• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

SUZZANNA : BERNAPAS DALAM KUBUR (2018) REVIEW : Film Horor Untuk Bersenang-senang

Perfilman Indonesia sedang dipenuhi oleh bangkitnya kembali legenda-legenda industri hiburan ke dalam layar lebar. Warkop DKI Reborn salah satu pencetus kembalinya para legenda dan berhasil mengundang minta banyak orang. Kuantitas peraihan jumlah penontonnya pun fantastis dan menjadi film terlaris sepanjang masa di Indonesia. Tentu, ini membuat banyak insan perfilman mengembalikan lagi sosok legendaris mereka mulai dari Benyamin, Ateng, dan bahkan Koes Plus.

Tak salah bila Soraya Intercine Films pun tertarik untuk mengembalikan sosok legendaris di dunia perfilman horor di tahun 2018 ini. Ya, Soraya Intercine Films membangkitkan kembali sosok Suzzanna yang sangat legendaris itu. Tentu saja, nama Suzzanna sudah menjadi sebuah brand tersendiri di mata penonton. Proyek ini tentu mendapatkan sorotan dari berbagai macam pihak. Terlebih, ketika Soraya Intercine Films merilis salah satu foto dari filmnya yang tampak sangat meyakinkan.

Aktor perempuan yang mendapatkan kesempatan untuk menjadi sosok legendaris ini adalah Luna Maya. Foto Luna Maya sebagai Suzzanna beredar dan membuat calon penonton kagum karena tampak sangat mirip dengan sosok aslinya. Film Suzzanna ini hadir dengan tajuk Bernapas Dalam Kubur yang disutradarai oleh Anggy Umbara dan Rocky Soraya. Naskah dari film ini ditulis oleh Bene Dion Rajagukguk dan disemarakkan oleh Herjunot Ali, Asri Welas, Ence Bagus, Opie Kumis, dan masih banyak nama terkenal lainnya.


Suzzanna : Bernapas Dalam Kuburbukanlah sebuah remake dari salah satu judul di dalam filmografi milik Suzzanna. Kali ini lebih ke sebuah cerita baru meskipun tetap diadaptasi dari salah satu filmnya terdahulu. Serta memberikan sebuah penghormatan atas karya-karya film yang dibintangi oleh sosok legendaris itu. Tentu, dengan adanya sebuah nama legendaris yang diangkat dalam film ini akan muncul tanggung jawab untuk dihadirkan kepada penontonnya.

Tak bisa dipungkiri, Suzzanna : Bernapas Dalam Kubur adalah sebuah film horo yang tentu saja tak dibuat sembarangan. Segi visual, tentu saja filmini digarap dengan sangat teliti mulai dari tata produksi, tata gambar, hingga tata rias wajah untuk Luna Maya yang mendatangkan langsung orang rusia yang sudah biasa berkecimpung dengan hal tersebut. Hal ini agar Luna Maya bisa secara visual sangat mirip dengan sosok aslinya saat di layar.


Penuturan setiap kisahnya mungkin masih belum sempurna, padahal plot ceritanya sebenarnya begitu sederhana. Menceritakan tentang Suzzanna (Luna Maya) dan suaminya Satria (Herjunot Ali), mereka adalah pasangan yang sangat bahagia. Kebahagian mereka dirasa makin sempurna ketika Suzzanna mengabarkan sebuah berita bahagia kepada sang suami bahwa dirinya sedang mengandung anaknya. Tentu, berita ini membuat mereka bahagia bukan kepalang.

Tetapi, kebahagiaan itu tak berlangsung begitu lama ketika tiga anak buah dari Satria di kantornya ingin merampok rumah mereka karena tak mendapatkan kenaikan gaji seperti yang mereka inginkan. Secara tidak sengaja, Suzzanna memergoki ketiganya sedang memorakporandakan isi rumahnya. Melihat situasi ini, tentu saja membuat ketiga anak buah Satria ini panik dan melakukan tindakan di luar akal sehat mereka. Mereka tak sengaja membunuh Suzzanna dan menguburnya hidup-hidup. Suzzanna bangkit menjadi arwah gentayangan yang ingin balas dendam.


