• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

TARGET (2018) REVIEW : Uji Coba Kedua Raditya Dika di Luar Zona Nyaman


Raditya Dika bisa dikategorikan berhasil keluar dari zona nyamannya dalam membuat sebuah film lewat film Hangout. Hal ini terbukti lewat raihan penonton Hangoutyang mencapai 2,7 penonton. Dengan rekam jejak seperti ini, tentu saja Raditya Dika akan dipercaya untuk menangani hal-hal serupa untuk proyek selanjutnya. Bersama dengan Soraya Intercine Films, Raditya Dika membuat sebuah proyek dengan genre film yang hampir sama.

Bukan kali pertama pula Raditya Dika bekerjasama dengan Soraya Intercine Films. Proyek terbarunya berjudul Targetini adalah kerjasama ketiga kalinya setelah Single dan The Guys. Target ini disutradarai dan ditulis juga oleh Raditya Dika dengan bintang-bintang yang bertaburan. Mulai dari Willy Dozan hingga Ria Ricis, Targetmembuktikan bahwa film ini tak dikerjakan dengan sembarangan. Raditya Dika ingin sekali membuat Target mencapai semua kalangan usia sebagai penontonnya.

Dengan konsep yang hampir serupa dengan Hangout, penonton mungkin akan merasa skeptis dengan performa Target. Terlebih bagi mereka yang tak begitu menyukai pengarahan Raditya Dika dalam film Hangout. Sayangnya, skeptis penonton mungkin akan berakhir benar terhadap performa Target kali ini. Bagi penonton yang tak terlalu menyukai film Hangout, karya Raditya Dika terbaru ini mungkin harus segera dihindari karena Target tak bisa mengenai target yang ingin dibidik oleh Raditya Dika.


Dengan konsep serupa, ternyata Raditya Dika tak bisa mencoba lagi peruntungannya. Sebagai sebuah film dengan kombinasi genre thriller dan komedi, Target mencapai tujuan dari kedua genre tersebut. Sebagai sebuah film komedi, film ini memiliki amunisi tawa yang sangat minimalis. Hanya senyum kecil di beberapa bagian yang akan menghiasi raut muka penontonnya. Sebagai sebuah film thriller, film ini pun tak bisa menjaga intensitas misterinya dengan baik.

Kesalahan utama dari film Targettentu dari penulisan dan pengarahan yang tak diperhatikan betul oleh Raditya Dika. Sehingga, film Target ini benar-benar terasa sangat terburu-buru untuk tayang di slot film rilis Lebaran untuk memancing jumlah penonton yang cukup besar. Konsep menarik Raditya Dika dalam film Hangout sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi sebuah film dengan performa yang solid. Sayangnya, Target tak memenuhi ekspektasi konsepnya yang sudah besar tersebut.


Film Target sendiri menceritakan tentang para artis yang berperan sebagai dirinya sendiri. Mulai dari Raditya Dika, Cinta Laura, Rommy Rafael, Samuel Rizal, Abdur Arsyad, Hifdzi Khoir, Anggika Bolsterli, dan Willy Dozan. Mereka diundang oleh seorang sutradara misterius yang mengirimi mereka sebuah naskah film berjudul Target. Kedelapan artis tersebut memenuhi undangan syuting misterius tersebut di sebuah bangunan kecil yang tersembunyi.

Setelah sampai di tempat dan mengikuti instruksi yang ada di dalamnya, barulah mereka mengetahui apa yang diinginkan oleh sang sutradara misterius tersebut. Mereka ternyata terjebak dalam sebuah permainan yang mengharuskan mereka bertahan hidup. Permainan ini dibuat oleh seorang Game Master dan direkam untuk dijadikan sebuah film. Bagi mereka yang melanggar dan memaksa keluar dari permainan ini akan diganjar oleh hukuman yang setimpal. Oleh karena itu, mereka harus mengikuti setiap permainan hingga selesai.


Konsep yang dimiliki oleh film Targetini sebenarnya sangat menarik untuk diikuti. Punya banyak misteri-misteri yang disebar sehingga penonton akan berpotensi memiliki rasa penasaran hingga akhir film. Target memang berbeda dengan Hangout, bahkan Raditya Dika memiliki kesempatan untuk melantunkan sindiran terhadap film Hangout sendiri. Sarkastik yang dilakukan oleh Raditya Dika ini memang bagus, sayangnya poin menarik film ini hanya ada segelintir saja.

