• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

FIVE FEET APART (2019) REVIEW: Eksploitasi Demi Air Mata Menetes di Pipi


Di tengah gempuran banyaknya film-film blockbuster dengan budget besar, menantikan sebuah film romance tentu menjadi sesuatu yang menarik. Terlebih, ketika film romance itu bisa membuat penontonnya meneteskan air mata. Melodrama yang benar-benar membahas tentang dua insan manusia yang sedang jatuh cinta dan merasakan indahnya dunia. Memang, rasanya sudah lama sekali tak muncul film-film seperti itu.

Maka, kehadiran film seperti Five Feet Apart buatan dari Justin Baldoni ini cukup dinantikan oleh banyak orang terutama untuk target segmentasinya. Film dengan tema disease love relationship ini memang sudah menjadi formula yang usang. Pun, beberapa film dengan tema seperti ini pun tak banyak yang bisa memenangkan hati penontonnya. Selain jatuh menjadi sajian yang generik, film dengan tema seperti ini pun akan terjebak dalam eksploitasi kesedihan saja.

Five Feet Apart ini disutradarai oleh Justin Baldoni ini mendapatkan asupan naskah dari Mikki Daughtry dan Tobias Iaconis. Film ini juga dibintangi oleh Haley Lu Richardson dan salah satu mantan artis cilik jebolan Disney Channel yang sedang membintangi series netflix yaitu Cole Sprouse. Five Feet Apart hadir menyajikan sebuah trailer melodrama romantis dengan tema yang sama dengan premis yang cukup menarik bagi pecinta film-film serupa.

 
Menggunakan penyakit untuk mendapatkan atensi terhadap karakter yang dibuat dalam sebuah film tentu harus digunakan dengan benar. Bila melihat trailer dari Five Feet Apart, mungkin ada beberapa film yang memiliki referensi serupa. The Fault In Our Stars mungkin menjadi salah satu inspirasi dari film ini saat dibuat. Karakternya yang memakai alat bantu pernafasan hingga tembang M83 berjudul Wait pun ada di salah satu adegan di dalam Five Feet Apart ini.

Sayang, performa dari Five Feet Apart pun hanya jatuh menjadi sebuah sajian yang sangat generik dan bahkan terlalu berusaha keras agar penontonnya ikut larut dalam kesedihan yang mereka buat. Dengan karakternya yang memiliki penyakit yang cukup langka, sang penulis naskah tak hentinya memberikan formula-formula klise dalam sebuah film melodrama remaja seakan hal-hal itu menjadi wajib untuk ada di karakter-karakternya. Sehingga, yang terjadi Five Feet Apart pun nampak tak logis dan manipulatif demi penontonnya bisa meneteskan air mata di pipi.


Narasi Five Feet Apart pun dimulai dari karakter bernama Stella Grant (Haley Lu Richardson) yang sejak umurnya yang dini sudah berada di rumah sakit karena dalam penanganan penyakitnya. Ya, Stella mengidap cystic fibrosis yanag mengharuskannya mendapatkan penanganan khusus hingga dirinya mendapatkan donor paru-paru baru. Stella berusaha membuat hidup-hidupnya di rumah sakit lebih berwarna agar tak monoton dalam hidupnya.

Hingga suatu ketika, Stella bertemu dengan sosok lelaki berparas menarik yang juga sedang mendapatkan penanganan serupa dengannya. Dia adalah Will Newman (Cole Sprouse). Stella dan Will pun makin akrab dan tumbuhlah benih-benih cinta di antara mereka berdua. Tetapi, sesama pengidap cystic fibrosis mereka tak boleh berdekatan karena maksimal jarak yang ditentukan adalah 6 kaki. Inilah yang menjadi perjuangan mereka berdua saat seorang dua sejoli tak bisa saling berdekatan.


Dilihat dari trailer, Five Feet Apart mungkin mewakili hati para remaja-remaja yang menginginkan kisah romantis yang nyesek abis. Five Feet Apart secara permukaan terlihat sebagai definisi baru dalam hubungan jarak jauh. Meski keduanya itu dekat, tetapi mereka berdua terasa jauh karena tak bisa saling bersentuhan. Dengan hal-hal ini, tentu Five Feet Apart bisa memiliki potensi untuk menjadi tontonan yang mengharu biru.

Sayangnya, Five Feet Apartterasa menjadi sebuah karya dari seorang pemula yang ingin secara instan membuat penontonnya meneteskan air mata. Keputusan-keputusan yang dilakukan oleh sang penulis naskah dalam film ini terasa belum bijaksana. Terutama dalam pembangunan karakter-karakternya yang terlihat sangat berusaha untuk mendapatkan simpati penonton. Iya, penonton sudah tahu bahwa Stella telah mengidap cystic fibrosis tetapi tak perlu pula ditambah dengan fakta bahwa dirinya juga mengidap OCD (Obsessive-Compulsive Disorder) dan beberapa penyakit mental lainnya.

