• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

STAR WARS : THE LAST JEDI (2017) REVIEW : An Upgrade With Respectful Treatment To The Legacy


Menghidupkan kembali sebuah franchise legendaris memang tak mudah. Apalagi ketika franchise tersebut sudah memiliki penggemar yang sangat luar biasa fanatik seperti Star Wars. Disney telah berhasil mengembalikan betapa sakralnya franchise petualangan antar galaksi ini sejak tahun 2015 lalu lewat Star Wars : The Force Awakens. Lalu, disusul dengan menceritakan asal mula pemberontakan dalam Star Wars lewat Rogue One : A Star Wars Story.

Kehadiran kembali sebuah trilogi Star Wars ini menuai pro dan kontra, meskipun mayoritas masih sangat menikmati The Force Awakens. Kemiripan dasar cerita dan pendekatannya dengan A New Hope sebenarnya memiliki tujuan agar dapat menjaring penggemar baru masa kini yang tak pernah mengikuti Star Wars. Lantas, sebuah tantangan untuk membuat Star Wars memiliki pendekatan yang berbeda akan dijawab lewat episode kedelapan dengan tajuk The Last Jedi.

Perbedaan mencolok sudah hadir lewat bagaimana poster film dan warna judul yang berbeda dengan film-film sebelumnya. Selain itu, film ini pun berganti tahta penyutradaraan dari J.J. Abrams kepada Rian Johnson. Serta adanya penambahan karakter-karakter baru yang membuat nuansa Star Wars terbaru kali ini jauh lebih meriah. Hal ini tentu semakin menunjukkan taring kepada banyak orang bahwa Star Wars sedang berusaha mengekspansi dunianya agar jauh lebih besar dari film-film sebelumnya.


Meski penuh dengan banyak sekali perbedaan dan pembaharuan, tak lantas membuat The Last Jedi lancar-lancar saja melakukan perjalanan. Banyak penggemar garis keras yang merasa bahwa The Last Jedi adalah sebuah tindakan penistaan di dalam film-film Star Warskarena berusaha keluar dari zona nyaman. Tetapi, dalam performanya, Star Wars : The Last Jedi tampil sangat luar biasa menghibur penontonnya dengan durasi sepanjang 151 menit.

Star Wars : The Last Jediini memang memiliki pendekatan yang sangat berbeda dibanding dengan film Star Wars sebelumnya. Episode kedelapannya ini memiliki elemen kejutan dengan dosis yang cukup banyak di dalam filmnya. Meski berbeda, apa yang dilakukan oleh Rian Johnson di film kedelapan ini penuh akan penghormatan kepada film-film Star Wars sebelumnya dengan cara yang lebih bersahaja. Selain itu, Star Wars : The Last Jedi berhasil memberikan eskalasi kedigdayaan trilogi terbaru dari franchise legendaris ini. 


Melanjutkan kisah Rey (Daisy Ridley) yang berangkat menemui Luke Skywalker (Mark Hamill) yang sudah lama dia cari. Rey meminta Luke untuk mengajarinya menjadi seorang Jedi yang baik. Sementara itu, Dipimpin oleh Princess Leia (Carrie Fisher), para Resistence berusaha keras untuk melarikan diri dari kejaran First Order yang dipimpin oleh General Hux (Domnhall Gleeson). Sayangnya, First Order berhasil mendeteksi keberadaan Resistance dan mereka sedang terancam bahaya.

Di tengah serangan First Order kepada Resistence, Kylo Ren (Adam Driver) berusaha bangkit dari keterpurukan dan memaksa Rey untuk bergabung di dalam timnya. Tetapi, Rey tetap berusaha melatih dirinya bersama Luke agar tetap bisa menjadi sosok Jedi yang kuat. Hanya saja, latihan untuk menjadi kuat bersama Luke tak berjalan dengan lancar. Ada sesuatu hal yang membuat keduanya menceritakan masa lalu penting yang kelam. 


Star Wars : The Last Jediini memberikan banyak intrik personal yang lebih punya ruang untuk bergerak. Dengan begitu, karakter-karakter di dalam trilogi terbaru ini punya kesempatan untuk berkembang menjadi sosok yang dapat dikagumi oleh penontonnya. Hingga pada akhirnya, penonton pun bisa menentukan untuk membela siapapun dalam film ini. Menariknya, Star Wars : The Last Jedi ini dipenuhi dengan misteri dan teka-teki yang membuat penontonnya aktif untuk menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.

Rian Johnson adalah sutradara yang tepat untuk mengarahkan cerita Star Wars ini. Gaya pengarahannya yang bisa membuat karakternya tampak begitu abu-abu ini mencerminkan bagaimana film-film Star Wars menimbulkan spekulasi tersendiri bagi penontonnya. Rian Johnson pintar membuat penonton penasaran hingga mereka rela mengikuti adegan demi adegan dalam Star Wars : The Last Jedi hingga tak terasa 151 menit mereka berlalu begitu saja. Dengan banyak spekulasi itulah, secara tidak sadar membuat penontonnya tak sabar menantikan film selanjutnya.