Sisanya, naskah yang ditulis oleh Raditya Dika ini seperti digarap kurang matang. Karakter-karakter di dalam film ini tak memiliki latar belakang cerita yang kuat. Dampaknya, konflik cerita di dalam film Target ini tak bisa tersampaikan dengan baik. Film Target langsung dibuka dan fokus kepada konflik tentang naskah misterius tersebut. Tak ada pengenalan karakter yang berarti lalu film Target sudah sibuk untuk menjelaskan tentang permainan yang dibuat oleh seorang Game Master tersebut.

Raditya Dika seperti terlena dengan bagaimana dirinya mengemas misteri-misteri tersebut dibanding mengenalkan karakter-karakternya. Padahal, di tengah Raditya Dika berusaha untuk menyampaikan misteri tersebut, ada cerita-cerita yang mengusik masa lalu karakternya. Hal ini tentu akan semakin kuat jika Raditya Dika punya tujuan dalam mengembangkan karakternya. Akhirnya, keberadaan setiap karakter di film ini tak memiliki motivasi yang kuat juga akan membuat penontonnya kebingungan.


Meski Raditya Dika terlalu fokus dengan penyebaran misterinya, film Target tak benar-benar diolah dengan pas. Masih ada misteri-misteri yang disampaikan dengan cara yang canggung, sehingga film Target dengan jelas mempertunjukkan lubang-lubang kecil yang menganggu performanya secara keseluruhan. Pengarahan Raditya Dika yang tak sekuat dalam zona nyamannya, inilah yang tak bisa membaurkan karakter dengan konflik-konfliknya. Sehingga, muncul jarak antara keduanya yang membuat film Target tak bisa memiliki performa yang solid.

Beruntungnya, Target masih memiliki warna dan sinematografi yang cocok untuk filmnya. Begitu pula dengan sound editing dan sound mixing filmnya yang dibuat secara detil. Sehingga, film Target masih dapat dikategorikan sebuah film yang layak untuk dinikmati secara kemasan. Meskipun untuk production value dari rumah produksi sekelas Soraya Intercine Films, film Targetbisa dibilang tak seniat biasanya. Tetapi, apa yang ditampilkan cukup bisa mewakili konsep dari filmnya ini sendiri.


Boleh saja bagi Raditya Dika untuk kembali mengeksplor dirinya keluar dari zona nyaman. Tetapi kenyataannya, Raditya Dika belum bisa mengemas konsep genre thriller komedi ini. Targetbisa menjadi bukti bahwa uji coba kedua Raditya Dika di luar genre favoritnya ini ternyata memiliki performa yang semakin menurun dibanding Hangout. Padahal, ada satu adegan romantis di dalam film Target ini akan membuat penggemarnya rindu Raditya Dika menggarap film yang biasa dia buat sebelumnya.

INCREDIBLES 2 (2018) REVIEW : Paket Liburan Keluarga Yang Seru

 
Bagi yang pernah menonton The Incredibles, terlebih bagi mereka yang saat itu menontonnya di tahun 2004, pasti akan sangat menantikan kelanjutan dari adegan dari terakhirnya. Setelah banyak pergantian tahun dan sekuel-sekuel dari film-film animasi Pixar lainnya, akhirnya Pixar sadar untuk memberikan jawaban atas adegan kota yang porak poranda di akhir The Incredibles. Berselang 14 tahun, bagi para penggemar The Incredibles tentu saja ini waktu cukup lama.

Sebuah pernyataan datang dari Brad Bird bahwa sekuel dari film ini tak ingin dibuat sembarangan. Oleh karena itu, Brad Bird membutuhkan waktu yang lama hingga akhirnya Incredibles 2hadir untuk menyapa penontonnya di tahun 2018 ini. Brad Bird mengumpulkan kembali nama-nama yang pernah mengisi suara keluarga Mr. Incredibles dan rekannya. Bahkan membuat sebuah karakter baru demi perkembangan cerita di Incredibles 2 yang lebih baik.

Meski memiliki jeda selama 14 tahun, Brad Bird memutuskan untuk tak melewati adegan terakhir di film The Incredibles. Di film Incredibles 2ini linimasa ceritanya akan langsung melanjutkan adegan terakhir di dalam film pertamanya. Brad Bird seakan mengetahui apa yang diinginkan oleh penontonnya untuk sekedar mendapatkan jawaban tentang akhir cerita tersebut. Usaha Brad Bird untuk menghadirkan sekuel yang pantas pun dijawab dengan mudah di Incredibles 2.