Pembentukan karakter Stella dengan penyakit-penyakit “tambahannya” pun tak menjadi poin berarti bagi film Five Feet Apart. Sehingga, semua yang dibangun dalam Five Feet Apart pun terasa benar-benar manipulatif. Melihat karakter Stella dan Will yang bisa berlarian ke sana ke mari di dalam rumah sakit bahkan di kondisinya yang sebenarnya tidak stabil juga menjadi problematika utama saat menonton film ini.


Mungkin penontonnya akan sedikit bertanya tentang keabsahannya, tetapi menjualnya agar bisa diromantisasi rasanya agak sedikit tereksploitasi. Tetapi, untuk filmnya sendiri pun, dengan durasi sepanjang 115 menit masih terasa ditarik ulur. Problematika Five Feet Apart mungkin tak hanya datang dari hubungan antara Will dan Stella tetapi juga dari permasalahan masa lalu dari Stella. Apabila digali dengan lebih dalam lagi, mungkin hal itu bisa memperkuat filmnya.

Cerita tentang masa lalu Stella pun menjadi subplot penting di dalam Five Feet Apart yang mempengaruhi keputusan-keputusan karakternya. Tetapi, Justin Baldoni terlalu sibuk membuat hubungan Stella dan Will yang mungkin pada awalnya terasa sangat manis dan pas hingga dalam titik tertentu membuatnya terlalu sugar-coated. Dan muncullah pada 30 menit terakhir filmnya yang sudah tak kuat menyampaikan ceritanya hingga semuanya terasa begitu kacau dengan tambahan subplot yang juga sebenarnya tak perlu ada.

Beruntung, film ini memiliki chemistrydi antara kedua pemainnya yang terbangun dengan baik. Haley Lu Richardson dan Cole Sprouse berhasil meyakinkan penontonnya bahwa mereka adalah pasangan yang kurang beruntung di dunia ini. Serta, dibalut dengan beberapa pilihan lagu-lagu yang ada di dalam film ini yang cukup keren. Tembang “Don’t Give Up On Me” dari Andy Grammar pun bisa mempermanis film ini.

 
Ya, mungkin kejanggalan-kejanggalan dalam penentuan adegan dan pembangunan karakter yang belum bijaksana itu Five Feet Apart mungkin bisa jadi tearjerker romance yang bekerja dengan baik untuk target segmentasinya. Sayangnya, Five Feet Apartsebenarnya jatuh dalam drama disease-porn yang mengeksploitasi beberapa penyakit hingga semuanya terasa manipulatif. Naskahnya terlalu berusaha membuat karakternya terlihat butuh dikasihani. Padahal sebenarnya Five Feet Apartbisa saja menjadi sesuatu yang lebih baik dan manis untuk dinikmati. Sayang sekali.


US (2019) REVIEW: Social Commentary for America in Peele’s Way


Berhasil mengagetkan banyak pihak termasuk juri-juri Oscars, Jordan Peele dengan debutnya sebagai sutradara dalam Get Out dipuji oleh banyak kalangan. Filmnya pun berhasil menyabet penghargaan Best Original Screenplay di Academy Awards. Tentu, hal ini membuat nama Jordan Peele melambung tinggi dan banyak orang akan berantisipasi dengan karya-karya darinya karena namanya sudah layak diperhitungkan di industri perfilman Hollywood.

Ketika dirinya mengumumkan untuk membuat film baru, banyak orang sudah sangat mawas diri. Us, judul film terbaru dari Jordan Peele yang lagi-lagi kembali mengeksplorasi dirinya lewat genre horor. Setelah Get Out yang tak hanya berperan sebagai sebuah film horor saja tetapi juga sebagai sebuah kritik sosial, tentu akan menarik untuk tahu apa yang coba disampaikan oleh Jordan Peele lewat film keduanya ini. Tentu, film horornya memiliki sesuatu yang unik dan itulah yang dinantikan.

Us film milik Jordan Peele ini dibintangi oleh pemenang Academy Awards, Lupita Nyong’o dan Winston Duke yang pernah bertemu lewat film Black Panther. Us ini tak hanya disutradarai oleh Jordan Peele, tetapi naskah dari film ini pun juga ditulis langsung olehnya. Sehingga, tentu Jordan Peele sudah tahu benar film ini nantinya akan dibawa ke mana. Melihat trailernya yang sudah memiliki nuansa yang seram dan menganggu itu, tentu membuat beberapa orang menantikan film ini.


