• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

JUMANJI : WELCOME TO THE JUNGLE (2017) REVIEW : Old Game, New Look, Generic Taste


Mungkin ada beberapa dari penonton yang telah tumbuh menjadi dewasa dengan Jumanji. Ya, film tentang permainan papan yang menjadi nyata itu sudah sangat melegenda pada zamannya. Sehingga, ada beberapa orang yang mungkin tak menghiraukan rencana Sony Pictures untuk menghadirkan kembali kisah tentang permainan tersebut. Tetapi, Sony Pictures masih saja berusaha optimis dengan rencananya menghidupkan kembali Jumanji.

Tentu, para orang yang sudah tumbuh dengan Jumanji akan merasa ragu dengan apa yang dilakukan Sony Pictures. Banyak yang skeptis dengan bagaimana performa Jumanji : Welcome To The Jungle ini nantinya. Tetapi, Sony Pictures tetap percaya diri dengan performa Jumanji : Welcome To The Jungle. Dibintangi oleh banyak pemain terkenal seperti Dwayne Johnson, Kevin Hart, Karen Gillan, dan Jack Black, Jumanji : Welcome To The Jungle disutradarai oleh Jake Kasdan yang biasa menangani film komedi.

Jumanji : Welcome To The Jungleini rupanya tak digubah menjadi sebuah remake. Tetapi, film ini adalah sebuah kisah lanjutan yang diadaptasi lebih kekinian agar penonton baru pun bisa lebih relevan dengan apa yang ditampilkan. Adaptasinya pun mengubah permainan papan menjadi permainan konsol dengan cerita yang juga mengikuti perubahan tersebut. Secara cukup mengagetkan, Jumanji : Welcome To The Jungle memiliki performa yang pas untuk dapat dinikmati sebagai sebuah film yang sangat menghibur penontonnya.


Inilah kisah Jumanji : Welcome To The Jungle yang sedang menyasar sosok remaja sekolah menengah atas. 4 remaja yang sedang mendapatkan hukuman dan terjebak di satu ruangan untuk segera mereka bersihkan. Mereka adalah Spencer (Alex Wolff), Fridge (Ser’Darius Blain), Bethany (Madison Iseman), dan Martha (Morgan Turner). Di tengah mereka sedang membersihkan ruangan tersebut, mereka menemukan sebuah permainan konsol tua dan memutuskan untuk bermain dengan permainan tersebut.

Setelah memilih karakter permainan sesuai dengan yang mereka pilih, sesuatu aneh terjadi dengan diri mereka. Permainan tersebut menghisap keempat remaja tersebut dan masuk ke dalam dunia permainan yang datang dari antah berantah. Di sana, mereka menjadi sosok yang mereka pilih. Mereka tak bisa keluar dari permainan tersebut. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan menyelesaikan permainan tersebut yang ternyata bukan sesuatu yang mudah.


Jumanji : Welcome To The Junglememiliki konsep cerita yang sama dengan film pendahulunya. Sehingga, secara cerita pun sebenarnya tak ada hal baru yang berusaha ditampilkan oleh film ini. Tetapi, Jumanji : Welcome To The Junglediberkahi dengan jajaran aktor dan aktris yang berhasil membuat 115 menit filmnya memiliki performa yang sangat menyenangkan. Keputusan pintar dari Jake Kasdan untuk tak terlalu lama menceritakan kisah awal mula dari Jumanji : Welcome to the Jungle ini.

Cerita latar belakang setiap karakter dan alasan-alasan kenapa mereka bisa terjebak ke dalam permainan ini bisa disampaikan dengan cara yang pas. Kesibukan lainnya yang perlu untuk diperhatikan adalah bagaimana keempat remaja yang terjebak dengan karakter pilihan mereka bisa keluar dari permainan tersebut. Jumanji : Welcome To The Junglepunya segala keseruan dalam ceritanya yang bisa diandalkan. Sehingga, penonton akan sangat dengan mudah terhibur dengan apa yang ditampilkan oleh Jake Kasdan.

Punya paket lengkap dalam amunisinya untuk menghibur penonton lewat petualangan yang seru di dunia Jumanjiyang baru. Segala petualangan tersebut pun bisa semakin dinikmati karena dalam naskahnya diinjeksi lagi dengan humor segar yang semakin membuat Jumanji : Welcome To The Jungle ini terlihat segar. Segala keseruan itu tak hadir begitu saja, hal ini tentu berkat performa dari Dwayne Johnson, Kevin Hart, Jack Black, dan Karen Gillan yang berhasil meyakinkan penontonnya bahwa mereka tetap empat remaja yang sedang terjebak dalam dunia permainan konsol.


Pun, pemain pendukung seperti Nick Jonas pun bisa bermain dengan sangat baik. Sehingga, kelima karakter dalam Jumanji : Welcome To The Jungle ini memiliki ikatan emosi yang sangat baik. Ini pula yang mengangkat setiap sekuens aksi dan petualangan dalam Jumanji : Welcome To The Jungle sehingga dalam perjalanannya film ini tak terasa hambar. Meskipun, ada beberapa minor yang membuat Jumanji : Welcome To The Jungle tak selalu bisa menjaga tensinya dengan kuat. Pun, humor yang ada di dalam film ini pun beberapa kali memudar.

