• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

BELOK KANAN BARCELONA (2018) REVIEW : Chemistry Adalah Kunci Utama



Mengadaptasi novel yang sudah punya massa, masih terus akan terjadi di perfilman kita. Tentu saja ini halal terjadi, karena sebuah film ingin mendapatkan penonton dan diterima dengan kuantitas yang besar. Maka dari itu, Starvision Plus masih berusah untuk mengadaptasi sebuah novel lama yang sudah memiliki banyak penggemarnya. Adaptasi ini berasal dari buku seorang penulis terkenal yaitu Adithya Mulya dan Ninit Yunita.

Film adaptasi buku ini diambil dari Karya Adithya Mulya dan Ninit Yunita yang juga berkolaborasi dengan dua penulis lain yaitu Alaya Setya dan Iman Hidajat. Traveler’s Tale, Belok Kanan : Barcelona ini adalah buku yang cukup legendaris di zamannya. Buku rilisan tahun 2007 ini diberikan kepercayaannya kepada Guntur Soeharjanto untuk mengarahkan film ini. Dibantu oleh Adithya Mulya dalam departemen naskah yang sekaligus pemilik buku tersebut.

Belok Kanan Barcelona ini adalah film Starvision Plus yang bekerjasama dengan CJ Entertainment setelah Sweet 20. Dibintangi oleh nama-nama yang cukup terkenal mulai dari Morgan Oey, Mikha Tambayong, Deva Mahenra, hingga Anggika Bolsterli. Adithya Mulya selaku penulis naskah tentu sudah tahu benar hati dari bukunya untuk dijadikan sebuah film. Sehingga, ini tentu sudah menjadi modal yang cukup kuat untuk Belok Kanan Barcelona tampil dengan solid.


Dengan trailer yang disajikan, Belok Kanan Barcelona tentu saja akan menarik perhatian penonton yang ingin menyaksikan sebuah film komedi romantis dari Indonesia. Bagusnya, trailer yang menarik ini berakhir tak hanya ilusi karena Belok Kanan Barcelona adalah sebuah film komedi romantis yang tampil sangat menghibur penontonnya. Guntur Soeharjanto berhasil mengkolaborasikan karakter utamanya yang cukup banyak untuk tetap bisa dinamis di dalam filmnya.

Dengan durasinya yang mencapai 101 menit, Guntur Soeharjanto tahu untuk memberikan porsi setiap karakternya sehingga muncul keseimbangan di dalam filmnya. Ekplorasi karakter yang cukup dalam berhasil membuat Belok Kanan Barcelona berhasil membuat orang terpukau dan bersimpati dengan karakter-karakternya. Meskipun dalam presentasinya, ada beberapa subplot yang ternyata masih menjadi kendala sehingga sedikit mengurangi kenikmatan penonton saat menikmati Belok Kanan Barcelona.


Inilah kisah Belok Kanan Barcelona yang berpusat kepada empat orang yang telah menjalin persahabatan sejak SMA. Mereka adalah Francis (Morgan Oey), Retno (Mikha Tambayong), Farah (Anggika Bolsterli), dan Ucup (Deva Mahenra). Awalnya mereka sudah mengenal satu sama lain karena mereka berada di satu lingkungan tetangga yang sama. Di sekolah pun, mereka menjalin relasi sahabat yang sangat baik dan dekat.

Di saat dewasa, mereka yang sudah terpisah di 4 benua yang berbeda, mendengarkan kabar yang cukup mencengangkan dari salah satu sahabatnya. Francis yang sudah menjadi musisi terkenal dan melanglang buana ke seluruh dunia mengundang Ucup, Farah, dan Retno ke pernikahannya ke Barcelona. Di sinilah mereka akhirnya mengingat kejadian masa lalu saat masih sekolah bahwa mereka pernah terjebak dalam kisah cinta yang cukup pelik.

Film Belok Kanan Barcelona sudah memiliki dinamika yang cukup rumit untuk bisa mengelaborasi 4 karakternya untuk bisa berjalan dengan dinamis. Guntur Soeharjanto untungnya bisa mengemas cerita tentang 4 sahabat ini dengan porsinya masing-masing. Beruntungnya lagi, tone cerita yang digunakan di dalamnya masih memiliki tone yang cukup general. Sehingga, keempat ceritanya bisa dijahit menjadi satu film utuh yang tidak saling timpang.


Belok Kanan Barcelona memang penuh dengan cerita-cerita yang general dalam film komedi romantis. Mulai dari friendzone hingga cinta tapi tak bisa memiliki karena penghalang. Guntur Soeharjanto mungkin bisa mengarahkan semuanya agar masih menjadi sebuah komedi romantis yang pas dan sesuai. Meskipun masih ada satu subplot cerita yang mungkin tidak bisa bermain dengan baik dan cukup membuat kenikmatan menonton film Belok Kanan Barcelona sedikit berkurang.

Dengan pengembangan karakter yang cukup baik, kehadiran satu subplot cerita itu mungkin akan sangat disayangkan. Andai saja 107 menit filmnya lebih digunakan untuk memberikan konklusi yang lebih baik mungkin akan lebih menyenangkan. Beberapa pemilihan cabang cerita yang ada di dalam naskah milik Adithya Mulya ini sebenarnya bisa untuk dipilih ulang agar lebih terasa efektif. Mungkin di dalam tulisan akan terasa menarik, hanya saja dalam adegannya ada sedikit rasa canggung yang timbul.

