• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

THE GUYS (2017) REVIEW : Komedi Khas Raditya Dika dengan Pembaharuan


Setelah hadir mencoba babak baru dalam kemampuan mengarahkan film lewat film Hangout yang rilis Desember lalu, Raditya Dika kembali lagi menyapa para penonton dan juga fans-nya. Di tahun 2017 ini, Raditya Dika kembali bekerjasama dengan rumah produksi Soraya Intercine Films untuk menyelesaikan proyek filmnya yang naskahnya sudah dikembangkan dalam jangka waktu yang panjang. Jeda waktu antara Hangoutdengan proyek terbarunya ini memang terasa terlalu dekat, sehingga bisa jadi hal itu akan mempengaruhi performa Raditya Dika dari kualitas hingga kuantitas.

Proyek terbarunya ini Raditya Dika tak lagi berusaha mengeksplorasi genre baru seperti yang dilakukannya di Hangout. Raditya Dika kembali lagi ke akarnya untuk membuat sebuah komedi romantis seperti apa yang dia lakukan di film-film sebelumnya. The Guys, judul proyek terbaru dari Raditya Dika bersama Soraya Intercine Films setelah berhasil berkolaborasi lewat Single di tahun 2015 lalu. Naskah yang sudah dibuat oleh Raditya Dika cukup lama ini dikembangkan lagi bersama dengan Donny Dhirgantoro dan juga Sunil Soraya. Tetapi, pengarahan filmnya tetap dipegang oleh Raditya Dika.

Proyek The Guys muncul tanpa diduga oleh banyak orang karena bisa dibilang memiliki rentang waktu yang tak begitu lama. Meski begitu, The Guysadalah karya dari seseorang bernama Raditya Dika yang namanya sudah menjadi sebuah brand sendiri ini tentu akan menumbuhkan banyak penonton. The Guys adalah sebuah komedi romantis yang sebagian besar berbicara tentang kesendirian dan harapan tentang cinta. Tetapi, tak disangka adalah The Guysternyata memiliki subplot lain yang berbicara tentang persahabatan dan keluarga yang berkombinasi manis di sepanjang 115 menit. 


Raditya Dika memang bisa dibilang kembali ke zona nyamannya lewat The Guys. Film-film komedi romantis seperti seperti film The Guys ini mungkin sudah menjadi makanannya sehari-hari. Sehingga, penonton akan dengan mudah mempercayai bahwa The Guys akan memiliki performa yang bagus. Meski kembali ke zona nyamannya, The Guys memiliki sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan film-film Raditya Dika yang serupa. Ada cita rasa yang menyenangkan, hangat, dan sekaligus manis dalam The Guys yang tak akan ditemui penontonnya di film-film sebelumnya.

Tiga poin cerita tentang cinta, persahabatan, dan keluarga dalam film The Guys bisa diramu menjadi sajian yang sangat menghibur. Pengarahan milik Raditya Dika lewat film The Guys begitu solid, sehingga setiap menit di dalam film ini terasa tak begitu menjemukan. Meskipun tak semua bagian cerita ini tak bisa memiliki porsi yang sama. Ada beberapa bagian yang terpaksa harus mengalah demi menjalankan pion cerita lain yang menjadi benang merah. 


Inilah cerita di dalam The Guystentang 4 orang sahabat yang tinggal di satu rumah. Mereka adalah Alfi (Raditya Dika), Aryo (Indra Jegel), Rene (Marthino Lio), dan Sukun (Pongsiree Buluewon). Mereka adalah karyawan di sebuah agensi kreatif. Di tempat itulah, Alfi merasa bahwa apa yang dilakukannya sudah berada di titik jenuh. Di tengah kejenuhannya, Alfi bertemu dengan Amira (Pevita Pearce) di sebuah presentasi bersama kliennya. Mulai dari sanalah, keduanya semakin dekat.

