• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

Onward (2020) REVIEW: Another Pixar Works That Still Hit You Home

Setahun ada 2 film Pixar yang dirilis? Wah, pertanda nih.

Seakan-akan hal itu adalah sebuah hal buruk yang akan terjadi dengan kualitas filmnya. Ini bukan tidak dengan fakta atas ketidakpercayaan diri Pixar dengan film rilisannya. Hal ini pernah terjadi di tahun 2015 dan 2017, di mana The Good Dinosaur dan Inside Out harus dirilis di tahun yang sama. Begitu pula dengan Cars 3 dengan Coco.

Tidak. Film-filmnya tidak sampai jatuh ke palung terdalam layaknya Cars 2 di deretan rekam jejak Pixar. Tetapi, memang salah satu filmnya tidak bisa tampil dengan prima. Tentu, hal ini membuat fans Pixar atau penikmat film harus waspada di tahun 2020. Karena akan ada 2 film Pixar yang rilis di tahun yang sama meski berbeda bulan yaitu Onward dan Soul. Sesuai dengan judul reviewnya, mari kita tilik lebih dalam tentang Onward yang disutradarai oleh Dan Scanlon.

Ini adalah kali keduanya mengarahkan film dari Pixar setelah debutnya di prekuel Monsters Inc. yaitu Monsters University. Dirinya juga menuliskan kisahnya dibantu oleh Jason Headley dan Keith Bunin. Menarik adalah film ini dibintangi oleh beberapa nama besar untuk mengisi suaranya. Tom Holland, Chris Pratt, Julia Louis Dreyfous hingga Octavia Spencer. Setting film ini pun di sebuah dunia yang penuh keajaiban. Tentu saja, banyak orang berharap film ini sama ajaibnya dengan film-film Pixar yang lain.



Kisahnya terpusat oleh sosok keluarga Lightfoot yang terdiri dari sang Ibu dan 2 anaknya. Terlihat tidak lengkap memang, apalagi Ian (Tom Holland) terlihat sangat ingin sekali bertemu dengan sang ayah karena tak memiliki kesempatan untuk sering berinteraksi dengan sang Ayah. Tepat di hari ulang tahun Ian, Laurel (Julia Dreyfous- Louis) sebagai Ibu menyampaikan sebuah pesan bahwa ada barang yang ditinggalkan oleh sang ayah. Hadiah ini harus diberikan setelah Ian dan kakaknya, Barley (Chris Pratt) sudah berusia lebih dari 16 tahun.

Mengetahui hal ini, tentu Ian dan Barley sangat terlihat senang. Ternyata, barang itu adalah sebuah tongkat dengan mantra kunjungan. Dengan begitu, Ian dan Barley bisa bertemu dengan sang Ayah selama sehari sebelum matahari terbenam. Tetapi, usahanya untuk mengucapkan mantra ternyata tak sepenuhnya berhasil. Pheonix gems untuk membangkitkan sang Ayah ternyata telah habis terkuras tenaganya. Menyisakan sang Ayah yang hanya berbentuk sepasang kaki saja. Hal ini membuat Barley dan Ian harus melakukan perjalanan menemukan gems tersebut.


Memang bukan pixar yang terbaik, tetapi tetap merebut hati penontonnya.

Ketakutan para fans Pixar dengan kutukan 2 film rilis di tahun yang sama nyatanya harus dipatahkan. Onward yang digadang tak memiliki sebuah performa gemilang, ternyata masih berhasil membius penontonnya dengan segala magisnya. Onward menjadi sajian film animasi penuh petualangan yang menyenangkan. Tetapi, tetap memperhatikan unsur hati yang besar seperti film-film Pixar pada umumnya.

Kesederhanaan dalam ceritanya memang tak menjadi hal baru bagi film-film Pixar. Apalagi yang sudah terbiasa dengan tonton Pixar yang lebih rumit atau kompleks dibanding yang satu ini. Onward menjadi sajian yang sangat ringan. Meski pesan yang diangkat di dalam filmnya cukup kompleks dan memiliki hati yang sangat besar. Tentu, ini seakan menjadi kekuatan bagi Onward dan mampu bersanding dengan karya-karya Pixar lainnya.

Dan Scanlon berhasil mengemas kisahnya yang mengharu biru ini menjadi sajian yang tetap menyenangkan bagi penontonnya. Dengan 104 menitnya dan premisnya yang mengharu biru, film ini punya banyak humor yang berhasil memecahkan tawa. Perjalanannya yang Barley dan Ian yang penuh misteri ini berhasil memikat penontonnya. Tetapi, hati yang diselipkan di film ini tak hanya sekedar berada di penghujung saja.