Brad Bird tak sembarangan dan tak aji mumpung untuk mengembangkan cerita sekuel dari The Incredibles. Dengan adanya permintaan sekuel, Brad Bird malah membuatnya dengan sangat hati-hati karena agar tak mengalami penurunan performa dibandingkan dengan film pertamanya. Di tengah gempuran film-film superheroyang sudah berdatangan, Incredibles 2mampu tampil sangat segar dan memberikan alternatif cerita superhero yang sangat bisa dinikmati oleh keluarga.

Incredibles 2 seperti memberikan pernyataan bahwa meski dalam format film animasi, film ini mampu untuk disandingkan dan masuk daftar film-film superhero terbaik yang pernah dibuat. Brad Bird sebagai penulis naskah bersama Pixarberusaha untuk memberikan kedewasaan bercerita yang khas. Incredibles 2 pun ikut menggunakan isu tentang perempuan agar memiliki relevansi dengan apa yang terjadi masa kini. Sehingga, Incredibles 2  kali ini akan berfokus kepada Helen Parr atau Elastigirl.

 

Incredibles 2 memperlihatkan problematika superhero perempuan yang diwakilkan oleh karakter Helen Parr atau Elastigirl (Holly Hunter) di dalam film ini. Superhero memang masih tak bisa beroperasi lagi, sehingga sebuah perusahaan bernama Devtech yang dipimpin oleh Winston Deavor (Bob Odenkirk) bersama saudara perempuannya, Evelyn Deavor (Catherine Keener) berusaha untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap superhero.

Mereka mengumpulkan Mr. Incredibles (Craig T. Nelson), Elastigirl, dan Frozone (Samuel L. Jackson) untuk bekerjasama. Winston dan Evelyn menunjuk Elastigirl untuk memimpin operasi ini sebagai uji coba agar kampanye yang dilakukan berhasil. Tentu saja hal ini mengubah kehidupan dari Mr. Incredibles atau Bob Parr. Dirinya pun harus melakukan pekerjaan rumah yang biasa dilakukan oleh istrinya. Mr. Incredibles pun harus berusaha dekat dengan anak-anaknya yaitu Violet (Sarah Powell), Dash (Huck Miller), dan si bungsu Jack-Jack (Eli Fucile).


Incredibles 2 sangat menyinggung isu tentang pekerjaan domestik yang biasa dilakukan oleh perempuan. Ini sangat relevan dengan kondisi masa sekarang di mana perempuan pun bisa memiliki pilihan untuk sejenak meninggalkan pekerjaan domestik demi melakukan hal yang mereka sukai. Pesan inilah yang diangkat dan disematkan kepada karakter Bob dan Helen Parr sebagai sepasang suami istri lewat Incredibles 2. Pun, pesan tentang perempuan ini disampaikan tanpa ada keberpihakan gender yang terlalu signifikan. Pintarnya pula, pesan berat ini bisa dikemas dan disampaikan dengan cara yang sangat ringan.

Pengarahan dari Brad Bird pun sebenarnya tak selamanya mulus. Paruh pertama, Brad Bird pun masih terasa ragu untuk menyampaikan ceritanya. Tetapi tak berlangsung lama, Brad Bird tahu bagaimana mengemas kisahnya yang berat dengan caranya yang pas. Incredibles 2masih mengetahui pangsa pasarnya adalah penonton anak-anak. Sehingga, pesan tersebut ditampilkan secara implisit dan tak terlalu membuatnya terlalu kelam.

Brad Bird tetap berusaha menjadikan Incredibles 2 sebagai sebuah film animasi yang bisa menyenangkan berbagai pihak mulai dari anak-anak hingga orang dewasa yang menemani mereka. Dengan tujuan tersebut, Incredibles 2pun memiliki comedic timing yang sangat pas dan sangat menghibur penontonnya.Jack-Jack lah pion yang digunakan untuk memberikan comedic timing di dalam film Incredibles 2.


Selain itu, pemberian porsi komedi ini juga dijadikan sebagai pengembangan karakter bagi sosok Jack-Jack yang di film pertamanya memiliki clue yang perlu dibahas di film keduanya. Begitu juga dengan karakter-karakter lainnya yang juga memiliki porsi yang juga sesuai. Fokus Incredibles 2yang membahas keluarga dengan cara lebih kental inilah yang membuat Incredibles 2 tampak begitu segar untuk dinikmati penontonnya.