Memang, Star Wars : The Last Jedi akan terasa begitu berbeda dengan film-film Star Wars sebelumnya dan bahkan dengan The Force Awakens. Mulai dari karakter baru, penuturan cerita, dan juga injeksi komedi yang cukup intens di dalam film ini. Sehingga, penggemar fanatik dari Star Wars mungkin akan merasa bahwa menonton Star Wars : The Last Jedi ini bukan seperti menonton film-film Star Wars pada umumnya. Ada pula beberapa bagian penting dalam The Last Jedi yang membuat penggemarnya merasa marah. 


Tetapi, jika dilihat dengan baik lagi, Star Wars : The Last Jedi sebenarnya melakukan penghormatan atas warisan yang sudah turun temurun ini dengan sangat baik. Setiap tindakan yang dilakukan Rian Johnson di dalam film The Last Jedi ini berdasarkan alasan-alasan yang terjadi di semua film-film Star Wars yang ada. Rian Johnson tentu sudah sangat cermat dan siap untuk menentukan bagaimana nasib karakter-karakter yang ada dalam Star Wars : The Last Jedidi adegan selanjutnya. Dan di setiap perjalanan karakternya, ada rasa emosional yang dihadirkan kepada penontonnya.

Maka, setelah segala drama luar angkasa tentang Force dan Dark Side yang memang menjadi poin utama dari film Star Wars, ada pula adegan-adegan battle yang hadir begitu masif. Tidak hanya menjadi sebuah visual efek yang ekstravaganza, tetapi juga memiliki kadar intensitas yang sangat luar biasa membuat penonton ikut merasakan keseruan di dalamnya. Serta diperkuat dengan bagaimana adegan battle tersebut tertata dalam sebuah bingkai gambar yang begitu indah untuk ditonton. 


Dengan berbagai cara yang dilakukan oleh Rian Johnson dalam Star Wars : The Last Jedi, maka tak salah apabila Disney mendapuknya lagi untuk menjadi bagian dari trilogi terbaru di masa mendatang. Star Wars : The Last Jedi adalah sebuah kepuasan menonton Star Wars yang bisa beradaptasi di masa sekarang dengan tetap menjaga visi dan misi Star Wars sebagaimana hakikatnya. Tak salah apabila beberapa orang mungkin beranggapan bahwa Star Wars : The Last Jedi adalah salah satu film Star Wars terbaik yang pernah ada. Luar biasa!

WONDER (2017) REVIEW : A Message to Choose Kind.


Stephen Chbosky kembali hadir menyapa penontonnya setelah memberikan sebuah directorial debut yang menjanjikan lewat The Perks of Being Wallflower yang diadaptasi dari buku yang ditulisnya sendiri dengan judul yang sama. Kali ini, Stephen Chbosky Ingin membuktikan bahwa dirinya adalah sutradara yang mumpuni dengan karya yang berbeda. Tetapi, Stephen Chbosky tetap mencoba peruntungannya dalam adaptasi sebuah buku laris manis di Amerika.

Buku yang diadaptasinya ini adalah tulisan dari R.J. Palacio dengan judul Wonder. Bukunya sendiri sudah memiliki penggemar yang luar biasa besar, sehingga film Wonder ini cukup dinantikan oleh banyak orang. Dengan rekam jejaknya yang cukup menjanjikan, Stephen Chbosky menghadirkan sebuah adaptasi drama keluarga dalam Wonder dengan pemain yang tak kalah luar biasa. Wonderdihiasi dengan pemain-pemain yang luar biasa mulai dari Jacob Tremblay, Owen Wilson, dan Julia Roberts.

Banyak yang cukup menantikan film Wonderini dikarenakan oleh dua hal. Pertama, Wonderadalah sebuah buku bestseller yang perlu untuk diadaptasi. Kedua adalah apakah Stephen Chbosky akan berhasil membuktikan bahwa dirinya adalah sutradara yang bisa menjaga konsistensi karya-karyanya. Maka, bagi orang yang mengkhawatirkan kedua poin tersebut bisa bernafas lega. Wonder adalah sebuah karya adaptasi yang sangat hangat dan juga haru untuk para penontonnya


Menceritakan tentang Auggie Pullman (Jacob Tremblay) yang memiliki keterbatasan dalam fisiknya yaitu pada bagian wajahnya. Sehingga, Auggie perlu untuk berada di dalam pengawasan orang tua selama beberapa tahun dia hidup. Hingga suatu ketika, Nate (Owen Wilson) dan Isabel (Julia Roberts), sebagai orang tua memutuskan untuk memasukkan Auggie ke sekolah dasar umum untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Kehidupan Auggie di sekolah memang tak mulus, apalagi dia harus berhadapan dengan banyak temannya yang menganggap dirinya aneh dengan keterbatasan fisiknya. Perjuangan Auggie selama sekolah ini mengubah perilakunya saat di rumah. Sehingga membuat kedua orang tua dan kakaknya, Via (Izabela Vidovic) berusaha untuk mengembalikan semangat Auggie. Meskipun, setiap anggota keluarga Pullman sebenarnya memiliki kisah dan keluh kesahnya masing-masing. 


