• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

HIT N RUN (2019) REVIEW: Aksi Komedi Yang Mempesona dan Bukan Fatamorgana


Masih ingat di lebaran tahun 2017, Ody C. Harahap ikut merayakan dengan membuat sebuah film adaptasi dari film korea berjudul Miss Granny. Lebaran tahun ini pun rasanya Ody C. Harahap juga ingin meramaikannya, tetapi bukan lagi adaptasi dari film lain lagi. Melainkan sebuah film baru yang dibuat khusus olehnya dengan genre action comedy. Hal ini tentu menarik karena film Indonesia dengan genre seperti ini masih jarang dibuat.

Lagi-lagi, Ody C. Harahap bekerjasama dengan Upi untuk mengerjakan film ini. Hit N Run, ditulis naskahnya oleh Upi dan dibintangi oleh nama-nama besar. Joe Taslim, Tatjana Saphira, Chandra Liow, hingga Mathias Muchus punya perannya di dalam film ini. Dengan nama Ody C. Harahap dan Upi, tentu penonton yang telah tahu rekam jejaknya –terlebih bagi yang telah menonton Sweet 20 –akan dengan mudah tertarik dan menantikan film ini.

Bersama dengan Screenplay Films dan Nimpuna Sinema, serta mendapatkan dukungan dari CJ Entertainment, film Hit N Run karya Ody C. Harahap ini tentu terlihat menarik. Jika Ody C. Harahap membuat sebuah drama komedi, tentu banyak yang sudah percaya. Lewat Hit N Run, Ody C. Harahap juga membuktikan bahwa dirinya mampu untuk berada di level selanjutnya. Mengatur tata teknis film aksi yang tak semua sutradara mampu melakukan itu, apalagi digabung dengan komedi.


Hit N Run tentu menjadi sebuah alternatif tontonan menarik di kala libur lebaran. Terlebih, film-film aksi yang dibuat di Indonesia secara story wise beberapa masih terkesan serius. Hit N Run milik Ody C. Harahap ini tentu menjadi nafas segar untuk genre ini di perfilman Indonesia. Beruntung, Hit N Run memang secara presentasi belum sempurna. Beberapa bagian di dalam film ini mungkin ada yang sedikit tak tepat sasaran. Tetapi, Hit N Run tetaplah sajian yang sangat menghibur untuk ditonton saat Lebaran.

Hit N Run ternyata mengusung konsep yang unik juga secara keseluruhan filmnya. Komedi aksi satir mungkin akan lebih cocok untuk disematkan di film ini. Bukan hanya sekedar menghibur penontonnya, tetapi juga berusaha memberikan kritik tentang personal branding dan isu sosial lainnya.   Naskah milik Upi mampu membuat Hit N Run menjadi sebuah tonton komedi aksi berkelas yang membuat Hit N Runbisa mengeluarkan kharisma jajaran pemainnya dengan natural.


Keunikan konsep ceritanya dimulai ketika seorang tokoh bernama Tegar Saputra (Joe Taslim), seorang polisi yang ternyata juga sekaligus menjadi pembawa acara program televisi terkenal bernama Hit N Run. Dia sedang ditugaskan untuk mencari tahu keberadaan seorang bandar narkoba handal yang baru saja kabur dari penjara bernama Coki (Yayan Ruhian). Tentu ini menjadi tantangan bagi dirinya karena Tegar pasti akan selalu diikuti kamera saat bertugas.

Perjalanan pencarian Coki dimulai ketika di sebuah klub malam dia menangkap seseorang bernama Liow (Chandra Liow). Dia diduga memiliki keterkaitan dengan Coki dan mengetahui keberadaannya. Di sinilah, atasan Tegar menugaskannya untuk mengajak Liow saat melakukan penyelidikan atas keberadaan Coki. Tetapi, perjalanan penyelidikan Liow dan Coki tidak semulus yang dikira. Mereka menemukan banyak masalah yang menuntun mereka ke Coki dan komplotannya.