Ekspektasi penonton ketika mendengar kata Suzzanna sontak yang dipikir adalah betapa ngeri dan mistisnya sosok tersebut. Tentu, kembalinya Suzzanna lewat Bernapas Dalam Kubur tentu menjadi sebuah hal yang dinantikan. Tak lain karena penonton zaman sekarang ingin sekali lagi merasakan sensasi ngeri yang muncul dari sosok tersebut. Tentu saja, dengan mudah film ini akan mendapatkan raihan jumlah penonton yang fantastis. Film ini tentu medium yang cocok untuk ditonton ramai-ramai.

Suzzanna : Bernapas dalam Kuburdiawali dengan penggalian cerita yang cukup baik. Membangun simpati penonton agar karakternya terkesan lebih memiliki dimensi untuk cerita selanjutnya. Kedua karakter utama di dalam film ini adalah kuncinya. Interaksi satu sama lain dibuat seintim mungkin agar memiliki kontinuitas yang pas dengan apa yang terjadi di setiap adegan berikutnya. Hanya saja, dengan durasinya yang mencapai 120 menit, pembangunan karakternya itu terasa terlalu panjang.

Sesaat film ini lupa untuk masih memiliki misi sebagai sebuah film horor yang dinantikan oleh penontonnya. Suzzanna : Bernapas Dalam Kubur terlambat untuk menakut-nakuti penonton sehingga penonton mungkin akan bergumam dan menanyakan bagian seram dalam filmnya. Sayang, Anggy Umbara dan Rocky Soraya masih belum bisa membangun atmosfer horor yang kuat. Bahkan, jump scare yang digunakan film ini pun cukup lemah.


Tetapi, tak bisa dipungkiri, ada beberapa cara penyampaian ceritanya yang menarik untuk diikuti. Teror yang dilakukan oleh Suzzanna tak hanya menyerang secara langsung ke fisik manusia tetapi bagaimana karakter Suzzanna yang juga menyerang psikis pelakunya. Hal inilah yang membuat Suzzanna : Bernapas Dalam Kubur masih menyenangkan untuk diikuti apalagi ketika ditonton ramai-ramai dengan yang lain.

Jangan lupakan performa Luna Maya sebagai Suzzanna yang mungkin masih memiliki inkonsistensi dalam setiap adegannya. Tetapi, Luna Maya tentu saja mengerahkan semua performa terbaiknya dan di beberapa adegan masih bisa meyakinkan penonton bahwa dirinya adalah jelmaan sang sosok legendaris yang “bangkit dari kuburnya”. Juga, 3 pemain pendukung yaitu Asri Welas, Ence Bagus, dan Opie Kumis yang berhasil membuat film ini punya sisi komedi yang menyenangkan.


Suzzanna : Bernapas dalam Kuburmungkin masih belum sempurna, penceritaan setiap babaknya masih terbata-bata, apalagi di babak ketiga dari filmnya yang terasa dipercepat karena durasi sudah membengkak. Anggap saja ini adalah film untuk medium senang-senang. Film horor arahan Anggy Umbara dan Rocky Soraya masih bisa mengajak penonton merasakan kehidupan karakter hantunya, tertawa dengan keberadaan pemain pendukungnya, dan merasakan serunya aksi balas dendam di 20 menit akhir filmnya. Mari berharap, jika ada seri lainnya, bisa lebih baik dari ini.

FANTASTIC BEASTS : THE CRIMES OF GRINDELWALD (2018) : Jembatan Seri Baru Yang Rapuh

Kembalinya dunia sihir ditandai dengan Warner Bros menghidupkan karakter Newt Scamander lewat Fantastic Beasts and Where To Find Them yang dirilis pada tahun 2016 lalu. Kisah ini pun juga diangkat dari buku yang ditulis oleh JK Rowling. Pun, di dalam filmnya, JK Rowling juga ikut andil untuk menyajikan kisahnya ke dalam layar lebar lewat naskah yang ditulisnya. Pendapat tentang film ini cukup beragam, ada yang suka karena merasa nostalgia dengan dunia sihir tetapi ada pula yang tak suka karena berbeda dengan seri Harry Potter yang ditulisnya.

Tetapi, film itu hanyalah awal dari 5 seri Fantastic Beasts yang akan dirilis oleh Warner Bros nantinya. Pun, JK Rowling akan tetap ikut andil untuk menuliskan kisah-kisah selanjutnya. Maka di tahun ini, petualangan dunia sihir pun masih berlanjut. Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald adalah tajuk yang diambil untuk judul film keduanya. David Yates tetap melanjutkan tongkat estafetnya untuk mengarahkan film kedua dari petualangan Newt Scamander.