Wonder memang tak memiliki sebuah konflik yang rumit seperti The Perks of Being Wallflower. Film ini hanya sebuah catatan kisah setiap karakternya yang berusaha menghadapi kehidupannya masing-masing. Mulai dari sang tokoh utama Auggie, hingga tokoh-tokoh lainnya yang berada dalam lingkaran kehidupan milik Auggie. Tanpa begitu kuatnya pengarahan dari Stephen Chbosky, kesederhanaan di dalam kisah milik Wonder tak bisa tampil kuat untuk penontonnya.

Stephen Chbosky mempunyai kemagisannya memunculkan sebuah drama keluarga yang tak terlalu meletup dalam penuturannya tetapi memberikan dampak emosional yang sangat luar biasa besar. Penonton bisa saja masih meraba seperti apa konflik utama dari film Wonderyang ternyata menjadi kekuatan dalam filmnya. Stephen Chbosky mengajarkan penontonnya untuk tak memilih siapa yang lebih berat menanggung masalah, tetapi untuk merangkul semua yang memiliki masalah bahwa masalah sekecil apapun itu penting dan perlu untuk diselesaikan.

Oleh karena itu, ada banyak sudut pandang dalam film ini yang menjadi esensi utama dari bukunya. Memperlihatkan bagaimana setiap karakternya yang memiliki alasan-alasan dalam menentukan perilaku dalam hidupnya. Sehingga, skenario yang diadaptasi oleh Stephen Chbosky beserta dua rekannya, Steve Conrad dan Jack Thorne, ini berhasil mengangkat apa yang perlu untuk diceritakan di dalam filmnya tanpa mengurangi kekuatan asli dalam bukunya. 


Sehingga, Stephen Chbosky yang ikut menuliskan skenarionya memiliki keunggulan untuk memahami keseluruhan film yang diarahkannya. Hal ini berdampak kepada bagaimana performa dari Wondersebagai sebuah film dengan durasi 115 menit. Setiap adegan-adegan pentingnya berhasil dibangun dengan intensitas emosi yang sangat baik, sehingga tanpa perlu menggebu-gebu penonton bisa merasakan rasa emosional yang sangat luar biasa besar saat menonton film ini.

Bahkan, beberapa adegan penting dan emosional dalam film ini hadir tanpa alunan musik sama sekali. Alunan musik biasanya digunakan untuk menekankan adegan-adegan emosional dan bisa jadi sebagai alat manipulasi emosi penonton. Tetapi, Wonder memiliki musik yang sederhana tetapi bisa menghadirkan kehangatan di hati penontonnya dengan sangat luar biasa. Sekaligus, dengan ini membuktikan bahwa Stephen Chbosky adalah sutradara yang memiliki sensitivitas yang sangat hebat. 


Wonder bisa memberikan banyak sekali pesan moral tentang kebaikan dan menjadi kebaikan adalah pilihan hidup dalam kondisi apapun dengan cara yang tak sembarangan. Tanpa adanya sensitivitas dalam pengarahan milik Stephen Chbosky, Wonder akan bisa menjadi sebuah film yang akan tampil sangat menggurui dengan pesan kebaikan yang sangat harfiah. Tetapi, Stephen Chbosky berusaha untuk menyelipkan pesan-pesan itu dengan cara yang lebih implisit. Dengan begitu, pesan besar untuk berbuat kebaikan dalam film ini akan berdampak jauh lebih besar kepada penontonnya.

Segala usaha pengarahan yang sangat detil oleh Stephen Chbosky ini pun diperkuat dengan berbagai performa pemainnya yang sangat luar biasa. Jacob Tremblay, dibalik make-up prostetiknya masih dapat bermain dengan sangat emosional dan memberikan ikatan emosi yang sangat baik dengan semua lawan mainnya. Julia Roberts, Owen Wilson, dan Izabela Vidovic berhasil meyakinkan penontonnya bahwa mereka memang memiliki ikatan darah satu sama lain. Mereka adalah keluarga Pullman yang bahagia hidup di dalam konflik-konflik internal yang ternyata saling menguatkan. 


Dan pada akhirnya, di penghujung film Wonder ini penonton akan memberikan senyum haru terbaiknya. Mengikhlaskan setiap tetes airmatanya untuk ikut terenyuh dengan segala jatuh bangun kehidupan Auggie saat menjalani kehidupannya sebagai anak-anak pada umumnya. Serta, memberikan perasaan hangat dalam hati penontonnya yang sedang terinjeksi pesan ajakan untuk memprioritaskan kebaikan dalam sebuah film yang sangat luar biasa indah. Wonder is really a wonder

COCO (2017) REVIEW : Journey to Find Meaning of Hope and Family


Film-film Pixar biasanya memiliki pendekatan yang lebih menarik dan unik dibandingkan dengan film-film animasi lainnya. Mulai dari tema dan desain animasi yang jauh memiliki karakter dan inovasi di setiap filmnya. Sehingga, tak salah apabila film-film milik Disney Pixar ini akan selalu dinantikan oleh penonton baik fans maupun penonton biasa. Juga, memiliki cara bercerita yang memiliki intensitas emosional yang luar biasa besar.