Memang, ketika dijelaskan tentang plot ceritanya, Hit N Run akan sering dijumpai di berbagai film luar negeri. Mulai dari Hollywood, bahkan film-film buddy cop Asia dari Korea atau China juga pernah lebih dulu menggarap film-film seperti ini. Tetapi, juga dilihat dengan scoop perfilman Indonesia, Hit N Runtentu saja memberikan sensasi menonton film Indonesia yang berbeda. Ody C. Harahap terlihat benar secara serius mengarahkan Hit N Run agar menjadi sajian yang solid.

Sebagai sebuah film aksi, Hit N Run tentu sebuah sajian yang solid. Ody C. Harahap bisa mengemas adegan aksinya dengan intensitas yang terjaga. Bahkan banyak sekali koreografi martial artsnya yang cukup berbeda dan seru untuk diikuti didukung dengan tata kamera yang keren sekali. Sebagai sebuah film komedi pun, Hit N Run bisa sangat menghibur meskipun tak semuanya mulus. Semua jajaran castnya mulai dari Joe Taslim, Tatjana Saphira, Chandra Liow, apalagi Jefri Nichol mampu dan berhasil menjadi comic relief di film ini. 


Konflik Hit N Run ini sebenarnya bisa dibilang sangat serius. Bahkan ketika Hit N Run menceritakan arc story milik Coki pun memiliki suasana cerita yang lebih gelap. Tetapi, hal itu tak mengurangi intensi film ini untuk menjadi sebuah sajian yang menghibur. Bahkan, masih ada cela bagi Ody C. Harahap untuk mengembangkan satu adegan musikal romantis. Serta, menyentil isu tentang publik figur dan ekspektasi orang-orang tentang mereka yang mungkin sebenarnya tidak seperti apa yang mereka kira.

Tetapi, masih ada beberapa poin dalam Hit N Run yang mungkin perlu untuk diperhalus lagi. Konfliknya yang cukup banyak dan karakter-karakternya pula membuat transisi konflik terasa terlalu cepat di beberapa bagian. Sebenarnya sudah ada intensi pula dari Ody C. Harahap dan Upi untuk mengenalkan mereka dengan sesuai porsinya. Tetapi setiap alasan pertemuannya terasa serba kebetulan dan terlalu mudah dalam menyelesaikan konfliknya.


Tetapi tak mengapa, karena Hit N Run setidaknya sudah menghibur penontonnya hingga 114 menit ke depan. Joe Taslim sebagai sebagai lakon utama pun bisa mengeluarkan kharisma layaknya Tegar Saputra yang sedang memandu reality show miliknya. Hit N Run, pun bisa menghibur penontonnya tanpa rekayasa. Membuat penonton tertawa melayang ke angkasa layaknya tingkah laku Meisa yang mempesona. Meski tak sempurna, keseruan Hit N Run sebagai film lebaran bukanlah fatamorgana!

 

GHOST WRITER (2019) REVIEW: Premis Menarik dengan Presentasi Generik


Genre horor seakan menjadi portfolio wajib bagi seorang sutradara. Apalagi, genre ini ternyata cukup dinikmati oleh penonton secara universal. Tetapi, apabila dipadupadankan dengan genre komedi, mungkin masih belum terlalu banyak. Inilah yang menarik dari film lebaran tahun ini yang diproduseri oleh Ernest Prakasa. Diambil dari premis menarik di kelas skenario Ernest Prakasa, Ghost Writer menjadi salah proyek milik Starvision Plus yang terlihat menarik.

Bene Dion Rajagukguk dipercaya untuk menangani film ini. Dirinya sendiri telah lebih dulu menjalani karir sebagai penulis naskah di beberapa film besar dan salah satunya adalah Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur. Tentu, menulis naskah horor sudah bukan lagi kekhawatiran baginya, apalagi jika dibalut dengan komedi. Ghost Writer ini menjadi film pertamanya sebagai sutradara sekaligus menulis naskahnya sendiri dibantu oleh sang pemilik ide cerita yang berasal dari kelas skenario itu.

Tentu, dengan nama Ernest Prakasa sebagai taruhan, akan dengan mudah bagi film ini untuk mendapatkan jajaran pemain yang juga cukup menjanjikan. Tatjana Saphira, Endy Arfian, Deva Mahenra, hingga Asmara Abigail mau untuk berkolaborasi dalam film ini. Serta masih ada nama-nama besar lain yang juga ikut meramaikan mulai dari Slamet Rahardjo, Dayu Wijanto, dan juga Ge Pamungkas. Ini tentu membuat Ghost Writer punya magnet untuk calon penontonnya.


