, pengarahannya di film ini terasa personal, tulus, dan jujur. Seakan menjadi surat cinta atau kapsul waktu dari sang sutradara kepada penontonnya untuk selalu ingat agar memanusiakan manusia. Yang punya hati, yang punya rasa.

Iya, sebagai film pembuka di tahun 2020 ini, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini adalah sebuah sajian yang terasa hangat. Dibuat dengan hati-hati, memenuhi ekspektasi, dan menjadi kontemplasi diri.