Mulai dari kisah perbedaan agama hingga kisah perjalan ucup ke Barcelona muncul kecanggungan dalam pengadegannya. Inilah yang membuat Belok Kanan Barcelona sedikit menjadi problematika bagi penonton untuk menikmati sajiannya secara utuh. Beruntung, Guntur Soeharjanto masih bisa memberikan satu adegan kunci yang muncul dengan klimaks yang pas. Membuat penonton ikut merasa gemas dengan konflik percintaan di antara kuatnya hubungan persahabatan mereka.


Ini tentu saja berkat bagaimana keempat pemainnya bisa saling mengembangkan chemistrynya sebagai sahabat yang memang sudah 8 tahun bersahabat. Semua pemainnya bermain solid mulai dari Morgan Oey dan Mikha Tambayong. Tetapi, kredit utama harus disorot kepada performa Deva Mahenra dan Anggika Bolsterli yang setiap kemunculan berhasil menimbulkan tawa penonton. Mereka berhasil menjadi sosok sahabat yang bisa mewarnai Belok Kanan Barcelona meski dengan beberapa kekurangannya.

Dengan musik yang pas dan tata sinematografi yang cantik, Belok Kanan Barcelona akan memuaskan targetnya dan penonton yang datang tanpa pretensi apapun. Belok Kanan Barcelona memiliki kekuatan yang sangat pas sebagai film komedi romantis dan persahabatan yang mungkin akan jarang ditemui nantinya di perfilman Indonesia. Meski satu subplot ceritanya yang membuat penonton akan sedikit mengurangi kenikmatannya, tetapi Belok Kanan Barcelona adalah sebuah sajian komedi romantis yang sangat menghibur.

CRAZY RICH ASIANS (2018) REVIEW : Komedi Romantis Yang Bisa Lebih Lagi


Warner Bros mendapat lisensi untuk mengadaptasi buku best seller tulisan dari Kevin Kwan. Buku milik Kevin Kwan ini mendapatkan banyak penggemar dan menjadi sebuah karya fenomenal untuk dinikmati oleh penikmat buku. Tentu saja, Warner Bros tak ingin ketinggalan untuk mendapatkan hype yang sama dengan bukunya. Oleh karena itu, Warner Bros mengembangkan ketiga buku dari Kevin Kwan dalam bentuk film.

Buku milik Kevin Kwan ini memiliki 3 seri dengan cerita yang punya benang merah. Mulai dari Crazy Rich Asians, Rich People Problems, dan China Rich Girlfriend. Sebagai pembuka trilogi, Crazy Rich Asians adalah buku pertama yang akan diadaptasi dalam bentuk film. Adaptasinya kali ini disutradarai oleh Jon M. Chu yang pernah menyutradarai G.I.Joe dan dua film dokumenter milik Justin Bieber. Film ini pun dibintangi oleh 2 pemain utama yang mewakili ceritanya.

Dengan ceritanya yang berlatar belakang asia, tentu saja film ini bertaburkan bintang-bintang asia di dalam filmnya. Dua pemain utamanya juga berketurunan asia yaitu Constance Wu dan Henry Golding. Belum lagi, film ini juga dibintangi oleh nama-nama lama seperti Michelle Yeoh hingga Ken Jeong. Film ini diadaptasi oleh Peter Chiarelli dan Adele Lim yang dalam rekam jejaknya sudah biasa membuat film-film komedi romantis seperti Crazy Rich Asians ini.


Crazy Rich Asians pun dipuji banyak orang karena berhasil memberikan nafas segar bagi perfilman Hollywood terlebih tentang representasinya terhadap sosok keturunan Asia. Dengan adanya kedekatan representasi yang sedang menjadi urgensi di wajah sinema Hollywood inilah yang membuat Crazy Rich Asians begitu fenomenal. Tak hanya dipuji oleh kritikus, film adaptasi dari buku Kevin Kwan ini juga mendapatkan perolehan admisi tiket yang fantastis untuk ukuran sebuah film komedi romantis.

Crazy Rich Asians bisa dibilang memiliki premis cerita yang sudah biasa terlihat di beberapa judul film apalagi di film-film Asia sendiri. Dengan atas nama premis cerita yang sudah biasa, Jon M. Chu memang berhasil untuk mengemasnya menjadi sajian yang megah dan mewah. Dengan atas nama representasi pula, Crazy Rich Asians bisa menjadi sesuatu yang segar bagi wajah sinema Hollywood. Tetapi, sebagai sebuah film komedi romantic, Crazy Rich Asiansbisa disajikan dengan lebih baik lagi.


Menceritakan tentang seorang perempuan bernama Rachel Chu (Constance Wu), perempuan independen yang berhasil menghidupi dirinya sendiri dengan menjadi dosen di sebuah universitas terkenal di Amerika. Dirinya memiliki sosok kekasih laki-laki berparas tampan bernama Nick Young (Henry Golding) yang juga sedang bekerja di Amerika. Sebagai pasangan, keduanya bisa nampak bahagia Bersama. Hingga suatu ketika, Rachel diminta Nick datang ke pernikahan temannya.

