• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

PAWN (2020) REVIEW: Kisah Keluarga Tak Utuh yang Bikin Air Mata Jatuh

Korea dan film drama tentang keluarga selalu mencuri perhatian. Negaranya yang masih berada di kawasan Asia ini membuat penonton Indonesia masih bisa terasa dekat dengan kisah yang ditawarkan. Masih ada kedekatan budaya Korea yang masih relatable bagi penonton Indonesia. Maka dari itu, penonton Indonesia dengan mudah terkoneksi. 

Kedatangan sebuah trailer dari film keluarga terbaru berjudul Pawn produksi CJ Entertainment ini seakan menjadi magnet bagi penggemar film Korea bertema keluarga. Apalagi, ada nama Sung Dong-Il yang sudah terbiasa bermain di film-film bertema serupa. Film ini garapan Kang Dae-gyu ini juga dibintangi oleh nama-nama terkenal seperti Kim Hee-Won hingga Ha Ji-Won. Bukan kali pertama Kang Dae-gyu mengarahkan sebuah film drama tentang dysfunctional family. Film berjudul Harmony juga adalah film yang diarahkan olehnya.

Sehingga, tak salah apabila Kang Dae-gyu sudah tahu bagaimana mengolah emosi untuk mengantarkan kisah keluarga tak utuh dari film Pawn ini. Dengan mudah bagi Kang Dae-gyu mengetahui ritmenya mengantarkan kisah dari filmnya untuk bisa membuat penontonnya bersimpati dengan para karakternya. Inilah yang penting karena bagaimana film Pawn ini mengajak penontonnya untuk mengikuti perjalanan hidup karakternya yang sedang berkembang dalam durasinya sepanjang 115 menit.

Karakter-karakternya bertemu dalam setting tahun 1993, di mana Doo-Seok (Sung Dong-Il) adalah seorang debt collector yang memiliki rekan kerja bernama Jong Bae (Kim Hee-Won). Mereka menjalankan tugas mereka untuk menagih orang-orang yang berhutang di perusahaan tempat dia dikerjakan. Hingga akhirnya, dia menagih kepada seorang Ibu bernama Myung Ja (Yunjin Kim). Dia memiliki satu orang anak bernama Seung Yi kecil (Park Seo-Yi).

Myung Ja belum bisa membayar hutangnya karena sang suami kabur dengan wanita lain. Hal ini semakin membuatnya bingung karena keesokan harinya, Myung Ja harus dideportasi dari Korea karena dia tak memiliki izin tinggal di sana karena dirinya berasal dari China. Karena tidak bisa membayar, akhirnya Doo-Seok menggunakan Seung Yi sebagai jaminan. Myung Ja pun harus memutar otak untuk bisa menebus anaknya dan hidup bersamanya.

Perjalanan untuk mengantarkan ceritanya dengan setting jadul hingga masa kini pun tak diantarkan dengan lurus saja. Kang Dae-gyu berusaha bermain dalam penuturannya sehingga adegan pembukanya pun sudah diperlihatkan bagaimana Seung Yi dewasa yang mencari tahu tentang seseorang di masa lalunya. Adegan ini akan dengan mudah memancing rasa penasaran penonton. Karena masa lalu dari seorang Seung Yi ini memiliki banyak pengertiannya.

Seiring dengan berjalannya durasi film Pawn ini berjalan, barulah penonton akan menemukan sebuah benang merah tentang apa yang dia cari. Hingga pada satu momen penting di paruh ketiga dari film ini, Pawn berjalan dari kisahnya yang hangat dan menyenangkan menjadi sesuatu yang mengoyak hati penontonnya. Mungkin penonton yang sudah paham benar dengan film bergenre serupa akan sudah bersiap-siap dengan apa yang terjadi di paruh ketiganya.

Tetapi, tetap saja, penontonnya juga tak bisa mengelak segala perasaan emosional yang terjadi dalam revealing conflict di film Pawn ini. Terutama, Kang Dae-Gyu Sudah mengajak penontonnya untuk bisa terhubung ke setiap karakternya. Dari segala jatuh Bangun, perubahan, hingga perkembangan yang ada. Dari Doo-Seok yang berusaha tak tahu harus handle karakter Seung Yi. Hingga akhirnya, ikatan emosi itu terjalin hingga akhirnya mereka berdua seakan seperti ayah dan anak kandung meskipun tak memiliki hubungan darah.

Bahkan, Pawn juga sempat menggunakan subplot yang sedikit kelam tentang human trafficking yang marak terjadi di Korea. Tetapi, meski berada dalam kisahnya yang kelam, film Pawn tetaplah sebuah drama keluarga yang sangat hangat. Bahkan, baru saja berjalan di paruh pertama filmnya saja, air mata penonton sudah diundang untuk ikut serta ke dalam filmnya. Lalu, ditutup manis dengan satu quote penting yang merujuk ke judul filmya dan menjadi punch emosi utama dalam filmnya. 