Sayangnya, kedekatan mereka ternyata tak selancar yang dikira. Amira mengundang Alfi makan malam di rumahnya dan di sanalah Alfi tahu bahwa Amira adalah anak Pak Jeremy (Tarzan) yang sekaligus adalah bosnya. Secara tak sengaja, Alfi merusak acara makan malam di rumah Amira dan sebagai gantinya Alfi mengajak Pak Jeremy untuk makan malam di rumah ibunya. Yang terjadi malah Pak Jeremy jatuh cinta kepada Ibu Alfi (Widyawati) dan membuat Alfi bingung harus berbuat apa. 


Dengan cerita yang pada awalnya bertujuan untuk berfokus kepada empat karakter utamanya yang sedang menjalin persahabatan, The Guys memang masih kurang menggali dalam. Dengan durasi filmnya sepanjang 115 menit, Raditya Dika belum bisa memaksimalkan poin persahabatan yang seharusnya muncul lebih dominan dibanding yang lainnya. Penonton mungkin minim akan koneksi dan juga korelasi antara judul film yang mereka tonton dengan presentasi cerita secara keseluruhan.

Raditya Dika mengalihkan poin utamanya kepada subplot tentang cinta dan kasih di dalam film The Guys. Tetapi meski subplot utama beralih ke poin yang berbeda, di sinilah The Guys tampil dengan sangat prima. Raditya Dika di dalam The Guysberhasil memunculkan rasa manis kisah cinta yang tak pernah ada di film-film sebelumnya. Belum lagi, kisah cinta kali ini memiliki kedewasaan dalam penyampaiannya dan juga rasa hangat yang tak terasa manipulatif.

Pengarahan Raditya Dika di dalam film The Guys pun terasa memiliki perkembangan. Jalan ceritanya masuk begitu rapi dan halus apabila dibandingkan dengan film-film Raditya Dika sebelumnya. Konfliknya dibiarkan berkembang mengikuti durasinya yang juga cukup panjang. Sehingga, penonton akan dengan rela dan suka cita mengikuti menit demi menit dari film The Guys. Meski komedi di dalam film ini tak terlalu menggebu-gebu, tetapi penonton tetap bisa merasa bahagia.


Ini juga yang menjadi poin pembeda dari film The Guys dengan film-film Raditya Dika yang sebelumnya. The Guys memiliki bangunan nuansa komedi yang jauh lebih tertata dan lebih efektif. Di sinilah Raditya Dika sudah menemukan ritmenya untuk membangun nuansa komedi yang efektif dan pintar. Meski bahan humornya tetap khas ala Raditya Dika, tetapi penonton masih bisa tertawa dengan puas dengan humor yang diberikan. Bukan hanya tertawa, tetapi ada efek hangat dan membuat perasaan merekah sesaat setelah menonton The Guys. Itu semua dikarenakan The Guys memiliki ritme dan pengarahan yang lebih rapi dan tertata dengan kombinasi subplot dalam takaran yang pas.

Dengan sepak terjang Raditya Dika yang sudah mengarahkan banyak judul filmnya, tentu The Guys akan terasa memiliki signifikansi dalam kualitas penyutradaraannya. Dengan mudah The Guys menjadi karya Raditya Dika terbaik sejauh ini. The Guys memang masih memiliki problematika dalam memberikan porsi untuk setiap subplotnya agar terasa seimbang. Tetapi, tak bisa dipungkiri pula, The Guys adalah sebuah film yang diarahkan dengan rapi dan hati-hati oleh Raditya Dika. Sehingga, ritme penceritaannya akan terasa pas dan konfliknya bisa berkembang. The Guysmenjadi sebuah tontonan film komedi yang tak hanya efektif, tetapi juga bisa membuat hati berbunga-bunga. Selain itu, The Guys juga berhasil tampil manis sekaligus menghangatkan hati penontonnya.   