Di saat inilah, kehidupan Rachel Chu yang tenang dan bahagia berputar 180 derajat dari biasanya. Rachel baru tahu bahwa kekasihnya adalah sosok yang sangat kaya raya di kampung halamannya yaitu Singapura. Selain itu, Rachel saat dikenalkan oleh Nick kepada semua keluarganya juga tak berjalan lancar. Rachel berhadapan langsung dengan Eleanor Young, Ibu dari Nick yang ternyata sangat dingin terhadap Rachel. Inilah yang membuat Rachel mulai tak percaya diri dengan dirinya.


Janganlah terlalu skeptis untuk dengan mudah memberikan penilaian bahwa Crazy Rich Asians akan sama dengan beberapa film Asia yang serupa. Memang paradigma tentang premis ceritanya yang sudah basi membuat orang akan memberikan skeptis. Tetapi, atas nama orisinalitas, tak ada di atas bumi ini yang benar-benar orisinil. Crazy Rich Asians boleh saja tetap menyadur sebuah kisah upik abu atau dongeng tentang Cinderella. Tetapi, Crazy Rich Asians sudah berusaha keras untuk mengemasnya menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda dibandingkan dengan film-film dengan premis serupa.

Menyematkan kultur-kultur Asia yang oriental dan memberikan pandangan lain tentang suatu ras ini tentu bukan pekerjaan yang mudah. Jon M. Chu tentu sangat berhasil untuk membuat Crazy Rich Asians unggul dalam hal-hal tersebut. Sehingga, pantas saja pengarahannya begitu dipuji dengan atas nama memberikan representasi yang benar-benar baru untuk kaum tertentu. Serta, tentu saja film ini mampu memberikan wajah yang cukup segar di perfilman Hollywood.

Namun, Jon M. Chu mungkin sudah tenggelam dengan gegap gempita serta ambisi untuk memberikan representasi tersebut. Membuat Crazy Rich Asians dengan penuh gemerlap dan kemewahan yang tentu saja akan sangat mewakili judulnya. Sehingga, dirinya belum benar-benar mengetahui bahwa pengarahannya bisa saja diperbaiki hingga dalam 120 menitnya Crazy Rich Asians bisa terasa lebih maksimal lagi.


Naskah milik Peter Chiarelli dan Adele Lim ini mungkin sudah tahu benar untuk memberikan porsinya untuk mengemas Crazy Rich Asians sebagai sebuah film komedi romantis yang solid. Banyak sekali momen-momen penting di dalam Crazy Rich Asians yang rasanya bisa diperkuat lagi. Jon M. Chu seperti kurang memaksimalkan pengarahannya agar bisa muncul emosi yang kuat. Sayang sekali rasanya  dengan segala gegap gempita euforianya, Crazy Rich Asians masih belum punya adegan-adegan klimaks yang belum tersampaikan dengan baik.

Beberapa adegan kunci di dalam film ini bisa saja berakhir emosional kepada penontonnya. Jika saja, Jon M. Chu tahu benar untuk membangun setiap karakternya dengan baik dari awal film. Dengan durasi yang mencapai 120 menit, tentu akan ada banyak ruang bagi Jon M. Chu untuk membuat penonton lebih dekat dengan karakternya. Mengenalkan setiap karakter sedikit demi sedikit hingga akhirnya di beberapa adegan tertentu itu, penonton bisa merasakan suasana penuh kasih saying di antara dua pemain utamanya yang sedang menjalin cinta. Padahal beberapa musiknya sudah muncul dengan tepat untuk memberikan nuansa manis.


Di dalam ranah-ranah tertentu yang menyangkut representasi dan pengemasan premis cerita ini, Crazy Rich Asians mungkin sudah melaksanakannya dengan benar. Hanya saja sebagai sebuah film komedi romantis, Crazy Rich Asians mungkin tidak bisa terlalu unggul dengan pesaing-pesaingnya. Bagi penonton yang mengharapkan sesuatu yang lebih dan berbeda di dalam genre komedi romantisnya, Crazy Rich Asiansmungkin cukup memuaskan. Hanya saja, presentasinya bisa saja dimaksimalkan lagi karena masih memiliki potensi menjadi lebih baik lagi.

THE NUN (2018) REVIEW: Sebuah Origin Story Yang Belum Baik Benar


James Wan yang sudah berhasil membangun The Conjuring menjadi sebuah franchise horror yang ditunggu banyak orang, membuat Warner Bros tahu akan potensinya. The Conjuring Universe hadir untuk menyapa penggemar film horror di dunia. Tak hanya menyorot kasus-kasus makhluk astral dari pasangan Warren, tetapi juga beberapa karakter ikoniknya. Spin off dari The Conjuring Universe sudah dimulai sejak sosok Annabelle yang terkenal lewat film pertama dari The Conjuring.

Di film keduanya, The Conjuring mengeluarkan sosok ikonik lain yaitu Valak. Tentu saja, hal ini sudah menjadi sesuatu yang memiliki potensi untuk dikembangkan di dalam The Conjuring Universe. Oleh karena itu, tahun ini film dengan judul The Nun dirilis untuk memperluas universe horror milik Warner Bros ini. Film tentang Valak ini disutradarai oleh Corin Hardy yang memang dalam rekam jejaknya sudah memiliki portfolio di genre horror ini lewat The Hallow (Woods).

