• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

DUA GARIS BIRU (2019) REVIEW: Sebuah Ruang Diskusi Tentang Pendidikan Seksual Untuk Remaja


Nama Gina S. Noer mungkin sudah sering didengar bagi pecinta film Indonesia. Sudah banyak sekali naskah film yang dibuat olehnya. Tahun ini pun sudah ada Keluarga Cemara yang juga naskahnya ditulis olehnya. Serta, masih ada adaptasi film dari film Korea yang akan dirilis di kuarter terakhir tahun 2019 ini. Yang perlu diantisipasi adalah film selanjutnya dari Gina S. Noer tahun ini adalah debut dirinya untuk mengarahkan sebuah film.

Dua Garis Biru, film yang disutradarai serta ditulis sendiri naskahnya oleh Gina S. Noer ini sempat mendapatkan sorotan dari banyak pihak. Tentu karena secara premis sendiri, film perdana dari Gina S. Noer ini cukup berani untuk mengangkat isu ini di era yang apa-apa serba dipetisi. Membahas tentang pernikahan dini dan kehamilan di usia remaja tentu menjadi sesuatu yang dianggap merusak moral penontonnya. Padahal, tentu Gina S. Noer memiliki niat baik di balik premisnya yang cukup berani ini.

Dua Garis Biru dibintangi oleh dua aktor remaja terkenal, Angga Yunanda dan Zara JKT48. Serta, banyak aktor lainnya yang terlibat. Mulai dari Cut Mini,Dwi Sasono, Arswendy Bening Swara, dan kembalinya Lulu Tobing di layar lebar. Dengan banyaknya nama-nama yang terlibat dan kemasan trailer yang menarik, Dua Garis Biru tentu akan dinantikan oleh banyak orang. Hasilnya, Dua Garis Biru berhasil menyajikan sebuah drama coming of age dengan kompleksitas dan memiliki banyak tujuan yang baik di dalam filmnya.


Awal mula terjadinya konflik di Dua Garis Biru ini dari seorang muda mudi yang sedang jatuh cinta. Mereka adalah Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Zara JKT48). Mereka terlihat sangat mencintai satu sama lain. Hingga suatu ketika di rumah Dara, mereka memutuskan melakukan sesuatu yang belum saatnya mereka lakukan. Tentu, kecerobohan mereka di masa remaja ini akan berdampak dalam hidup mereka nantinya.

Dan yang ditakutkan terjadi, Dara merasa bahwa dirinya sudah tidak menstruasi. Bima pun menyuruhnya untuk melakukan tes kehamilan dan ternyata Dara positif hamil. Tentu saja hal ini membuat mereka panik. Terutama Dara yang sudah menaruh mimpinya pergi ke korea untuk melanjutkan studinya. Mereka berdua pun akhirnya menyusun rencana agar kehamilan Dara tak menjadi bencana. Meskipun pada akhirnya, rencana mereka ketahuan juga.


Tentu saja, dengan cerita seperti ini, film Dua Garis Biru sudah mendapatkan kecaman dari banyak pihak yang hanya lihat dari trailernya saja. Padahal, jika mereka mau untuk menontonnya secara utuh sepanjang 115 menit, Dua Garis Biru ini tentu akan membuka banyak sekali ruang diskusi untuk penontonnya. Bukan hanya sekedar untuk membahas perilaku remaja, tetapi juga sebagai medium untuk membahas edukasi seksual yang banyak orang bilang tabu untuk dibicarakan.

Meski tabu, tetapi juga masih banyak sekali anak-anak remaja yang ceroboh melakukan hubungan seksual tersebut tanpa mengetahui dampaknya. Inilah yang berusaha Gina S. Noer tegaskan di dalam Dua Garis Biru. Bima dan Zara tentu menjadi pion karakter yang menjadi representatif ketidaktahuan remaja tentang penting dan butuhnya pendidikan seksual dalam hidup mereka. Meskipun mereka telah mendapatkan pendidikan tentang reproduksi di sekolah mereka.