FAST AND FURIOUS 8 (2017) REVIEW : Spektakel Aksi Seru di Seri Terbaru


Fast and Furious adalah salah satu franchise lama dan terbesar milik Hollywood. Franchiseini sudah berkembang mulai dari tahun 2001 dan sebagian besar orang selalu menantikan setiap seri film ini. Furious7 adalah titik puncak karena anggota ‘keluarga’ dari Franchise ini meninggal yaitu Paul Walker. Daya tarik penonton untuk menyaksikan Furious 7 semakin besar karena ingin menyaksikan performa terakhir dari Paul Walker di seri ini.

Momen wafatnya Paul Walker juga berdampak pada angka penjualan tiket Furious 7 dan mendapatkan angka pembukaan yang fantastis. Hal ini tentu membuat produser memberikan lampu hijau agar seri ini tetap berjalan. Maka dari itu, tahun ini Fast and Furious memutuskan untuk merilis seri ke delapan dari Franchise-nya. Pergantian sutradara pun terjadi, dari James Wan ke F. Gary Gray dan berpengaruh pada pemilihan judul. The Fate and The Furious adalah judul terbaru dari franchise ini di US, meski judul di Indonesia tetap menggunakan Fast and Furious 8.

Meski kehilangan salah satu anggota keluarga besar di Franchise-nya, tetapi masih ada anggota-anggota lain yang masih memiliki kekuatan yang cukup besar untuk membuat seri ini tetap berdiri. Vin Diesel, Dwayne Johnson, Ludacris, dan baru-baru ini Jason Statham juga ikut hadir dalam seri ini. Mungkin ada yang mengira bahwa momentum dari seri ini akan berakhir pada seri ketujuhnya. Maka, singkirkan pemikiran tersebut, karena Fast and Furious 8 akan dengan mudahnya menyingkirkan pemikiran itu dari penontonnya. 


Menceritakan tentang Dominic Toretto (Vin Diesel) yang ketenangan hidupnya diganggu oleh seorang perempuan bernama Cipher (Charlize Theron). Ada masa lalu tentang Dom yang berusaha diancam oleh Cipher sehingga Dom merasa bahwa ketenangan hidupnya bersama Letty (Michelle Rodriguez) perlu dikorbankan. Ketika pada akhirnya, Dom bersama teman-temannya mendapatkan tugas untuk menyelamatkan sebuah misil, Dom memutuskan untuk menghianati mereka.

Misi yang dijalankan oleh Dom dan tim ini adalah berasal dari Hobbs (Dwayne Johnson). Kejadian ceroboh ini membuat Hobbs mendekam di dalam penjara. Di sana, dia bertemu dengan Deckard Shaw (Jason Statham) yang pernah menjadi salah satu musuh Dom dan teman-temannya. Ternyata, Deckard juga sedang mengincar Cipher yang telah membuat kehidupannya berantakan. Atas dasar itu, mereka berusaha agar bisa keluar dari penjara dan mencari cara agar bisa menangkap Cipher. 


Dengan nomor seri yang sudah tidak sedikit lagi, penonton tentu cukup khawatir apa yang berusaha diberikan oleh franchiseini. Dengan hilangnya Paul Walker, tentu harus mencari cara apa yang berusaha dijual oleh franchise ini, momentum seperti apa lagi yang akan diberikan. Maka, di dalam Fast and Furious 8, F. Gary Gray berusaha menjawab kekhawatiran penontonnya. Sang sutradara melimpahkan sebuah pertunjukkan aksi tanpa henti yang mampu membuat penontonnya berdecak kagum.

Fast and Furious 8 akan memberikan sebuah aksi spektakel yang tidak ada habisnya. Film ini menemukan kegembiraannya sendiri dengan memperlihatkan berbagai macam adegan mobil yang mengalami kedestruktifan yang luar biasa besar. F. Gary Gray tak hanya menggunakan banyak sekali adegan destruktif itu menjadi ajang pamer juga, tapi juga memiliki tensi yang mampu mencengkram penontonnya. Sehingga, penonton akan sangat menikmati setiap menit yang terjadi di Fast and Furious 8.