The Nun dibintangi oleh Taissa Farmiga dan memiliki penulis naskah yang tak sembarangan. Gary Daubeman telah memiliki rekam jejak yang cocok dalam mengembangkan The Conjuring Universe. Semua spin off dari The Conjuring selalu diprakarsai oleh tulisan naskahnya mulai dari Annabelle dan Annabelle: Creation. Belum lagi, naskah adaptasinya terhadap buku milik Stephen King, IT, juga berhasil menyita perhatian banyak penontonnya.


Tentu saja, origin story dari sosok Valak akan dengan mudah menarik minat penontonnya. The Nun akan dengan mudah dinantikan oleh para penggemar film horor terutama bagi yang sudah menyaksikan film-film dari The Conjuring Universe. Belum lagi, trailer yang dirilis pun bisa membuat penontonnya bergidik ngeri. Bahkan, muncul rumor-rumor tentang trailernya yang terlalu seram sehingga harus ditarik dari peredaran.

Dengan rumor-rumor dan potensinya, The Nun sayangnya tidak bisa membuat penonton puas akan ekspektasi yang sudah terbangun. Jika dilihat dari tugas dan tujuannya secara garis besar, The Nun memang berhasil hadir sebagai movie companion untuk membuat The Conjuring Universe semakin besar. Tetapi sebagai sebuah film horor, The Nun hadir dengan performa yang tidak maksimal. The Nun hadir sebagai sebuah sajian film horor yang tidak memiliki rasa menakutkan sama sekali.


The Nun tentu saja akan menceritakan sosok Valak di dalam filmnya. Cerita ini dimulai ketika seorang pemuda bernama Frenchie (Jonas Bloquet) yang menemukan badan seorang suster yang tergantung di pelataran gereja. Kabar ini terdengar hingga pusat dan ini menjadi konsentrasi bagi mereka untuk ditelusuri dan diinvestigasi misterinya. Vatikan menyuruh Father Burke (Demian Bichir) dan Sister Irene (Taissa Farmiga) untuk pergi ke gereja tersebut.

Father Burke dan Sister Irene menghabiskan beberapa malam di sana untuk menyelesaikan tugasnya dari Vatikan. Tetapi, malam-malam di sana tak berjalan mulus dan lancar-lancar saja seperti yang diharapkan. Banyak sekali kejadian-kejadian aneh yang mereka rasakan saat berada di gereja tersebut. Mereka diganggu oleh makhluk-makhluk astral yang tak pernah mereka alami sebelumnya. Hal-hal inilah yang menuntun mereka menemukan misteri tentang gereja tersebut.


The Nun memang sudah benar menjalankan tugasnya sebagai movie companion dari The Conjuring Universe. Dijadikan sebagai pion untuk semakin memperluas universe-nya agar memiliki kesinambungan. Sayangnya, dengan dunianya yang semakin membesar, The Nun tidak bisa menjadi sebuah kisah yang memiliki jembatan yang baik untuk menjelaskan seperti apa sosok Valak yang menghantui keluarga Warren ini.

Sebagai origin storyThe Nun masih belum bisa menjelaskan sosok ikonik Valak dengan baik. Sepanjang 94 menitnya, The Nun seperti bingung untuk menceritakan plot ceritanya mau seperti apa. Banyak hal yang ingin diceritakan di dalam filmnya, tetapi Corin Hardy belum bisa mengelaborasinya dengan efektif. Sehingga banyak sekali missing point yang muncul di dalam film ini terlebih ketika menjelaskan tentang sosok astral ikoniknya yaitu Valak.

The Nun memang berusaha memberikan suguhan yang berbeda untuk sebuah film horor. Menjadikannya sebagai sebuah petualangan penuh misteri yang mungkin akan berbeda rasa dengan The Conjuring Universe secara keseluruhan. Gary Dauberman sebagai penulis naskah sebenarnya tahu film ini akan dibawa ke mana. Hanya saja, Corin Hardy lah yang tak memiliki visi yang kuat untuk mendukung naskah yang ditulis oleh Gary Dauberman.


Ada beberapa bagian yang mungkin akan menceritakan tentang sosok Valak hanya saja tak maksimal. Tetapi, The Nun sepertinya lebih memikirkan untuk menjadi sebuah rip-off dari film IT. Cara berceritanya hampir memiliki kemiripan dengan film horor adaptasi dari buku Stephen King tersebut. Fokus kepada karakter-karakter lain dibandingkan sosok utamanya sendiri. Tetapi, pengarahannya belum bisa membuat karakter-karakter ini bisa berkoneksi dengan penontonnya.

Fokus untuk menceritakan sosok Valaknya dengan efektif, Corin Hardy sudah bingung untuk membuat penonton merasakan bagaimana menjadi karakter-karakter di dalam filmnya. Banyak cerita-cerita tentang kisah masa lalu yang menghantui yang dirasakan oleh penontonnya agar memunculkan suasana atmosferik horor yang kuat. Sayangnya, Corin Hardy belum bisa menyuguhkan dan membangun atmosfer itu kepada penontonnya.

Alih-alih penonton ikut merasakan teror Bersama dengan karakternya, The Nun pun berubah menjadi sajian film horor yang malah kurang rasa, bahkan menuju hambar. Hal ini tentu saja karena Corin Hardy yang belum bisa mengelaborasi setiap plot dan subplotnya agar memiliki porsinya masing-masing. Tidak ada rasa ngeri yang mampu membuat penontonnya bergidik dan bahkan efek jump scares yang biasa jadi andalan pun tidak bisa tampil dengan baik.