Us milik Jordan Peele ini berawal dari kisah seorang keluarga yang terdiri dari Adelaide (Lupita Nyong’o), Gabe (Winston Duke) –sebagai sepasang suami istri dengan kedua anaknya –Zora (Shahadi Wright Joseph), dan Jason (Evan Alex). Mereka sedang melakukan liburan musim panas di rumah tepi pantai milik orang tua Adelaide. Liburan mereka pada awalnya terasa tenang dan biasa saja, mereka bahkan tampak bahagia. Tetapi, malapetaka datang tiba-tiba.

Sekelompok orang tiba-tiba berhenti di depan rumah mereka di malam hari. Tentu hal ini membuat mereka semua ketakutan dan penasaran dengan apa yang terjadi. Mereka pun dengan sigap menyerang dan memberikan teror kepada mereka. Hingga ketika sekelompok orang tersebut masuk ke dalam rumah, barulah mereka menyadari ada yang janggal. Sekelompok orang yang menyerang mereka memiliki paras yang sama persis dengan mereka.


Jordan Peele sebagai sosok sutradara horor yang baru saja terjun, tentu memberikan wajah tersendiri untuk genre ini. Horornya bukan horor spiritual yang membahas tentang penampakan-penampakan makhluk astral. Dalam karya-karyanya, Jordan Peele memberikan definisi baru tentang genre horor itu sendiri. Memberikan suatu misteri dengan hal-hal yang tidak pasti dan memaparkan isu tertentu yang bilamana terjadi betul dalam tatanan masyarakat akan benar-benar mengerikan untuk kelangsungannya.

Hal itu sudah terbukti lewat film Get Out dan terjadi lagi dalam film keduanya ini. Film tahun kedua dari Jordan Peele ini sekali membuktikan bahwa film horornya bisa menyampaikan pesan kritik sosialnya tentang tatanan masyarakat di Amerika sana. Mari sebelumnya kita bahas Ussebagai sebuah film horor itu sendiri. Tanpa memahami alegori dan pembahasan lain tentang isu sosialnya, film Usini mampu memberikan teror yang signifikan untuk penontonnya.


Sepanjang filmnya yang mencapai 115 menit, Us mampu memberikan tensi yang luar biasa agar penontonnya terpacu adrenalinnya. Sebagai sebuah tontonan, Us tentu saja bisa dijadikan sebagai medium hiburan yang luar biasa menegangkan dan cocok untuk ditonton ramai-ramai dengan teman yang juga suka film horor. Jordan Peele bisa membangun atmosfir yang menganggu –dalam artian yang baik –kepada penontonnya. Hal ini cocok dengan Us yang memberikan jawaban sedikit demi sedikit dalam filmnya.

Us dibangun dengan misteri yang cukup kuat yang akan membuat penontonnya penasaran. Dengan teror yang dihajar habis-habisan, penonton tentu ingin tahu bagaimana film ini akan mengakhiri filmnya. Meskipun, dalam penuturannya, Jordan Peele tak seratus persen mulus untuk mengantarkan ceritanya. Paruh kedua filmnya menunjukkan bahwa Us memiliki cerita yang terasa ditarik ulur. Tensinya tak lagi dijaga hingga mungkin menimbulkan penentuan adegan yang kurang bijak demi tetap bisa memberikan tensi kepada penontonnya.

Minor kecil itu mungkin akan sedikit membuat Us terasa ditarik ulur apalagi di paruh ketiganya yang lagi-lagi Peele masih belum bisa menutup kisahnya dengan cara yang pas. Beruntungnya, minor-minor itu bisa sedikit tertutupi lewat penampilan Lupita Nyong’o yang luar biasa berkharisma. Memainkan dua karakter dengan dua sifat yang berbeda tetapi bisa membuat penontonnya bersimpati kepada keduanya. Serta, musik dari film ini yang juga tak dibuat dengan main-main dan terasa pas dengan atmosfir filmnya.


Jordan Peele memang memiliki alegori yang cukup besar saat memberikan kritik sosialnya tentang keadaan negara Amerika terhadap warganya. Mungkin, akan ada pertanyaan bagi beberapa orang saat film ini akhirnya selesai. Tetapi, bila saja lebih teliti lagi, Peele sudah menaruh simbol-simbol itu dari awal film. Mulai dari setting tahun, beberapa ayat alkitab, hingga cuplikan kecil tentang keadaan negara yang menjadi sorotan Peele untuk dikritisi.

Ini bukan lagi tentang ras seperti yang dilakukan oleh Peele dalam film Get Out. Ini tentang tatanan sosial masyarakat dan kesejahteraannya karena ulah pemerintahan. Film ini adalah tentang siapa yang berkuasa terhadap satu individu tersebut karena realita yang telah mereka pilih untuk dibentuk di dalam dirinya dan bagaimana hal itu akan berpengaruh terhadap reputasi seorang individu itu sendiri. Kritik sosial seperti ini tentu menjadi sangat menarik dan unik karena ternyata ditemukan lewat sajian film horor milik Jordan Peele.