Poin lain dalam Fast and Furious 8 adalah bagaimana F. Gary Gray memiliki kemampuan untuk merapatkan naskah milik Chris Morgan. Secara cerita, Fast and Furious 8 tak memiliki hal baru dan sesuatu yang perlu untuk dipikir berlebihan. Chris Morgan menuliskan sebuah plot cerita yang linear tentang sisi baik melawan sisi buruk juga disisipi pesan tentang sebuah keluarga. Meskipun, dalam pengarahanya, F. Gary Gray masih belum menemukan kombinasi yang baik antara poin tentang keluarga itu ketika masuk ke dalam plot ceritanya. 


Beberapa bagian dalam Fast and Furious 8 memang terasa berusaha terkesan melankolis untuk menarik simpati penontonnya.  Beberapa bagian mungkin akan berhasil, tetapi kontinuitas yang terjadi muncul cukup berlebihan. Sehingga, akan terasa ada beberapa ketimpangan yang terjadi dalam tone cerita di dalam filmnya yang berdurasi 139 menit ini. Hal ini cukup mendistraksi kemasan Fast and Furious 8 tetapi untungnya film ini masih punya spektakel aksi sebagai senjatanya dan poin lain yang mengembalikan kepercayaan penontonnya.

Ada Charlize Theron yang menjadi seorang villain dengan performa yang sangat kuat dan prima. Charlize Theron berhasil meyakinkan penontonnya bahwa dia adalah seorang musuh yang benar-benar memiliki dampak besar kepada Dom dan timnya. Dengan begitu, karakter-karakter lain akan memiliki upaya yang cukup besar untuk berhasil menangkap atau mengalahkan musuhnya. Dan upaya-upaya itu berhasil ditampilkan sangat kuat oleh F. Gary Gray, sehingga penonton akan dengan mudah percaya dengan apa yang dilakukan oleh setiap karakternya. 


Inilah Fast and Furious 8, sebuah seri terbaru dari franchisebesar milik Hollywood yang semakin lama semakin menjadi. F. Gary Gray mampu untuk menanggapi tuntutan para penggemar seri ini atau bahkan penonton awam yang butuh sebuah hiburan yang menyenangkan. Plotnya yang memang familiar dan linear ini berhasil disampaikan dengan baik dan begitu meyakinkan oleh sang sutradara. Sehingga, penonton akan mudah percaya dengan setiap alasan yang sedang dilakukan oleh setiap karakter di film ini. Meski ketimpangan sisi humanis yang diselipkan terlalu sering di film ini membuat adanya suatu ketimpangan dan mendistraksi, tetapi Fast and Furious 8 tetap menyanggupi ekspektasi penontonnya. Spektakel aksi yang seru dan mampu membuat penontonnya berdecak kagum adalah kunci suksesnya seri terbaru ini.

GET OUT (2017) REVIEW : Horor Atmosferik Dengan Pesan


Cukup mengagetkan, di awal tahun ada 1 film yang benar-benar mendapatkan pujian di luar sana. Lebih mengagetkan lagi adalah film itu ternyata berasal dari Blumhouse Pictures yang memiliki konsentrasi lebih ke film-film horor. Ditilik lebih dalam lagi, memang film ini adalah film penuh atmosfer menyeramkan ala Horror genre digabung dengan tensi rapat khas genre Thriller. Karya ini lahir dari seorang bernama Jordan Peele yang ternyata baru pertama kali memiliki kesempatan mengarahkan sebuah film.

Dan inilah, Get Out, sebuah film horor yang muncul dari tangan komedian dan mendapatkan pujian di berbagai festival hingga di awal tahun memiliki kesempatan untuk ditonton banyak kalangan. Beruntung juga Indonesia memiliki kesempatan untuk menyaksikan film ini meski baru tayang di bulan April ini. Sehingga, beberapa orang –yang tahu akan adanya film ini –tentu akan menantikan film ini saat diputar. Sehingga, meski tanpa nama-nama besar, Get Outberhasil mengundang rasa penasaran orang dengan pujian yang datang padanya.