Pawn, lagi-lagi menjadi entry dalam film drama keluarga asal Korea yang sangat emosional dan wajib ditonton. Siapkan diri dan pasrah saja dengan segala emosi yang disampaikan di film ini. Sekedar saran, sedia tisu aja.

Kamu bisa tonton film ini lewat aplikasi GoPlay dengan harga rental per filmnya sebesar Rp35.000.



PROMISING YOUNG WOMAN (2020) REVIEW: Promising Debut From New Director

“I was busy thinking ‘bout boys.”

Opening dimulai dengan lagu milik Charli XCX berjudul Boys terdengar dengan setting di dalam sebuah club penuh gemuruh pesta. Shot kamera diarahkan kepada segala lekuk tubuh laki-laki hingga ke bagian personalnya. Seakan film ini memperjelas ke mana film ini ditujukan dan diarahkan. Apabila, seringnya laki-laki menggunakan point of view mereka dalam mengarahkan kameranya kepada perempuan. Kali ini, laki-laki lah yang mendapatkan treatment yang sama.


Begitulah adegan pembuka dari Promising Young Woman yang seakan mempertegas bagaimana film ini nantinya akan berlanjut. Dari bagaimana pengambilan gambar saja sudah jelas bahwa film ini akan menyorot tentang perempuan dan balas dendam. Bagaimana perempuan juga punya kekuatan yang sama untuk memperlakukan laki-laki dengan cara yang sama. Sehingga, di 115 menit ke depan, persoalan dari film ini juga akan membahas tentang perempuan dan problematikanya dengan society yang ada.


Promising Young Woman ini diarahkan oleh Emerald Fennell yang juga seorang perempuan. Tak hanya sebagai sutradara, tetapi dirinya juga memiliki kendali untuk menuliskan naskah filmnya. Dalam penulisan cerita, dirinya sudah memiliki jam terbang lewat serial Killing Eve. Tetapi, dalam mengarahkan sebuah film layar lebar dan menulisnya, ini adalah kali pertama untuk Emerald Fennell. Tetapi, lewat adegan pembuka saja, film ini sudah banyak menaruh perhatian.



Film ini juga dibintangi oleh Carey Mulligan yang berperan sebagai Cassie, sang pemeran utama di dalam film ini. Diramaikan juga oleh beberapa nama lain mulai dari Bo Burnham, Laverne Cox, Clancy Brown, Jennifer Coolidge, hingga Alison Brie dan Max Brody. Nama-nama ini berperan sebagai pendukung karakter utamanya untuk bersinar. Diperkuat dengan performa Carey Mulligan yang tak terhentikan, Promising Young Woman menjadi film balas dendam yang sangat menarik untuk diikuti.


Ini adalah kisah tentang seseorang bernama Cassie (Carey Mulligan), perempuan yang pernah mengenyam pendidikan kedokteran ini bekerja di sebuah coffee shop kecil di usianya yang memasuki 30 tahun. Tetapi, dia memang sedang berusaha menikmati hidupnya sendiri. Selain itu, dia juga memiliki misi dalam hidupnya yang memiliki hubungan dengan masa lalunya.


Membalaskan dendam. Hal itu yang ingin dia lakukan untuk membalaskan dendam tentang sahabatnya, Nina yang meninggal saat berada di sekolah. Dia menjadi korban atas tidak bisa dikontrolnya hasrat laki-laki dan berujung pemerkosaan secara publik. Tetapi, kasus ini seakan tidak dilanjutkan oleh pihak sekolahnya. Mereka dipaksa diam dan berujung Cassie dan Nina harus keluar dari sekolah. Hingga di saat waktunya tepat, Cassie memulai aksi balas dendamnya.



Film ini memulai rencana balas dendamnya perlahan. Pembalasan dendamnya bukan kepada para pelaku awalnya. Tetapi, ingin memberikan sebuah ‘awareness’ tentang rape culture kepada para pria-pria hidung belang yang ingin melakukan tipu daya kepada perempuan yang sedang dalam keadaan tidak sadar di sebuah bar. Menilik dan mempelajari segala background karakternya agar penonton bisa terasa dekat dengannya. Setelah di satu poin di mana Cassie bertemu dengan Ryan (Bo Burnham) yang juga berada di satu sekolah kedokteran barulah tensi film ini mulai naik perlahan.


Mengikuti segala rencana-rencana balas dendam seorang perempuan dengan masa lalunya yang kelam di film ini bisa sangat-sangat menyenangkan. Dilakukan dengan cara-cara yang intimidating dan bisa memperlihatkan bagaimana maskulinitas laki-laki sebenarnya bisa terlihat sangat rapuh. Cassie sebagai perempuan yang sangat lantang dan vokal atas suaranya ini bisa jadi ancaman bagi para lelaki yang ingin berlaku jahat padanya.


Film ini juga menggambarkan sebuah ketimpangan lewat tata artistik dengan cerita. Menggunakan warna-warna pastel yang lucu, menawan, dan enak dipandang mata. Tetapi, cerita film ini bergerak ke jalur yang lebih dark dan dalam dari warna-warna yang terlihat dipermukaan. Seperti perempuan itu sendiri yang juga memiliki kekuatan dan haknya untuk bisa tampil serta melakukan apa saja sesuai keinginan mereka.