Mungkin, penonton dengan kondisi sosiokultural dan berada di wilayah yang berbeda membutuhkan kembali riset yang mendalam agar semua nampak lebih jelas. Tetapi, Us ini mungkin akan sangat berarti dan memiliki relevansi terhadap warga Amerika di sana. Get Out masih menjadi karya dari Jordan Peele yang lebih baik karena naskah aslinya yang segar meski pengarahan dan teknisnya film Uslebih menonjol. Tetapi, Us masih sangat menarik untuk ditonton sebagai film horor itu sendiri dan sebagai alat untuk mengkritisi isu sosial di sana.

CAPTAIN MARVEL (2019) REVIEW: Mengikuti Fragmen-Fragmen Memori Sang Kapten Baru


Apabila mengingat after credit scene yang ada di Avengers: Infinity War, pasti akan tahu betapa pentingnya salah satu karakter dalam Marvel ini. Akan ada banyak teori sekaligus pertanyaan, siapa sih karakter manusia super satu ini. Ya, dia adalah Captain Marvel, seorang manusia super perempuan yang digadang memiliki kekuatan sangat kuat untuk melawan Thanos nantinya. Nick Fury mengirimkan sinyal kepada Captain Marvel untuk bala bantuan.

Tetapi, sebelum akhirnya menuju ke Avengers: Endgame yang akan tayang pada bulan April nanti, tentu saja Kevin Feige menginginkan penonton berkenalan terlebih dahulu dengan karakter ini. Captain Marvel hadir dan direncanakan sudah cukup lama dan Brie Larson dipercaya untuk menjadi sosok Captain Marveltersebut. Film ini pun disutradarai oleh Anna Boden dan Ryan Fleck dengan beberapa nama yang juga ikut terlibat.

Tentu saja, salah satu nama tersebut adalah Samuel L. Jackson yang berperan sebagai Nick Fury di dalam film ini. Captain Marvel mengambil setting tahun 90an yang akan berusaha memulai bagaimana sosok Avengers berkumpul. Film ini akan berada di timeline sebelum adanya Iron Man tetapi setelah Captain America: The First Avenger. Tentu akan menarik bagi linimasa cerita Marvel Cinematic Universe terlebih mereka sudah memiliki 20 film yang berjalan berdampingan.


Menarik untuk mengetahui seperti apa Captain Marvel ini yang digadang memiliki kekuatan yang sangat besar dan bisa mengalahkan Thanos nantinya. Film Captain Marvel ini jelas dijadikan sebagai sebuah jembatan bagi Marvel untuk melanjutkan visi misinya menuju fase selanjutnya. Kevin Feige sudah tahu benar bagaimana mengeluarkan “senjatanya” satu persatu dengan setting yang berbeda tetapi linimasanya tetap berada di jalan yang sama.

Inilah yang terjadi di Captain Marvel yang diarahkan oleh Anna Boden dan Ryan Fleck. Dengan settingnya yang berada di tahun 90an, Captain Marvelakan menceritakan bagaimana pertama kali sebuah inisiasi berkumpulnya para pahlawan super milik Marvel. Meski baru saja dibuat, tetapi Captain Marvel berhasil dengan mulus dan effortless untuk menyangkutpautkan film ini dengan linimasa dalam Marvel Cinematic Universe.


Dimulai ketika Vers (Brie Larson) menemukan dirinya berada di planet Kree dalam keadaan yang tak mengingat siapapun jati dirinya. Di sana, dia tinggal dan dilatih oleh Yon-Rogg (Jude Law) beserta dengan kawanannya. Mereka mendapatkan misi untuk menyerang sekawanan Skrull yang menjadi musuh mereka. Tetapi, sekelompok Skrull yang memiliki kemampuan untuk mengubah dirinya ini ternyata mengagalkan misi mereka dan membawa Vers sebagai tawanan.

Tetapi, Vers berusaha untuk melarikan diri dari Skrull dan sampailah dia di bumi. Di sana dia bertemu dengan Nick Fury (Samuel L. Jackson) sebagai anggota dari S.H.I.E.L.D. ini. Vers meyakinkan Nick Fury untuk waspada dengan Skrull dan menangkap mereka. Tetapi, saat Vers dan Nick Fury berusaha untuk menangkap Skrull, perjalanannya mengingatkan Vers dengan siapa dirinya dulu dan juga apa yang terjadi yang sebenarnya selama ini.


