• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

HUMANS (2020) REVIEW: Saat Robot dan Manusia Harus Hidup Bersama


Hidup berdampingan dengan robot? Gimana rasanya, ya?

Bisa jadi hal yang sangat membantu sih. Tapi, kalo misal ternyata robot ini punya kesalahan teknis, wah bisa bikin masalah juga. Kisah tentang manusia dan robot ini yang berusaha hadir di sebuah serial berjudul Humans. Kemarin nemu serial ini di Mola TV karena habis aja langganan selama sebulan yang harganya murah banget; cuma Rp12.500.

Tertarik serial ini karena ada Gemma Chan yang pernah main di beberapa film Marvel dan juga Crazy Rich Asians. Humans adalah serial yang terdiri dari 8 episode di dalam season pertamanya dan dirilis di UK di tahun 2015. Semakin menarik karena ingin tahu gimana sih awal-awal karir dari Gemma Chan. Selain itu, series ini juga dibintangi oleh Lucy Carless dan Katherine Parkinson.


Selain itu, serial ini juga punya premis yang menarik terutama bagi para penggemar genre science fiction. Tak hanya menilik tentang bagaimana robot ini bisa terbentuk dan akhirnya membantu kehidupan manusia. Tetapi juga menilik jauh lebih dalam tentang interaksi antara manusia dan robot ini sendiri. Menanyakan tentang eksistensi manusia di bumi yang bisa saja digantikan oleh robot yang sudah memiliki fungsi yang sama. Serta, serial ini juga menilik lagi persona sebuah robot yang ternyata bisa berbeda dari biasanya.



Episode pertama dibuka dengan sebuah keluarga yang sedang merasa kesusahan untuk mengurusi setiap anggota keluarganya. Mereka adalah keluarga Hawkins. Laura (Katherine Parkinson) dan Joe (Tom Goodman-Hill), sebagai orang tua yang sama-sama sibuk tak bisa secara penuh memperhatikan anak-anaknya. Joe akhirnya memutuskan untuk mengangkat seorang sintetik atau android bernama Anita (Gemma Chan). Robot ini menjadi pengawas dan penjaga ketiga anaknya. 


Tetapi, Laura merasa keberadaannya sebagai seorang Ibu serasa digantikan. Karena sang anak bungsu dari Laura lebih senang bila Anita berada di sisinya. Tetapi, ada hal lain yang bikin mereka curiga dengan android yang dia bawa pulang ini. Ada sesuatu yang kelam yang berusaha disembunyikan oleh Anita dan beberapa android lain yang teridentifikasi berbeda.



Gak cuma mereka, tapi ada kisah-kisah lainnya juga.


Selain fokus ke keluarga Hawkins, di serial ini juga punya karakter lain yang membuat konfliknya jadi lebih kaya. Bukan hanya menyoroti satu konflik dengan scoop kecil, tapi juga memberikan menyoroti konflik lain dari karakter yang berbeda, namun juga memiliki problematika yang serupa. Mungkin karena serial ini punya banyak ruang untuk dieksplor. Di setiap episode-nya, serial ini punya intrik yang semakin lama semakin menarik untuk diikuti.


Membuat penontonnya penasaran, seperti apa nasib para karakternya. Trauma apa yang dialami oleh setiap karakternya. Sebuah kekacauan apa yang terjadi ketika android dan manusia hidup berdampingan satu sama lain. Menggantikan pekerjaan yang biasa dilakukan manusia tetapi di sisi lain manusia lah yang menciptakan sang android itu sendiri.


Dari kisah di mana android lain yang ternyata dianggap “berbeda” ini melakukan sebuah tindakan yang ternyata di luar ekspektasi orang yang membuatnya. Bagaimana akhirnya keluarga Hawkins menerima Anita sebagai seseorang yang penting di keluarga mereka. Belum lagi karakter lain yang berbeda-beda awalnya, tapi semakin lama mereka memiliki satu benang merah yang membuat setiap ceritanya ternyata terkoneksi satu sama lain.



Kisah-kisah setiap karakternya yang menarik inilah yang membuat Humans sangat enak untuk diikuti di setiap episode-nya. Meski dengan premis yang cukup berat, tapi dikemas dengan cara yang ringan. Sehingga, film ini lebih menyoroti slice of life dari setiap karakternya. Bukan tentang percobaan ilmiah dengan teori-teori berat yang membuat pusing kepala.