Pixar kembali hadir di tahun 2017 ini setelah di bulan Agustus lalu, Cars 3 sudah menyapa penontonnya. Kali ini Pixarkembali dengan sebuah cerita baru yang diangkat dari sebuah kebudayaan meksiko, Dia de Muertos. Cerita dengan mengungkit budaya meksiko ini sudah pernah dihadirkan oleh Dreamworks Animation lewat film animasi underrated-nya berjudul The Book of Life. Sehingga, tak salah bagi orang awam yang tak tahu tentang budaya ini menganggap bahwa proyek teranyar dari Pixar ini menyomot dari The Book of Life.

Proyek terbaru dari Pixarini diberi judul Coco. Dengan latar budaya yang sama, dari trailer pun sebenarnya Coco dan The Book of Lifememiliki dasar cerita yang sangat berbeda. Cocoini diarahkan oleh sutradara dari Toy Story 3, Lee Unkrich. Di jajaran pengisi suara, lagi-lagi Pixar tak memiliki deretan yang sangat luar biasa tetapi tentu pengisi suaranya akan bisa menghidupi setiap karakter animasinya dengan baik. 

 

Di tangan Lee Unkrich, Cocotak hanya hidup sebagai sebuah film animasi yang menyenangkan untuk ditonton untuk segala usia. Lee Unkrich kembali menghadirkan rasa magisnya yang pernah dia salurkan lewat film Toy Story 3yang sangat luar biasa itu. Cocodengan segala kompleksitas ceritanya dan penggunaan setting budaya yang sesuai bisa memberikan penontonnya sebuah pengalaman sinematis yang sangat emosional di akhir film.

Lee Unkrich mengarahkan kisah Miguel dengan segala cara dan upayanya meraih mimpi dengan akumulasi emosi yang sangat kuat di sepanjang durasi. Sehingga, ketika adegan kunci di dalam film ini muncul, penonton dengan sukarela menitihkan air matanya dengan titik emosional sudah sampai puncak. Tetapi, Lee Unkrich juga tetap tak bisa melupakan bahwa Coco sebagai film animasi punya misi untuk menyenangkan penonton anak-anak. 


Coco menceritakan tentang seorang anak kecil bernama Miguel (Anthony Gonzalez) yang hidup di sebuah keluarga yang melarangnya untuk bermain musik karena ada trauma di masa lalu. Tetapi, Miguel punya ketertarikan untuk bermain musik di dalam dirinya dan sangat mengidolakan Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt). Hingga suatu saat, dia ingin mengikuti kompetisi bermusik yang diadakan di sebuah alun-alun kota.

Keinginan Miguel ini sangat besar hingga suatu ketika dia harus melawan seluruh anggota keluarganya agar tetap bisa bermain musik. Sadar dirinya tak memiliki gitar untuk dimainkan, Miguel mencuri gitar pusaka miliki Ernesto de la Cruz yang diletakkan di dalam makamnya. Di saat Miguel mencuri gitar tersebut, dia ternyata terjebak di sebuah dunia orang mati. Miguel pun harus mencari cara agar dirinya bisa kembali lagi ke dunianya. 


Pengarahan yang cukup kuat oleh Lee Unkrich adalah kunci bagaimana Coco bisa berhasil membawakan tema tentang mimpi dan keluarga dengan sangat baik. Coco tampil dengan 104 menit penuh akan petualangan seru mencari arti tentang kedua tema tersebut dengan menjadikan musik sebagai penghubung ceritanya. Tak hanya sekedar sebagai pemanis filmnya, tetapi musik juga menjadi sebuah arc story sendiri yang berkesinambungan dan sekaligus menjadi nyawa dari Coco secara keseluruhan.

Tetapi, beginilah Pixaradanya, plot cerita tentang mimpi, musik, dan keluarganya tak berjalan lurus-lurus saja. Menyuguhkan sebuah kisah sampingan yang akan membuat penontonnya tercengang karena ada sedikit pendekatan cerita yang membuat film ini sedikit terasa kelam. Hal itu mungkin tak akan terasa begitu signifikan untuk penonton yang sudah dewasa. Tetapi, subplot satu ini akan butuh waktu sendiri bagi penonton kecil yang sedang menikmatinya. Sehingga, perlu bagi orang dewasa untuk siap-siap menjawab pertanyaan si kecil dengan sangat bijaksana.

Hal itu tak menjadi sebuah masalah berarti, karena Coco masih punya banyak adegan-adegan seru yang menyertai perjalanan Miguel di dunia orang mati. Meskipun setting tempatnya yang berada di dunia orang mati, tetapi visualisasi Coco adalah sebuah visual yang sangat imajinatif, indah, dan memiliki warna yang membuat mata tercengang. Sehingga, segala kesan menyeramkan tentang dunia orang mati bisa lebih bersahabat bagi segala rentang usia penontonnya. Pun, ada beberapa comic relief yang berhasil muncul lewat karakter animasinya bernama Dante. 