Incredibles 2 juga memiliki villain dengan motif yang sangat kuat. Bagi yang sudah memiliki banyak referensi menonton, twist yang terjadi di Incredibles 2 mungkin tak akan semencengangkan itu. Tetapi, motif karakter penjahatnya yang kuat dan bagaimana Brad Bird mengarahkan karakter tersebut bisa membuat Incredibles 2 terlihat sangat matang.  Sebagai film animasi, jangan remehkan bagaimana Incredibles 2 mengemas adegan aksinya.

Ada detil warna dan pergerakan kamera yang benar-benar diperhatikan oleh Brad Bird sehingga Incredibles 2bisa tampil begitu kuat. Dengan durasinya yang mencapai 118 menit, Incredibles 2 tetap bisa menjaga tensinya dengan sangat baik. Penekanan Incredibles 2 telah masuk ke babak baru pun ditekankan lewat warna-warna yang lebih kelam tapi tetap eye-catching. Pun, komposisi musik latar yang luar biasa indah dari Michael Giacchino juga mampu memperkuat setiap menit dari film ini.


Lantas, Incredibles 2 bisa dikategorikan sebagai sebuah sekuel yang berhasil. 14 tahun penantian para penggemarnya terbayar lunas berkat performa pengarahan yang gemilang dari Brad Bird di Incredibles 2 ini. Meski tak bisa dibilang lebih baik dari yang pertama, tetapi Incredibles 2 berhasil memiliki performa yang sama bagusnya dengan film pertamanya. Incredibles 2 tak hanya menggunakan kekuatan nostalgianya saja, tetapi juga mampu berkembang menjadi sebuah paket liburan seru bagi seluruh anggota keluarga. Bahkan, bisa jadi menumbuhkan penggemar baru di era ini. Bagus sekali!

OCEAN’S 8 (2018) REVIEW : Tempat Para Aktris Terkenal Bersenang-senang

 
Sebuah film bertema perampokan dengan artis perempuan sebagai para pelakunya? Hal ini mungkin akan sangat segar dilakukan perfilman Hollywood saat ini. Inilah yang berusaha dilakukan oleh Warner Bros Pictures bersama dengan sutradara Gary Ross untuk mengembalikan keluarga Ocean kembali ke layar lebar. Tak ada George Clooney, Brad Pitt, dan Matt Damon, kali ini kehormatan keluarga Ocean berada di tangan para perempuan tangguh untuk merampok harta berharga di Amerika.

Inilah dia proyek bernama Ocean’s 8 yang sangat ambisius mengedepankan nama-nama aktris besar dari Sandra Bullock, Cate Blancett, Anne Hathaway hingga Rihanna untuk melakukan tindakan kriminal. Ocean’s 8 bisa dibilang bukanlah sebuah reboot, tetapi menceritakan sisi lain dari keluarga Ocean yang berbeda. Setelah George Clooney yang berperan sebagai Danny Ocean di Ocean’s trilogy milik Steven Soderbergh. Kali ini, Ocean’s 8 akan menyorot kehidupan Debbie Ocean yang juga sama-sama memiliki rencana untuk mendapatkan sesuatu yang besar.

Meski dengan sutradara yang berbeda, Ocean’s 8 tentu sangat diminati banyak orang hanya berkat nama-nama besar yang terlibat di dalam filmnya. Ocean’s 8 ini sepertinya tetap memberikan sebuah film hiburan yang ringan dan seru untuk dinikmati oleh penontonnya. Akan tetapi, teknik pengarahan dari Gary Ross yang tak bisa sekuat apa yang dilakukan oleh Steven Soderbergh bisa mengurangi performa Ocean’s 8 yang berpotensi lebih prima.


Babak penceritaan dari Ocean’s 8pun bisa dikategorikan bermain aman. Tak ada yang segar dalam babak penceritaan dari Ocean’s 8 ini. Naskah yang juga ditulis oleh Gary Ross bersama dengan Olivia Milch ini tak bisa mengeksplorasi trik-trik pencurian baru di dalam genre filmnya. Naskah milik Ocean’s 8 hanya mengulangi formula-formula yang sama yang dimiliki oleh film Ocean’s Trilogy sebelumnya atau film-film bertema serupa.