Selain itu, ikon legendaris tentang permainan papan yang berubah jadi nyata ini pun tak lagi diulik lebih dalam lagi. Tak ada penghormatan lain tentang permainan papan Jumanji yang bisa membuat penontonnya yang tumbuh dengan film tersebut bisa merasakan rasa nostalgia. Menyaksikan Jumanji : Welcome To The Jungle pun hanya seperti menyaksikan film action pada umumnya meskipun sama-sama menggunakan nama besar Jumanji untuk filmnya dan ini cukup disayangkan sekali.


Tetapi, bagi yang tak terlalu mengenal Jumanji, tentu saja film terbaru dari Jake Kasdan ini adalah sebuah film yang akan menghibur Anda dengan sangat baik. Jake Kasdan sepertinya ingin membuat Jumanji : Welcome To The Junglesebagai sebuah film lanjutan yang bisa dinikmati secara universal tanpa perlu memikirkan sensasi nostalgia dengan beberapa easter eggs yang berlebihan. Cukup memberikan pengertian tentang seperti apa Jumanjipada zamannya. Ya, usahanya itu harus diakui cukup berhasil, tetapi sebagai film dengan nama besar Jumanji, film ini tak bisa mewarisi kelegendarisannya.

INSIDIOUS : THE LAST KEY (2018) REVIEW : Trivia Kisah Elise dan Masa Lalunya


Franchise film horor satu ini memang sudah banyak mendapatkan antisipasi dari penontonnya. Sejak filmnya yang pertama, Insidious mendapatkan word of mouth yang sangat kuat. Tentu saja hal ini berpengaruh dengan bagaimana sang rumah produksi berperilaku untuk memberikan lampu hijau kepada film ini. Sukses secara finansial pun menjadi satu-satunya alasan kenapa Insidiousmasih bertahan meneruskan sisa-sisa warisan cerita yang bisa digunakan.

Meskipun kekuatan seri ini sudah melemah di seri ketiganya, nyatanya Insidious masih harus bangun dari tidur untuk membuat sebuah kisah baru. Maka, muncullah Insidious : The Last Key yang kali ini dibawahi oleh Sony Pictures dalam proses distribusinya. Pemegang kunci Insidious : The Last Key  ini diserahkan kepada Adam Robitel yang sudah pernah menangani sebuah film horor sebelumnya berjudul The Taking of Deborah Logan. Dibantu oleh Leigh Whannell yang sudah terbiasa menuliskan cerita-cerita dari Insidiouspertama.

Bisa jadi orang sudah lelah mengikuti seri dari franchise ini, tapi nyatanya Insidioussudah memiliki pamornya. Insidious : The Last Key akan dengan udah meraih banyak penonton di saat rilis tetapi bukan berarti hal tersebut akan dengan mudah merebut hati penontonnya. Insidious : The Last Key ini menunjukkan bahwa film ini sudah mulai tak menunjukkan taringnya sebagai film horor. Adam Robitel sebagai sutradara tak mampu membangkitkan amarah roh-roh jahat untuk sekali lagi menakut-nakuti penontonnya.


Problematika Insidious : The Last Key ini tak hanya sekedar tentang bagaimana caranya untuk menakut-nakuti penontonnya. Tetapi juga caranya untuk berusaha membuat penontonnya terjaga sepanjang durasi untuk ikut bersimpati dengan setiap karakter yang ada di dalamnya. Kali ini, fokus utama dari film ini adalah kisah tentang Elise, satu-satunya karakter yang masih bisa dikembangkan lagi untuk menjadi sebuah franchise yang baru.

Adam Robitel sangat berusaha menerjemahkan naskah yang ditulis oleh Leigh Whannell ke dalam layar. Hanya saja, usaha tersebut tak maksimal dan membuat Insidious : The Last Keysangat melelahkan untuk diikuti. Selama 104 menit, Insidious : The Last Key seperti menyaksikan kompilasi dua film pendek yang dipersatukan oleh satu karakter yang sama. Ada potensi menarik dalam kisahnya, tetapi sayangnya hal itu tak bisa berjalan dengan baik.


Menceritakan tentang Elise (Lin Shaye) yang harus menghadapi masa lalunya yang kelam. Dia mendapatkan sebuah telepon dari seseorang bernama Ted Garza (Kirk Acevedo) untuk membasmi hantu di rumahnya. Ternyata, rumah yang ditinggali oleh Ted Garza adalah rumah yang ditinggali oleh Elise dan keluarga saat masih kecil. Elise sudah tahu bahwa sejak kecil rumah yang ditinggali ini sudah berhantu yang membuat keluarganya dalam bahaya.

Elise berusaha untuk membasmi hantu yang ada di dalam rumah Ted Garza, tetapi apa yang dihadapi oleh Elise lebih dari itu. Ada hal lain yang harus berusaha diselesaikan oleh Elise selama sedang bertugas di rumah masa kecilnya. Oleh karena itu, Elise harus berkompromi dengan masa lalunya, menekan mimpi buruknya jauh-jauh agar bisa menghadapi makhluk astral yang sudah menganggunya dan keluarganya sejak kecil.



Insidious : The Last Keymungkin sedang berusaha untuk menggali lebih dalam siapa itu Elise, sosok yang selalu menjadi juru kunci di setiap seri Insidious. Tujuan inilah yang sedang berusaha dilakukan oleh Leigh Whannell saat menuliskan ceritanya di dalam naskah. Tetapi sayang, Adam Robitel tak bisa membuat penonton cukup bersimpati dengan cerita yang ada di Insidious : The Last Key. Jatuhnya, seri keempatnya ini terlihat hanya mementingkan untuk mengekspansi dunia franchise ini untuk demi kelangsungan seri-seri berikutnya.