Dengan ide yang dianggap menarik dan promo yang lumayan masif, tentu saja Ghost Writer menarik hati penontonnya. Terlebih, film ini pun dirilis saat musim Lebaran tiba. Ini adalah waktunya film Indonesia menunjukkan taringnya untuk mendapatkan raihan jumlah penonton yang lumayan besar. Secara premis keseluruhan, Ghost Writer memang punya konsep yang cukup unik dan sangat menarik dengan perpaduan genre-nya.

Bene Dion Rajagukguk sebagai sutradara tentu saja berusaha untuk memberikan yang terbaik di atas konsepnya yang menarik. Memang, Ghost Writer secara filmnya sendiri bisa menyajikan sesuatu yang masih kategori baik. Filmnya bisa berjalan dengan lumayan lancar di durasinya yang mencapai 97 menit. Tetapi, Ghost Writer seperti berjalan dengan eksekusi yang masih bermain aman. Dengan premis yang sebesar itu, Ghost Writer harusnya masih bisa untuk dikembangkan lebih dalam lagi.

 
Ghost Writer, secara arti sebenarnya mungkin bisa diartikan sebagai seseorang yang membantu para penulis ketika menuliskan karyanya. Tetapi, Ghost Writer di dalam film ini diartikan secara harafiah tetapi dengan fungsi yang sama. Iya, hantu yang membantu seorang penulis bernama Naya (Tatjana Saphira) yang sedang menulis buku barunya. Awal pertemuannya terjadi ketika Naya baru pindah ke rumah kontrakan baru yang lebih murah karena sudah tak sanggup lagi membayar biasa yang makin mahal.

Naya hanya tinggal berdua dengan adik laki-lakinya, Darto (Endy Arfian). Di rumah kontrakan barunya inilah, dia menemukan sebuah buku harian milik seorang laki-laki bernama Galih (Ge Pamungkas). Ternyata, dia adalah bekas penghuni rumah ini yang sudah lama meninggal karena bunuh diri. Saat Naya memegang buku harian itu, Dia bisa melihat Galih. Dia pun meminta izin untuk menuliskan ulang cerita Galih untuk novel terbarunya nanti. Galih setuju dan membantu Naya menyelesaikan novelnya.


Setelah itu, penonton akan dibawa dalam pengalaman unik Naya saat menuliskan novelnya bersama Galih di dalam film Ghost Writer ini. Menarik sebenarnya, mengetahui setiap interaksi antara Naya dan Galih di dalam film ini. Melihat bagaimana seorang karakter hantu yang biasa dikenal sebagai sosok yang seram bisa berinteraksi. Bahkan, karakter hantu ini pun bisa menjadi sebuah comic relief yang bisa membuat penontonnya tertawa.

Ya, pemilihan karakternya juga sudah cocok, Ge Pamungkas sebagai hantu Galih bisa mengeluarkan comic reliefsecara alami. Kalau menurut salah satu dialog dari Galih, di sini karakter hantunya gak ada wibawanya sama sekali, secara tak langsung menggambarkan momen horor di filmnya. Sebagai kolaborasi dari dua genre, momen horor di film ini tak ditampilkan dengan kuat. Gak ada momen yang bikin merinding, bahkan komedinya pun beberapa masih tak tepat sasaran.


Inilah yang membuat Ghost Writeryang secara premis dan konsep bisa menjadi presentasi yang menjanjikan, malah berada dalam presentasi yang generik. Karakter Naya dan Galih bisa memiliki interaksi yang lebih dalam lagi. Mungkin terbatasnya durasi sehingga membuat kurangnya ruang untuk eksplor dan bergerak lagi. Sehingga, beberapa konfliknya pun masih belum bisa tersampaikan dengan lebih maksimal dan bahkan terasa tumpang tindih.