Emerald Fennell sebagai sutradara perempuan bisa untuk menyampaikan suaranya tentang fenomena yang sering terjadi di perempuan itu sendiri. Bahkan, fenomena tentang rape culture ini terkadang juga sering diremehkan oleh perempuan itu sendiri karena sering termakan oleh kedigdayaan laki-laki yang menormalisasi hal tersebut. Sehingga, diperlihatkan oula beberapa target oleh Cassie ini juga adalah seorang perempuan di mana mereka seharusnya saling menguatkan. Tetapi, dalam realitanya, mereka juga secara tak sadar belum aware betul dengan isu tersebut.


Dari segala hal yang terlihat saklek tentang perempuan dan isu tentang rape culture yang sudah lantang dibicarakan dari awal. Satu hal yang membuat film ini mungkin sedikit bertentangan. Bagaimana paruh terakhirnya yang sedikit problematik. Keputusan yang terjadi dalam karakter Cassie ini sendiri terasa mengganjal. Meski sudah sedikit dipatahkan di konklusi paling akhirnya yang seakan memperlihatkan bahwa kekuatan perempuan masih bisa saja terasa meski secara fisik tidak terlihat. Tetapi, hal ini mungkin bisa saja diterjemahkan salah dan mengglorifikasi hal lain yang berada di luar konteksnya.



Tapi, di luar hal itu, Promising Young Woman tetaplah sebuah revenge thriller yang unik dan menarik. Membahas isu yang relevan tentang perempuan dan diarahkan oleh perempuan, setidaknya suaranya bisa terwakili dan bisa menggambarkan keadaan dengan lebih konkrit. Didukung dengan performa Carey Mulligan yang seduktif, kuat, tapi juga terlihat rapuh ketika dia mau, menjadikannya terlihat lebih manusiawi. Belum lagi pemilihan lagu-lagu dan musiknya yang juga menghipnotis membuat film ini menjadi debut yang menjanjikan dari Emerald Fennell.

THE SECRET GARDEN (2020) REVIEW: Adaptasi Terbaru tentang Kisah Masa Lalu


Mengunjungi kebun rahasia yang ada di The Secret Garden ini layaknya sedang menyelusuri tempat terpencil dalam hati manusia. Ketika sudah mulai mengetahui mana tempat paling personal di dalam dirinya untuk dibuka, barulah mereka mau untuk membuka hatinya, melepaskan segala keresahan di dalam dirinya. Begitu pula yang terjadi ketika menonton The Secret Garden ini. Menyusuri segala petualangan dari sang karakter utamanya untuk bisa menyembuhkan luka di masa lalu dan memahami segala hal yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.


Sebuah perjalanan menarik yang ditawarkan oleh The Secret Garden terbaru sebagai sebuah adaptasi dari karya klasik yang ditulis oleh Frances Hodgson Burnett. Ini bukan kali pertama, buku beliau diadaptasi menjadi sebuah gambar bergerak dan (harusnya) ditonton di layar besar. Di tahun 1993, Agnieszka Holland telah mengadaptasinya. Tapi, tak ada salahnya untuk kembali mengenalkan kisah dari buku legendaris ini di tahun yang baru oleh sutradara yang baru.


Maka dari itu, hadirlah lagi The Secret Garden yang dirilis di tahun 2020. Di bawah naungan, Heyday Films, Marc Munden bertugas untuk menjadi sang sutradara bagi film ini. Film yang produksi Inggris ini dibintangi oleh beberapa nama besar di dalamnya. Mulai Colin Firth dan Julie Walters sebagai jajaran pemain pendukung karena sorotan utama dari film ini adalah sang karakter anak kecil bernama Mary yang diperankan oleh Dixie Egerickx. Didukung lagi dengan cast anak kecil lain yaitu Amir Wilson dan Edan Hayhurst yang juga memiliki peran penting untuk mengantarkan kisah Mary menyusuri taman rahasia.



Ya, kisah ini terpusat pada karakter Mary (Dixie Egerickx), yang baru saja ditinggal kedua orang tuanya.  Mary menjadi anak yatim piatu dan harus meninggalkan India, tempat dia tinggal sekarang. Dia pun harus  pindah untuk tinggal bersama pamannya, Archibald Craven (Colin Firth) yang ada di London. Saat tinggal bersama pamannya, Mary harus beradaptasi dengan beberapa peraturan di sana.


Salah satunya adalah Mary tidak boleh memasuki beberapa ruangan yang ada di dalam rumah milik pamannya. Tetapi, dia mendengar sebuah suara asing dari kamarnya yang ternyata bermuara dari kamar yang tak boleh dia masuki. Di dalam sana, Mary bertemu dengan Colin (Edan Hayhurst), anak dari pamannya yang sedang sakit. Mary pun berusaha untuk akrab dengan Colin sambil dirinya juga menyusuri segala penjuru rumah dan sekitarnya. Mary juga menemukan sebuah kebun rahasia yang dianggapnya ajaib.