Tak ada kekuatan sama sekali dalam pengarahannya, baik dalam porsi dramanya maupun dalam membangun teror. Insidious : The Last Key hanya berusaha memanipulasi penontonnya dengan berbagai scoring atau musik latar untuk memunculkan nuansanya. Ketika masuk ke bagian human drama, musik latarlah yang berusaha mengelabui penonton untuk ikut andil dalam kisah Elise. Begitu pula dalam bangunan tensi horornya.

Musik menjadi cara untuk mengelabui penonton dalam mendapatkan sensasi menonton film horor di dalam Insidious : The Last Key. Tak ada atmosfir horor yang bisa dibangun dengan baik oleh sang sutradara. Begitu pula dengan teknik jump scaresnya yang sudah tak lagi inovatif dan hanya mengulangi formula-formula yang usang. Teknik jump scares yang biasanya efektif ini pun tak digunakan terlalu banyak di dalam filmnya. Sehingga, penonton tak lagi bisa mendapatkan sensasi apapun saat menonton film ini.


Di dalam 104 menit filmnya, Insidious : The Last Key serasa terbagi menjadi dua babak yang berbeda. Konflik awal di dalam film ini mungkin ditujukan sebagai pengantar cerita yang memunculkan sebuah koneksi di akhir film. Nyatanya, ketika konflik awal tentang Ted Garza ini diselesaikan, fokus cerita tiba-tiba berpindah dan tak sesekali memiliki koneksi dengan cerita di awal film. Hal ini malah menjadi bumerang bagi filmnya, karena tanpa cerita di 1 jam pertama sebenarnya cerita di paruh kedua bisa berjalan sendirian.

Hal ini memunculkan sebuah isu di dalam Insidious : The Last Key bahwa film ini hanyalah sebagai sebuah fitur film tambahan untuk memperluas dunia milik Insidious. Sehingga, nantinya Insidiousbisa menggunakan celah-celah yang ada untuk melanjutkan serinya meskipun penonton sudah mulai lelah. Terbukti dengan adanya adegan di akhir film Insidious : The Last Key yang memberikan sebuah koneksi ke seri-seri sebelumnya. Insidious : The Last Key hanyalah sebuah film trivia yang sebenarnya tidak ada pun juga tidak apa-apa.


THE GREATEST SHOWMAN (2017) REVIEW : An Ordinary Musical Sequence


Di ujung tahun 2017, datanglah sebuah drama musikal yang diarahkan oleh Michael Gracey. The Greatest Showman, film musikal yang sudah bertahun-tahun mengalami pengembangan dalam banyak hal, akhirnya bisa tayang dan rilis juga di tahun 2017. Sebelum rilis, The Greatest Showman mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dalam nominasi Best Comedy or Musical Motion Picture di Golden Globes 2017.

Banyak nama-nama besar yang ikut terlibat dalam film The Greatest Showman. Mulai dari Hugh Jackman, Michelle Williams, Zac Efron, hingga Zendaya dan nama-nama baru yang meramaikan film ini. Sehingga, film ini pun sudah memiliki antisipasi yang cukup besar dari calon penontonnya. Belum lagi, The Greatest Showman menggunakan duo musisi, Benj Pasek dan Justin Paul, yang sudah memenangkan banyak penghargaan lewat film La La Land tahun lalu.

Ini adalah debut awal Michael Gracey di kursi sutradara sebuah film besar. Michael Gracey pada awalnya bermain di ranah visual effects dan art departments dan di film debutnya kali ini dia berusaha menceritakan sebuah kisah nyata dari sosok P.T. Barnum. Meski begitu, Michael Gracey berusaha untuk membuat filmnya tak sekedar menjadi kisah seseorang semata. Melainkan, Michael Gracey berusaha membuat The Greatest Showman sebagai sebuah anthem untuk mereka yang terpinggirkan.


The Greatest Showman menceritakan sosok P.T. Barnum (Hugh Jackman), seorang anak dari pembuat sepatu yang hidup serba kekurangan. Kehidupannya yang serba kekurangan ini tak membuat Barnum mundur untuk mengejar siapa yang dicintai. Dialah Charity (Michelle Williams), perempuan yang sangat dicintai oleh Barnum meskipun orang tua Charity tak menyetujui hubungan mereka. Selepas menikah, mereka hidup jauh dari orang tua Charity.

Selama hidupnya, Barnum memiliki kesusahan secara finansial padahal dia harus membiayai kehidupan istri dan dua anaknya. Kehidupannya semakin susah ketika Barnum harus diberhentikan secara paksa di tempatnya bekerja karena bangkrut. Barnum bertekad untuk membeli sebuah museum patung lilin dengan sisa uang dan pinjaman dari bank. Sempat sepi, tetapi Barnum mengubah museum itu menjadi sebuah tempat pertunjukkan dan hiburan unik untuk semua orang.


The Greatest Showman memberikan sebuah sensasi menarik untuk mengikuti kisah perjuangan hidup seseorang. Menggunakan genre musikal dalam kemasannya untuk memberikan inovasi dalam menuturkan cerita yang berpotensi biasa saja ini menjadi sesuatu yang sangat berbeda dan segar.  Hal ini sangat efektif bagi The Greatest Showman yang memiliki tujuan tak hanya sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai media menyebarkan semangat positivistik bagi setiap penontonnya.