Sehingga, kisahnya yang kelam di beberapa bagian ini berhasil diimbangi dengan segala gelak tawa dan petualangan-petualangan seru beserta musik-musik yang indah. Coco berhasil menjadi sebuah film Pixar penuh keseruan tetapi tak melupakan jati dirinya sebagai produk hasil Pixar yang punya sesuatu yang berbeda dibanding dengan film-film animasi lainnya. Dan arahan Lee Unkrich yang sangat emosional, persembahan sebuah lagu berjudul “Remember Me” di dalam film ini akan selalu dikenang dengan perasaan haru dan hangat.

MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK (2017) REVIEW : Gebrakan Baru Pesan Tentang Perempuan


Film Indonesia di tahun ini benar-benar memiliki keberagaman dalam tema. Di dalam satu genre saja, terdapat banyak sub genre lain yang bisa mendapatkan perhatian lebih. Begitu pula dengan film arahan dari Mouly Surya ini. Mouly Surya, sutradara perempuan Indonesia memiliki caranya sendiri dalam mendekati penontonnya dengan tema-tema yang sebenarnya berbeda di setiap film-filmnya. Mulai dari Fiksi, What They Don’t Talk About When They Talk About Love, hingga film terbarunya yang dirilis tahun ini.

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak ini sudah terlebih dahulu melanglang buana ke negeri lain ketimbang di negaranya sendiri. Banyak pujian yang disematkan kepada film ini dan beberapa penghargaan pun diraih oleh sang sutradara dan aktrisnya yang terlibat. Tak salah ketika film ini akan dirilis di dalam negeri, film ini sudah mendapatkan antisipasi yang sangat besar dari para calon penontonnya.

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah memiliki keunikan dalam segi penyampaian yang akan mirip dengan berbagai film-film Western yang sudah pernah ada dengan pendekatan lokal. Menyematkan berbagai macam simbol kebudayaan yang sangat kental ke dalam filmnya yang tak sekedar sebagai setting belaka. Ada berbagai urgensi pesan muncul dalam film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak ini yang ditampilkan secara ekstrim tetapi punya caranya yang tepat sasaran. 


Inilah kisah tentang seorang perempuan Sumba bernama Marlina (Marsha Timothy) yang harus mengecap pahitnya hidup setelah ditinggal mati suami dan anaknya. Datanglah seorang pria bernama Markus (Egi Fedly) yang berniat untuk merampok harta dari Marlina. Niat Markus tak hanya ingin merampok harta, tetapi juga sekaligus menjamah Marlina ditemani dengan komplotannya yang berjumlah 7 orang.

Marlina yang merasa dalam bahaya, harus segera membela dirinya. Dia berusaha untuk melarikan diri dan melawan para lelaki dengan perilaku menyimpang itu. Markus tetap saja berusaha memperkosa Marlina meski sudah berusaha melawan. Hingga akhirnya, Marlina memiliki tekad yang sangat bulat untuk membunuh Markus. Setelah kejadian itu, Marlina pergi dari rumahnya untuk melaporkan perbuatan Markus ke polisi meski nyawa Markus sudah tak ada. 


Perempuan sudah memiliki beban yang sangat berat dalam perilaku karena berbagai macam sistem yang mendiskreditkan mereka. Sebuah beban berat itu akan menjadi-jadi, ketika seorang perempuan pun harus direnggut pula hak dan kemanusiaannya oleh laki-laki. Inilah yang berusaha ditampilkan oleh Mouly Surya lewat Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak ini. Menceritakan sebuah realita perempuan yang berat dan satu-satunya perlawanan yang bisa mereka lakukan adalah diri mereka sendiri.

Mouly Surya benar-benar berusaha untuk menampilkan segala macam pesannya lewat adegan-adegan yang sangat subtil. Percakapan-percakapan yang metaforik tetapi dengan lantang menunjukkan bahwa perempuan sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak adalah sebuah representasi dari berbagai macam isu tentang perempuan yang perlu disoroti akhir-akhir ini.

Budaya pemerkosaan yang selalu merugikan perempuan yang seharusnya menjadi korban, bagaimana betapa terbatas dan susahnya perempuan untuk berperilaku. Juga, yang paling penting adalah betapa semena-menanya laki-laki memberi kontrol terhadap perempuan. Hal-hal itulah yang berusaha digarisbawahi oleh Mouly Surya untuk bisa dijadikan sebagai bahan kontemplasi penontonnya bahwa kesetaraan gender yang diwacanakan selama ini masih saja belum terlaksana dalam praktiknya. 


Sehingga, perlu ada tindak lanjut dari sosok perempuan itu sendiri agar segala haknya hidup sebagai manusia yang sama dengan laki-laki bisa direalisasi. Maka, Marlina ini adalah karakter perempuan yang lagi-lagi menjadi simbol bagi penontonnya memberikan relevansi. Marlina adalah sosok perempuan masa kini yang berusaha membela haknya meski dengan berbagai macam caranya yang digambarkan tak lagi seperti perempuan pada umumnya.