Film pertamanya yang ditutup dengan penyelesaian yang mencengangkan, tentu saja para penikmat film dan dunia sihir ingin tahu seperti apa kelanjutan dari Fantastic Beasts ini nantinya. Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwaldini tentu ditunggu sebagai jawaban atas film pertamanya. Pun, film ini kembali diramaikan oleh beberapa nama mulai Johnny Depp yang menjadi kunci di film ini. Belum lagi kedatangan Zoe Kravitz sebagai salah satu anggota keluarga Lestrange dan tentu saja Jude Law sebagai Albus Dumbledore muda.


Dengan banyaknya hal di dunia sihir milik Harry Potter yang kembali di film kedua dari Fantastic Beasts ini, ternyata tak menjadi jaminan bahwa film ini akan bisa menghibur penontonnya. Atau bahkan menyamai kekuatan film pertamanya –yang setidaknya menghibur sebagai sebuah film blockbuster. Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald datang sebagai film sekuel yang kembali dipenuhi dengan berbagai macam set updan tak benar-benar menjawab pertanyaan yang terbangun di film pertamanya.

Banyak sekali hal yang ingin diceritakan oleh JK Rowling di dalam film keduanya. Sehingga, film ini terasa tumpang tindih di berbagai bagian. Dengan durasi yang mencapai 134 menit, nyatanya hal ini tak cukup ruang bagi JK Rowling untuk menceritakan berbagai kisahnya yang rumit. Banyak problematika yang muncul di film keduanya. Begitu pula, karakter-karakter yang muncul di dalam filmnya hadir dengan urgensi yang tidak cukup kuat.


Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald dimulai dari Grindelwald (Johnny Depp) yang pada awalnya telah ditangkap dan menjadi tahan tiba-tiba melarikan diri. Dia bersama dengan komplotannya mengejar satu nama yaitu Credence (Ezra Miller) yang dianggap memiliki kekuatan yang cukup kuat dan besar untuk berada dengan komplotannya dan menuntaskan apa yang dimau oleh Grindelwald. Tetapi, perjalanan Grindelwald tentu saja tak mudah.

Ada banyak orang yang menghalangi rencana jahatnya salah satunya adalah Newt Scamander (Eddie Redmayne) yang pada awalnya sedang mencari seorang temannya, Tina Goldstein (Katherine Waterston) yang sedang menginvestigasi hal yang sama dengan Grindelwald. Kebingungan Newt Scamander ini menuntunnya kembali ke Hogwarts untuk menanyakan masalah Grindelwald kepada Albus Dumbledore (Jude Law). Mereka pun menyusun rencana untuk menghentikan Grindelwald.


Cerita untuk menghalangi rencana jahat Grindelwald ini menjadi poin utama dari film kedua Fantastic Beastsini. Hanya saja, ada banyak cerita tambahan yang secara tidak sadar mendistraksi bagaimana plot utama dari film ini berjalan dengan seharusnya. Film keduanya sibuk memperbesar Wizarding World dari JK Rowling yang semakin menambah setup dari franchise ini agar tetap berjalan. Sayangnya, David Yates tak bisa mengimbangi konsep besar yang dimiliki oleh JK Rowling di dalam film keduanya.

Konsep besar dalam naskah JK Rowling ini tentu adalah bahan bakar bagi franchise Fantastic Beasts agar tetap berjalan dan memiliki bahasan di setiap serinya. Tetapi, JK Rowling seakan tak mawas diri untuk menceritakan setiap ide yang ada di kepalanya yang ternyata menjadi bumerang bagi presentasi film keduanya. Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald pun menjadi salah satu entry dalam Wizarding World universe yang paling lemah.

Ada banyak cabang cerita yang membuat film ini terasa tak mengerti bagaimana untuk mengawali ceritanya. Dengan banyaknya cabang cerita tentu akan membuat bertambahnya karakter-karakter di dalam film ini yang hanya muncul untuk memenuhi layar tanpa ada cukup alasan yang kuat mereka harus hadir. Berharap saja, karakter-karakter ini akan memiliki ceritanya di seri Fantastic Beasts selanjutnya sehingga tak menjadi sia-sia.


Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwald tak memiliki daya magis seperti di film-film Wizarding World lainnya. Film ini hanya berisikan konflik dan membangun cerita yang memiliki tendensi untuk membuat kisahnya menjadi memiliki citarasa film-film Harry Potter. Sayangnya, menjadikan seri ini agar memiliki citarasa magis yang sama dengan Harry Potter ternyata keputusan yang kurang tepat. Fantastic Beasts : The Crimes of Grindelwaldini kehilangan esensinya untuk menceritakan makhluk-makhluk fantastis seperti film pertamanya.

Sehingga, yang tersisa dalam film ini adalah kekuatan visual efek yang membuat penonton cukup kagum dan menikmatinya. Bahkan, keseruan magic adventure di dalam film keduanya ini pun tak sekental film pertamanya. Juga, musik andalan Harry Potter yang menjadi cameo di dalam film ini. Atau mungkin sebuah kejutan di akhir film yang tak sepenuhnya berjalan dengan baik. Sehingga, bagi penonton yang akan menonton film ini, anggap saja film ini hanya sebagai sebuah jembatan baru yang berdiri belum terlalu kokoh jadi perlu hati-hati untuk melewatinya.

 

A STAR IS BORN (2018) REVIEW: Debut Dengan Potensi Yang Terlewat


Berhasil masuk ke dalam nominasi Best Actor di beberapa ajang penghargaan film tak membuat Bradley Cooper lantas berpuas diri. Di tahun ini, Bradley Cooper memberanikan diri untuk mengarahkan sebuah film untuk pertama kalinya. Bradley Cooper memilih untuk mengarahkan cerita yang sudah pernah ada di perfilman Hollywood. A Star Is Bornmenjadi film yang diarahkan ulang oleh Bradley Cooper dan mendapatkan banyak sorotan.

A Star Is Born milik Bradley Cooper ini adalah kali keempatnya judul ini mendapat kesempatan untuk diceritakan ulang. Dimulai dari tahun 1937 yang dibintangi oleh Janet Gaynor, lalu di tahun 1954 yang dibintangi Judy Garland, hingga di tahun 1976 yang dibintangi oleh Barbra Streisand. Belum lagi, A Star Is Born pun pernah diadaptasi ulang oleh perfilman Bollywood. Lantas di tahun 2018 ini, Bradley Cooper memilih Lady Gaga untuk membintangi film debut arahannya ini.

Film ini tentu saja mendapat sorotan karena tak hanya ingin tahu bagaimana Bradley Cooper mengarahkan sebuah film tetapi juga ingin tahu bagaimana Lady Gaga bermain di dalamnya. Tak hanya berperan sebagai pengarah filmnya, Bradley Cooper juga memiliki andil dalam menuliskan naskah dari film ini. Meskipun, naskahnya tak benar-benar murni ditulis sendiri olehnya, Bradley Cooper masih mendapatkan bantuan dari Eric Roth dan Will Fetters.


Dengan kemasan trailer yang menarik, A Star Is Born milik Bradley Cooper ini terlihat punya potensi besar untuk bisa memuaskan penontonnya yang harus akan melodrama dalam sebuah film. Bahkan, beberapa orang menggadang film ini bakal bisa bersaing di beberapa ajang penghargaan film. Dengan segala hype yang ada di luar sana dan trailer yang sangat menarik, A Star Is Born ternyata tak memiliki hal yang spesial untuk dinikmati. Pengarahan dari Bradley Cooper ternyata tak cukup kuat untuk menceritakan ulang kisah yang sudah usang ini.

Secara plot besar, tentu saja A Star Is Born milik Bradley Cooper ini tak punya sesuatu yang baru. Kisahnya pun disadur dari film-film sebelumnya, namanya juga film yang diceritakan ulang. Hanya saja, A Star Is Bornmilik Bradley Cooper ini belum memiliki pengarahan yang cukup kuat. Dengan durasi yang mencapai 134 menit, tentu saja perlu ketelitian dari Bradley Cooper untuk menjaga tensinya di setiap babak. Babak pertamanya memang berjalan cukup memikat meski turbulensinya dalam penuturannya tetap ada. Sayang, semakin bertambahnya menit, A Star Is Bornsemakin hilang daya pikatnya.