Tak diragukan lagi, dengan rekam jejak Michael Gracey yang pernah berada di art departments membuat The Greatest Showman terlihat begitu mewah untuk ukuran film-film musikal yang ada. Set-set musikalnya dibuat begitu menghentak dan bisa membuat penonton berdecak kagum saat menontonnya. Segala musical sequence punya segala kedinamisannnya sehingga penonton bisa tahu alasan kenapa sosok P.T. Barnum adalah sosok yang sangat berpengaruh bagi semua orang yang ingin membuat sebuah pertunjukkan besar.

Belum lagi lagu-lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul yang sangat ear-catchy. Sehingga, ketika penonton selesai menonton film ini, akan banyak beberapa lagu yang tetap terngiang di dalam pikirannya. Dengan begitu, perilaku yang timbul selanjutnya adalah penonton akan mencari setiap lagu yang ada di dalam The Greatest Showman. Lalu muncul sebuah efek domino bagi penontonnya yang terpukau dengan film dan berujung pada memberikan rekomendasi kepada orang lain.


Hanya saja, The Greatest Showman sebagai sebuah film musikal sebenarnya tidak memberikan sebuah pertunjukkan yang baru. Michael Gracey mampu membuat ilusi bagi penontonnya agar tak bisa melihat kekurangan pengarahannya lewat berbagai musical sequencenya. Itu pun sebenarnya segala keemosionalan The Greatest Showman hanya bertumpu dengan lagu-lagu gubahan dari Benj Pasek dan Justin Paul. Tanpa gubahan lagunya yang kuat, The Greatest Showman pun tak bisa tampil sekuat itu.

Dengan durasinya sepanjang 104 menit, banyak sekali cabang cerita dan sudut pandang yang harus dibebankan kepada film ini. Michael Gracey pun kesusahan memiliki kefokusan dalam pengarahan, sehingga The Greatest Showman hanya bisa bisa meraih permukaan setiap konfliknya. Ada banyak kisah yang berusaha disorot di dalam film ini. Hal ini sebenarnya bisa berpotensi bagi presentasi The Greatest Showman, hanya saja masih belum ada penanganan yang pas dari Michael Gracey untuk bisa memperdalam setiap konflik dan karakternya.

Pun, setelah tembang ‘This Is Me’ yang tampil begitu megah sekaligus menjadi anthem di dalam film ini, The Greatest Showman menunjukkan performanya yang melemah di 40 menit terakhir. Michael Gracey mungkin cukup bisa memberikan bridging karakter dan plot di satu jam pertama. Efeknya, Michael Gracey harus mulai kewalahan untuk menyelesaikan konfliknya yang ada di awal. Itu pun masih ada intensi dalam naskahnya untuk memberikan konflik tambahan lagi di 30 menit terakhir sehingga beban Michael Gracey pun harus semakin bertambah.


Segala kemegahan yang ada di awal film The Greatest Showman pun sayangnya tak bisa memiliki sebuah penutup yang bisa sama megahnya dengan apa yang sudah ada di awal. Adanya sebuah rendition yang jauh lebih kekinian di dalam setiap lagunya ini pula yang membuat beberapa musical sequencenya tak bisa kuat. Sehingga, The Greatest Showman pun tak bisa memiliki identitasnya dalam sebagai sebuah film musikal. Efek akhirnya, penonton mungkin akan bisa berkali-kali mendengarkan lagunya dan tak lagi merasakan atau bahkan tak mengenali kekuatan di dalam adegannya.

Sehingga, The Greatest Showman pun bisa saja hanya dinikmati sebagai sebuah album lepas tanpa harus disangkutpautkan dengan filmnya. Ini karena lagu gubahan Benj Pasek dan Justin Paul pun sudah sangat bisa diterima di telinga pendengarnya. Tetapi, The Greatest Showman perlu mendapatkan apresiasi dengan caranya berusaha memberikan inovasi dalam menceritakan kisah sosok nyata di dunia. Masih punya kekuatannya sebagai film yang menghibur, tetapi sebagai sebuah film akan gampang berlalu begitu saja.

2017’s Best Indonesian Film by Arul’s Movie Review Blog


Perfilman Indonesia di tahun 2017 mulai menunjukkan taringnya. Mulai dari segi jumlah penonton, bahkan beberapa film yang dirilis pun berusaha memiliki keberagaman tema dan kemasan. Apalagi di tahun 2017 ini adalah masa di mana bangkitnya film-film horor Indonesia. Mulai dari Danur : I See Ghosts hingga Jailangkung berhasil meraih jumlah penonton hingga 2,5 juta. Pun, hal ini berlaku dengan Pengabdi Setan yang diarahkan oleh Joko Anwar. Dengan berbagai ketelitiannya membangun atmosfir dan memperbagus sisi teknis, Pengabdi Setan perlahan tapi pasti menjadi film horor paling laris sepanjang masa dan bahkan menjadi film Indonesia terlaris di tahun 2017.  Selain itu, ada pula beberapa film Indonesia lain dengan tema-tema yang menarik seperti Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak yang dalam limited release-nya mampu meraih 150 ribu penonton. Pun, masih ada beberapa film yang rilis akhir tahun yang kali ini sudah mencapai kira-kira 1,5 hingga 2 juta penonton. Maka dari itu, 2017 adalah tahun yang menyenangkan bagi penonton Indonesia. Dengan banyaknya jumlah tontonan tersebut, ada beberapa film yang mungkin perlu untuk buatkan daftar sebagai film-film Indonesia terbaik.