Ocean’s 8 menceritakan tentang seorang perempuan paruh baya bernama Debbie Ocean (Sandra Bullock) yang baru saja keluar dari penjara karena telah melakukan pencurian. Tetapi, hal itu tak membuat dirinya kapok dan berhenti melakukan kegiatan tersebut. Debbie merencanakan sebuah tindak kriminal baru dengan mengajak rekan yang sudah dirinya kenal lama yaitu Lou (Cate Blanchett). Mereka akan mencuri sebuah perhiasan termahal yang ada di New York.

Sayangnya, rencana ini tak bisa mereka lakukan berdua saja. Debbie dan Lou merekrut banyak perempuan-perempuan kriminal lainnya untuk ikut andil dalam rencana ini. Mulai dari teman lama mereka bernama Tammy (Sarah Paulson), seorang peretas canggih bernama Nine Ball (Rihanna), hingga seorang mantan desainer terkenal bernama Rose Weil (Helena Bonham Carter). Mereka akan mencuri sebuah perhiasan bernilai jutaan dolar yang akan dipakai oleh seorang aktris, Daphne Kruger (Anne Hathaway).


Dengan formula cerita yang diadaptasi dari beberapa film dengan tema serupa memang tak ada salahnya jika bisa dikemas dengan baik pula. Sayangnya, Gary Ross masih tak bisa memaksimalkan potensi yang ada di dalam Ocean’s 8 sehingga bisa tampil dengan performa yang juga bisa mencuri perhatian. Ocean’s 8 terjebak dalam penuturan cerita yang tak istimewa tak seperti nama-nama yang ikut serta di dalam film ini.

Paruh awal dari Ocean’s 8ini belum bisa menemukan ritmenya yang pas. Sehingga, beberapa motif dan latar belakang cerita dari setiap karakter di dalam film ini tak bisa disampaikan dengan baik. Terlebih, kedelapan karakter perempuan di dalam film ini punya perannya masing-masing. Sehingga, akan lebih baik jika penonton pun juga bisa ikut kenal dan simpati dengan setiap karakternya. Dengan durasinya yang mencapai 115 menit, Ocean’s 8 hanya berputar di tempat.


Gary Ross nampaknya ragu untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensi dari Ocean’s 8 hingga mencapai titik puncaknya. Banyak sekali pesan yang berusaha disampaikan tak bisa diterima utuh oleh penontonnya. Perlu waktu bagi Gary Ross untuk bisa menyampaikan apa yang dirinya mau kepada penonton. Beruntungnya, di paruh kedua film ini, Gary Ross bisa memberikan tempo yang jauh lebih pas dibandingkan dengan satu jam awalnya.

Setelah cerita fokus ke rencana pencurian, barulah Ocean’s 8 bisa mengeluarkan kekuatannya sehingga dapat menghibur penontonnya. Meski tak ada yang baru dengan rencana pencuriannya, tetapi Gary Ross masih bisa mengemasnya dengan takaran yang pas. Sehingga, saat rencana pencurian berlangsung, penonton bisa juga ikut bersenang-senang dengan apa yang dilakukan oleh para pemeran perempuan yang ada di dalam film ini.


Meskipun, beberapa cerita yang tak meyakinkan di awal bisa membuat pelaksanaan pencurian ini tak bisa semencengkram yang semestinya. Tetapi, bagaimana Sandra Bullock, Cate Blanchett, Sarah Paulson, Anne Hathaway, Mindy Kailing, Rihanna, Helena Bonham Carter, dan Awkwafina bisa terlihat sangat senang bermain di dalam film ini bisa menutupi kekurangan Ocean’s 8. Kesenangan para ensemble cast film ini bisa disalurkan menjadi sebuah performa yang keren dan memiliki kharismanya yang kuat. Serta inilah nyawa dari film ini sehingga bisa menghibur penontonnya.

JURASSIC WORLD : FALLEN KINGDOM (2018) REVIEW : Ekspansi Dunia Yang Hilang Kemagisannya


Meneruskan kembali sebuah warisan legendaris memang tak semudah itu. Menyandang nama besar tentu akan membuat sebuah film mampu dikenal lebih cepat oleh khalayak luas. Inilah yang terjadi dengan franchise dunia dinosaurus yang awalnya dibangun oleh Steven Spielberg yang berdasarkan novel Michael Crichton, Jurassic Park. Di era sekarang, franchise ternama ini sudah diremajakan dengan nama Jurassic World yang tetap disupervisi oleh Steven Spielberg.