Get Out tak hanya diarahkan sendiri oleh Jordan Peele. Naskah film ini pun ditulis sendiri olehnya. Sehingga, Jordan Peele memiliki kuasa untuk mengemas dan mengarahkan sendiri film yang juga ditulis sendiri olehnya. Kritik-kritik luar mengatakan bahwa Get Out menjadi sebuah alternatif tontonan horor dengan penyelesaian yang berbeda. Tak bisa dipungkiri, Get Out memang sebuah pengalaman sinematik genre horor dengan suasana yang sangat mencekam.\


Singkirkan ekspektasi bahwa Get Out akan menawarkan cara penyelesaian yang akan membuat penontonnya terperangah. Penonton yang mengharapkan penyelesaian yang jenius harus sedikit menurunkan sedikit ekspektasinya. Tetapi poin penting dalam film Get Out –atau film-film dengan penyelesaian alternatif –adalah bagaimana cara sang sutradara untuk menyampaikan setiap menitnya. Keberhasilan sebuah film adalah bagaimana sang sutradara bisa menyampaikan apa yang diinginkan dengan baik serta diikuti oleh beberapa aspek untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Kejeniusan Get Out malah bertumpu pada bagaimana Jordan Peele berusaha untuk menyampaikan setiap menitnya. Penonton yang minim informasi akan Get Out mulai dari trailer dan sinopsis dan hanya berbekal opini kritikus, tentu akan kebingungan dengan apa yang berusaha disampaikan oleh Jordan Peele. Biasnya tujuan dan maksud dari Jordan Peele oleh penonton ini adalah poin positif dari film ini. Sehingga, penonton bisa merasakan suasana mencekam tentang kisah pasangan Chris dan Rose.


(Skip this two paragraph if you think this is A SPOILER)

Kisah dalam Get Out juga memiliki sebuah kisah yang generik atau sudah pada umumnya. Menceritakan sepasang kekasih beda ras bernama Chris (Daniel Kaluuya) dan Rose (Allison Williams) yang sudah menjalani hubungan yang cukup serius. Suatu ketika Rose harus ke rumah orang tuanya untuk menghadiri sebuah pesta dan memutuskan untuk mengajak Chris untuk datang.  Chris yang memiliki warna kulit berbeda dari Rose, merasa tidak percaya diri dengan hubungan mereka.

Tetapi, Rose berusaha menumbuhkan rasa percaya diri kepada Chris agar mau untuk datang ke acara pesta orang tuanya. Chris tak tahu pesta seperti apa yang sedang diadakan oleh orang tua dari Rose di rumahnya. Ketika sudah sampai, ketakutan Chris atas respon orang tua Rose ternyata tak terwujud, mereka sangat ramah kepada Chris. Ketidakramahan yang ditemui Chris adalah atmosfir lingkungan sekitar rumah orang tua Rose. Chris merasa mereka sedang dihantui oleh sesuatu yang tak tahu itu apa.

(End of warning)

 
Kisah generik inilah yang dijadikan oleh Jordan Peele sebagai area bermain dalam mengarahkan dan menulis Get Out. Formula usang yang mudah ditebak ini dikemas dengan cara yang sangat baik, sehingga bisa berubah menjadi kuat. Atmosfer yang mencekam adalah kekuatan utama dari Jordan Peele dalam film Get Out. Penonton tak diperbolehkan untuk langsung mengetahui apa yang sedang terjadi, karena Jordan Peele berusaha mengintimidasi penonton akan ketidakpastian yang ada. Akan muncul banyak interpretasi muncul dari penonton yang membuat diri mereka sendiri tak nyaman.