Ada banyak sekali momen-momen di dalam film ini yang membuat penontonnya menitikkan air mata. Apalagi untuk kamu yang lemah dengan film-film penuh pesan tenatng keluarga. Ya, Onward akan dengan mudah merebut hati penontonnya. Seakan menjadi sebuah surat cinta untuk mengingatkan kita semua bahwa keluarga utama bukan hanya orang tua, tetapi masih ada anggota lainnya.

The one with big smile is the one who hid the pain.

Hal inilah yang ingin disampaikan oleh film Onward di dalam filmnya. Siapa tak merasa kehilangan jika sang Ayah harus pergi terlebih dahulu meninggalkan dunia. Semua akan merasa kehilangan, tak terkecuali orang yang sedang terlihat tertawa bahagia. Iya, cara seseorang untuk merespon dan menghadapi kematian bisa sangat berbeda-beda. Bisa jadi, mereka lah yang memendam perasaan mereka agar tetap terasa normal dalam hidupnya.



Yes, seperti judulnya sendiri, Onward mengajarkan kita untuk selalu maju meneruskan hidup. Apapun yang terjadi, setidaknya tetaplah bahagia dan bersyukur dengan orang yang selalu ada di sekitarmu. Maka dari itu, Onward hadir untuk mengingatkan kamu agar pulang dan memeluk orang yang tersayang. Buktikan kepada mereka bahwa kamu akan selalu ada dan menerima mereka dalam kondisi apapun.

Peluk mereka setelah nonton film ini atau ajak mereka untuk menonton filmnya. Setidaknya, mereka akan terhibur oleh tingkah laku para karakternya dan perjalananannya yang luar biasa indah. Ya, kalo soal visual, Pixar gak perlu ditanya lah. Punya daya magisnya sendiri dan termasuk film ini.

The Invisible Man (2020) Review: Thriller dengan Isu Domestik yang Menegangkan


Mendengar judul ini, seharusnya film ini akan dibuat menjadi film follow-up dari The Mummy yang menjadi bagian dari Dark Cinematic Universe. Sayang, di pertengahan jalan, proyek itu harus berhenti karena performa The Mummy yang tak baik di box office domestik. Iya, secara penghasilan worldwide, The Mummy masih cukup baik. Meski, penonton juga mengeluhkan betapa bosannya film yang diarahkan oleh Alex Kurtzman.


Maka dari itu, The Invisible Man ini berubah arah. Dari menggunakan Johnny Depp sebagai bintang utamanya menjadi Elisabeth Moss. Tapi, tetap saja film ini adalah adaptasi dari novel karya H.G. Wells. The Invisible Man disutradarai oleh Leigh Whannel yang sempat terangkat namanya saat menyutradarai Insidious: Chapter 3 dan Upgrade. Tentu saja dengan semua rekam jejaknya, The Invisible Man akan menitikberatkan filmnya sebagai sebuah film horor.

Ini jelas berbeda jauh dengan tujuan utama The Invisible Man di awal-awal yang akan menunjukkan classic monsters sesuai dengan film sebelumnya. Tetapi, bukan berarti berbeda dengan tujuan awal akan membuat film ini tak memiliki performa prima, kan?


Maka dari itu, sambutlah sebuah cerita yang dibuka dengan sebuah adegan yang sangat menegangkan. 10 menit pertama film ini, penonton sudah dihajar dengan banyaknya ketidakpastian yang membuat penontonnya bertanya-tanya tetapi bisa masuk merasakan intensitasnya. Cecilia (Elisabeth Moss) sedang berusaha kabur dari rumah sang suami. Dia ternyata sudah merencanakannya sejak jauh-jauh hari.

Iya, dia sedang tak nyaman dengan kelakuan sang Suami, Adrian Griffin (Oliver Jackson-Cohen) hingga membuatnya tak tahan lagi. Tetapi, hal ini tak lantas membuat Cecilia bisa kembali menjalani hidupnya normal lagi. Dia tetap dihantui oleh sikap Adrian yang membuatnya merasa tak aman. Tetapi, hal mengejutkan terjadi. Adrian ternyata ditemukan meninggal bunuh diri. Cecilia mendapatkan warisan dari Adrian tetapi ternyata teror baru bagi dirinya baru dimulai hari ini


Tak hanya Cecilia yang merasakan teror dari Adrian. Tetapi, penonton juga ikut merasakan teror Adrian. 