Sebelum memasuki daftar film terbaik, ada beberapa film yang harus tersisih untuk bisa masuk sebagai daftar film terbaik versi Arul’s Movie Review Blog. Mulai dari film remaja hits masa kini seperti Dear Nathan, yang berhasil memberikan warna dalam genre-nya bukan hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai film remaja yang diarahkan dengan baik. Lalu juga ada Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody yang mungkin punya konflik yang lebih personal, tetapi sebagai sebuah film tentang perjalanan dan pengembangan diri, film ini perlu untuk diapresiasi. Serta ada The Underdogs, film remaja yang memberikan sisi lain fenomena dunia digital dan menjadi penyutradaraan debut dari Adink Liwutang yang sangat menghibur. Jangan lupakan Ziarah, yang memberikan tontonan alternatif dari segi tema maupun kemasan.

Semuanya pantas untuk diapresiasi, tetapi hanya ada 15 film yang berhasil masuk dalam daftar film Indonesia terbaik versi Arul’s Movie Review Blog. Berikut adalah listnya.

15. Critical Eleven. 
Usahanya untuk mengembalikan sebuah kisah romansa dewasa ini patut untuk diapresiasi. Mengembalikan harapan tentang cinta dengan segala turbulensinya, Critical Eleven ini dibuat dengan sepenuh hati oleh para pembuatnya.

14. Stip & Pensil.
Stip & Pensil memang tak disangka menjadi sebuah film komedi satir yang sangat menghibur. Mengkritik dunia pendidikan dengan sangat fun tetapi tak lupa mementingkan konten di dalamnya. Naskah dari Joko Anwar ini benar-benar menggelitik.

13. The Guys.
Karya dari Raditya Dika ini memang tak bisa booming seperti Hangout yang bisa meraih jutaan penonton. Tetapi dalam The Guys, Raditya Dika berusaha memberikan nilai lain tentang persahabatan, jati diri, dan keluarga.

12. Moammar Emka’s Jakarta Undercover.
Fajar Nugros berusaha menceritakan ulang kisah yang ditulis di dalam buku milik Moammar Emka dengan cakupan yang jauh lebih besar dan lebih berani dari film sebelumnya. Sehingga, Moammar Emka’s Jakarta Undercover punya banyak kelebihan dibanding film sebelumnya. Juga, performa yang gemilang dari Ganindra Bimo.

11. Night Bus.
Pemenang film terbaik di FFI 2017 ini memang punya kelemahan dari banyak aspek filmnya. Tetapi, tema keberagaman dibalut dengan thriller yang sangat kuat menjadikan Night Busmenjadi salah satu film yang sangat jarang ada di kancah sinema Indonesia.

10. My Generation.
Film terbaru milik Upi ini punya cara yang berbeda dalam menunjukkan bagaimana dinamika sosial dari para remaja masa kini. My Generation adalah cara bagaimana Upi menunjukkan bahwa tak ada generasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Mereka terlahir sesuai dengan zaman yang ada.

9. Susah Sinyal.
Tak seambisius seperti Cek Toko Sebelah, tetapi Susah Sinyaladalah bukti bahwa Ernest Prakasa berhasil memiliki kematangan dalam pengarahan. Kesederhanaan dalam problematikanya tentang ibu dan anak inilah yang membuat Susah Sinyal jauh lebih bagus dari Cek Toko Sebelah.

8. Bid’ah Cinta. 
Menunjukkan tentang fenomena islami tanpa menggurui. Memberikan perspektif yang solutif tentang bagaimana Islam menghadapi fenomena tertentu di negara ini. Bid’ah Cinta adalah karya Nurman Hakim yang menggelitik sama seperti film-film miliknya yang lain.

7. Buka’an 8
Ini adalah sebuah komedi yang chaotic tetapi ditata sedemikian rupa untuk menghibur. Sang sutradara membuat Buka’an 8 sebagai time capsule yang sangat personal tentang anaknya. Tetapi, karyanya yang personal ini akan membuka mata kalian agar sekali lagi memikirkan apa yang mau Anda putuskan, terlebih tentang menikah muda.

6. Posesif.
Memberikan kisah lain dalam kisah cinta remaja, Posesif adalah karya dengan pendekatan populer dari Edwin. Memberikan Anda sebuah peringatan dan awarenesstentang mental illness dan kekerasan dalam hubungan, inilah yang membuat Posesif sangat berbeda dengan film remaja lainnya.

5. Kartini.
Ini adalah sebuah karya biografi film yang dibuat dengan sangat baik oleh Hanung Bramantyo. Punya cara penyampaian yang menarik dan nilai produksi yang sangat diperhatikan, Kartini adalah salah satu film biografi Indonesia terbaik. Dian Sastrowardoyo pun bermain dengan sangat cantik.

4. Galih & Ratna 
Diangkat dari novel Gita Cinta Dari SMA, adaptasi dari Lucky Kuswandi ini berhasil memberikan adaptasi yang sesuai dengan zaman sekarang tanpa perlu berlebihan. Galih & Ratna adalah sebuah kisah cinta remaja melodrama yang manis sekaligus pahit, musik-musiknya pun asyik.

3. Sweet 20.
Sebuah remake dari film korea berjudul Miss Granny, Ody C. Harahap mengarahkannya jauh lebih bagus daripada film aslinya. Sehingga, Sweet 20adalah sebuah film komedi Indonesia sangat pas ditonton bersama-sama dengan keluarga. Performa Tatjana Saphira di film ini cadas!

2. Pengabdi Setan.
Joko Anwar di sini membuktikan bahwa film horor juga bisa digarap dengan serius dan detil. Pengabdi Setanadalah sebuah remake yang memperluas dunianya dengan cara Joko Anwar yang begitu teliti dalam pengarahannya. Atmosfir horor dan jump scare-nya sangat efektif!

1. Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak. 
Inilah film Indonesia terbaik di tahun 2017 dan beberapa tahun terakhir ini. Mouly Surya memberikan genre lain di dalam perfilman Indonesia lewat film ini. Menyuguhkan isu tentang perlawanan perempuan dengan pendekatan genre western, Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak adalah film yang sangat unik dan kuat dalam setiap babaknya. Performa Marsha Timothy di film ini sangat kuat sekali.

AYAT-AYAT CINTA 2 (2017) REVIEW : Kisah Fahri Bagian Dua


Pada tahun 2008, Hanung Bramantyo hadir mengisahkan sosok Fahri yang lahir lewat tangan Habiburrahman El-Shirazy lewat novelnya. Kisah lika-liku Fahri mengarungi hidup dan kisah cintanya menjadi sangat fenomenal. Berkat itu, Ayat-Ayat Cinta menjadi salah satu film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan raihan 3,5 juta penonton. Pada saat itu pula, lewat Ayat-Ayat Cinta, fenomena film-film bertema religi sangat digandrungi oleh pasaran. Muncul banyak kisah-kisah cinta dengan nuansa islami disuguhkan kepada penontonnya.

Bertahun-tahun setidaknya masih ada beberapa film bertema sama yang masih digandrungi oleh penontonnya. Tetapi, Habiburrahman El-Shirazy menghadirkan kembali kisah tentang Fahri lewat buku keduanya. Dengan dasar kesuksesan kisah dari buku yang pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 pada akhirnya mendapatkan kesempatan untuk dijadikan sebuah film layar lebar. Kali ini, Ayat-Ayat Cinta 2diarahkan oleh Guntur Soeharjanto. Fedi Nuril tetap menjadi Fahri, tetapi ada beberapa pergantian pemain di jajaran aktrisnya.

Ayat-Ayat Cinta 2 sudah menjadi salah satu proyek yang sangat dipersiapkan oleh MD Pictures. Beberapa kali MD Pictures sudah mengingatkan calon penontonnya lewat beberapa cara promosi yang menarik. Pun, nama-nama aktris dalam film ini juga tak main-main. Mulai dari Chelsea Islan, Tatjana Saphira, hingga Dewi Sandra ikut meramaikan. Hal ini juga tentu menimbulkan rasa skeptis bagi penontonnya karena cerita apalagi yang ingin disampaikan dalam Ayat-Ayat Cinta 2.


Ayat-Ayat Cinta pertama mungkin menjadi sebuah terobosan baru dalam sinema Indonesia. Tak hanya berusaha membangun sebuah sub genre baru, tetapi juga memberikan sebuah topik yang baru yaitu tentang poligami. Lalu, berbagai macam film-film religi lainnya berusaha memberikan perspektifnya sendiri dengan topik yang sama. Lantas, apa yang membuat Ayat-Ayat Cinta 2memiliki urgensinya untuk hadir dalam perubahan sinema Indonesia yang semakin memiliki keberagaman?

Ayat-Ayat Cinta 2 adalah syiar islam tentang kebaikan dan usaha untuk menjadi perwakilan tentang Islam di dalam salah satu karakternya. Tetapi, bukan berarti ini serta merta menjadi keunggulan dalam Ayat-Ayat Cinta 2dalam presentasinya. Dalam pengarahannya, Guntur Soeharjanto sudah memiliki porsi yang pas. Hanya saja, dasar cerita dalam buku yang ditulis oleh Habiburrahman El-Shirazy inilah yang perlu untuk digarisbawahi dan mendapatkan perhatian lebih. 

 
Kali ini, Ayat-Ayat Cinta 2tetap berfokus kepada sosok yang tak lagi muda bernama Fahri (Fedi Nuril) yang hidup di Edinburgh, Skotlandia. Fahri memang telah menikah, tetapi nasib buruk menimpa sang Istri yang sedang menjadi relawan di sebuah arena perang. Fahri tak lagi menerima kabar dari sang Istri dan menganggap bahwa sang Istri telah tiada. Fahri berusaha melanjutkan hidupnya dengan menjadi seorang dosen dan hidup menjadi sosok yang baik bagi tetangga-tetangganya.

Meskipun, Fahri harus diperlakukan tak baik karena dirinya adalah seorang muslim. Terlebih dari keluarga Keira (Chelsea Islan) yang pernah memiliki hal traumatis dengan para muslim. Tetapi, Fahri tetap berusaha untuk senantiasa berbuat baik dengan para tetangganya. Lalu muncullah Hulya, sepupu dari Aisha yang mendatangi Fahri untuk belajar dan menuntut ilmu di tempat Fahri mengajar. Lalu, Fahri bimbang karena secara diam-diam Fahri mengagumi sosok Hulya.


Ayat-Ayat Cinta 2 memiliki kisah dramatis yang sebenarnya memiliki pengarahan yang sudah cukup. Begitu pula dengan adaptasi naskah yang dilakukan oleh Alim Sudio untuk berusaha memindahkan apa yang ada di novel untuk disampaikan dalam layar lebar. Apa yang dilakukan oleh mereka sudah sesuai dengan porsinya masing-masing. Hanya saja, mungkin ada beberapa minor-minor yang membuat Ayat-Ayat Cinta 2 masih jauh dari kesan Greatest Love Story seperti yang digadang-gadangkan.