Menelusuri kehidupan Mary, kebun rahasia, tentang Colin, hingga menyembuhkan masa lalu adalah masalah-masalah yang berusaha disampaikan di dalam film ini. Merangkumnya ke dalam satu cerita dengan durasi 97 menit memang sedikit kewalahan. Itulah yang terasa ketika menonton film ini dari awal hingga akhir. Akan sedikit kesusahan untuk menemukan benang merah yang bisa mengkompilasikan segala masalahnya ke dalam satu cerita yang utuh.


Hingga akhirnya, beberapa kali film ini terasa terpisah untuk menyampaikan ceritanya. Naskah milik Jack Thorne ini seakan tak mau kehilangan hal-hal penting di dalam novelnya sekaligus ingin membuat The Secret Garden terbaru ini memiliki cita rasa yang berbeda. Misi inilah yang mungkin akan menjadi bumerang bagi The Secret Garden menuturkan ceritanya secara utuh.


Beruntung, Marc Munden tak ingin terlalu fokus ke dalam cerita-ceritanya yang gelap dan metaforik ini ke dalam filmnya. Dia berusaha untuk tetap menjadikannya sebagai sebuah film keluarga dengan balutan fantasi yang bisa menghibur penontonnya. Alhasil, The Secret Garden memang menyajikan petualangan Mary dengan ringan. Petualangan ini adalah cara Mary untuk bisa mengenal dirinya, mengenal masa lalunya, sekaligus menerima kehidupannya yang mungkin tak sesuai dengan apa yang dia mau.



Inilah celah bagi Marc Munden untuk tetap memberikan sensitivitas dalam pengarahannya. Di tengah menumpuknya segala konflik yang terjadi di dalam filmnya, The Secret Garden masih bisa menyelipkan hati untuk bisa dirasakan oleh penontonnya. Perasaan menyentuh dan emosional di 30 menit terakhirnya cukup menjadi amunisi untuk menikmati The Secret Garden. Nilai-nilai keluarga di dalam The Secret Garden menjadi keunggulannya. Sehingga, The Secret Garden bisa jadi pilihan tepat untuk bisa dinikmati bersama.



Sekaligus, The Secret Garden menyajikan petualangan imajinatif yang penuh warna. Sehingga, Marc Munden berusaha untuk bisa menyampaikan hal itu ke dalam filmnya. Maka dari itu, visual dari The Secret Garden pun indah untuk disaksikan. Dengan tata sinematografi yang menarik, menonton The Secret Garden di tiap adegannya bakal menyejukkan mata. 


Menontonnya lewat layar kecil karena bisa rental lewat iTunes region US saja suka dengan warna-warnanya. Sehingga, kalau bisa, menonton The Secret Garden ini harusnya di layar besar. Filmnya akan tayang di tanggal 20 Januari nanti karena dibawa oleh CBI Pictures dari tahun lalu.




POSSESSOR (2020) REVIEW: Daur Ulang Kisah Horor Fiksi Ilmiah yang Serupa

Nama Cronenberg hadir di dalam film ini tapi bukan David, melainkan Brandon. Ya, dia adalah anak dari salah satu sutradara gila, David Cronenberg. Tak heran, apabila di dalam film-filmnya masih ada kegilaan yang serupa untuk dihadirkan kepada penontonnya.

Kata pepatah,  buah tak jatuh dari pohonnya.


Ya, pepatah itu yan cocok untuk menggambarkan karya dari Brandon Croneneberg. Semakin terasa pula persamaannya ketika dirinya menggarap film keduanya berjudul Possessor. Dari adegan pertamanya saja, film ini sudah menunjukkan ketidaknyamanan bagi penonton. Memperlihatkan sebuah teknologi yang berhubungan dengan kehidupan manusia dan yang akan mempengaruhinya. 


Benar apabila menganggap film ini adalah sebuah film fiksi ilmiah. Tetapi, tentu Brandon Cronenberg tak Hanya berhenti hingga sampai di situ saja. Dia berusaha menggabungkan elemen horror di dalam filmnya yang akan memberikan sensasi menonton yang berbeda bagi penontonnya. Possessor, sebagai karya keduanya, dibintangi oleh Andrea Riseborough, Jennifer Jason Leigh, Christopher Abbott. Film ini pun tak hanya diarahkan oleh Brandon Cronenberg, tetapi juga ditulis langsung olehnya. Jadi, tak salah apabila dia memiliki banyak ruang untuk mengekspresikan apa yang ada di otak gilanya ke dalam gambar bergerak.



Selama 100 menit, penonton akan diajak untuk mengarungi kisah yang dijalin oleh Brandon Cronenberg yang mungkin Sudah Sangat familiar dan pernah ditemui di beberapa film sebelumnya. Tentang seorang perempuan bernama Tasya Vos (Andrea Riseborough) yang menjadi agen rahasia untuk menjalankan misi yang melibatkan teknologi implan otak. Lewat teknologi inilah, Vos bisa untuk berpindah dari tubuhnya dan menjalankan tubuh manusia lain.