Membunuh Markus dengan cara memotong kepala dan membawanya pergi adalah cara ekstrim yang ditampilkan dengan berbagai macam tafsir pesan. Ini adalah pesan bahwa perempuan pun bisa menggertak maskulinitas laki-laki dan menyematkan bahwa perempuan pun bisa menjadi maskulin. Hal ini juga diperkuat dengan adegan di mana Marlina sedang buang air kecil di tempat terbuka. Sebuah pengadeganan yang sangat unik dan jarang terjadi di sinema Indonesia. Sekaligus, sebagai sebuah adegan yang menguji penontonnya tentang bagaimana perspektfinya tentang perempuan. 


Dengan berbagai adegan dan penyampaiannya yang cenderung lebih sarkastik, Mouly Surya tak hanya pintar dalam sisi penyutradaraannya tetapi juga betapa rapi penulisan naskahnya. Tak perlu khawatir bahwa Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak akan perlu keaktifan penontonnya untuk mengerti seperti film Mouly Surya sebelumnya. Film ini masih punya sebuah satu linimasa cerita yang utuh dan dapat dinikmati siapapun meski punya banyak sekali urgensi pesan yang perlu untuk dimaknai lebih.

Tetapi, Mouly Surya pintar untuk meredam ambisinya yang besar sehingga Marlina si Pembunuh dalam Empat Babakini tampil sederhana tetapi sangat lugas dalam penyampaian. Pun, didukung dengan berbagai macam sisi teknis yang juga digarap tak sembarangan. Mulai dari tata artistik, cara pengambilan gambar yang indah sekaligus memperkuat sisi subtil film ini oleh Yunus Pasolang. Juga, musik dari Zeke Khaseli dan Yudhi Arifani yang berhasil memperkuat sisi kultur lokal dengan cita rasa western sesuai pendekatan filmnya. 


Dengan adanya pendekatan film Western ini, ada sebuah istilah baru yang berhasil disematkan kepada film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak sebagai film satay western. Maka, film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak tak hanya sebuah gebrakan baru dalam sinema Indonesia saja melainkan juga, sebuah gebrakan baru sub-genre Western yang sudah ada di dunia. Dengan kemasannya yang masih kuat akan budaya lokal dan urgensi dalam pesannya tentang perempuan, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak sangat penting untuk disoroti oleh berbagai macam pihak. 

JUSTICE LEAGUE (2017) REVIEW : Kesalahan DC yang Sama Lagi


DC Films lagi-lagi mengeluarkan sebuah film tentang manusia supernya di tahun ini. Setelah bulan Juni lalu, akhirnya Wonder Woman dirilis dan mendapatkan hati di banyak penontonnya. Dengan begitu, DC dan Warner Bros semakin percaya diri dengan line up film-film manusia super milik DC lainnya. Meskipun, masih belum ada lini waktu yang benar-benar tertata seperti yang dilakukan oleh film manusia super milik brand sebelah.

Dengan lini waktunya yang tak terarah, Warner Bros dan DC sepertinya masih juga tak takut untuk mengeluarkan film Justice League di tahun ini. Justice League ini adalah tempat para manusia super milik DC berkumpul. Film ini disutradarai oleh Zack Snyder pada awalnya hingga sebuah musibah datang menghampirinya. Di tengah filmnya yang sudah selesai dan dalam proses penyuntingan, Joss Whedon ini ditunjuk untuk melakukan supervisi terhadap film Justice League.

Hal ini yang membuat Justice League harus melakukan syuting ulang yang membuat film ini memiliki budget yang membengkak. Dengan budget dua kali lipat, Joss Whedon pun harus memotong durasi film yang awalnya dari 170 menit menjadi 120 menit. Upaya mempersingkat durasi ini cukup menyita banyak perhatian calon penontonnya karena mungkin ada harapan bahwa Justice League akan kembali memukau dan harapan baru bagi DC films selanjutnya.


Memiliki 6 manusia super di dalam satu film tentu punya story device yang perlu dijelaskan lebih agar penonton tak kebingungan dengan setiap karakternya. Dengan linimasa cerita yang kacau balau dalam menentukan origin story, durasi 120 menit ini tentu adalah sebuah bencana besar bagi Justice League. Alih-alih akan punya sebuah pace cerita yang lebih dinamis, durasinya yang pendek ini membuat performa Justice League tak lagi mengikat dan jatuh menjadi sebuah sajian yang mengecewakan.

Justice League mengisahkan tentang kota yang sedang mengalami kehancuran karena musuh besar datang dan berusaha menguasai bumi. Paska kematian Superman, orang-orang di kota tak lagi punya manusia super yang melindungi mereka. Untuk itu, Bruce Wayne (Ben Affleck) sebagai seorang Batman berusaha untuk mengumpulkan para manusia super seperti Wonder Woman (Gal Gadot), Aquaman (Jason Momoa), The Flash (Ezra Miller), dan Cyborg (Ray Fisher).