Itulah tujuan yang tertangkap dalam film ini sebagai sebuah film horor, Jordan Peele ingin penonton merasakan apa yang dirasakan oleh Chris. Sehingga, hal itu akan efektif membuat pikiran penontonnya terganggu dan meneguhkan bahwa Jordan Peele berhasil melaksanakan metode horor atmosferik ini berada di level yang lain. Inilah sebuah sarkasme yang muncul dari pikiran Jordan Peele yang berusaha memberikan alternatif cara untuk mengemas formula yang sudah sangat usang.

Muncul pula misi lain yang berusaha disampaikan oleh Jordan Peele dalam Get Out. Rasisme, isu sosial yang sedang sangat dekat di negara Amerika dan Jordan Peele berusaha menyampaikannya lewat medium genre yang berbeda. Jordan Peele menyelipkan pesan tentang propaganda peraturan warga kulit putih tentang penerimaan warga kulit berwarna. Penyesuaian atas warga kulit berwarna atas peraturan itu sudah menjadi budaya dan menjadi hal yang lumrah. Sehingga, Get Out menjadi sebuah medium untuk menyampaikan sebuah statement atas isu sosial.


Get Out dengan karakter Chris yang memiliki kulit berwarna sedang datang ke rumah pacarnya yang kulit putih digunakan sebagai sebuah simbol. Rumah pacar Chris adalah lingkup kecil Amerika tetapi Chris merasa dirinya terintimidasi atas perbedaan warna kulit. Hal ini ditangkap sebagai hal yang mewakili bagaimana warga dengan kulit berwarna tak bisa menjalani hidupnya dengan bebas, merasa terkekang dan bahkan dipaksa harus mengikuti peraturan yang dibuat oleh warga Amerika kulit putih. Sehingga, menunjukkan bahwa warna kulit memiliki kasta dan kuasa yang mampu mengontrol perilaku seseorang di dalam wilayah mana pun dan lingkup sekecil apapun.

Di luar pesannya tentang rasisme yang menjadi konsentrasi penuh di negara Amerika, Get Out adalah sebuah pengalaman sinematis genre horor yang segar. Kejeniusan Jordan Peele bukan melulu tentang memberikan konklusi alternatif yang membuat penontonnya tercengang. Tetapi kejeniusan Jordan Peele adalah membuat mengarahkan Get Out dengan begitu solid dan berhasil menimbulkan efek yang sangat mencekam. Penonton tak beritahu secara gamblang informasi tentang apa yang terjadi di dalam plot ceritanya, hanya memberikan sedikit demi sedikit informasi yang konkrit. Hasilnya, Get Out adalah sajian film horor yang unik dan berbeda. Sekaligus statement sosial dengan cara yang menyenangkan dan mendebarkan. 

BEAUTY AND THE BEAST (2017) REVIEW : Rejuvenasi Sebuah Dongeng Klasik yang Magis


Disney sedang rajin menggalakkan kampanye untuk menghidupkan kembali dunia dongeng di film-film animasinya sebagai sebuah film live-action. Sudah ada Cinderella di tahun 2015, The Jungle Book di Tahun 2016, dan akan lebih banyak lagi di tahun-tahun berikutnya. Harta karun Disney yang sudah berdebu ini mulai dimanfaatkan sebagai ladang emas yang sangat berkilau. Dan tahun ini, Disney kembali melakukan peremajaan terhadap karyanya yang fenomenal dan menjadi film animasi pertama yang masuk nominasi Best Picture di tahun 1991 yaitu Beauty and The Beast.

Bill Condon adalah komandan yang punya kendali penuh saat mengarahkan film live-action dari mahakarya milik Disney yang diambil dari dongeng legenda perancis ini. Banyak orang yang cukup khawatir atas ambisi Disney yang sedang berusaha keras mengenalkan kembali seluruh film-film animasinya di zaman sekarang. Pintarnya, Beauty and The Beast yang memiliki Emma Watson dan Dan Stevens di deretan pemainnya ini gampang meyakinkan calon penontonnya bahwa mereka bisa mengemban misi tersebut lewat trailernya.