Bangun dengan tanpa tahu siapa identitas dirinya, mungkin akan mengingatkan kita dengan bagaimana Jason Bourne memulai filmnya. Secara tak sadar, mungkin Captain Marvel terkena referensi itu dalam ceritanya. Ini langkah menarik bagi Captain Marvel sebagai sebuah origin story berusaha untuk memberikan sesuatu yang segar agar kisahnya yang bergerak lurus-lurus saja ini masih memiliki sesuatu yang menarik untuk diikuti.

Anna Boden dan Ryan Fleck bermain dengan kisahnya yang lurus ini agar menjadi sebuah teka-teki menarik. Penuturan kisahnya serupa dengan karakter Vers yang bangun dengan fragmen-fragmen kecil dalam memorinya yang mungkin membuat penontonnya bertanya ada apa dengan kisah selanjutnya. Layaknya sebuah picture puzzle, Captain Marvel sudah menemukan beberapa potongannya hingga akhirnya menemukan polanya dengan benar. Tetapi, masih ada potongan-potongan kecil yang masih belum ditemukan dan menjadi bagian yang siginifikan dalam kisahnya.

Hingga pada waktu yang tepat, Captain Marvel pun bisa membuat pertanyaan penonton akan bisa terjawab dengan baik. Tetapi, dalam perjalanannya menemukan pola dalam penuturan ceritanya, Anna Boden dan Ryan Fleck menemukan sedikit jalan terjal. 20 menit pertama film ini jelas Anna Boden dan Ryan Fleck kesusahan untuk menemukan potongan kisah seperti apa yang harus disampaikan kepada penontonnya. Beberapa momentum dalam filmnya pun muncul belum terlalu kuat.


Beruntung, hal itu ternyata tak berlangsung lama karena mereka menyajikan konflik-konflik lain yang menyenangkan untuk diikuti. Dalam setiap pengadeganan dan dialognya, terlihat bahwa Captain Marvelberadaptasi dengan isu sosial yang ada tentang women empowerment dengan caranya sendiri. Berusaha untuk memberikan pengertian bahwa seorang perempuan memiliki hak atas dirinya sendiri apalagi dalam pengambilan keputusan dalam hidupnya.

Captain Marvel juga berusaha untuk mematahkan isu stereotip perempuan yang selalu emosional dalam dirinya. Emosional menjadi sebuah kelemahan dari seorang perempuan dalam menjalankan hidupnya. Inilah yang diubah sudut pandangnya, menjadi apa yang disebut sebagai kelemahan menjadi sebuah kekuatan bagi perempuan dalam menjalankan hidupnya. Kekuatan itu bukan untuk membuktikan dirinya yang terbaik untuk semua orang, tetapi yang terbaik untuk dirinya sendiri.

Pesan-pesan ini pun disampaikan dengan baik oleh performa dari Brie Larson. Dia mampu menjadi sosok Captain Marvel dan mampu meyakinkan penontonnya bahwa Captain Marveladalah sosok yang cocok menjadi pemimpin untuk generasi Avengers selanjutnya. Begitu pula dengan Samuel L. Jackson sebagai Nick Fury muda yang mampu menjadi best buddy untuk Captain Marvel. Diperkuat pula dengan nuansa retro tahun 90an beserta lagu-lagunya.


Dengan sudah banyaknya film yang ada dalam fase Marvel Cinematic Universe, Captain Marvelbermain dalam zona aman sebagai sebuah film Marvel. Hal itulah yang mungkin menjadi persoalan bagi beberapa orang saat menonton Captain Marvel. Terlebih, ketika sudah dihadapkan dengan Avengers: Infinity War yang sudah kompleks beserta post creditnya yang merujuk ke film ini. Tetapi, Captain Marvel adalah sebuah pemanasan yang masih sangat menyenangkan sekaligus menghangatkan hati untuk diikuti sebelum para penonton akan menyaksikan salah satu superhero movie event terbesar tahun ini yaitu Avengers: Endgame

Apalagi, ketika mid credit film ini diputar, April akan terasa begitu lama!

 

25 Film Pilihan Tahun 2018 versi Arul’s Movie Review Blog

 
Film-film rilisan tahun 2018 rasanya sudah banyak sekali yang dirilis dan beberapa bioskop sudah berusaha untuk mendatangkannya ke dalam negeri. Tak hanya itu, ada banyak pula film-film rilisan Netflix yang ternyata mencuri perhatian banyak orang. Bahkan, film-film mereka mampu menjadi nominasi Academy Awards tahun ini.