Mereka harus berhadapan dengan Steppenwolf (Ciaran Hinds) yang datang dari legenda Amazon yang berusaha mengumpulkan kekuatan dari 3 artefak yang bisa membuatnya lebih kuat. Para manusia super ini bergabung dan berusaha untuk mengalahkan Steppenwolf. Para manusia super yang sedang kewalahan mengalahkan Steppenwolf ini mencari strategi lain. Bruce Wayne berambisi untuk membangunkan lagi Superman agar tim manusia supernya ini menjadi sebuah tim yang kuat.


Ketika secara garis besar sebuah plot dari Justice League bisa sesederhana itu, hanya saja dalam presentasinya hal tersebut berkata lain. Justice League ini tampil bagaikan sebuah kompilasi 5 film pendek yang terasa seperti omnibus di 1 jam pertama. Setiap manusia super di dalam Justice League ini seperti punya kisahnya sendiri yang perlu untuk dijelaskan agar penonton bisa memihak karakter mana yang akan jadi idolanya. Sayangnya, hal ini berpengaruh dengan performa Justice League secara keseluruhan.

Meski diberi ruang untuk bergerak bagi karakter-karakternya, itu pun tak membuat setiap karakternya punya porsi yang kuat sebagai sebuah karakter utuh. Selama 120 menit, Justice League bingung harus fokus dengan kisah yang mana. Plot utamanya pun beberapa kali harus tersingkirkan demi cabang cerita lain yang sama tak kuatnya. Tak ada koneksi yang bisa saling berkesinambungan antar setiap kerangka ceritanya sehingga Justice League punya kesan sangat berantakan.

Motif-motif setiap karakternya dan alasan-alasan untuk setiap plotnya ini terasa hilang dari dalam filmnya. Ketika penonton sedang berusaha menerima informasi tentang setiap karakternya, dalam waktu itu juga penonton merasa adanya informasi yang terputus karena cerita sudah beralih dengan cara yang tak halus. Sehingga, muncul kesan bahwa Justice League seperti sebuah gabungan kisah-kisah pendek superhero dengan benang merah kecil dan bahkan benang merah tersebut dilupakan.


Dengan begitu, Justice League tak punya daya dan upaya untuk mengembalikan konsentrasi penontonnya yang sangat terdistraksi dengan plot yang saling tumpang tindih di 1 jam awal. Kisah ceritanya yang sebenarnya sederhana ini malah menjadi blunder karena film ini terasa menyibukkan dirinya tanpa memperhatikan plot utama sebagai penggeraknya. Alhasil, Justice League hanya sebagai sekedar sebuah parade manusia super idola dari komik DC yang tak ada kekuatannya sama sekali.

Entah siapa yang perlu disalahkan dari presentasi Justice League ini. Yang jelas pengarahan dari Zack Snyder dan kolaborasi supervisinya dari Joss Whedon tak bisa memberikan rasa dan tensi yang kuat. Sehingga, dalam 120 menitnya, Justice League memiliki performa yang begitu hambar hingga mungkin paruh akhir filmnya yang menampilkan adegan pertarungan para manusia super ini. Itupun, Justice League tak lagi menawarkan hal baru di dalam genre-nya.


Justice League memiliki visual efek yang begitu kasar dengan warna yang tak terlalu indah. Penonton yang akan menantikan parade visual efek pun akan sangat kecewa. Maka, amunisi senjata Justice League untuk mendistraksi segala kelemahan filmnya pun sama sekali tak tersisa. Hanya sosok Superman yang muncul di 1 jam terakhir inilah yang menjadi poin menarik dan satu-satunya dalam Justice League. Meskipun, penonton harus lagi-lagi terdistraksi dengan CGI yang membuat wajah Henry Cavill nampak berbeda dan berpotensi menjadi sesuatu yang menggelikan untuk dilihat. DC Films nampak jatuh ke lubang yang sama lagi.

POSESIF (2017) REVIEW : Realita Lain dalam Kisah Cinta Remaja


Film remaja Indonesia di tahun ini mulai memiliki berbagai macam keberagaman mulai dari tema hingga kemasan. Posesif, salah satu film remaja tahun ini yang perlu disoroti bukan dari kontroversialnya saja bisa masuk ke nominasi FFI tahun ini. Perlu digarisbawahi pula bahwa film remaja ini datang dari sutradara yang jejak rekam filmnya memiliki pendekatan non-populer. Sehingga, kedatangan film ini bisa mencuri perhatian penontonnya.

Tentu banyak orang mungkin tak lagi mengerti berbagai macam fenomena tentang kekerasaan dalam hubungan, gangguan kejiwaan, dan lain sebagainya. Film bisa jadi medium lain untuk memberikan pencerahan tentang fenomena-fenomena tertentu agar penontonnya tahu bahwa hal-hal seperti ini itu penting untuk diketahui. Posesif adalah salah satu film yang digunakan sebagai bentuk awareness. Dengan pemikiran terbuka, Posesif akan membuat kalian sadar bahwa kekerasan dalam berhubungan itu ada dan Anda perlu untuk merangkul para korbannya.