Sehingga, penonton yang belum tentu familiar dengan tema-tema fiksi ilmiah seperti ini pun bisa dengan mudah menikmati setiap ceritanya. Dengan durasi episode yang cuma 45 menit, akan dengan sangat mudah buat menyelesaikan musim pertama dari Humans. Gak bakalan kerasa, tiba-tiba sudah berada di penghujung musimnya. Nah, kalo kamu mau nonton Humans, langsung aja ke Mola TV atau klik link di sini

CLOUDS (2020) REVIEW: Story that Inspired and Makes Your Heart Warm

How does it feel like to become a terminal? How do you live with that kind of thing in your life?


Pertanyaan ini yang mungkin saja membuat Zach Sobiech, seorang remaja yang menderita osteosarcoma bingung pada awalnya. Tapi, dirinya memilih untuk menjalani hari-harinya untuk terus bahagia dan menikmati hidupnya hingga hembusan nafas terakhirnya. Zach Sobiech (Fin Argus) sudah menderita osteosarcoma sejak narasi awal filmnya. Dia tetap menjadi sosok yang ceria, tampil di sebuah pentas seni sekolahnya membawakan lagu “I’m Sexy and I Know It” dengan caranya sendiri.


Pembawaan Zach yang bahagia-bahagia saja dengan kondisi hidupnya membuat dirinya disukai oleh banyak teman-temannya. Dia pun punya sahabat sejak kecil bernama Sammy (Sabrina Carpenter) dan tetap bisa punya kisah cinta yang terlihat seperti remaja pada umumnya dengan Amy (Madison Iseman). Di sisa-sisa hidupnya, dia ingin membuat sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Akhirnya dia memutuskan untuk membuat sebuah mini album yang ternyata berhasil merebut perhatian banyak orang.


Kisah dari Zach Sobiech ini ternyata memang terjadi di kehidupan nyata. Karena memang Clouds adalah sebuah film yang diangkat dari kisah inspiratif milik Zach Sobiech yang karyanya masih membekas hingga sekarang. Clouds ini disutradarai oleh Justin Baldoni yang pernah mengarahkan Five Feet Apart sebagai debut karyanya. Kali ini dia kembali dengan cerita yang mirip-mirip dengan karya sebelumnya. Tentu, menjadi hal yang mudah bagi Justin Baldoni untuk bisa mengarahkan kisah tentang seseorang yang berjuang menghadapi penyakitnya.



Tetapi, kali ini, Justin Baldoni tidak terlalu berlebihan dalam menghadirkan kisah tear jerking di dalam film Clouds. Karena Justin Baldoni mengemban sebuah kisah yang diangkat dari kisah nyata. Mendramatisir kisahnya pun tetap berada di jalur dan tidak berlebihan sehingga filmnya tidak terasa manipulatif dalam menghadirkan rasanya. Juga, naskahnya kali ini ditulis oleh Kara Holden bukan oleh dirinya sendiri. Sehingga, bisa fokus mengarahkan film terbarunya ini.


Ada Fin Argus, yang mengemban tugas penting untuk memerankan Zach Sobiech di dalam film ini. Menjadi pemegang kunci utama film ini dan sekaligus bisa memerankan sosok Zach dengan baik. Sehingga, penonton yang tak familiar dengan sosok tersebut bisa terkoneksi dengan baik. Mengerti benar naik turunnya kehidupan Zach Sobiech dengan cara yang sangat meyakinkan. Penonton bisa meyakini bahwa Fin Argus lah sosok Zach yang asli.


Selain itu, ada pula Sabrina Carpenter dan Madison Iseman yang berperan sebagai karakter pendukung yang mampu memperkaya karakter Zach Sobiech di dalam film Clouds ini sendiri.


Film yang menghangatkan hati dan bisa membuat menangis.


Kali ini Justin Baldoni berhasil mengarahkan film terbarunya dengan cara yang pas. Tak memaksakan penontonnya untuk menangis, tetapi memang bisa membuat hati hangat. Kisahnya pun disampaikan cara yang mulus. Tak ada sesuatu yang mengglorifikasi kondisi karakternya yang sedang mengidap penyakit mematikan demi meraih simpati penonton. Tetapi, menuturkannya secara perlahan dan Justin Baldoni tahu tempatnya untuk menaruh adegan-adegan yang bisa membuat menangis sehingga semuanya terasa pas.