Memang, konflik utama dari film ini adalah interaksi antara Naya dan Galih. Tetapi Naya sebagai karakter utama memiliki banyak konflik dengan karakter pendukungnya. Mulai dengan adiknya hingga pasangannya tetapi setiap konfliknya hanya sebagai pelengkap saja. Bahkan, ada sedikit inkosistensi dalam memberikan peraturan saat ingin bertemu dengan sang hantu. Pengarahan dari Bene Dion Rajagukguk tak bisa memberikan penegasan untuk hal tersebut. 

Hal ini cukup berdampak saat penyampaian konflik utamanya. Sehingga, penonton baru saja sadar hal itu di babak terakhir filmnya. Hal-hal kecil inilah yang perlu untuk dieksplorasi lagi karena secara tak langsung membuat penonton tak bisa menaruh simpati lebih kepada setiap karakternya. Padahal masih ada cukup ruang dan cela untuk konfliknya berkembang lagi. Beruntung, Ghost Writermasih memiliki cukup amunisi di babak ketiga filmnya.


Ada nilai keluarga yang cukup membuat hati hangat untuk penonton filmnya. Iya, Ghost Writer rasanya baru terasa mengalami tanjakan konflik di bagian 30 menit terakhir. Mungkin, Bene Dion berusaha untuk menutupi bagian ini dan mengorbankan satu jam sebelumnya yang menahan emosi di beberapa adegannya. Padahal, jika mau lebih digali lagi, bisa saja impact di adegan 30 menit terakhir ini bisa lebih dalam lagi. Dengan premis yang ditekankan sangat menarik untuk dikulik, Ghost Writersebagai karya debut dari Bene Dion Rajagukguk masih dalam kategori bisa dinikmati. Hanya saja, memang masih banyak ruang untuk eksplorasi lebih lagi.

SINGLE PART 2 (2019) REVIEW: Sudah Waktunya Raditya Dika Eksplorasi Lebih Lagi


Raditya Dika dan karya-karyanya, sebuah polemik yang cukup membagi penontonnya. Ada yang suka, ada yang bukan cup of tea-nya. Meski begitu, beberapa filmnya masih saja laris manis. Setidaknya, ratusan ribu penonton pun masih bisa dikantongi. Bila ingat dengan kolaborasinya pertama kali dengan Soraya Intercine Films, pasti tahu dengan film Single. Film ketiga dari raditya dika yang dia tangani sendiri dalam penyutradaraannya.

Ada beberapa benchmark yang berusaha ditetapkan oleh Raditya Dika saat menangani Single ini. Menjadi salah satu karya terbaik dari Raditya Dika oleh beberapa orang, mulai dari pengarahan dan secara looks yang mewah berkat Soraya Intercine Films. Pun, kala itu, Single menjadi film kedua terlaris di tahun 2015 dan mendapatkan satu juta penonton. Angka yang lumayan prestige kala itu, sebelum angka penonton film Indonesia semakin membesar di beberapa tahun terakhir.

Munculnya Single Part 2 –yang cukup mendadak –ini tentu sedikit mengagetkan beberapa pecinta film Indonesia. Tanpa adanya gaung, Single Part 2muncul hanya bermodalkan nama Raditya Dika yang mungkin sudah menjadi brand besar di kalangan publik. Raditya Dika yang sempat menguji dirinya lewat film-film genre thriller, sedang berusaha kembali ke akarnya. Menangani kisah seorang insan manusia yang hidupnya hampa tanpa cinta dan tak ada pasangan.


Iya, tema seperti ini sudah menjadi ciri khas dari kisah yang dibuat oleh Raditya Dika. Tak hanya dalam materi filmnya, tetapi juga materi buku dan stand up comedy-nya. Sehingga, tak salah apabila calon penonton sedikit berharap dengan sekuelnya ini. Apalagi, film pertamanya pun memberikan pengalaman menonton yang seru. Sayangnya, meski berada di tema yang sama, bahkan dalam formula yang sama, Single Part 2 tak bisa mengeluarkan kekuatan yang sama.