Pengarahan yang tak kuat dari Corin Hardy inilah yang membuat The Nun tampil belum maksimal. The Nun hanyalah sebuah spin off yang terasa malas dalam presentasinya. Tetapi tentu saja The Nun adalah sebuah senjata pengeruk untung yang sangat efektif bagi The Conjuring Universe untuk bisa mengeksplorasi dunianya. The Nun tampil cukup mengecewakan bagi penonton yang ingin merasakan sensasi ditakut-takuti saat menonton film horor di bioskop. Berharap saja jika saja ada lagi, film tentang Valak ini akan membaik. Persis seperti Annabelle: Creation yang lebih baik dari jilid pertamanya.

WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 (2018) REVIEW : Universe Superhero Lokal Yang Patut Dinantikan!


Mengembalikan kepercayaan penonton terhadap film laga dan seni silat sudah pernah dilakukan oleh Miles Films lewat Pendekar Tongkat Emas. Meski tak mendapat sambutan yang cukup meriah, Pendekar Tongkat Emas masih memiliki tujuannya yang mulia. Di tahun ini, Lifelike Pictures dengan usahanya menggandeng rumah produksi luar negeri yaitu 20th Century Fox, membangkitkan karakter silat legendaris milik tanah air.

Karakter silat rekaan dari Bastian Tito ini tentu sudah sangat dekat oleh penonton Indonesia. Lewat serial televisi, karakter ini tentu menjadi sosok yang sangat legendaris. Wiro Sableng, sang pendekar kapak maut naga geni ini mendapatkan kesempatan untuk diarahkan oleh Angga Dwimas Sasongko dalam versi layer lebarnya. Menggandeng Seno Gumira Ajidarma dan Tumpal Tampubolon dalam penulisan naskah, Lifelike Pictures membuka jalan karakter ini untuk membangun dunianya.

Vino G. Bastian ditunjuk sebagai orang yang tepat untuk mewarisi karakter Wiro Sableng yang dibuat alm. Bastian Tito, di mana Vino adalah anak dari pembuatnya. Tentu saja, Wiro Sableng akan diperankan dan dibuat dengan sepenuh hati karena inti hatinya ikut andil dalam pembuatannya. Pun, film Wiro Sableng dengan sub judul Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini mengajak Sherina untuk kembali berakting di layer lebar. Serta, mengajak nama baru seperti Fariz Al Farizi di dalam filmnya.


Tak berhenti di nama-nama seperti itu, banyak aktor dan aktris dengan nama besar juga ikut di dalam filmnya. Mulai Dwi Sasono, Yayan Ruhian, Yayu Unru, hingga sang istri dari Vino sendiri yaitu Marsha Timothy. Dengan nama-nama besar dan kerjasamanya dengan rumah produksi Hollywood, tentu membuat Angga Dwimas Sasongko mendapatkan tanggung jawab yang besar saat membuat film ini. Terlebih, ini tentu saja pertama kalinya Angga Dwimas Sasongko membuat film dengan genre berbeda.

Mungkin masih ada sedikit rasa khawatir dari penonton saat membuat Wiro Sableng ini ke sebuah film layer lebar. Mulai dari ketakutan membawa suasana nostalgia hingga mengelaborasi teknis dan pengarahannya dengan baik. Tetapi, dengan rekam jejak Angga Dwimas Sasongko, tentu saja Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berhasil diarahkan menjadi sebuah film action fantasy yang menawan. Sekaligus, menetapkan standar yang tinggi dalam Raihan teknis di film Indonesia.


Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 mengadaptasi empat cerita novelnya menjadi satu cerita utuh di filmnya. Menceritakan tentang penyerangan sebuah desa oleh Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) dan komplotannya sehingga membuat Wiro kecil harus terpisah dengan orang tuanya. Sinto Gendeng (Ruth Marini) lah yang pada akhirnya merebut Wiro kecil dari tangan Mahesa Birawa dan merawatnya hingga melatih Wiro menjadi sosok pendekar yang kuat.

Wiro (Vino G. Bastian) dianggap sudah dewasa dan cukup kuat untuk melanjutkan jalan hidupnya. Wiro Sableng pun dilepas untuk menemukan sosok Mahesa Birawa yang pada awalnya Wiro belum benar-benar tahu bahwa dia adalah sosok yang memisahkan dirinya dengan orang tuanya. Di tengah perjalanannya, Wiro bertemu dengan Pendekar Tapak Sakti (Fariz Al Farizi) dan Anggini (Sherina) dan terlibat konflik sebuah tahta kerajaan yang menuju ke satu titik utama yaitu Mahesa Birawa.


Dengan mengadaptasi 4 cerita sekaligus, tentu perlu ketelitian agar ceritanya tak terasa tumpang tindih. Tentu saja hal itu adalah misi yang sangat susah untuk dilakukan oleh Sheila Timothy, Seno Gumira Ajidarma, dan Tumpal Tampubolon. Mereka harus menahan egonya agar tidak terlalu ingin memaksakan setiap ceritanya tetapi juga tetap harus tahu bahwa Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini juga memiliki universe yang harus berkembang dan berpotensi membesar nantinya.