Sehingga, di dalam durasinya yang mencapai 121 menit ini, penonton mampu menggunakan film Clouds untuk tahu benar tentang sosok Zach Sobiech dengan pas. Segala perjalanan hidupnya selama menjadi orang yang mengalami Terminal Cancer ini mampu merebut hati penontonnya. Tujuan Justin Baldoni untuk mengingatkan (lagi) penontonnya bahwa ada sosok inspiratif seperti ini bisa tercapai. Pun, setelah film Clouds berhasil, penonton akan dengan sukarela mencari sendiri informasi tentang Zach.


Justin Baldoni tak hanya fokus untuk memperlihatkan bagaimana Zach berusaha untuk survive dengan penyakitnya. Tetapi juga memperlihatkan interaksi dengan karakter lainnya yang menyokong kehidupan Zach. Dari kisah cintanya dengan Amy yang manis, interaksi dengan teman dekatnya, Sammy hingga dengan keluarganya. Justin Baldoni mengajak penontonya untuk menikmati interaksi itu. Jadi, ketika Justin Baldoni punya tempat untuk bisa memberikan titik emosional di dalam adegannya, penonton bisa ikut merasakannya.


Yang mana, mungkin itu adalah tujuan dari film Clouds itu sendiri. Menyebarkan pesan kepada seseorang bahwa pernah ada sosok inspiratif yang karakternya dekat dengan penontonnya.



Keterbatasan bukan jadi alasan untuk tidak bisa terinspirasi


Ini adalah pesan utama dari film Clouds. Di tengah keterbatasan waktu yang dimiliki oleh Zach, dia ingin membuat sisa waktunya lebih berguna dengan sekitarnya. Tidak terlalu berlarut dalam kesedihan dan menyampaikan pesan-pesan inspiratifnya lewat sebuah lagu yang yang berjudul sama dengan judulnya filmnya, Clouds.


Lagu ini juga menjadi salah satu kunci dari filmnya. Penggunaan lagu ini di penghujung film menjadi sebuah adegan yang sangat emosional. Meski caranya klise, tetapi masih punya banyak hati yang berhasil dikeluarkan oleh Justin Baldoni. Sehingga, penonton akan dengan mudah meneteskan air matanya ketika adegan itu muncul. Sehingga kalo bisa, nontonnya siap-siap tisu saja. Clouds memang bertujuan untuk membuat menangis tetapi dengan perasaan bahagia dan hati hangat tanpa dibuat-buat. Bagus!


THE PROFESSOR AND THE MADMAN (2020) REVIEW: Proses Mencari Definisi Sebuah Kata


Mendefinisikan kata dengan kata-kata yang lain. Gimana ya proses terbentuknya pengertian itu sendiri?


Pernah sih terbesit sendiri dalam pikiran gimana proses terbentuknya sebuah pengertian atas sebuah kata itu sendiri. Jawaban ini hadir lewat film yang dibintangi oleh Sean Penn dan Mel Gibson terbaru yaitu The Professor and The Madman. Film ini diangkat dari sebuah buku berdasarkan kisah nyata dari kisah James Murray dan rekannya, William Chestor Minor yang disutradarai oleh Farhad Safinia. Di sinilah, bisa ditemukan tentang proses yang sedang dipertanyakan di atas.


Selain dua bintang legend yang ikut andil dalam project ini, buat penggemar Game of Thrones, akan menemukan Natalie Dormer. Menjadi sosok karakter yang berbeda dibandingkan dengan karakter-karakter dia sebelumnya. Naskahnya sendiri ditulis ramai-ramai oleh John Boorman, Todd Komarnicki, dan Farhad Safinia. Film ini menarik untuk diikuti hingga akhir. Mengetahui dua karakter utamanya dengan latar belakang berbeda tetapi memiliki satu tujuan yang sama yaitu untuk membuat sebuah Oxford English Dictionary.



Dibuka dengan sebuah adegan di mana, William Chestor Minor (Sean Penn) diadili oleh banyak pihak atas apa yang dia lakukan. Iya, dia baru saja melakukan tindak kriminal. Menembak seseorang tak bersalah yang mana dia adalah seorang kepala keluarga dari keluarga kecil yang hidup serba kekurangan. Tindakannya ini ternyata dari efek trauma yang dimilikinya saat menjadi prajurit perang. Tetapi, dia tetap harus bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan. Mencoba untuk meminta maaf kepada Eliza (Natalie Dormer), istri yang ditinggalkan beserta keluarganya.