Tentu misi yang sedang dijalani oleh Disney adalah misi yang susah, karena mengembalikan rasa magis dalam setiap dongeng yang diceritakan ulang di zaman sekarang ini perlu tangan yang handal. Beauty and The Beast adalah sumber materi yang memiliki beban yang berat untuk diceritakan ulang berkat kredibilitasnya sebagai film animasi pertama yang masuk nominasi Best Picture di ajang Oscars. Bill Condon yang pernah mengarahkan Dreamgirls berhasil mengembalikan betapa magisnya Beauty And The Beast di tahun 1991 lalu di tahun 2017 ini dengan pengalaman sinematis yang luar biasa indah. 


Bill Condon memutuskan agar Beauty and The Beast terbaru ini tetap menjadi sebuah film musikal. Orang yang tak terbiasa dengan film-film musikal, mungkin akan menganggap bahwa Beauty and The Beast adalah pengalaman sinematis yang membosankan. Tetapi, telusuri kembali bagaimana Beauty and The Beast milik Disney terdahulu, sejatinya Bill Condon hanya berusaha menduplikasi formulanya. Tentu, hal itu dengan maksud agar Beauty and The Beast miliknya tetap memiliki daya magis sekuat film animasinya. Beruntunglah bagi orang yang punya referensi itu, karena Beauty and The Beast akan dengan mudah menyihir mereka.

Menonton Beauty and The Beast tak perlu membawa keinginan menggebu-gebu agar film terbarunya ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Tentu, Beauty And The Beast akan memiliki cerita yang itu-itu saja, mungkin versi terbarunya ini memiliki sedikit pembaharuan. Hal yang perlu digarisbawahi adalah keberhasilan Bill Condon untuk menyampaikan ulang kisah cinta legendaris ini kepada penontonya. Ini adalah cara dari Disney mengembalikan budaya bernama “dongeng” kepada anak-anak, terlepas ambisi Disney sebagai brand besar yang juga ingin mendapatkan keuntungan melimpah. 


Maka inilah sebuah kisah dongeng melegenda tentang seorang gadis desa yang impiannya sangat sederhana, ingin mendapatkan kehidupan yang lebih menyenangkan dari desanya. Gadis itu bernama Belle (Emma Watson), seorang gadis menawan ini sangat gemar sekali membaca hingga orang-orang di sekitarnya menganggapnya aneh. Kehidupan Belle begitu tenang dan cukup bahagia, hingga suatu saat sang ayah, Maurice (Kevin Kline) terlibat masalah saat perjalanannya ke kota. Maurice ditangkap dan ditahan di sebuah kastil tua yang ternyata milik seseorang.

Belle berusaha untuk menyelamatkan ayahnya yang dikurung di dalam kastil tersebut dan saat itulah dia bertemu dengan pemilik kastil tua ini. Beast (Dan Stevens), seorang pangeran yang ternyata dikutuk oleh seorang peri karena tindakannya yang semena-mena. Belle pun menggantikan posisi ayahnya untuk menjadi tawanan Beast. Tetapi, ketika menjadi tawanan, Belle dan Beast yang semakin sering berinteraksi tumbuh sesuatu yang lain di dalam diri mereka masing-masing. 


Kisah cinta Belle dan Beast dalam Beauty and The Beast tentu masih dengan ceritanya yang lama. Tetapi, Beauty and The Beast terbaru ini masih memiliki rasa magis yang sama dengan film animasinya. Bill Condon tahu benar bagaimana cara mengemas Beauty and The Beast live action ini. Lewat kepiawaiannya, film ini tetap memiliki cita rasa klasik dan rasa magis yang begitu besar bagi penontonnya, apalagi bagi penonton yang sudah dekat dengan film animasi dari Disney-nya. Bill Condon berhasil menciptakan suasana manis sekaligus romantis di sepanjang filmnya.