Dia sudah terbiasa melakukan hal tersebut, hingga akhrinya dia harus menjalankan misi terbaru yang lebih challenging dibanding biasanya. Dia memasuki tubuh dari seorang manusia bernama Colin (Christopher Abbott). Dia adalah kekasih dari anak seorang petinggi di salah satu perusahaan besar. Misinya tentu untuk menjatuhkan sang petinggi tersebut. Tetapi, dalam proses Tasya menjalankan misinya, ada kendala yang hadir dan tak pernah terjadi sebelumnya.



Bagi pecinta film-film fiksi ilmiah, (bukan penonton serial Black Mirror di Netflix yang gampang kagetan itu) menonton Possessor tak akan kaget dengan ceritanya yang groundbreaking. Nyatanya memang kisah film ini memang dengan Mudah ditemui di film-film serupa. Bahkan, sesekali Brandon Cronenberg seakan menyadur sedikit film dari sang Ayah yaitu Scanners. Di mana menggabungkan fiksi ilmiah dengan body horror yang cukup membuat penonton merasakan tidak nyaman saat menonton.


Rasa tidak nyaman, ngilu, dan hal sebagainya di dalam film ini bukan malah menjadi sajian yang buruk, malah inilah yang membuat Possessor menarik untuk diikuti. Ini adalah cara Brandon Cronenberg untuk menjaga penontonnya untuk mengikuti Possessor hingga akhir. Perasaan tidak nyaman saat menonton digabung dengan beberapa adegan gore yang bisa mengukuhkan film ini adalah sebuah kalibrasi dari film horor thriller.


Tapi, pintarnya Brandon Cronenberg adalah bisa mendaur ulang kisah-kisah familiar itu menjadi sebuah film yang terasa segar. Salah satu cara yang dia lakukan adalah dengan menyajikan adegan-aegan yang terasa berbeda dibandingkan dengan film-film yang lainnya.



Possesor adalah film yang visually pleasing.


Kata yang tepat untuk menggambarkan film ini secara keseluruhan. Visual yang aestetik kalau kata anak muda zaman sekarang yang bisa menghipnotis penontonnya sekaligus cara Brandon untuk menyalurkan rasa di dalam filmnya. Semuanya bisa tergambar secara visual. Dengan adegan-adegannya yang berdarah pun, Possessor bisa tampil ‘Indah’. Mengusik penontonnya selama 100 menit dengan segala kegelisahan yang tersampaikan dengan tepat di filmnya.


Kegelisahan ini juga tak bisa dirasakan penontonnya apabila bukan berkat penampilan dari Christopher Abbott yang berkolaborasi dengan Andrea Riseborough. Tanpa mereka berdua yang bisa menerjemahkan segala kegelisahan yang ada di dalam karakter utamanya, film ini tak mungkin terasa menghipnotis penontonnya hingga akhir.



Menarik juga, melihat isu yang diselipkan di dalam film ini di mana teknologi bisa saja memanipulasi kehidupan manusia. Melihat endingnya yang sedikit diberi ‘bumbu’, sangat menarik untuk mengulik apa yang terjadi ketika manusia bisa mengontrol kehidupan manusia lainnya dengan teknologi yang mereka punya. Possessor mungkin akan terasa sebagai sebuah film dengan karakter studi yang berlapis. Film ini mengembangkan karakternya dengan menggunakan karakter lain sebagai pionnya. Begitu pula dengan manusia di dunia nyata. Mereka bisa mempelajari life event manusia yang lain untuk bisa diaplikasikan ke dalam hidup mereka. Bisa saja berhasil, tapi bisa saja menjadi bumerang dan berdampak buruk bagi mereka.

SPONTANEOUS (2020) REVIEW: Kisah Remaja yang Sama Tapi Pengalaman Menontonnya Berbeda


Namanya juga menjadi remaja, pasti masih ada banyak terjadi ledakan-ledakan yang terjadi di dalam dirinya. Tetapi, bagaimana jika tiba-tiba ledakan itu terjadi secara harfiah? Ya, bagaimana jika di saat remaja ini sedang melakukan kegiatannya sehari-hari ternyata tubuh mereka meledak dan hilang begitu saja?

Ya, inilah yang terjadi sesaat film debut dari Brian Duffield ini mengenalkan kisahnya. Spontaneous, film pertama dari dirinya ini adalah sebuah adaptasi dari novel milik Aaron Stahmer. Memiliki pendekatan yang unik dan menarik memang. Meskipun tetap perlu digarisbawahi, bahwa film ini tetap mengangkat kisah remaja yang sedang beradaptasi dengan emosinya serta konflik-konflik yang sama. Tetapi, dengan sedikit sentuhan lain, tentu akan menjadi pendekatan kisah remaja yang lebih menarik untuk dikulik.