Secara keseluruhan, Ayat-Ayat Cinta 2 bukanlah sebuah kisah cinta, ini adalah kisah tentang Fahri. Karakterisasi Fahri dari film pertama pun, sudah digambarkan sebagai sosok laki-laki yang sempurna. Begitu pula yang terjadi di Ayat-Ayat Cinta 2, Fahri semakin dibuat sesempurna mungkin. Hal ini malah menggiringi pemikiran penontonnya untuk menjadikan Fahri sebagai simbol identitas laki-laki baru. Fahri menetapkan sebuah standar baru bagi perempuan untuk memandang laki-laki yang baik buat mereka. Ini tidak salah, tetapi ini adalah fenomena menarik dalam film Ayat-Ayat Cinta 2 ini.

Keseluruhan durasi film yang mencapai 125 menit yang hanya berputar tentang kisah Fahri inilah yang membuat presentasi Ayat-Ayat Cinta 2 tak sempurna seperti Fahri. Plot utama dalam Ayat-Ayat Cinta 2 menjadi sesuatu yang kabur dan tak dapat dimengerti oleh penontonnya. Di 1 jam pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 terasa kehilangan jalan untuk masuk dalam plot cerita. Penonton akan meraba plot utama dari film ini karena segala hal yang berada di 1 jam pertama hanya sebuah kisah pengantar yang terlalu diperpanjang.


Penonton sudah terlalu letih untuk meneruskan kisah Fahri yang pada akhirnya menyorot tentang kisah cintanya di satu jam berikutnya. Ayat-Ayat Cinta 2 ini memiliki sebuah subplot cerita misterius yang berusaha ditampilkan di satu jam selanjutnya. Ketika masuk ke dalam subplot tersebut, penonton mungkin hanya sekedar memberikan tanda bahwa dia tahu dengan subplot tersebut. Tak ada reaksi lebih ataupun merasa emotionally attacheddengan apa yang ada di layar. Sehingga, dalam perjalanan cerita selanjutnya, kisahnya pun semakin hambar.

Dengan berbagai pengantar cerita di satu jam pertama, Ayat-Ayat Cinta 2 pun merasa kewalahan untuk mengakhiri cerita-cerita itu. Maka di paruh akhir film, Ayat-Ayat Cinta 2 penuh dengan penyelesaian yang terburu-buru dengan cerita itu. Apalagi di satu poin cerita utama yang seharusnya menjadi titik balik film ini pun tak memiliki rasa emosional yang kuat. Pun, diakhiri begitu ajaib dengan banting setir genre menjadi sebuah film science fiction meskipun pada awalnya tak ada intensi untuk ke sana.


Dengan kisah-kisah ajaibnya dan berbagai fenomena menarik di dalam filnya, Ayat-Ayat Cinta 2 sebenarnya adalah telah menekankan dirinya sebagai sebuah kisah negeri dongeng dari antah berantah. Dalam filmnya, sang sutradara memunculkan intensi tersebut lewat bahasa gambar yang ditampilkan begitu dreamy di satu adegan penting dalam pernikahan. Inilah yang menerangkan bahwa adanya batas dalam Ayat-Ayat Cinta 2dengan realita penontonnya bahwa ini semua adalah kisah yang fiksi dan tak mungkin ditemukan di dunia nyata. Batas inilah sebenarnya yang perlu untuk dipahami oleh penontonnya.

SUSAH SINYAL (2017) REVIEW : Kedewasaan Meredam Problematika Ibu dan Anak


Setelah debutnya yang menjanjikan lewat Ngenest The Movie, Ernest Prakasa menjadi sosok yang perlu untuk diwaspadai di perfilman Indonesia. Apalagi, ketika film keduanya berjudul Cek Toko Sebelah yang berhasil masuk dan mendapatkan penghargaan di berbagai tempat. Sehingga, Ernest Prakasa muncul sebagai fenomena perfilman Indonesia yang baru dan perlu untuk mendapatkan sorotan lebih oleh siapapun.

Tentunya ini akan menjadi beban bagi Ernest Prakasa untuk bisa menghasilkan karya-karya terbarunya.  Setelah 2 rekam jejak filmnya yang cukup menjanjikan, karya-karyanya pun bakal dinantikan oleh segala penikmat film Indonesia. Tak terkecuali adalah karya terbarunya yang dirilis tahun ini yaitu Susah Sinyal. Film ketiga dari Ernest Prakasa ini secara otomatis akan memunculkan harapan dari penonton film Indonesia.

Kembali bersama dengan Starvision, Ernest Prakasa dibantu oleh sang Istri, Meira Anastasia, menuliskan sebuah cerita tentang relasi Ibu dan Anak lewat Susah Sinyal. Kembali dibintangi oleh Adinia Wirasti di pemeran utamanya, tetapi Ernest Prakasa mengambil resiko yang cukup besar dan riskan di jajaran aktor-aktris lainnya. Lebih memilih jiwa-jiwa segar untuk filmnya dan memilih Aurora Ribero sebagai pendatang baru yang langsung memainkan karakter utama dalam Susah Sinyal tentu perlu jiwa pengarahan yang kuat. 


Ernest Prakasa mungkin mau untuk keluar dari zona nyaman dengan mencari jiwa-jiwa segar dalam film terbarunya. Tetapi, dengan rekam jejak yang baru seumur jagung, tentu ini adalah sesuatu yang sangat riskan untuk dilakukan. Dengan carannya yang riskan, nyatanya Ernest Prakasa berhasil membuat Susah Sinyal menjadi sebuah drama keluarga yang sangat kuat. Juga, film ini memberikan Ernest Prakasa ruang untuk berkembang dan dewasa untuk menentukan keputusan.