Kesuksesan secara angka dengan mudah diraih oleh Jurassic World yang diarahkan oleh Colin Trevorrow. Sehingga, Universal Pictures dengan mudah memberikan lampu hijau agar franchise ini tak berhenti begitu saja. Tahun ini, Jurassic World kembali hadir dengan sutradara baru yaitu J.A. Bayona dan mengekspansi dunianya dengan film keduanya berjudul Jurassic World : Fallen Kingdom. Meski tak lagi mengarahkan, Colin Trevorrow tetap andil dalam penulisan naskahnya dibantu oleh oleh Derek Connolly.

Kesuksesan seri dari Jurassic World ini tentu saja memerlukan kedua pemain utamanya, Chris Pratt dan juga Bryce Dallas Howard dan keduanya kembali hadir di sekuel tersebut. Kebutuhan Jurassic World : Fallen Kingdom untuk mengekspansi dunianya perlu mendapatkan tambahan karakter lainnya sehingga film ini pun akan semakin ramai. Hanya saja dengan ekspansi dunianya yang semakin besar, tak membuat Jurassic World : Fallen Kingdom tahu caranya yang tepat


Kembali melanjutkan linimasa cerita dari serinya yang pertama, Jurassic World : Fallen Kingdom menceritakan ketika Claire (Bryce Dallas Howard) berusaha untuk menyelamatkan para dinosaurus di Isla Nublar karena kondisi alam yang ada di sana yang tak lagi memadai. Sayangnya, kegiatan tersebut dianggap ilegal oleh pemerintah. Hingga suatu saat, Claire ditawari oleh seseorang utusan dari Benjamin Lockwood (James Cromwell) untuk menyelamatkan mereka.

Tahu akan penawaran ini, Claire pun butuh bantuan banyak orang mulai dari organisasi penyelamat hewan hingga salah satu pegawai Jurassic World. Orang tersebut adalah Owen Grady (Chris Pratt) yang memang memiliki kedekatan dengan salah satu jenis dinosaurus di sana. Di tengah usaha penyelamatan dinosaurus di Isla Nublar, Claire melihat ada penyimpangan tujuan utamanya. Ternyata, ada beberapa oknum yang berusaha untuk mengambil keuntungan dari dinosaurus-dinosaurus tersebut.


Dengan plot cerita demikian, Jurassic World : Fallen Kingdom seharusnya memiliki potensi untuk memberikan ekspansi dunia dengan cara yang menarik. J.A. Bayona terlihat sangat berusaha mengarahkan Jurassic World : Fallen Kingdom sekuat tenaga agar bisa memberikan performa yang kuat. Tetapi, ketidaktepatan Jurassic World : Fallen Kingdom terletak pada lemahnya penulisan naskah oleh Colin Trevorrow dan juga Derek Connolly.

Jurassic World : Fallen Kingdommemiliki performa yang sangat bisa dinikmati di satu jam pertama filmnya. Dalam satu jam tersebut, Jurassic World : Fallen Kingdom tahu untuk memanfaatkan potensi-potensinya. Mulai dari visual efek yang luar biasa, letupan komedi yang sesuai takarannya, hingga bagaimana Jurassic World : Fallen Kingdomdi satu jam pertama pun bisa memaksimalkan kekuatan nostalgia sehingga penonton bisa merasakan kembali pengalaman pergi ke Isla Nublar dengan baik.

Sayangnya, ambisi menggebu-gebu Colin Trevorrow dan Derek Connolly dalam mengekspansi franchise ini tak lagi bisa berada di jalan yang tepat. Banyak sekali plot cerita yang saling tumpang tindih dan ingin sekali untuk diceritakan. Sehingga, perjalanan Jurassic World : Fallen Kingdom tak lagi bisa fokus dengan jalan utamanya. Hal inilah yang malah membuat performa Jurassic World di satu jam berikutnya tak lagi terasa menggiurkan untuk diikuti.


Munculnya karakter-karakter baru di dalam film ini pun tak memiliki urgensi yang kuat untuk hadir menguatkan performa filmnya. Sehingga di durasinya yang mencapai 125 menit, Jurassic World : Fallen Kingdom nampak masih tak efektif untuk menuturkan segala poin ceritanya karena terlalu banyak informasi yang ingin disampaikan. Pun, adanya perpindahan mood cerita yang tak lagi tampak sama dengan apa yang hadir di satu jam pertamanya.