Tetapi, hal itu tak diindahkan, cenderung dianggap sebagai sesuatu yang tak serius. Seperti dalam adegan di mana Dara sedang izin menenangkan dirinya di UKS. Gina S. Noer menempelkan sebuah simbol dalam adegannya. Dara membelakangi poster tentang reproduksi tersebut. Menunjukkan bahwa banyak sekali remaja ataupun sekolah yang hanya membahas sistem reproduksi dalam mata pelajarannya sebatas permukaan saja. Tak lagi membahas demi mendalam demi mendapatkan sebuah edukasi yang matang dan bisa sangat berdampak baik bagi para siswa dan siswinya.


Masih banyak sekali pesan-pesan yang secara implisit diberikan oleh Gina S. Noer di dalam naskah film Dua Garis Biru ini. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana Gina S. Noer menyampaikan pesan simboliknya yang puitis dan tak kehilangan esensi dari pesan itu sendiri. Hingga pada akhirnya, pesan itu masih bisa dipahami bagi mereka yang tak terlalu aktif mencari. Ini dia hal yang membuat performa Gina S. Noer dalam mengarahkan film debutnya sudah sangat menjanjikan.

Gina S. Noer tak terlalu sibuk menabur banyak simbol di setiap adegan di film Dua Garis Biru yang membuat penontonnya berinterpretasi sendiri. Tetapi, Gina S. Noer juga sering kali menabur banyak hati di dalam filmnya. Banyak sekali adegan di dalam Dua Garis Biru berhasil mengoyak emosi penontonnya. Tak perlu banyak teriakan dan ledakan emosi, cukup dengan pengadeganan yang sederhana tetapi diracik dengan pas. Hasilnya, Dua Garis Biru sangat efektif membuat penontonnya menitihkan air mata di beberapa adegannya yang luar biasa.


Pengarahan Gina S. Noer dalam Dua Garis Biru ini benar-benar diperhatikan. Kuliminasi emosi di adegan dengan tata teknis yang luar biasa hati-hati dalam setting UKS yang melibatkan banyak sekali karakternya ini menjadi salah satu adegan terbaik di perfilman Indonesia. Tak hanya karena adegan ini menggunakan teknik one shot, tetapi juga diarahkan dengan pas sehingga tragedi yang ada di dalam adegan itu terasa begitu nyata. Bahkan, bisa menyayat hati penontonnya.

Tentu, hal ini juga didukung oleh performa ensemble cast Dua Garis Biruyang luar biasa hebat. Mulai dari Angga, Zara, Cut Mini, hingga Lulu Tobing, mereka memerankan perannya dengan porsinya yang pas. Mereka mampu berkolaborasi dengan baik sehingga setiap adegan akan terasa meyakinkan. Apalagi Cut Mini yang berhasil mengajak penontonnya menyelami kesiapan mental dan batin atas kesalahan yang dilakukan anaknya. Hingga ada di satu adegan yang melibatkan interaksinya dengan Bima dan makanan favoritnya yang matanya mampu berbicara akan konflik yang terjadi di dalam dirinya itu.


Iya, Dua Garis Biru tak hanya berusaha menjelaskan tentang edukasi masalah seksual saja. Banyak isu-isu yang berusaha diangkat di dalam film ini. Mulai dari isu tentang kesenjangan sosial hingga permasalahan gender bahkan tentang agama. Mungkin isu yang diangkat inilah yang terlalu banyak sehingga dalam epilognya Dua Garis Biru akan terasa begitu cepat dan tumpang tindih dalam penyampaian pesannya.

Mungkin juga muncul sebuah generalisasi antara dalam isu kelas sosial yang berusaha diangkat oleh Dua Garis Biru. Tetapi, mungkin ini juga cara Gina S. Noer berusaha untuk memberikan keseimbangan sudut pandang untuk menyelesaikan masalah tentang hamil di luar nikah secara agama dan logika. Sehingga nantinya bisa memantik banyak ruang diskusi dari problematika ini yang penyelesaiannya bisa diterima dari dua sudut pandang tersebut. Bukankah itu tujuan utama kenapa Dua Garis Biru ini ada?