Spontaneous dibintangi oleh Katherine Langford, yang namanya mulai melambung lewat serial adaptasi Netflix, 13 Reasons Why. Dirinya juga pernah didapuk untuk ikut menjadi salah satu pemain di Avengers: Endgame meskipun adegannya tidak jadi ditayangkan di filmnya. Bermain di film-film coming of age, tentu bukan hal baru untuk Katherine Langford. Dirinya pun sudah pernah terlibat dengan adaptasi novel lain yaitu Love, Simon.


Tetapi, menjadi remaja yang lebih rebel dan lebih meledak-ledak di film terbarunya ini, sepertinya belum pernah dilihat sebelumnya. Ya, dia menjadi pemeran utama yang mengantarkan ceritadan menemani penonton untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan fenomena yang terjadi di film ini.

Narasi pertama pun sudah menunjukkan kamera menyorot ke karakter Mara (Katherine Langford) yang sedang berada di dalam kelas dan terlihat bosan. Hal itu tak bertahan lama, ketika tahu seorang temannya meledak di depan matanya. Darah, organ tubuh, tentu sudah tersebar di penjuru kelas dan membuat semua orang panik. Hal ini tentu membuat semua remaja di Covington High School merasa takut apabila mereka menjadi salah satu korbannya.

Mara, berusaha sekuat tenaga untuk bisa bertahan hidup dari fenomena aneh yang terjadi di sekolahnya ini. Meskipun, dirinya sudah mempersiapkan apabila hal tersebut terjadi padanya secara tiba-tiba. Tetapi, di tengah hidupnya yang mulai pesimis, dia bertemu dengan seseorang bernama Dylan (Charlie Plummer). Ya, Dylan diam-diam menyukai Mara sejak pertama bertemu meski tak pernah menyampaikannya. Dengan kondisi sekitar yang sedang tak menentu, keduanya memberanikan diri untuk membuka hati satu sama lain.


Jika dikulik dari sinopsis di atas, Spontaneous memang terlihat sebagai sebuah kisah coming of age yang sudah pernah dilihat di beberapa film serupa. Tetapi, hal ini tak bisa dipungkiri, bahwa Spontaneous adalah sebuah film yang solid dan menarik untuk diikuti. Terlebih, bagaimana penggambaran karakter Mara dengan segala perasaan cynical dan sarcastic tentang hidup ini menuntun penonton untuk menyusuri segala keanehan kisah utama di dalam filmnya.

Dengan adanya karakter yang bisa melontarkan dialog-dialog satir dan witty ini, semakin menarik untuk mengikuti Spontaneous. Karakternya menarik untuk diobservasi, konfliknya juga memberikan metafora lain tentang kehidupan remaja. Seakan wabah ledakan di film ini menggambarkan tentang remaja secara general yang memang condong untuk selalu meledak-ledak di dalam hidupnya. Belum paham benar untuk bisa mengontrol segala emosinya. Serta, mengingatkan para remaja untuk sesekali menikmati kehidupan karena bisa saja kamu akan melewatkan hal-hal seru di dalamnya. 

Pesan ini tentu tak akan bisa tersampaikan dengan baik apabila tidak ada performa Katherine Langford yang membius penontonnya hingga akhir. Menarik untuk mengulik kisah di Spontaneous yang asyik karena menyelipkan kisah wabah yang tak teridentifikasi. Penyampaiannya yang pintar ini tentu berkat Brian Duffield dalam menulis dan mengarahkan buku dari Aaron Stahmer.


Tanpa ketelitiannya dalam mengadaptasi kisahnya yang bizarre ini, mungkin Spontaneous akan menjadi film yang aneh untuk dinikmati. Sebagai karya perdana, Brian Duffield berhasil memberikan nafas segar dalam film remaja yang diarahkannya. Kisah-kisah tragisnya bisa dikemas menjadi sajian yang bisa membuat penonton tertawa dengan humor-humor gelapnya tentang kehidupan remaja.

Spontaneous seakan menjadi sebuah hybrid dari beberapa genre yang ada di film-film remaja mulai dari horror, romance, hingga comedy. Bagaimana tidak, film ini seakan memiliki 3 vibe film yang berbeda selama 100 menitnya. Menyadur vibe kisah anak remaja yang sedang melawan kehidupan layaknya film-film yang dibuat oleh John Hughes. Tetapi juga bisa memberikan sensasi tegang layaknya sebuah film horor Karena bisa saja kejadian ledakan atau di film ini disebut Snooze Button ini terjadi begitu saja. 


Belum lagi, film ini Menyelipkan referensi-referensi pop culture di dalam film ini juga bikin seru. Dari tribute-nya ke E.T. hingga Carrie membuat film ini terasa sangat geeky bagi penonton yang paham referensi komedinya. Tapi, tak masalah, bagi penonton yang tak familiar dengan referensi ini pun masih bisa menikmati film ini dengan maksimal. Karena tetap bisa menikmati bagaiman sang karakter saling menertawakan hidupnya yang tragis.