Jurassic World : Fallen Kingdomberusaha untuk memberikan penonton sebuah pengalaman serupa yang hadir di film kedua Jurassic Park, yaitu The Lost World. Serta memiliki tujuan untuk memberikan perubahan untuk menjadi lebih baik. Sayangnya, Jurassic World : Fallen Kingdom pun akhirnya malah jatuh ke dalam kesalahan yang sama seperti dengan The Lost World. Tak memiliki rasa magis yang sama dengan seri pendahulunya meski telah memiliki babak penceritaan baru


Ekspansi dunia Jurassic World : Fallen Kingdom pun tampak tak begitu kentara berkat performanya yang tak lagi prima seperti pendahulunya. J.A. Bayona sudah sangat berusaha menutupi berbagai cabang cerita yang menjadi problematika di film ini agar sedikit lebih baik. Sehingga, di beberapa bagian dari Jurassic World : Fallen Kingdom masih memiliki intensitas ketegangan dan emosional yang pas. Hal ini sudah menjadi ciri khas J.A. Bayona di beberapa film-film yang pernah dia arahkan sebelumnya.

Setidaknya yang tertinggal di Jurassic World : Fallen Kingdom adalah konklusi akhir cerita yang bisa membuat orang bertanya-tanya apa yang akan terjadi di film selanjutnya. Sehingga, Jurassic World : Fallen Kingdom hanya akan menantikan performa box office yang gemilang saja. Karena hanya itulah saja harapan untuk franchise film ini agar mendapatkan lampu hijau untuk melakukan ekspansi di film selanjutnya dan semoga saja bisa jadi lebih baik.

DEADPOOL 2 (2018) REVIEW : The Anti-Hero is Back (And its Better....)


Lampu hijau dengan mudah didapatkan oleh proyek Deadpool setelah film pertamanya berhasil mendapatkan untung berkali-kali lipat. Terlebih, film pertamanya hanya bermodalkan 58 juta dolar. Meskipun sutradara di film keduanya ini berganti estafet dari Tim Miller ke David Leitch yang sudah terbukti mengarahkan sebuah mahakarya film aksi berjudul John Wick. Pergantian sutradara ini tentu tak menjadi dari film Deadpool karena film ini sudah mempunyai nyawanya sendiri. 

Ya, nyawa dari Deadpool ini tentu saja adalah Ryan Reynolds yang berhasil menghidupkan karakter Wade Wilson dengan level yang berbeda. Deadpool 2 pun tetap menggunakan ciri khas dari film sebelumnya mulai dari penuturan cerita hingga strategi pemasaran yang gila-gilaan. Juga, film ini semakin diramaikan dengan adanya karakter-karakter baru dengan nama-nama yang juga tak kalah besar. Mulai dari Josh Brolin hingga nama-nama besar yang menjadi cameo sekedipan mata.

Breaking the fourth wall, formula penuturan cerita dari Deadpool yang berusaha dipertahankan agar film ini memiliki identitasnya. Rhett Reese dan Paul Wernick masih menjadi duo yang bertanggung jawab atas ketengilan Deadpool di sepanjang 115 menit filmnya. Pun, meta jokes dengan referensi pop culture tentang showbiz berusaha dimasukkan ke dalam filmnya dari Barbara Streisand hingga Taylor Swift sebagai perwakilan budaya masa kini.


Jika dibandingkan filmnya yang pertama, Deadpool 2 lebih berhasil untuk mengkombinasikan formula breaking the fourth wall dengan humor-humor yang ada sebagai amunisi utama dari filmnya. Tak seperti film pertamanya yang asal lempar jokes dengan lebih masif, Deadpool 2 seperti lebih memperhitungkan segala humornya agar terasa lebih pas dan tidak terlalu berlebihan. Nyatanya, dengan caranya yang lebih hati-hati itu bisa menjadikan Deadpool 2 bisa memiliki performa lebih baik dari film pertamanya.

Sebagai sutradara, David Leitch ternyata mampu bemain lebih dalam lagi dibandingkan Tim Miller di film pertama. Wade Wilson memiliki perkembangan secara personal yang berarti sebagai sosok karakter di sebuah film. Ini akan berpengaruh dengan bagaimana penyampaian cerita di dalam Deadpool 2 yang lebih mengulik tentang kehidupannya sebagai anti hero yang tengil tetapi masih sangat sensitif jika sudah berurusan dengan ranah pribadinya.


