• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

FIRST MAN (2018) REVIEW : Pengalaman Bercerita dan Merasakan Kehidupan Neil Armstrong


Setelah memenangkan penghargaan sutradara terbaik di ajang Academy Awards berkat La La Land, Damien Chazelle pun menjadi salah satu sutradara muda yang menjanjikan. Film sebelumnya, Whiplash, juga berhasil masuk ke dalam beberapa nominasi di Academy Awardstermasuk Best Picture. Berkat dua filmnya yang menarik inilah, karya selanjutnya dari Damien Chazelle tentu akan sangat menarik untuk diikuti agar tahu apa yang berusaha ditawarkan oleh Damien Chazelle nantinya.

Di karya terbarunya, Damien Chazelle berusaha untuk keluar dari zona nyamannya yang biasanya membahas masalah musik. Karyanya ini berusaha untuk mengarahkan sebuah cerita tentang seseorang yang dipercaya pertama kali mendaratkan diri ke bulan. First Man, karya selanjutnya dari Damien Chazelle ini menceritakan tentang Neil Armstrong yang diadaptasi dari memoirnya yang ditulis oleh James R. Hansen.

Damien Chazelle mengajak Josh Singer sebagai penulis naskah adaptasi yang juga pernah memenangkan Best Original Screenplay dari film Spotlightdi ajang Academy Awards 2016 lalu. Sekali lagi, Damien Chazelle juga bekerjasama dengan Ryan Gosling untuk memerankan Neil Armstrong di dalam First Man. Juga, mengajak beberapa aktor lain seperti Claire Foy, Jason Clarke, dan Kyle Chandler. Tetapi, sorotan utama dari First Man ini sendiri adalah Damien Chazelle sebagai pengarah film yang sebenarnya sudah jauh dari zona nyamannya.


Dari sebuah film drama suspensehingga drama romance, Damien Chazelle membuktikan bahwa dirinya adalah sosok sutradara versatile yang mampu mengarahkan banyak genre. Meskipun, masih punya benang merah dalam elemen mesinnya. First Man seperti berusaha menggabungkan keduanya karena film terbarunya ini tak sekedar fokus untuk menceritakan bagaimana Neil Armstrong bisa mendaratkan dirinya ke bulan. First Man lebih dari itu, menceritakan tentang kehidupan pribadi Neil Armstrong dengan segala problematika dan gejolak batinnya menghadapi kehidupannya.

Damien Chazelle memiliki sensitivitas dalam pengarahannya sehingga berhasil memadukan First Man menjadi satu harmoni yang kuat dan emosional. First Man bisa menjadi sebuah film bertema space yang memiliki intensitas yang kuat. Tetapi ketika film ini berbicara tentang love and loss, First Man juga bisa memberikan sesuatu yang emosional dan begitu dekat dengan penontonnya. Damien Chazelle berhasil mengeluarkan emosi para pemainnya dengan dialog yang tak meluap-luap tetapi tatapan matanya bisa berbicara lebih dari semua dialognya.


Memang, First Manmenceritakan tentang bagaimana Neil Armstrong (Ryan Gosling) yang sangat menyenangi profesinya sebagai seorang astronot. Neil Armstrong terlibat ambisi negaranya untuk bisa melakukan misi perjalanan mustahil ke bulan. Segala upaya Neil Armstrong dan NASA memang tak semuanya berjalan mulus. Banyak sekali jalan terjal yang harus dihadapi oleh Neil Armstrong. Mulai dari beberapa pesawat yang gagal, kecaman dari publik, hingga remehan banyak orang tentang misi ini.

Tak hanya problematika dalam menghadapi misinya yang berkali-kali gagal, Neil Armstrong juga menghadapi kehidupannya yang juga tak kalah terjal. Menikah dengan Janet (Claire Foy), Armstrong dikaruniai 3 anak. Tetapi, kehidupan Neil masih saja terpaku pada masa lalunya yang sangat mencintai anak perempuannya bernama Karen. Dengan banyaknya kehidupannya yang terjal, Janet tetap berusaha untuk mendampingi Neil Armstrong agar tetap kuat.


Pendekatan Damien Chazelle yang lebih personal kepada sosok Neil Armstrong ini diperkuat tak hanya dengan bagaimana dirinya mengemas cerita. Tetapi juga dengan pendekatan teknis yang lebih personal. Sinematografinya ditata untuk memunculkan kesan personal dan sangat intim lewat beberapa pengambilan gambar yang pan close up di wajah. Serta, pengadeganan yang sering memunculkan suasana yang sangat dilematis bagi karakter utamanya. Tak hanya untuk Neil Armstrong tetapi juga dengan anggota keluarganya yang lain seperti Janet.