Artinya, Leigh Whannel sebagai sutradara berhasil mengarahkan The Invisible Man dengan baik. Buktinya, segala intensitas yang ada di dalam film ini bisa dirasakan oleh penontonnya. Leigh Whannel tahu benar memanfaatkan konsep creature-nya. Sehingga, teror demi teror datang di setiap menitnya. The Invisible Man ini memang memberikan sebuah perubahan dalam adaptasinya.

Ada penambahan unsur fiksi ilmiah di dalam film ini ditambah dengan misteri yang berusaha disebar di sepanjang film. Sehingga, penonton pun penasaran seperti apa The Invisible Man ini akan diselesaikan. Penulisan naskahnya pun sangat pintar. Ada set-up cerita yang dibuat dengan pondasi yang sangat kuat untuk membangun tensi dan misterinya. Sehingga, film ini bukan sekedar merapatkan tensi seperti yang dilakukan oleh film-film serupa. Apabila penulisannya tak diperhatikan, maka film ini bisa jatuh ke sajian yang itu-itu saja.

Meski The Invisible Man merentang hingga 124 menit, tetapi dijamin tak akan timbul perasaan bosan. Sebuah atmosfir horor dibangun begitu kuat oleh Leigh Whannel. Sebuah adegan yang memperlihatkan kekosongan saja bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman dan jantung berdebar bagi penontonnya. Seru memang, sepanjang film merasakan sebuah teror dari makhluk yang wujudnya pun tak terlihat.

Tak hanya pengarahannya yang brilian, tetapi juga akting Elisabeth Moss yang sangat meyakinkan. Dirinya berhasil menangkap kegelisahan dari penonton yang terteror dengan makhluk yang tak kasat mata di layar. Tanpa performanya yang kuat, tentu film ini juga tak akan bisa tampil gemilang. Bahkan, berkat penampilannya pun, berhasil menggali lebih dalam sebuah pesan yang sebenarnya secara implisit menampar penontonnya.

The Invisible Man ingin sekali menyampaikan banyak pesan tentang sebuah sistem sosial dan gender di dalam filmnya. Menyelipkannya dalam kisah-kisah yang seru dan mise en scene yang mendukung membuat pesan di dalam The Invisible Man ini tersampaikan dengan cara yang lebih subtil.

Ini adalah sebuah gambaran tentang perempuan dan problematikan hidup di dunia

Perempuan selalu menjadi korban atas kedigdayaan seorang laki-laki. Bahkan, dunia pun sering mendapatkan sebuatan “man’s world”. Sebegitu jahatnya dunia yang ternyata sangat berpihak kepada laki-laki ini. Film ini berusaha memperlihatkan bagaimana perempuan berjuang untuk mendapatkan haknya memilih jalan hidupnya sendiri saja susahnya setengah mati.

Adrian, ditemukan bunuh diri tetapi digambarkan masih saja meneror sang istri. Iya, dalam wujudnya yang tak kasat mata saja, perempuan masih saja merasa tak aman dari serangan teror laki-laki. Perempuan dikontrol, tak bebas, tak punya banyak pilihan, dan menjadi pusat perhatian. Seakan-akan semua orang ingin mengatur perempuan agar kembali ke “kodratnya”. 

Hal ini muncul jelas dalam mise-en-scene yang membekas di ingatan. Adegan di saat Cecilia menghadap ke sebuah cermin dan sedang ingin mencoba pakaian barunya. Pergerakan kamera seakan-akan menjadi “mata” Adrian sebagai laki-laki yang menyorot Cecilia sebagai perempuan. Tentu, Cecilia merasa tak nyaman dan penuh akan intimidasi padahal yang memperhatikan dari belakang pun tak kasat mata.


Budaya di dunia ini acap kali membuat perempuan sebagai objektifikasi. Diperhatikan oleh banyak norma yang mempengaruhi bagaimana perempuan mengambil langkah selanjutnya. Tetapi, norma-norma itu terkonstruksi atas budaya patriarki yang memperlihatkan kekuatan laki-laki di dunia ini meski dalam wujud yang tak kasat mata sekalipun seperti Adrian di film ini.

The Invisible Man tak hanya sekedar menjadi sebuah film horor dengan unsur fiksi ilmiah yang menegangkan untuk disaksikan. Tetapi, juga menjadi tempat untuk menggambarkan realita tentang bagaimana masih banyaknya ketimpangan perempuan dan laki-laki di dunia ini. Kalau saja tak bisa menangkap pesan subtil di dalam filmnya, setidaknya kalian masih bisa merasakan tensinya yang mungkin bisa lebih padat tetapi masih bekerja sangat efektif untuk mencengkram penontonnya. Bagus!