Iya, ini udah Maret 2019, tetapi aku juga pengen dong buat kasih kamu daftar 25 film Terbaik versi Arul’s Movie Review Blog. Tetapi, bisa dibilang list ini agak curang sih, karena di beberapa posisi ada yang benar-benar seimbang dan sayang untuk digeser menurutku. Jadi, mungkin ini lebih dari 25 film kalau dihitung secara total. Mungkin ada beberapa film yang dipuji banyak orang, tetapi malah tak berpengaruh sama sekali buatku. Ya, namanya selera sih dan preferensi orang pasti juga beda-beda. Film-film seperti A Star Is Born, Crazy Rich Asians, Searching, Mission Impossible: Fallout, BlacKkKlansmandan Bohemian Rhapsody ternyata tak bisa merebut hatiku.

Iya, film-film pilihan itu mungkin bahkan sedang dipuja-puja oleh banyak orang. Bukan berarti filmnya tak bagus, tetapi tidak cocok saja dengan diriku yang pemilih ini. Tetapi, sebelum akhirnya masuk ke daftar 25 film terbaik. 6 Film ini setidaknya sempat mencuri hatiku dan ku taruh dalam list honorable mention. Film-film ini adalah:

- Black Panther
- Upgrade
- Mamma Mia: Here We Go Again
- Ant-Man and the Wasp
- Brother of the Year
- Bad Times at the El Royale

Jadi, mari masuk ke dalam daftar 25 Film Pilihan versi Arul’s Movie Review Blog!
 

25. To All The Boys I've Loved Before (Dir. Susan Johnson/Netflix)
Film milik netflix ini diadaptasi dari buku Jenny Han yang ternyata tampil sangat manis. Chemistry Lana Condor dan Noah Centineo berhasil mencuri perhatian, sehingga kisahnya romansanya yang terlihat usang bisa tampil segar.


24. Capernaum (Dir. Nadine Labaki/Mooz Films)
Kisah seorang anak dengan perjuangannya menjalani hidup ini bisa tampil sangat nyata. Arti kata Capernaum yang berarti kekacauan ini berhasil diterjemahkan dengan baik di layar dan dalam kekacauannya, ternyata kisahnya begitu indah dan emosional. 

 
23. The Miseducation of Cameron Post (Dir. Desiree Arkhavan/FilmRise)
Kisah pencarian jati diri Cameron Post di film ini tampil dengan caranya yang tenang tetapi sekaligus menyerap penontonnya untuk sekaligus ikut larut dalam perjalanan Cameron Post yang sedang bingung dengan orientasi seksualnya. 


22. Sekala Niskala (Dir. Kamila Andini/Fourcolors Films)
Kamila Andini berhasil memberikan sebuah film tentang budaya dengan pendekatan seninya yang bisa tampil tanpa ada pretensi apapun. Sebuah perjalanan spritual yang jujur, unik, tetapi memberikan emosi dan nyawanya sendiri.


21. Widows (Dir. Steve McQueen/20th Century Fox)
Mungkin film ini lebih menyoroti drama para janda yang sedang ditinggal suaminya dengan pendekatan heist movie itu. Tetapi, itulah yang membuat film ini menjadi sajian yang menarik. Tensinya hadir lewat dialog dan adegannya yang sangat intens.


20. Leave No Trace (Dir. Debra Granik/Bleecker Street)
Menghadirkan sebuah kisah hubungan ayah dan anak dengan cara yang berbeda. Menghadirkan representasi kelas sosial lain dalam ceritanya dan berusaha mencari arti rumah itu sendiri dalam perjalanan kisahnya. Subtle, powerful, and also heartwarming!


19. Game Night (Dir. John Francis Daley and Jonathan Goldstein/Warner Bros Pictures)
Tak akan ada yang menyangka bahwa film ini ternyata memberikan sebuah performa yang solid. Premisnya menarik, eksekusinya apalagi. Sebuah film komedi asik yang bisa membuat penontonnya menaruh perhatian pada teka-tekinya serta membuat tertawa tanpa henti!


18.1. A Simple Favor (Dir. Paul Feig/Lionsgate) 
18.2. Thoroughbreds (Dir. Cory Finley/Focus Features)

Mereka seimbang, karena bisa menghadirkan sebuah black comedy di tengah plotnya yang serius. A Simple Favor milik Paul Feig bisa memberikan komedinya yang pas saat kisahnya sedang berjalan menuju jalan cerita yang penuh misteri.


Begitu pula dengan Thoroughbreds, yang komedi satirnya bisa berjalan seimbang dengan premisnya dan perkembangan karakternya yang gila.


17. A Quiet Place (Dir. John Krasinski/Universal Pictures)
Karya perdana John Krasinski sebagai sutradara ini ternyata berhasil menjadi sebuah thriller yang bisa memacu jantung penontonnya. Memainkan sebuah tensi di dalam 90 menitnya dengan tenang, perlahan, tetapi pasti. Penonton pun rasanya ikut menahan nafas saat menontonnya.