Belum lagi diperkuat dengan tata suara yang dibuat secara teknis lebih kompleks untuk memberikan pengalaman di luar angkasa lewat layar perak. Tetapi, Damien Chazelle juga ingin membuat penonton semakin larut dengan problematika Neil Armstrong sehingga dibuat agar beberapa tata suara lebih menekankan sudut pandang orang pertama. Hal inilah yang membuat First Man tampil sangat luar biasa sebagai sebuah film biografi yang tak hanya menceritakan kisahnya tetapi juga ikut merasakan setiap perjalanan sosok yang diangkat.


Tentu saja, kekuatan dari First Man tak hanya datang dari pengarahan Damien Chazelle saja. Tetapi bagaimana pengarahan Damien Chazelle ini akan mempengaruhi performa Ryan Gosling dan Claire Foy yang luar biasa. Penonton akan merasakan gejolak-gejolak yang ada di dalam diri mereka tanpa perlu adegan yang meluap-luap. Cukup memunculkan ketenangan tetapi emosinya berakumulasi dan lebih berdampak di beberapa adegan kunci termasuk ending film ini.

Meski tak bermain di ranah musikal, Damien Chazelle tetap memberikan ambience di dalam First Man sehingga film ini terasa sangat dirinya. Mulai dari memasukkan lagu syahdu ke dalam adegannya, sedikit bermain dengan musik dalam menuturkan narasi, hingga pengadeganan di dalam endingnya yang akan membuat penontonnya berkata “ini Damien Chazelle sekali”. Belum lagi dipermanis dengan balutan musik dengan komposer favorit Damien Chazelle yaitu Justin Hurwitz yang semakin membuat perjalanan Neil Armstrong di dalam film First Man ini semakin indah.


Dengan kompleksitas teknis yang lebih besar terlebih penggunaan kamera IMAX dan perubahan genre di setiap filmnya, tentu saja First Man memberikan deklarasi bahwa Damien Chazelle adalah sutradara yang menjanjikan. Lewat First Man, Damien Chazelle tetap memiliki kekhasan dalam pengarahan dan juga berhasil mengulik cara lain untuk mengulik kisah seseorang. First Man bukan sekedar menceritakan, tetapi juga membuat penonton merasakan semua kegelisahan, kehilangan, dan rasa cinta Neil Armstrong terhadap hidupnya. Indah sekali!
 

ARUNA DAN LIDAHNYA (2018) REVIEW: Sajian Yang Enak Untuk Disantap

Edwin Bersama dengan rumah produksi Palari Films kembali hadir membuat karya keduanya di tahun 2018 ini. Setelah berhasil memberikan sebuah karya kisah cinta remaja dengan sudut pandang yang berbeda lewat Posesif, kini Edwin berusaha mengeksplor dirinya membuat sebuah film adaptasi dari sebuah novel laris di Indonesia. Novel berjudul Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak ini menjadi kanvas baru bagi Edwin untuk menceritakan ceritanya.

Aruna dan Lidahnya mendapatkan jajaran pemain yang tidak bisa dipungkiri secara kualitas. Dari Dian Sastrowardoyo, Nicolas Saputra, Oka Antara, hingga Hannah Al Rashid. Dalam naskahnya pun, Aruna dan Lidahnyamemiliki Titien Wattimena yang secara rekam jejaknya sudah menangani beberapa film dari yang orisinil hingga adaptasi. Dengan banyaknya nama yang tak sembarangan di dalam filmnya, Aruna dan Lidahnya tentu sudah menarik perhatian golongan yang sudah terliterasi tentang film.

Aruna dan Lidahnya memiliki kompleksitas yang cukup rumit dalam bentuk tulisan. Banyak hal yang berusaha untuk diceritakan di dalam satu plot cerita utuh mulai tentang makanan, perjalanan diri, romansa, hingga politik. Dengan banyaknya muatan ceritanya ini, Edwin tahu bagaimana mengemas semuanya menjadi sebuah film komedi romantis yang ringan, segar, dan tetap memiliki signature penyutradaraan dari Edwin sendiri.


Aruna dan Lidahnya sebagai sebuah film bisa menjadi kanvas bagi Edwin untuk mengeksplorasi dirinya dan berkompromi dengan apa yang biasa dia lakukan di dalamnya. Lewat Aruna dan Lidahnya, Edwin berusaha keras untuk keluar dari zona nyamannya yang terbiasa membuat film yang lebih subtle, punya struktur unik, dan permainan simbol yang lebih kentara. Aruna dan Lidahnya tentu akan sangat berbeda dengan beberapa film Edwin sebelumnya, bahkan dengan Posesif.

Keambisiusan dalam setiap karyanya terasa berkurang pretensinya di dalam film Aruna dan Lidahnya. Sehingga, terasa betul bahwa Edwin sedang berusaha untuk membuat sebuah film komedi romantis yang lebih populer penyampaiannya meskipun secara plot cerita tetap terasa menjadi tontonan yang alternatif dibanding dengan beberapa film serupa. Belum lagi, Aruna dan Lidahnyamenggunakan breaking the fourth wall ini terasa unik dalam menceritakan ceritanya.