Di kehidupan yang lain, James Murray sedang berjibaku melakukan risetnya untuk membuat sebuah Oxford English Dictionary yang menjadi tujuan utama hidupnya. Memberikan definisi tentang kata yang membutuhkan bantuan banyak pihak hingga disebarkanlah sebuah sayembara ke penjuru negara. Hingga William juga terdengar pula akan sayembara ini. William yang suka membaca pun mengirimkan kontribusinya. Sekaligus, ini adalah cara dia untuk berusaha sembuh dari traumanya.


Dua orang yang beda, tapi satu tujuan.

Ini yang bikin komposisi cerita dari The Professor and The Madman ini menarik untuk diikuti. Selama 130 menit, film ini berusaha untuk menggali cerita antara keduanya. Tujuannya, ya biar penonton bisa menaruh empati antara kedua karakter ini. Karena penonton juga harus paham latar belakang mereka yang berbeda ini bisa aja jadi halangan dengan tujuan mereka yang sama. Dan gimana sih caranya mereka bisa ketemu di satu titik dan di satu suara yang sama.

Farhad Safinia berhasil mengajak penontonnya untuk menilik kisah-kisah karakternya. Bagaimana proses berkembangnya karakter William yang berusaha lepas dengan trauma dan segala kebingungannya dengan proses pengadilan. Begitu pula dengan karakter James Murray yang berjuang untuk akhirnya mendapatkan apresiasi dan dukungan atas tujuannya membuat Oxford English Dictionary ini.

Perkembangan ini yang nantinya jadi modal untuk sang sutradara untuk menggabungkan keduanya hingga berada di satu linimasa. Meskipun, masih ada celah bagi sang sutradara untuk bisa menggabungkannya dengan cara yang lebih halus. Ada beberapa cerita juga di antara keduanya yang bisa digali hingga informasinya bisa tersampaikan dengan lebih maksimal lagi.

Beruntung, itu semua tertutup dengan performa yang sangat maksimal dari Sean Penn dan Mel Gibson. Mereka bisa memberikan performa yang kuat dan meyakinkan penontonnya untuk bisa menaruh simpati kepada karakternya. Begitu pula dengan performa Natalie Dormer yang juga bisa membuat penonton paham atas penderitaan yang dia rasakan. Dibantu dengan sinematografi yang mampu memperkuat atmosfir filmnya.

Sehingga, The Professor and The Madman ini sebagai sebuah film berhasil menjadi sebuah sajian yang penuh intrik dan menarik untuk diikuti. Mendalami kisah tentang mencari definisi sebuah kata dengan penuh akan proses yang mungkin belum pernah disaksikan sebelumnya. 


Film The Professor and The Madman ini adalah #MolaMovieExclusive. Jadi, kamu bisa tonton filmnya di Mola TV. Apalagi, sekarang Mola TV ada paket baru buat akses HBO GO juga cuma Rp65.000 untuk 1 bulan. Tapi, langganannya yang Rp12.500 juga masih ada, kok. Abis langganan, langsung aja tonton filmnya di sini

THE ONE AND ONLY IVAN (2020) REVIEW: Ada Sudut Pandang Berbeda dengan Hasil yang Masih Sama

Banyak sekali jadwal-jadwal film-film Disney yang harus mengalah karena pandemi. Dari Hamilton hingga Mulan punya nasib sama untuk melenggang cantik ke streaming service milik Disney sendiri. Sebelum Mulan, The One and Only Ivan juga bernasib sama. Film ini sebetulnya sudah direncanakan untuk ditayangkan secara theatrical. Tapi, kondisi tak menentu, membuat film ini harus mengalah.

The One and Only Ivan diangkat dari sebuah buku yang memenangkan award di kategori buku anak-anak. Buku karya K.A. Applegate ini diadaptasi oleh Disney dan mendapatkan Thea Sherrock sebagai pengarah filmnya dan naskah adaptasinya ditulis oleh Mike White. Pengisi suara di film ini juga penuh akan nama-nama besar. Mulai dari Sam Rockwell, Brooklyn Prince, Helen Mirren, hingga Angelina Jolie.

Bukan, ini bukan film animasi. Tapi nama-nama besar di film ini akan mengisi suara untuk sebuah cerita yang digerakkan dari sudut pandang para binatang untuk melihat kehidupan. Salah satunya adalah seekor Gorila bernama Ivan yang ternyata memiliki pandangan lain tentang dirinya dan dunia

The One and Only Ivan tentu diantarkan oleh narasi dari seorang Gorila bernama Ivan (Sam Rockwell). Dia hidup di Big Top Mall dan melakukan pertunjukkan di sana. Tak hanya dirinya, ada beberapa hewan lain seperti Stella (Angelina Jolie), sang Gajah yang juga melakukan pertunjukkan yang sama. Tapi, sang bintang utama di pertunjukan ini tetaplah Ivan. Hingga suatu ketika, kedigdayaan Ivan sebagai bintang yang mahsyur di pertunjukan harus berhenti.