Babak pertama dari A Star Is Born dimulai ketika Ally (Lady Gaga), seorang perempuan biasa yang sedang bekerja di bar bertemu dengan seorang bintang bernama Jack (Bradley Cooper). Di pertemuan pertama mereka, Ally sedang menunjukkan kemampuannya bernyanyi. Jack dengan mudah terpesona dengan kemampuan yang dimiliki Ally. Setelah pertemuan itu, Jack dan Ally terasa begitu akrab satu sama lain. Jack sering mengajak Ally untuk datang ke konsernya.

Hingga suatu ketika, Jack benar-benar meminta Ally untuk tampil di salah satu konsernya. Pada awalnya, Ally tidak mengindahkan permintaan tersebut hingga pada akhirnya Ally pun mengiyakan apa yang dimau oleh Jack. Penampilan mereka berdua ternyata memikat penonton, hingga Ally pun dilirik oleh seorang produser musik. Ally pun bangkit menjadi seorang penyanyi terkenal dan menjalani kehidupannya yang penuh liku bersama dengan Jack.


Perjalanan babak pertama dari A Star Is Born ini punya daya magisnya. Penonton merasakan betapa manisnya hubungan antara Jack dan Ally sebagai seseorang yang baru mengenal satu sama lain. Emosi keduanya muncul di beberapa bagian yang penting. Terlebih, ketika keduanya sedang melakukan performance di atas panggung membawakan lagunya yang berjudul Shallow. Daya magisnya muncul dengan baik dan memikat penontonnya. Meskipun dalam penuturannya, babak pertamanya masih sedikit terbata-bata.

Tetapi, perjalanan mereka tak malah membaik di paruh kedua hingga akhir. Pengarahan dari Bradley Cooper sebagai sutradara debut tak cukup kuat untuk menjalankan konflik yang semakin bertambahnya durasi semakin banyak untuk dihadapi. Kurang menampilkan proses berkembangnya Ally dan Jack di paruh kedua inilah yang membuat penonton tak bisa benar-benar bersimpati dengan karakternya. Sehingga, ketika konflik di dalam film ini semakin kompleks, penonton sudah cukup lelah untuk mengikutinya.

Ada banyak perjalanan yang sebenarnya terjadi di antara kedua karakternya. Tetapi, setiap perjalanannya terasa berjalan terlalu cepat untuk bisa membuat penontonnya terpikat dengan pesona kedua karakternya. Proses Ally menjadi bintang terjadi begitu cepat hingga saat Ally sudah menjadi sosok bintang yang karirnya cemerlang, film ini tiba-tiba terasa melambat. Penonton pun tak seberapa ingat seberapa spesialnya Ally hingga bisa lahir sebagai bintang karir yang meroket cepat. Inilah yang membuat A Star Is Born kurang maksimal padahal Bradley Cooper punya potensinya.


Dengan durasi sepanjang 134 menit, A Star Is Born seharusnya bisa memiliki ruang yang cukup untuk pelan-pelan menceritakan yang terjadi dalam proses kehidupan Ally. Begitu pula dalam mengarahkan karakter Jack yang memiliki konflik batin yang cukup menarik untuk diulik lebih lagi. Bradley Cooper berhasil menghidupkan karakter Jack yang hidupnya semakin pelik dengan adanya karir Ally yang semakin disorot oleh banyak pihak. Sayangnya, konflik batin itu tak cukup kuat untuk dirasakan oleh penontonnya.

Di babak penyelesaiannya pun, masih ada banyak subplot yang masuk ke dalam ceritanya. Jack dan Ally mengalami hidup yang semakin pelik ini ternyata cukup membuat lelah untuk diikuti. Hingga dalam penyelesaiannya, kurang memiliki efek emosional yang diharapkan oleh Bradley Cooper ketika tembang I’ll Never Love Again dilantunkan. Hingga yang diingat adalah A Star Is Born memiliki cukup banyak tembang yang bisa dinikmati oleh penontonnya.


Bradley Cooper sebagai sutradara debut untuk film ini terasa seperti kewalahan bagaimana caranya mengemas kehidupan Ally dan Jack yang masalah hidupnya sangat kompleks. Tetapi, Bradley Cooper memiliki sensitivitasnya untuk menghidupkan daya magis karakter dan lagu-lagunya sehingga A Star Is Born masih punya sinar di paruh pertamanya. Sesuai dengan judulnya, Lady Gaga memiliki potensi sebagai seseorang yang lahir sebagai bintang karena performa darinya ini mampu memikat penontonnya dengan baik meskipun filmnya bisa diarahkan dengan lebih baik lagi seharusnya.