Hasilnya, penonton mungkin akan terasa dekat dengan karakter-karakter Aruna dan Lidahnya yang sedang berusaha menceritakan kisah mereka. Menceritakan tentang sosok Aruna (Dian Sastrowardoyo), seorang ahli wabah yang sedang melakukan investigasi. Aruna diutus untuk melakukan investigasi tentang flu burung yang menyebar di keempat kota berbeda di Indonesia. Dalam perjalanannya melakukan investigasi, Aruna mengajak temannya Bono (Nicholas Saputra) untuk sekalian melakukan kulineran di kota-kota tersebut.

Di dalam perjalanannya melakukan investigasi di hari pertama, Aruna baru tahu bahwa dia sudah ditunggu oleh Farish (Oka Antara) yang sedang melakukan supervisi dalam investigasinya. Keberadaan Farish dalam perjalanan investigasinya ini tentu saja membuat Aruna sedikit tidak fokus karena Aruna sempat naksir Farish diam-diam. Setelah melakukan berbagai investigasi, Aruna menemukan kejanggalan dalam wabah flu burung yang sedang menyebar tersebut.


Aruna dan Lidahnya tak hanya melakukan perjalanan investigasi tentang wabah flu burung di dalam filmnya tetapi juga menceritakan perjalanan spiritual Aruna yang sedang mencari tahu tentang dirinya. Seperti dalam judulnya, perjalanan spiritual itu tergambarkan dengan lidah Aruna yang selama perjalanan investigasi juga merasakan berbagai macam makanan yang berbeda. Edwin mentranslasikan itu dalam beberapa adegan di dalam filmnya baik lewat adegan utama dalam filmnya hingga adegan pendukung yang membutuhkan keaktifan penonton dalam mengartikan maknanya.

Edwin tetap berusaha memberikan kekhasan dalam penuturan ceritanya sehingga pesannya memang muncul secara implisit. Tetapi, hal itu tidak menganggu bagaimana Aruna dan Lidahnya tetaplah sebuah film populer yang dinikmati siapa saja. Hanya saja, dengan kekhasan dari Edwin akan membuat film ini nantinya tetap menjadi bahan perbincangan dan diskusi setelah menonton. Ada peletakan penyampaian pesan secara simbolik yang unik dan menarik untuk mendukung adegan dan dialog yang ditulis oleh Titien Wattimena.

Edwin tahu kapabilitasnya untuk mengemas Aruna dan Lidahnya yang memiliki banyak cabang cerita ini dengan bereksplorasi dalam ranah komedi romantis. Sehingga, kisah-kisah yang lebih mendapatkan sorotan adalah bagaimana hubungan antara keempat karakter yang ada di dalam filmnya. Sayangnya, hal ini juga yang membuat Aruna dan Lidahnya mungkin tak bisa menceritakan secara maksimal akar cerita dan permasalahannya dengan baik.


Ada banyak cabang cerita yang sebenarnya menjadi inti cerita di dalam filmnya menjadi tidak tersampaikan dengan baik. Kisah politik hingga perjalanan dirinya belum memiliki eksplorasi yang pas sehingga ketika cabang cerita itu berusaha diselesaikan tidak ada dampak apapun bagi penontonnya. Untungnya, kelemahan dalam bercerita di beberapa cabang cerita itu diperbaiki oleh Edwin dengan membangun chemistry yang kuat di antara 4 karakternya.

Dian Sastrowardoyo berhasil melepaskan citranya sebagai sosok Cinta dengan menjadi sosok Aruna yang lepas dan berbeda dari biasanya. Dian berhasil memainkan ekspresi wajahnya sehingga bisa membuat penonton ikut merasa gemas. Begitulah dengan Nicholas Saputra yang membangun chemistry dengan mudah Bersama Dian Sastrowardoyo meskipun tidak sebagai pasangan. Begitu pula yang terjadi dengan Oka Antara dan Hannah Al Rashid sehingga kekuatan Aruna dan Lidahnya adalah interaksi karakternya yang manis dan dinamis.


Dengan pengambilan gambar ke makanan yang terlihat eksotis ini, Aruna dan Lidahnya berhasil membuktikan dirinya sebagai sebuah film tentang kuliner yang menggoda lidah. Diperkuat dengan interaksi karakter yang manis dan pemilihan lagu daur ulang dengan nuansa 90an yang cantik, Aruna dan Lidahnya memang tak sempurna dalam presentasinya. Hanya saja, sebagai sebuah film Indonesia tahun ini, Aruna dan Lidahnya bisa menjadi sajian yang segar dan solid. Sedikit overcooked tetapi masih enak untuk disantap!