Maka dari itu, Deadpool 2 lebih menonjolkan bagaimana Wade Wilson (Ryan Reynolds) yang sedang mengalami keputusasaan saat menjalani hidupnya paska menjadi seorang mutan. Kejahatan demi kejahatan sudah dirinya lewati tetapi membuatnya harus merelakan waktunya bersama sang Istri, Vanessa (Morena Bacharin). Keterlibatan Wade Wilson dalam memberantas kejahatan secara tak langsung membuat kehidupan sang Istri pun ikut terancam.

Nyawa sang Istri yang terancam inilah yang membuat Wade Wilson putus asa dan ingin berusaha memperbaiki kehidupannya. Di dalam misinya, Wade Wilson harus melindungi seorang mutan bernama Firefist (Julian Dennison) yang sedang dalam bahaya. Firefist sedang diincar oleh sosok mutan di masa depan bernama Cable (Josh Brolin). Dengan begitu, Wade Wilson berusaha untuk membuat sebuah tim baru untuk menyelamatkan Firefist dengan nama X-Force.


Meski berhasil memberikan kombinasi yang lebih melebur dalam formula penceritaannya, Deadpool 2 memiliki rintangan saat berusaha menuturkan konfliknya. David Leitch memang tahu benar untuk memberikan nilai emosional di dalam Deadpool 2 dan hal tersebut terjadi secara alami di dalam filmnya. Terlebih di dalam adegan-adegan yang melibatkan interaksi karakter antara Wade Wilson dan juga Vanessa. Poin inilah yang sebenarnya menjadi pondasi utama yang menjadi koneksi dengan segala konfliknya.

Sayangnya, David Leitch belum maksimal dalam menyambungkan setiap subplot yang ada. Efek selanjutnya adalah muncul sebuah jarak yang terjadi ketika film ini berusaha untuk berganti dengan plot lainnya yang menjadi fokus selanjutnya di dalam film ini. Sehingga, pengalaman saat menonton Deadpool 2 adalah sepertinya menyaksikan beberapa potongan film pendek yang berbeda dan dikemas menjadi satu film di dalam 118 menitnya.

Tetapi, kelemahan itu berhasil ditutup dengan bagaimana David Leitch bisa memberikan sebuah sentuhan sekuens aksi yang sudah menjadi kelebihannya dalam mengarahkan sebuah film. Deadpool 2 memberikan punya action sequences yang bisa membuat penontonnya terhibur dengan berbagai kelemahan babak penceritaannya. Poin inilah yang mampu membuat penontonnya bertahan karena David Leitch tahu dalam mengemas berbagai adegan aksi yang seru dan intens kepada penontonnya.


Serta bagaimana Deadpool 2 berhasil untuk memberikan spotlight dengan cara yang pas dengan karakter-karakter barunya. Sehingga, mereka bisa memiliki potensi untuk berkembang di dalam film-film Deadpool selanjutnya. Poin ini merujuk pada karakter Domino, Cable, dan juga Firefist yang mungkin di dalam film ini masih belum bisa berkembang terlalu besar. Hanya saja, cara Rhett Reese dan dan Paul Wernick sudah sangat pas dalam menuliskan latar belakang karakter tambahan tersebut.

Performa Ryan Reynolds yang sudah tak lagi dikhawatirkan saat  memerankan karakter Wade Wilson sehingga mampu menyampaikan segala unsur komedinya dengan baik. Secara tidak langsung, segala unsur komedi di dalam film Deadpool 2 ini adalah cara untuk memberikan tribute terhadap segala referensi pop culture di berbagai macam generasinya. Hal inilah yang mampu membuat Deadpool 2 tetap menjadi sebuah tontonan alternatif di genre film superhero yang semakin berkembang.


Ditemani dengan berbagai musik-musik manis dari berbagai era mulai dari tren di tahun 80an hingga EDM yang sedang gempar di masa kini, Deadpool 2 akan berhasil merebut hati penontonnya. Meskipun tak menjadi sebuah film superhero yang sempurna, akan tetapi Deadpool 2 berhasil membuat penontonnya ingin melihat perkembangan film ini di kesempatan selanjutnya. Deadpool 2 berhasil memiliki sedikit perkembangan dibandingkan film pertamanya. Tak banyak, namun sangat berarti untuk kelangsungan franchise ini.