Ivan tak lagi mendatangkan penonton dan menguntungkan sang pemilik pertunjukan. Hingga akhirnya, datanglah seekor bayi Gajah bernama Ruby (Brooklyn Prince). Ruby tentu mudah dekat dengan Stella dengan jenis hewan yang sama. Tetapi, Stella menitipkan pesan kepada Ivan, bahwa Ruby harus tetap berada di tempat yang aman dan layak. Hal ini lah yang akhirnya membuat Ivan mencoba untuk belajar dan membuka dunia baru untuknya.

Ivan mengajarkan hal yang lebih dalam, tapi Disney tetap memegang kendali.

Mau sedalam apa pun cerita yang dimiliki oleh The One and Only Ivan, Disney pasti masih berusaha untuk menemukan jalan tengah agar produk miliknya masih bisa ditonton oleh keluarga. Apalagi dengan materi seperti ini, tentu Disney tak ingin kehilangan penonton anak-anaknya. Sehingga, The One and Only Ivan mungkin terbatas dalam stigmanya sebagai film keluarga yang tak bisa digali terlalu dalam. Takutnya, penonton dengan usia dini tak bisa memahami ceritanya.

Tak salah memang tujuan Disney melakukan hal itu. Mungkin Disney ingin membuat film ini lebih accessible untuk semua kalangan. Toh, Thea Sherrock sebagai sutradara pun berhasil menerjemahkan tujuan dari Disney tersebut. Sebagai sebuah film utuh, The One and Only Ivan bisa menjadi sebuah film keluarga yang menghibur dan menghangatkan hati.

Hal ini muncul tentu karena bagaimana para pengisi suara bisa deliver segala kesenangan hingga keresahan di dalam film ini. Jadi, penonton masih bisa menaruh simpati terhadap setiap karakternya yang notabene bahkan bukan sesama manusia. Bahkan, di beberapa adegan emosional, Thea Sherrock berhasil menyampaikan itu dengan baik. Cuma, kisah Ivan akan jauh lebih menarik lagi bila Mike White dan Disney memutuskan untuk menggali lebih dalam point of view dari karakter utamanya dalam mempelajari hal baru dalam hidupnya.

Keputusan Disney untuk lebih family-friendly jadi ada dampaknya juga, sih.

Ya, gimana penonton akan paham betul dengan segala lika-liku pemikiran Ivan yang harusnya lebih kompleks dari yang ada di layar. Mungkin, penonton juga bisa merasakan gimana rasanya tersesat dalam pemikiran Ivan yang lain. Tapi, Thea Sherrock belum cukup berhasil untuk bisa mengeluarkan potensinya. Yang terjadi, ya penonton pun ikutan tersesat. Bingung dengan apa yang dirasakan oleh Ivan sebagai karakter utama.

Malah, penonton akan lebih relate dengan karakter Ruby di dalam film ini. Bisa jadi, kisah tentang Ruby adalah cara Ivan untuk berkembang menjadi karakter yang lebih baik dan mempelajari hal sekitar. Berdamai dengan trauma dan masa lalu. Tapi, adaptasi ini seperti tak ingin menampilkan cerita itu terlalu dalam. Ya, film ini macam main aplikasi jodoh. Dari luar menarik, tapi pas diajak kenalan lebih dalem, eh masih ada aja yang ditutup-tutupin.

Belum lagi, pesan utama dari The One and Only Ivan pun jadi blur. Apa yang mau disampaikan? Hidup bebas di habitat aslinya? Atau tujuan akhirnya hanya untuk hidup dengan kehidupan yang layak dan mematahkan argumen tentang pertunjukkan hewan?

Penyampaian pesan yang dirasa belum bisa terlihat tegas inilah yang membuat The One and Only Ivan ini ya sekedar tontonan untuk anak-anak yang menghangatkan hati. Padahal, potensi dari adaptasi ini bisa saja lebih dari itu. Tapi, ya mungkin itu tujuan utama Disney mengadaptasi film ini. Untuk bisa mengenalkan literature satu ini dengan segmentasi yang lebih layak. Tonton saja, masih oke kok.

Available at Disney+/Disney+ Hotstar