Penonton seakan diajak untuk merasakan emotional roller coaster dengan range yang cukup jauh. Di saat film ini sangat pintar mendistraksi penonton untuk menikmati sajian komedi dan manisnya jatuh cinta, muncul juga perasaan was-was. Mencurigai apa yang terjadi selanjutnya karena penonton merasakan hal yang terlalu manis di saat kondisi di sekitar karakternya sedang tidak baik-baik saja. Inilah letak serunya menonton Spontaneous, yang sesuai dengan judulnya, akan terjadi perasaan spontan yang muncul saat menikmati film ini di setiap menitnya.

Film ini juga punya waktu untuk bersinar saat mengulik sisi emosionalnya. Paruh ketiga film ini barulah menyoroti hal yang lebih dalam lagi. Mengulik sisi vulnerable dari karakternya yang sudah berkembang dari yang dingin hingga memiliki hati yang hangat. Menggali lebih dalam tentang diri sendiri hingga apapun yang berhubungan dengan orang-orang yang disayang.


Ya, menonton film ini di saat pandemi, seakan diajak untuk memikirkan lagi tujuan dan arti hidup bagi masing-masing individu. Meski film ini dibuat jauh sebelum pandemi melanda, tetapi Spontaneous seakan bisa relevan dengan keadaan yang ada. Ya, begitulah Brian Duffield dengan karya perdananya. Walau kisah remajanya pernah ada sebelumnya, tetapi bisa memberikan pengalaman menonton yang segar dan berbeda.

SOUL (2020) REVIEW: Perjalanan Mencari Arti Kehidupan yang Menyenangkan dan Bermakna


Setelah di awal tahun sebelum pandemi melanda, Pixar telah merilis Sebuah kisah tentang perjalanan kakak dan adik dengan usaha menemui adiknya. Di akhir tahun, Pixar juga menyiapkan satu kisah terbaru lagi untuk bisa dinikmati oleh penggemarnya. Ya, Soul, project milik Pete Docter ini harusnya bisa dinikmati di layar besar di bulan Juni 2020 kemarin. Tetapi, dengan situasi dan kondisi yang belum juga membaik, Disney memutuskan untuk memindahkan Soul ke jadwal rilis yang lebih aman.

Tetapi, bukan lagi menjadi film yang dirilis di bioskop. Soul harus rela dan puas dirilis dalam streaming platform pribadi milik Disney yaitu Disney+. Yes, Soul hadir untuk memeriahkan Hari Natal tahun 2020 kemarin karena rilis bertepatan di tanggal 25 Desember 2020. Pete Docter sepertinya memang tertarik dengan kehidupan di lain dimensi seperti yang dia kulik lewat Inside Out. Bukan tentang perasaan, tetapi Soul mengulik kisah tentang:


“Bagaimana ya proses jiwa-jiwa manusia sebelum lahir ke dalam kehidupan aslinya?”


Bisa saja premis dari kisah yang diangkat di dalam film Soul ini berangkat dari satu pertanyaan menggelitik ini. Akhirnya, Soul hadir menjadi satu fitur film yang dibintangi oleh beberapa nama menarik yang terlibat. Dari Jamie Foxx hingga Tina Fey. Pete Docter juga menulis sendiri kisah tentang kehidupan tentang jiwa-jiwa manusia ini.



Hasilnya, Soul menjadi salah satu karya dari Pixar yang bisa dibilang lebih dewasa dibanding film-film yang lainnya. Bila Inside Out pun mengulik tentang perasaan anak kecil yang sedang berkembang. Soul hadir untuk mengingatkan para manusia paruh baya untuk bisa semangat menjalani hidupnya yang terkadang sudah mulai hilang arah. Ya gimana tidak, kisahnya saja diantarkan dengan karakter orang dewasa yang mulai merasakan krisis identitas di dalam hidupnya. 


Dia adalah Joe Gardner (Jamie Foxx), seorang Musisi yang terjebak dalah kehidupan orang dewasa yang menuntutnya untuk hidup dengan lebih Mawas diri. Dia tetap menjalani kehidupan dengan passion-nya yaitu musik. Tetapi, dia hanyalah menjadi guru musik yang terjebak di situasi itu-itu saja. Hingga akhirnya, sebuah panggilan telepon akan mengubah hidupnya.


Salah satu mantan muridnya, mengajaknya untuk bisa tampil dengan musisi yang dia idamkan, Dorothea Williams. Joe diminta hadir untuk bisa menunjukkan kemampuannya dalam bermain musik Jazz seperti yang biasa dia lakukan. Pada akhirnya, Joe berhasil mendapatkan panggung pertamanya untuk main musik di depan umum. Tetapi, di saat perjalanan pulang dan di mana Joe sedang bahagia-bahagianya, dia malah terjatuh ke dalam lubang pembangunan jalan. Hal ini membuat dirinya koma dan jiwanya tersesat di dunia lain.



Lantas, seperti apa perjalanan Joe setelah memasuki dunia penuh jiwa ini?