Ada beberapa pembaharuan yang terjadi dalam cerita milik Beauty and The Beast ini. Stephen Chbosky dan Evan Spiliotopoulos menambahkan detil cerita yang dapat memperkaya setiap karakter yang ada di dalam filmnya. Sehingga, penonton tahu apa yang sedang terjadi di setiap karakternya dan dengan begitu penonton akan mudah terkoneksi, menyepakati informasi untuk melanjutkan setiap plot cerita yang bergerak di dalam durasinya yang mencapai 129 menit.

Beauty and The Beast milik Bill Condon ini adalah sebuah rejuvenasi atas film animasinya yang sudah ada 26 tahun yang lalu. Sehingga, meskipun diadaptasi dari sumber yang sudah ada berpuluh-puluh tahun lalu, Bill Condon bisa mengemasnya agar relevan dengan keadaan sosial masa sekarang. Beauty and The Beast tak hanya sebagai cara Disney mengembalikan budaya mendongeng, tetapi juga sebagai media untuk membicarakan tentang kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.  


Menarik ketika dalam salah satu adegannya, Belle sedang didapati mengajari seorang anak perempuan untuk lebih terliterasi dengan membaca. Seluruh warga desa pun sangat kesal dengan kejadian tersebut dan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Belle telah menyalahi struktur sistem yang ada. Ini memperlihatkan bagaimana Ilmu pengetahuan menjadi sebuah atribut patriarki sehingga seorang perempuan yang berusaha mendapat pengetahuan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang salah.

Dengan film Beauty and The Beast ini, Bill Condon berusaha memperlihatkan tentang keadaan sosial tersebut dan menaruh referensi itu terhadap karakter Belle. Bagaimana Bill Condon berusaha membuat Belle sebagai perempuan yang tak berusaha mengungguli laki-laki tetapi lebih kepada berada dalam posisi sejajar dengan laki-laki. Belle hanya ingin mendapatkan perlakuan yang sama terlebih tentang literasi yang dapat memperkaya wawasannya untuk melihat dunia lebih luas.

Kekuatan lain dari Beauty and The Beast live-action ini adalah bagaimana Bill Condon dan Disney tak main-main dalam tata produksinya. Beauty and The Beast ini punya cita rasa yang begitu mewah dan elegan yang dapat membuat penonton terkesima. Dipercantik dengan tata sinematografinya yang mampu memperlihatkan cita rasa itu. Sehingga, ketika adegan-adegan krusial dalam film ini keluar, penonton akan mudah jatuh cinta akan semua keindahan yang dikemas oleh Bill Condon. 


Tetapi perlu diakui bahwa Beauty and The Beast ini memang tak bisa dengan mudah diakses dan disukai oleh semua kalangan. Kemasan dan pengarahan dari Bill Condon dalam Beauty and The Beast ini begitu mengingatkan dengan drama musikal panggung mulai dari set, tata kamera, dan kemasan musikalnya. Sehingga, penonton yang tak terbiasa dengan kemasan dari Bill Condon akan merasa keberatan dengan keputusan Bill Condon dalam film ini. Apalagi bagi mereka yang tak begitu kenal dengan film animasi milik Disney-nya yang sebenarnya dikemas hampir serupa.

Beauty and The Beast adalah film yang indah dan sempurna dalam mengembalikan cita rasa klasik dan magis yang diadaptasi dari film animasinya. Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, Josh Gad, dan semua jajaran pemainnya mampu memberikan performa yang sangat luar biasa. Sehingga, Beauty and The Beast ini berhasil tampil begitu kuat dalam membangun suasana yang manis dan adegan musikal yang cantik. Ada pembaruan yang memberikan detil cerita lebih ke dalam setiap karakternya dan memiliki pengaruh yang kuat untuk memberikan informasi lebih kepada penontonnya. Juga, pembaruan misi untuk refleksi atas kondisi sosial terhadap gender yang dilekatkan atributnya pada karakter Belle. Tetapi hal itu kembali lagi kepada setiap referensi setiap orang dalam memahami bagaimana performa Beauty and The Beast milik Bill Condon ini.