Alih-alih memperbanyak konflik yang bakal membuat film ini tidak fokus, Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini fokus terhadap satu konflik utama dengan sedikit cabang cerita. Yang dikorbankan memanglah pengembangan karakter yang banyak di dalam filmnya. Sehingga, beberapa karakter yang ada di dalam film ini hanya bisa tampil tanpa digali lebih dalam. Meskipun, setiap kemunculannya tidak ada kesan yang dipaksa.

Dengan segala kelemahan dalam segi cerita dan pengembangan karakternya ini, filmnya tetap bisa menyampaikan plot ceritanya dengan baik lantaran pengarahan Angga Dwimas Sasongko yang kuat. Di dalam durasinya yang mencapai 123 menit, penonton akan disuguhi setiap intrik perjalanan Wiro Sableng yang menarik untuk ditonton. Angga Dwimas Sasongko tahu untuk mengemas film ini agar tetap berjalan sesuai tujuannya yaitu untuk menghibur penontonnya.


Kelemahan dalam penulisan naskahnya diubahnya menjadi ladang emas untuk memiliki celah agar dikembangkan menjadi universe yang lebih besar. Sehingga, dengan banyak karakter yang tak tergali dengan baik, bisa membuat penontonnya yakin bahwa nantinya film ini akan memiliki sekuel yang patut untuk dinantikan. Sehingga, nantinya penikmat film Indonesia tentu akan memiliki film-film manusia berkekuatan super dengan dunianya yang sangat dekat dengan budaya Indonesia.

Meski berada di setting waktu dan universe yang berjarak dengan penontonnya, tetapi Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 masih diselipi dengan dialog-dialog satir masa kini. Angga Dwimas Sasongko tahu benar bagaimana menyampaikannya agar semua dialog itu tetap bisa terasa tak dipaksakan. Dialognya tersampaikan dengan dinamis, dipadu dengan dialog-dialog tengil dan menggelitik yang mampu menjadi punchline komedinya.

Performa Vino G. Bastian sebagai Wiro Sableng berhasil mengeluarkan kharismanya dan menjadi inti hati film ini. Vino G. Bastian mampu menginterpretasikan sosok Wiro Sableng yang tengil tetapi juga memiliki sisi-sisi kemanusiaannya yang bisa membuat penontonnya bersimpati. Kolaborasinya juga kuat dengan sang guru, Sinto Gendeng yang diperankan oleh Ruth Marini. Sehingga, hubungan guru dan murid antara mereka berdua tampil secara natural.


Didukung oleh tata suara megah, sinematografi dengan warna yang memanjakan mata, dan visual efek yang bagus untuk ukuran film mega budget di Indonesia, Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 memiliki hasil yang sangat memuaskan. Film ini berhasil menjadi sebuah pencapaian tertinggi dalam hal teknis dalam filmmaking di film-film Indonesia. Kapan lagi film Indonesia memiliki sebuah karya yang bisa membangun universe-nya dengan sangat baik dan berpotensi untuk semakin besar. Inilah kekuatan dalam Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang tak pernah dimiliki film-film Indonesia sebelumnya, bisa membuat universe superhero lokal yang bisa nantikan selanjutnya. Keren sekali!

MILE 22 (2018) REVIEW : Sebuah Start Yang Belum Maksimal


Setelah Deepwater Horizon dan Patriots Day yang tayang di tahun 2017, maka tahun ini Peter Berg mempersiapkan proyek terbarunya. Proyek terbarunya pun tetap menggandeng aktor Mark Wahlberg untuk diajak kerjasama. Proyek film berjudul Mile 22 ini mungkin telah mendapatkan hype luar biasa, terlebih di ranah dalam negeri, karena menggandeng aktor Indonesia yang terkenal lewat franchiseThe Raid.

Iko Uwais diajak oleh Peter Berg untuk beradu akting dengan Mark Wahlberg dan beberapa nama lainnya seperti John Malkovich, Lauren Cohan, dan Ronda Rousey. Tentu saja, dengan adanya nama Iko Uwais di dalam film Mile 22 yang notabene digarap oleh Hollywood membuat bangga dan juga membuat penonton Indonesia Penasaran. Iko Uwais pun bukan hanya sekedar cameo dengan screen time yang sedikit di dalam film ini.

Mile 22 tentu akan terasa berbeda dengan 3 film terakhir Peter Berg yaitu Lone Survivor, Deepwater Horizon, dan Patriots Day yang didasari oleh kisah nyata. Peter Berg menunjuk Lea Carpenter untuk menuliskan naskahnya yang juga dibantu oleh Graham Roland untuk mengembangkan ceritanya. Lewat Mile 22, Peter Berg kembali ke jalur fiksi dan berusaha menjadikan film ini sebagai sebuah sekuel yang berkesinambungan.


Bagi yang akan menonton film ini tentu perlu untuk bersiap-siap karena Mile 22 ini adalah sebuah cerita permulaan untuk film-film selanjutnya. Tetapi, Mile 22 ini seakan terasa usaha Peter Berg untuk tetap membuat filmnya sebagai permulaan yang tak menggebu-gebu untuk dijadikan sebuah sekuel. Peter Berg tahu untuk mengawali dan mengakhiri filmnya tanpa memiliki kesan Mile 22 sangat ambisius membangun universe.