16. Wreck-It Ralph 2: Ralph Breaks The Internet (Dir. Phil Johnston, Rich Moore/Disney)
Sekuel dari Wreck-It Ralph ini berhasil menjadi sebuah tontonan yang luar biasa imajinatif. Film ini mampu memberikan gambaran tentang dunia digital dengan cara yang pintar, menyenangkan, dan juga memberikan referensi pop culture yang luar biasa melimpah. 


15. Christopher Robin (Dir. Marc Forster/Disney)
Terkadang, film dengan hati yang hangat seperti Christopher Robin ini perlu untuk ditonton. Apalagi bagi mereka yang sedang ingin lari sebentar dari realita dan mengingat masa kecilnya yang bahagia. Itulah, yang membuat Christopher Robin ini terasa spesial sekaligus membuat hati hangat.


14.1. Instant Family (Dir. Sean Anders/Paramount Pictures)
14.2. Green Book (Dir. Peter Farelly/Universal Pictures)
Instant Family menjadi sebuah film keluarga yang tak disangka bakal menghibur sekaligus membuat haru. Hubungan keluarga tanpa darah ini berhasil merebut hati penontonnya dengan segala perjuangannya agar bisa terlihat seperti keluarga normal.


Sama seperti Green Book yang juga berusaha agar hubungan pertemanan berbeda ras ini juga sedang berjuang dengan segala isu rasisme yang masih ada. Kisah dengan isunya yang sensitif itu dikemas dengan narasi yang lebih accesible. Pantas bila menang Best Picture di Oscars tahun ini.


13. Ready Player One (Dir. Steven Spielberg/Warner Bros Pictures)
Jangan ragukan Steven Spielberg dalam membuat sebuah film dengan cinematic experience luar biasa. Adaptasi dari buku Ernest Cline ini mampu memiliki teka-teki yang menyenangkan. Apalagi didukung dengan banyak referensi pop culture di dalam filmnya.


12.1. First Reformed (Dir. Paul Schrader/A24)
12.2. Blindspotting (Dir. Carlos Lopez Estrada/Foley Walkers Studio) 
Blindspotting berhasil membicarakan isu sosial dengan caranya yang stylish sekaligus emosional. Film ini berusaha untuk meyakinkan bahwa tak perlu berusaha menjadi bagian dari satu kaum tertentu, karena bukan malah membuatnya terangkat derajatnya tetapi malah menambahi masalah itu sendiri. 


Begitu pula dengan First Reformed yang berusaha mematahkan generalisasi tentang satu sosok tertentu. Karena pada dasarnya, manusia akan memiliki sebuah kesalahan yang sama satu sama lain.


11.1. Annihiliation (Dir. Alex Garland/Paramount Pictures)

11.2. Spider-Man: Into The Spider-Verse (Dir. Bob Persichetti, Peter Ramsey, Rodney Rothman/ Sony Pictures)
Keduanya bermain dalam ranah fiksi ilmiah yang sama serta memiliki alternate universe yang berusaha mereka angkat. Bila Annihilation menjadikan alternate universe-nya menjadi sajian dengan penuh teka-teki dan interpretasi tentang kebenaran.


Berbeda dengan Spider-Man: Into The Spider-Verse yang membuat alternate universe-nya menjadi sajian yang menyenangkan dan menghibur. Tetapi, keduanya sama-sama cerdas.


10.1. Cold War (Dir. Pawel Pawlikowski/Opus Film-Amazon Studios)

10.2. Can You Ever Forgive Me (Dir. Marielle Heller/Fox Searchlight Pictures)
Keduanya berhasil bermain dalam ranah kisah dengan sudut pandang yang berbeda.
Cold War menjadikan kisah cinta antara kedua insan manusia dengan latar belakang yang berbeda ini menjadi metafora tentang setting kisahnya yang sedang dalam perang dunia dengan sajian yang tragis tetapi manis.


Can You Ever Forgive Me ini bisa bermain dalam kisahnya yang menceritakan sosok kriminal tetapi berhasil menarik simpati dari penontonnya. Bahkan, ikut hanyut dalam kisah jatuh bangunnya dalam membangun karir kriminalnya. Keren!


9.1. Love Simon (Dir. Greg Berlanti/Fox 2000 Pictures)

9.2. Boy Erased (Dir. Joel Edgerton/Focus Features)
Keduanya mengisahkan kisah tentang gay dengan caranya yang berbeda.
Love Simon menyoroti kehidupan remaja gay yang sedang berusaha untuk mengakui dirinya dan menginginkan pasangan layaknya remaja pada umumnya.