Raditya Dika mungkin sadar akan hal itu dengan memberikan metajokes ke dalam naskah film Single Part 2. Problematika membahas hal yang itu-itu saja tanpa ada perkembangan ini dijadikan sebagai salah satu konfliknya adalah cara Raditya Dika menyadari kesalahannya. Tetapi, Single Part 2 pun bermain aman sehingga penonton akan merasakan keresahan yang sama dengan yang dialami oleh Raditya Dika itu sendiri.


Single Part 2 tenu saja masih berkutat di dunia Ebi dan masalah perjodohannya. Setelah bertemu dengan Angel (Annisa Rawles) di film pertamanya, ternyata tak membuat mereka berdua saling mengikat komitmen. Iya, Ebi yang umurnya sebentar lagi mencapai 30 tahun bahkan masih belum bisa mengatakan kalau dia sayang sama Angel. Ya tentu saja, Angel keburu pergi meninggalkan Ebi sendiri untuk melanjutkan sekolahnya di Bali.

Tetapi, Ebi gak sendiri banget karena masih ada dua temannya yang masih nemenin dia. Di sini lah, Ebi berusaha untuk mengasah kemampuannya berbicara dengan lawan jenis karena itu adalah kelemahannya. Tetapi, ketika dia memutuskan untuk berani mengungkapkan perasaan ke Angel, Ebi terlambat. Angel sudah ada yang mendekati dan membuat Ebi patah hati. Tetapi, tentu saja perjuangan cinta Ebi gak berhenti sampai di sini.


Iya, penonton sekali lagi mengikuti kisah Raditya Dika berpetualang mencari cinta sejati. Dengan segala upayanya keluar dari zona nyaman di dua film sebelumnya, ada rasa rindu dengan film Raditya Dika yang seperti ini. Awkward romantic comedy dengan jokes yang mungkin terinfluensi oleh film karya milik Judd Apatow. Tetapi, ternyata Single Part 2 bukan sepenuhnya menjawab kerinduan atas karya-karyanya itu.

Bukan berarti Single Part 2ini buruk, masih jauh dari kata itu. Hanya saja, penuturannya terlalu panjang apalagi durasinya yang mencapai 128 menit. Semuanya terasa berputar-putar sendiri dengan kurangnya penggalian motivasi dan konflik yang benar. Kurang ada letupan yang berarti untuk mempertajam konflik utamanya. Raditya Dika dalam naskahnya –yang dibantu oleh Sunil Soraya dan Donny Dhirgantoro –ini malah sibuk membuat konflik baru.

Tak bisa dipungkiri, adegan opening dari Single Part 2 yang melibatkan obrolan via Skype oleh Ebi dan Angel ini adalah bagian terbaik dari filmnya. Rasa manis-manis canggung yang tergambarkan dengan baik, didukung dengan tata kamera yang mempermanis suasananya. Tetapi, perjalanan Ebi mencari cinta sejati ini mengalami jalan terjal. Meskipun masih ada beberapa momen manis, lucu pun juga ada, tetapi tak selepas film pertamanya.


Setidaknya kita masih disuguhi permainan kamera yang indah di dalam film Single Part 2. Bisa memancarkan suasana moody tetapi hangat khas Soraya Intercine Films. Meskipun, filmnya tak terlihat semewah film pertamanya. Tetapi, set dan sinematografinya masih saja dikemas cantik. Poin plus lainnya ada di dalam jajaran soundtrackfilmnya. Lagu Kunci Hati milik Geisha akan dengan mudah membuat penonton jatuh hati serta ada lagu lain yang tampil pas dan mendukung adegannya.

Tentu saja, Single Part 2ini pengingat penontonnya bahwa Annisa Rawles butuh menjadi wajah segar di perfilman Indonesia. Bukan hanya paras cantiknya saja, tetapi performanya cukup membuat film ini menjadi manis.


Tetapi memang, masih banyak catatan bagi Raditya Dika saat membuat film. Bukan hanya dalam mengemas film dengan tema yang serupa ini saja, tetapi di karya-karya lainnya nanti. Raditya Dika butuh banyak lagi referensi agar karyanya bisa digali lebih dalam lagi, apalagi dalam penuturan konfliknya. Single Part 2 ini buktinya bahwa Raditya Dika butuh eksplorasi agar penontonnya tak  merasakan petualangan cinta Radit dengan jalur yang sama lagi.