Sayangnya, keambisiusannya berubah kepada bagaimana Peter Berg menuturkan setiap menitnya di dalam film Mile 22. Film terbaru dari Peter Berg sebenarnya memiliki cerita yang sederhana di balik temanya yang mengandung unsur politik dan konspirasi. Cerita dengan tema seperti ini memang sudah menjadi ciri khas dari Peter Berg. Hanya saja, penuturan cerita di Mile 22 ini tak semulus seperti apa yang dilakukan Peter Berg di beberapa film terakhirnya.


Mile 22 dipusatkan pada sosok anggota CIA bernama James Silva (Mark Wahlberg) yang sedang berada di sebuah misi penting. James harus membawa seorang mantan polisi yang menjadi saksi kunci yang membawa informasi rahasia demi kelangsungan negara. Polisi tersebut adalah Li Noor (Iko Uwais) yang berasal dari negara Indocarr. James harus bisa membawa oknum ini ke sebuah bandara dengan selamat. Sayangnya, hal itu tidak berjalan dengan mulus-mulus saja.

 Di perjalanannya menuju bandara, banyak sekali orang-orang yang berusaha menghalangi dirinya. Li Noor diincar oleh banyak orang mulai dari polisi melakukan oposisi dan oknum yang bersekongkol dengannya. James Silva tentu saja akan kewalahan untuk menghadapinya sendiri. Dirinya dibantu oleh rekan-rekannya yaitu Alice Kerr (Lauren Cohan), Sam Snow (Ronda Roussey), dan sang bos Bishop (John Malkovich) yang berusaha mengarahkan mereka.


Plot sederhana yang dimiliki oleh Mile 22ini sebenarnya bisa disampaikan dengan cara yang sederhana pula. Peter Berg mungkin sudah tahu bahwa Mile 22 ini akan menjadi sebuah trilogi yang berkesinambungan nantinya. Sehingga, Mile 22 sebagai sebuah film permulaan ini tentu memiliki banyak cerita pengenalan yang sangat tumpang tindih. Banyak yang ingin dibahas oleh Peter Berg di dalam Mile 22 yang sedang berusaha membangun universe-nya ini.

Apabila Peter Berg mau untuk sedikit menurunkan egonya untuk membangun universenya secara perlahan, Mile 22 bisa jadi sebuah action suspense yang mencengkram penontonnya. Jika saja Peter Berg mau untuk fokus ke dalam misi penyelamatan Li Noor, Mile 22 akan punya intensitas yang lebih dari cukup untuk sebuah film yang berdurasi 94 menit ini. Tetapi, Peter Berg lebih memilih untuk mengelaborasi berbagai macam cerita dan karakter yang malah menyerang balik filmnya.

Hasil akhirnya, banyak karakter yang tak bisa berkembang dengan baik dan sangat terbatas. Meskipun dalam naskah Lea Carpenter ini masih berusaha untuk memberikan konflik-konflik kecil untuk mengembangkan karakter-karakter yang ada. Hanya saja, penyampaian itu tak benar-benar memiliki ruang yang pas di dalam filmnya. Sehingga, karakter-karakter tersebut tak bisa berinteraksi dengan baik kepada penontonnya dan adegan-adegan emosionalnya pun tak bisa berbicara dengan cukup kuat.


Peter Berg masih berusaha untuk tetap memberikan kekhasan di dalam filmnya dan Mile 22 pun masih terasa demikian. Menjunjung tema-tema patriotisme dengan caranya sendiri pun kemasannya yang berusaha untuk realistis. Tetapi, pergerakan kamera dan editing di dalam Mile 22 adalah hal utama yang membuat film ini tak bisa berinteraksi dengan baik. Mile 22 ingin terasa realistis di mata penontonnya sehingga kemasannya lebih dekat ke sifat Mockumentary. Tetapi, tata sunting yang tak rapi malah menyerang balik tujuan Peter Berg dan membuat rasa tak nyaman bagi penontonnya.

Tata sunting yang sengaja dibuat begitu mentah ini memang ditujukan agar membangun intensitas bagi penontonnya. Sayangnya, bagi penonton yang tak bisa toleran dengan gaya seperti ini tentu akan merasa pusing dan universe yang dibangun pun tak akan diingat oleh benak penontonnya. Tetapi, kolaborasi Peter Berg dengan Iko Uwais untungnya masih menghasilkan output yang berjalan dengan baik. Iko Uwais mampu melakukan tugasnya sesuai ekspektasi penonton dan menjadi hal yang paling bersinar di dalam filmnya.

Iko Uwais berhasil menunjukkan kekuatan aktingnya yang semakin berkembang dengan baik. Begitu pula dengan Fight Choreography-nya yang mampu memukau penonton. Sehingga, Iko Uwais bisa menjadi karakter yang dibuat bukan sembarangan. Peter Berg tahu bagaimana caranya untuk membuat kolaborasinya dengan Iko Uwais ini tidak sia-sia. Setidaknya Mile 22 masih memiliki cara untuk memuaskan penonton lewat adegan fighting yang seru.


Mile 22 memang punya dasar ceritanya untuk membangun universe-nya yang besar terlebih memang tujuannya adalah untuk membuat sebuah sekuel. Tetapi, Mile 22 akan lebih cocok untuk dijadikan sebagai episod pilot sebuah serial televisi dengan durasi 60 menit. Masih banyak hal yang menjadi catatan baik secara teknis dan penuturan cerita dari Mile 22 ini agar lebih efektif. Tetapi, dengan performa Iko Uwais dan penyelesaiannya, setidaknya penonton masih memiliki amunisi untuk menunggu seri berikutnya. Berharap saja bakal lebih baik!