Mungkin, pesan yang dibawa oleh Susah Sinyal tak sebesar dan ambisius seperti Cek Toko Sebelah. Tetapi, ini malah jadi membuat Susah Sinyal memiliki performa yang jauh lebih baik dibandingkan karya kedua milik Ernest Prakasa. Susah Sinyal adalah pembuktian bahwa Ernest Prakasa punya kematangan dalam mengarahkan film terbarunya. Meskipun dengan pesan yang jauh lebih sederhana, Susah Sinyal malah jauh memiliki kehangatan yang luar biasa besar dibanding kedua film sebelumnya. 


Susah Sinyal ini sendiri adalah sebuah metafora dari problematika hubungan Ibu dan Anak yang dialami oleh Ellen (Adinia Wirasti), seorang pengacara muda sukses yang baru saja memutuskan untuk membuka firma sendiri. Tentu, hal ini membuat Ellen sangat sibuk mengurusi semua pekerjaannya dan tak memiliki waktu bersama dengan anak perempuannya, Kiara (Aurora Ribero). Tetapi, suatu ketika, Kiara yang beranjak remaja semakin memiliki jarak dengan Ellen.

Iwan (Ernest Prakasa), teman Ellen memberikan saran kepadanya untuk mengajak Kiara liburan agar hubungan di antara keduanya semakin membaik. Kiara pada awalnya tak setuju dengan ajakan Ellen, tetapi pada akhirnya Kiara setuju untuk mengajak Ellen liburan ke Sumba. Di saat liburan, Ellen yang membutuhkan internet untuk melakukan pekerjaannya harus kesusahan mencari sinyal, begitu pula dengan Kiara. Sehingga, di dalam liburan kali ini, Kiara dan Ellen berinteraksi untuk memperdekat jarak di antara keduanya yang sudah terlalu jauh. 


Susah Sinyal tak hanya sekedar sebuah kisah di mana dua orang harus merasakan bagaimana hidup tanpa sinyal yang menghidupi teknologi mereka. Susah Sinyal adalah sebuah metafora tentang jarak Ibu dan anak yang sedang kesusahan untuk memahami satu sama lain. Bagaimana film ini membicarakan tentang pola komunikasi antara orang tua dan anak yang terkadang tak berubah, meskipun sebenarnya zaman telah berubah. Sehingga, perlu adanya pembaruan dalam pola komunikasi mereka agar orang tua dan anak bisa memberikan relevansi satu sama lain.

Dengan potensi ceritanya yang lebih ke ranah drama, Ernest Prakasa memberikan sentuhan komedi yang sudah menjadi kekuatannya. Sehingga, film ini dibawakan dengan sangat ringan tetapi penuh akan pesan dan makna yang akan jauh lebih personal bagi penontonnya. Pengarahan Ernest Prakasa dalam Susah Sinyal tak lagi terlalu menggebu-gebu seperti Cek Toko Sebelah. Tetapi, ini malah menjadi membuat Susah Sinyal memiliki performa yang jauh lebih kuat dibanding Cek Toko Sebelah.

Ernest Prakasa sudah mulai mempelajari kesalahan apa yang ada di film sebelumnya. Ada kedewasaan dalam memutuskan setiap adegan di dalam film Susah Sinyal. Ada kontrol dalam film Susah Sinyal sehingga sepanjang film setiap menitnya yang mencapai 110 menit bisa berjalan dengan lancar. Serta, perpaduan antara unsur komedi dan drama dalam Susah Sinyal berhasil muncul sesuai dengan porsinya masing-masing tanpa harus mengorbankan satu sama lain. 


Meskipun, Susah Sinyal masih memiliki keputusan yang harusnya bisa lebih dieksplorasi lagi dengan penggunaan karakter Mama Iwan yang diperankan oleh Dayu Wijanto. Penggunaan karakter ini hanya sebagai sidekick tanpa memberikan relevansi kepada cerita. Seharusnya, karakter ini pun bisa menjadi medium bagi Ernest Prakasa untuk menceritakan tentang mother issue dalam setiap karakternya dan akan semakin memperkuat Susah Sinyal yang mengangkat tema tersebut.

Pun, menyelipkan referensi tentang Moanayang mungkin perlu untuk diperdalam lagi dalam adegannya sehingga referensi tersebut bisa jauh lebih membaur dengan filmnya.  Tetapi, hal itu tak menyurutkan segala hal-hal baik yang terjadi di dalam film ini. Pemandangan Sumba yang indah tak hanya sebagai pemanis, tetapi pelengkap cerita yang pas. Maka, pemanis dalam film ini jatuh pada pemilihan soundtrackdengan penempatan yang pas. Meskipun dalam teknisnya, ada beberapa yang perlu diperbaiki.  


Ernest Prakasa dengan minor-minor kecilnya itu masih bisa membuat hati penontonnya merasakan kehangatan yang luar biasa besar. Sepanjang film, penonton akan diyakinkan dengan jarak yang terjadi di antara keduanya berkat performa luar biasa dari Adinia Wirasti dan Aurora Kibero. Sebagai pendatang baru, Aurora Kibero layak untuk diperhitungkan. Sehingga,  ketika Susah Sinyal masuk ke dalam adegan kuncinya, semua luapan emosi itu bisa tercapai dengan sangat baik berkat kedewasaan Ernest Prakasa dalam pengarahannya.