Edwin bekerjasama dengan Gina S. Noer dalam produksi naskah film Posesif ini. Dengan begitu, film ini memiliki misi untuk mengemas sebuah pesan tentang awareness mengenai kekerasan ini menjadi kemasan yang bisa dicerna. Mendekatkan problematika berhubungan itu dengan menilik lagi akarnya. Kisah-kisah seperti ini biasanya berawal mula dari kisah-kisah cinta monyet saat remaja. Kisah cinta remaja ini diwakili oleh dua pion utama Yudhis dan Lala, yang diperankan oleh Putri Marino dan Adipati Dolken.


Sehingga, inilah kisah Lala (Putri Marino) seorang atlet lompat indah yang sedang berkarir cemerlang. Dipuja oleh seluruh warga sekolah menengah atas tempatnya menuntut ilmu. Tetapi, Lala tetaplah seorang remaja yang ingin merasakan jatuh cinta. Bertemulah Lala dengan Yudhis (Adipati Dolken) yang ternyata diam-diam mengagumi Lala. Yudhis mencintai Lala dengan sepenuh hati dan jiwanya. Seluruh hidupnya pun didedikasikan untuk Lala.

Yudhis adalah pacar pertama Lala dan dia sangat menikmati setiap waktu bersama Yudhis setiap hari. Begitu pula dengan Yudhis yang benar-benar mencintai Lala hingga tak ada sedikit saja ruang untuk Lala bersama dengan yang lain. Hubungan mereka lambat laun menjadi tak sehat karena Yudhis sangat protektif terhadap Lala berkaitan dengan apapun. Hubungan Lala dan Yudhis penuh dengan naik dan turun, tetapi Lala merasa terjebak dengan Yudhis.


Jika kisah cinta SMA biasanya memiliki penggambaran yang manis di dalam film-film manapun, Edwin mengambil sudut pandang lain yang berbeda. Inilah sebuah realita lain tentang kisah romantis muda-mudi yang mungkin hanya ada dalam porsi yang sedikit, tetapi perlu untuk diketahui oleh semua orang. Edwin berusaha untuk mengemasnya dengan penuturan yang ringan, dapat diakses oleh siapapun, tetapi tak melupakan bagaimana konflik yang ditawarkan di dalam filmnya dalah isu yang perlu untuk diangkat.

Edwin bisa berkompromi dengan rekam jejak filmnya terdahulu bahwa dirinya mampu dan berhasil keluar dari zona nyamannya yang biasa mengemas film dengan penuturan yang non-populer. Tetapi, bukan berarti Posesif menghilangkan keseluruhan jiwa dari Edwin sebagai sutradara. Masih ada beberapa permainan emosi yang lebih subtil di dalam adegannya yang mampu memberikan nyawa lebih dan berakumulasi sehingga menjadi sajian yang sangat emosional.

Meski isunya yang terkesan ambisius dan berbeda, tetapi Posesif hadir dengan caranya yang sederhana. Bermimikri menjadi sesuatu yang ringan, sesekali punya keklisean remaja masa kini untuk mempermanis suasana filmnya yang memiliki dasar sebagai sebuah film drama romantis. Tetapi, juga berani untuk memberikan sebuah sub genre yang terpadu dengan genre utamanya. Dua genre yang dipadukan ini muncul sesuai dengan porsinya.


Edwin punya pengarahan yang kuat, sehingga penonton bisa ikut merasa simpati sekaligus gemas dengan kedua karakter utamanya. Naskah dari Gina S. Noer juga berhasil memberikan daya tarik yang lebih dinamis. Menyembunyikan konflik demi konflik hingga menutup filmnya dengan cara yang jauh lebih subtil tentu membutuhkan sebuah ketelitian dalam penulisannya. Meskipun, tak dapat dipungkiri bahwa Posesif memiliki beberapa inkonsistensi yang membuat tensinya berkurang.

Perlu untuk mendapat sorotan penting adalah dua pemain utamanya yang berhasil memperkuat atmosfir manis dan pahitnya kisah cinta Yudhis dan Lala. Putri Marino, seorang aktris pendatang baru ini berhasil mencuri perhatian karena performanya yang luar biasa. Juga, Adipati Dolken yang berhasil naik kelas dengan perannya sebagai Yudhis. Keduanya memiliki ikatan emosional yang kuat sehingga penonton pun bisa ikut relevan dengan setiap konflik keduanya meskipun konflik mereka jauh dari referensi penontonnya.



Maka, Posesif sebagai sebuah film punya misi khusus tentang sebuah pengenalan bagaimana orang-orang gangguan psikologis dan kekerasan dalam berhubungan itu nyata adanya. Bahkan, hal-hal itu kadang tertutupi dengan beberapa kejadian-kejadian yang sangat lumrah terjadi di sekitar kita seperti Yudhis dan Lala yang sedang asyik menjalin cinta mereka. Edwin berusaha menjadikan Posesif untuk sebuah medium agar semua orang tahu atas isu ini. Bagaimana caranya untuk menolong korban dalam kekerasan dan menyuruhnya untuk lari jika tak ada cara untuk mengenalkannya dengan cara universal. Ya, Posesif adalah alternatif cara di era sekarang.