MUSIK KLASIK UNTUK IBU HAMIL


Musik Klasik Untuk Bayi Dalam Kandungan

Banyak dokter spesialis kandungan merekomendasikan bayi dalam kandungan diperdengarkan musikklasik karena selain musik sebagai materi hiburan yg bisa memanjakan telinga juga dapat diperdengarkan kepada bayi dalam kandunan. Manfaat musik klasik untuk janin diyakini bisa merangsang janin kelak menjadi anak cerdas dan kreatif. Musik klasik untuk ibu hamil diyakini juga bisa dipakai untuk terapi memutar janin sungsang kembalik ke posisi normal.

Menurut dokter spesiais kandungan, mereka ibu hamil yang telah berusia lebih dari 30 tahun memiliki tingkat resiko kesehatan janin yang lebih tinggi dan tingkat kecerdasan anak yang lebih rendah dibandingkan dengan yang hamil di usia kurang dari 30 tahun.

Prof.Dr.Utami Munandar dalam seminar “Pengaruh mendengarkan musik klasik terhadap janin dan kehamilan” menjelaskan bahwa mendengarkan musik klasik merupakan upaya pemberian stimulasi kepada janin didalam kandungan.



Musik klasik untuk bayi dalam kandungan akan merangsang perkembangan sel otak janin. Semakin sering dan teratur pemberian perangsangannya maka semakin efektif pengaruhnya. Perangsangan ini sangat penting karena sejak awal kehamilan hingga bayi berusia 3 tiga tahun merupakan masa tumbuh kembang otak yang paling pesat.

Wanita hamil yang stress dapat meningkatkan kadar renin angiotensin yang memang sudah meningkat pd wanita hamil sehingga mengurangi sirkulasi rahim – plasenta – janin. Efek dari penurunan sirkulasi ini dapat mengakibatkan berkurangnya pasokan nutrisi dan oksigen kepada janin. Hambatan seperti ini dapat dikurangi atau dihilangkan dengan memperdengarkan musik klasik seperti musik klasik karya Mozart.

Tidak semua ibu hamil suka musik klasik, bila terus diperdengarkan dengan berulang-ulang hingga hafal nanti akan terasa indahnya musik untuk bayi dalam kandungan ini. Cukup dengan mendengar musik klasik ibu hamil dan janin selama 30 menit sehari.


Ayo Tontong dan dengarkan Youtube Musik klasik untuk ibu hamil => klik DISINI

MUSIK MEMPENGARUHI PSIKOLOGI


Musik Mempengaruhi Kepribadian Seseorang

Musik dapat menimbulkan reaksi psikologis seperti bisa mengubah suasana hati dan kondisi emosi seseorang sehingga musik bisa dijadikan sebagai relaksasi yang bisa menghilangkan stres, memperbaiki mood, mengatasi kecemasan dan menumbuhkan kesadaran spiritual. Musik tidak hanya dapat menciptakan harmoni nada yang enak didengar, tetapi musik juga bisa memberikan kesan yang indah yang dapat menggugah dan menghantarkan manusia pada kesadaran yang dalam dan penuh, menelusuri lorong-lorong hampa dalam ketidakberdayaan harapan.

Kesadaran akan fitrah kemanusiaan yang tidak bisa lepas dari masalah, sehingga menimbulkan kepasrahan untuk berserah kepada Yang Maha Kuasa. Penyerahan diri inilah yang bisa menghilangkan beban pikiran dan perasaan yang menekan. Rangsangan ritmis yang dihasilkan musikmampu membuat pikiran menjadi rileks dan dapat menimbulkan perasaan positif, nyaman, tenang, bahagia dan optimis.



Di saat hati kita sedang sedih, kalau kita mendengar musik gembira maka hati kita akan terbawa menjadi gembira. Begitu juga sebaliknya, bila hati kita sedang senang kemudian kita mendengarkan musik yang sedih maka kemungkinannya hati kita akan terbawa menjadi sedih sehingga musik bisa mempengaruhi mood seseorang.

Musik mempengaruhi perasaan seseorang tergantung tema lagunya. Disarankan mendengarkan musik yang berisi pesan-pesan yang baik. Kalau selalu sering mendengarkan musik yang temanya putus cinta maka bisa membuat cinta anda benar-benar putus. Dengarkanlah selalu musik yang baik-baik saja.

Pernah ada cerita disuatu negara pada suatu waktu terjadi banyak kasus bunuh diri. Setelah diteliti ternyata mereka mendengarkan suatu lagu tertentu sehingga musikmempengaruhi emosi sipendengar yang mengajak atau menganjurkan mengakhiri hidupnya karena sedang dirundung masalah yang tiada akhir. Sehingga pemerintah setempat menarik kembali seluruh kaset/cd rekaman dari lagu tersebut yang sudah beredar ke publik. Jadi sangat disarankan lebih sering mendengarkan musik yang positif dari tema lagunya karena ternyata musik mempengaruhi jiwa sipendengar.

Ayo tonton lagu piano cover improvisas by junfarabi => klik disini