Di tengah usahanya untuk bisa kembali ke tubuhnya, kisah Joe di dalam Pixar’s Soul akan memberikan perjalanan yang akan membuka mata penontonnya. Menyampaikan pesan tentang kehidupan yang sangat bermakna bagi penonton-penonton yang sedang mengalami krisis dalam hidupnya. Ya, Pixar mungkin berusaha mendobrak paradigma untuk menggunakan mediumnya— yaitu film animasi— untuk bisa dinikmati oleh penonton dewasa. Tujuan film animasi bukan sebatas memberikan kisah-kisah yang dinikmati oleh penonton anak kecilnya. Serta, film animasi bukan juga untuk menuntun bagaimana anak-anak harus berperilaku.


Lewat Pixar’s Soul, Pete Docter tak memberikan limitasi tentang film animasi harus seperti apa. Dia menceritakan apa yang ingin dia sampaikan dengan medium yang dikuasainya. Hasilnya, film ini memberikan perjalanan yang sangat thoughtful. Apa sih yang kamu mau dalam hidup? Bukankah bertahan dalam kehidupan yang suka ada-ada saja itu sudah lebih dari cukup? Nah, pertanyaan ini yang berusaha dijawab oleh Pete Docter lewat Pixar’s Soul.


Belum jatuh terlalu dalam untuk hadir sebagai film animasi yang terlampau depresif. Mungkin, karena Pixar masih berada di bawah naungan Disney dan masih ingin kisah-kisahnya diterima oleh target segmentasi anak-anak. Pixar’s Soul menyajikan petualangan tentang kehidupan yang masih menyenangkan. Masih menyajikan desain-desain animasi yang menggemaskan dengan warna-warnanya yang colorful ketika berada di The Great Beyond dan The Great Before sebagai settingnya.



Tetapi ketika berada di kehidupan dewasa milik Joe, Pixar’s Soul berusaha untuk menyajikan animasi yang lebih realistis. Dengan penataan kamera dalam film-film animasinya terasa seperti film-film live action yang dengan pencahayaan yang lebih moody. Penuturan kisah yang dilakukan oleh Pete Docter di film Soul mungkin tidak akan sekompleks Inside Out. Ini adalah cara Pete Docter untuk menyampaikan kisah tentang kehidupannya. Mungkin, tahu bahwa membicarakan persoalan kehidupan itu akan menyita waktu dan tenaga. Menyampaikan filmnya pun harus sesantai mungkin agar pesannya bisa diterima dengan maksimal oleh penontonnya.


Benar saja, Pixar’s Soul pun menyajikan kisahnya dengan ringan lewat cerita body swap yang ada di dalam film ini. Menyenangkan mengikuti perjalanan Joe dan si gemas, Mr. Mittens untuk menjadi melihat dunia dan kehidupan di sekitarnya. Naskahnya seakan tak berusaha untuuk pretensius layaknya Inside Out. Tetapi, setelah menonton film ini dampak yang dihadirkan akan lebih bermakna. Ya, seakan Pete Docter berusaha untuk membuat filmnya juga sama bermaknanya dengan kehidupan yang dijalani oleh Joe dan bisa diaplikasikan kepada kehidupan penontonnya.


Bukan film Pixar namanya apabila tidak menyelipkan adegan-adegan emosional yang bisa membuat penontonnya merenung atau bisa menjatuhkan air mata. Yes, Pixar’s Soul tentu memiliki adegan-adegan tersebut. Tetapi, rasanya kali ini berbeda dengan film-film Pixar yang lain. Bukan adegan emosional yang akan memberikan perasaan sedih, tetapi perasaan lega. Menontonnya akan membuat penonton untuk berkontemplasi akan kehidupannya, merenungkan apa yang sudah pernah dilakukan. Lalu, membawa penonton untuk bisa menangis bahagia di akhir film karena seakan ikut sudah menemukan sparks dalam hidup mereka seperti karakter Joe dan 22 di dalam film ini.



Keindahan dari Pixar’s Soul dilengkapi dengan scoring dari Trent Raznor & Atticus Ross yang berkolaborasi dengan musik Jazz dari Jon Batiste. Memperkuat segala vibe Jazz tetapi juga bisa memperkuat nuansa dunia The Great Beyond dan The Great Before dengan musik techno yang terasa futuristik ini. Menjadikan setiap perjalanannya memiliki musik temanya masing-masing ditutup dengan lagu It’s Alright yang dilantunkan oleh Jon Batiste berkolaborasi dengan Celeste untuk menutup filmnya.


Maka dari itu, Pixar’s Soul adalah sebuah perjalanan menelusuri arti tentang kehidupan yang lengkap. Tak sekedar perjalanan yang menyenangkan untuk diikuti. Tetapi juga memberikan arti tentang kehidupan yang sangat bermakna sekaligus dibawa ke dunia imajinatif Pixar dan sangat emosional. Layaknya kehidupan yang kamu jalani sekarang. Meski banyak naik turunnya, tapi tetap sebuah perjalanan yang layak kamu nikmati segala prosesnya. Ya, Pixar’s Soul pun berusaha untuk terlihat demikian. Bagus sekali!