Meski tetap dengan tema kisah gay, Boy Erased menyoroti hal lain. Filmnya berusaha menyorot praktek penyembuhan orientasi seksual di sebuah gereja yang ternyata berdampak buruk tanpa mengerdilkan kedua belah pihak yang bertolak belakang ini.


8.1. Eighth Grade (Dir. Bo Burnham/A24)
8.2. Mary Poppins Returns (Dir. Rob Marshall/Disney)
 Eighth Grade memberikan realita tentang kisah pubertas anak perempuan generasi zaman sekarang dan juga interaksinya dengan sebaya. Filmnya terasa jujur dan dalam.


Mary Poppins Returns mengajak kita untuk kembali menjadi sosok anak-anak yang polos dan itulah yang menjadi solusi dalam setiap masalah. Belum lagi, adegan musikalnya elegan dan filmnya sangat berwarna!


7. Incredibles 2 (Dir. Brad Bird/Disney)
Sekuel dari The Incredibles di tahun 2004 ini ternyata masih bisa menjadi sajian yang sangat asyik dan menyenangkan untuk ditonton. Bahkan, memberikan pesan tentang kesetaraan gender dengan cara yang ringan dan bisa diterima oleh semua kalangan.


6.1.  Hereditary (Dir. Ari Aster/A24)
6.2. Burning (Dir. Lee Chang-dong/Pinehouse Films-Now Film-NHK)
Kedua film ini dibalut oleh banyak misteri.
Hereditary memberikan kengerian lewat ketidakpastian penonton menerima informasi dalam filmnya dan membuatnya menerka-nerka apa yang terjadi sehingga asumsi itu menganggu pikiran penontonnya.


Burnng juga melakukan hal yang demikian. Ketidaktahuan penonton akan dibawa mengikuti perjalanan karakter utamanya yang ternyata menuju dalam sebuah misteri yang tak terungkap. Kedua film ini berhasil membuat penontonnya berasumsi sendiri dalam artian positif.


5. Tully (Dir. Jason Reitman/Focus Features)
Kisah seorang Ibu yang mulai lelah menjalani hidupnya ternyata seru untuk dinikmati. Tully menghadirkan realita bahwa perempuan juga ingin menjalani hidupnya dan tanpa harus terbebani oleh masalah domestiknya. Kisahnya menarik sekaligus emosional sekali.


4. Avengers: Infinity War (Dir. Anthony and Joe Russo/Disney)
Russo Brothers berhasil menjadikan Avengers: Infinity War menjadi sajian film manusia super yang super kompleks tetapi tidak terasa berlebihan. Semuanya pas hingga adegan akhirnya yang membuat penontonnya terperangah dan rela menunggu Avengers: Endgame datang untuk menjawabnya.


3. Shoplifters (Dir. Hirokazu Kore-eda/Aoi Pro-Gaga Pictures)
Koreeda berusaha merekonstruksi arti dari keluarga itu sendiri. Keluarga yang tak berjalan dengan semestinya ini berhasil menghangatkan hingga babak akhirnya yang membuat penonton tak sanggup berkata-kata lagi. Sebuah kritik keras tentang pemerintahan dengan kisah keluarga yang menyayat hati.


2.1. The Favourite (Dir. Yorgos Lanthimos/Fox Searchlight Pictures) 
2.2. Roma (Dir. Alfonso Cuaron/Netflix)
Keduanya sama-sama mengisahkan tentang perempuan.
The Favourite menceritakan bagaimana perempuan pun bisa melakukan apa saja demi kekuasaan. Menggunakan laki-laki hanya untuk sebatas melengkapi dirinya saja. Hal yang biasa dilakukan secara sebaliknya. Kemasan komedi unik dari Yorgos Lanthimos semakin menguatkan betapa sinisnya para perempuan terhadap apa yang dilakukan laki-laki.


Roma juga menceritakan tentang perempuan yang pernah jatuh akibat laki-laki. Tetapi mereka mampu berdiri dan saling menguatkan satu sama lain dan memberikan pernyataan bahwa mereka pun masih tetap bisa bertahan hidup seperti biasanya.


1. First Man (Dir. Damien Chazelle/Universal Pictures)
Kisah utamanya memang menyoroti tentang Neil Armstrong yang sedang berusaha untuk menjadi manusia pertama yang datang ke bulan. Tetapi, perjalanannya itu dibuat oleh Damien Chazelle untuk relevan dengan orang yang mengejar mimpinya. Ini adalah kisah tentang perjalanan mengejar mimpi, cinta, dan bahkan kehilangan. Ryan Gosling dan Claire Foy bermain dengan cantik. Adegan akhirnya itu tenang tetapi menyayat hati.

Jadi, ini dia film pilihan di tahun 2018 versi Arul's Movie Review Blog. Kalau pilihan kamu, yang mana nih? Tulis di kolom komentar aja!