SPIDER-MAN: FAR FROM HOME (2019) REVIEW: Penutup Fase Ketiga Sekaligus Pembuka Fase Selanjutnya


Setelah Avengers: Endgame, Marvel Cinematic Universe tidak berhenti di situ saja. Masih ada satu entri lagi untuk menutup fase ketiga dari Marvel Cinematic Universe sebelum nanti membuka fase terbarunya. Tentu, entri terbarunya ini berkaitan dengan sebuah legacy yang ada di film Avengers: Endgame. Sosok jagoan yang memiliki hubungan erat dengan sosok Tony Stark. Siapa lagi kalau bukan sang manusia laba-laba, Peter Parker, Spider-Man.

Sebelumnya, Spider-Man telah memiliki filmnya sendiri yang juga masuk dalam fase ketiga di Marvel Cinematic Universe. Spider-Man: Homecoming menjadi awal mula dikenalkannya Spider-Man secara utuh di Marvel Cinematic Universe. Jon Watts sebagai sutradara kembali menjadi pengarah untuk sekuelnya ini. Spider-Man: Far From Home, menjadi judul yang diambil untuk sekuelnya ini. Kisahnya pun langsung berkaitan dengan akhir dari Avengers: Endgame.

Tentu saja, Tom Holland tetap menjadi Peter Parker. Begitu pula dengan beberapa cast seperti Zendaya dan Jacob Batalon sebagai teman-teman Peter Parker. Yang menarik adalah kehadiran Jake Gyllenhaal di dalam Spider-Man: Far From Home ini. Dirinya hadir meramaikan Marvel Cinematic Universe dan menjadi sosok Mysterio atau Quentin Beck. Di dalam komiknya, Mysterio adalah salah satu musuh legendaris dari Spider-Man.


Kali ini naskah ditulis oleh Chris McKenna dan Erik Sommers untuk sekuelnya. Spider-Man: Far From Homemasih menggunakan pendekatan genre teen romance hingga coming of age seperti film pertamanya. Inilah yang menjadi Spider-Man milik Tom Holland ini terasa berbeda dan unik. Tentu, Spider-Man: Far From Home masih dengan mudah menghibur penontonnya. Dan yang paling penting adalah Spider-Man: Far From Home bisa menjadi sebuah penyembuhan paska Avengers: Endgame yang semua ditata serba besar.

Hal paling penting di Spider-Man: Far From Home adalah bagaimana ceritanya kembali ke dalam inti hati dari sosok Peter Parker ini sendiri. Bagaimana Spider-Man: Far From Home menjadi sebuah perjalanan bagi Peter Parker untuk menjadi sosok yang lebih bertanggung jawab dan tahu apa yang dia mau. Inilah yang membuat Spider-Man: Far From Homemungkin akan terasa personal dan cocok sebagai penutup fase ketiga. Tetapi juga sekaligus menjadi awal baru Marvel Cinematic Universe mengembangkan fase-fase berikutnya.


Spider-Man: Far From Homeini tentu dimulai paska Avengers: Endgame. Peter Parker (Tom Holland) tentu sedang dalam keadaan berduka paska kehilangan Tony Stark (Robert Downey Jr.). Kehilangannya ini membuat dirinya tak lagi bersemangat untuk menjadi sosok pembasmi kejahatan di dunianya. Dirinya memilih untuk fokus mengikuti study tour sekolahnya ke daerah Eropa. Tetapi, tentu saja Peter tak bisa tenang begitu saja.

Ketika sedang asyik melakukan kegiatan sekolah, ancaman terjadi di sekitar Peter Parker dan teman-temannya. Kericuhan itu datang dari Elementals yang digadang berasal dari alternate universe. Tetapi, Peter tak hanya menghadapinya sendiri. Datanglah sosok manusia dengan kekuatan super baru bernama Quentin Beck (Jake Gyllenhaal). Dia menyebut dirinya berasal dari Multiverse dan sedang membalaskan dendamnya ke Elementals. Semua orang menyebut dirinya Mysterio.

Spider-Man: Far From Homeini juga adalah bukti bahwa Marvel benar-benar mengakumulasi semua emosi penontonnya di setiap film. Meski bukan sebagai sebuah film yang menggabungkan semua superhero di dalamnya, tetapi masih ada efek yang terjalin di setiap superhero-nya. Peter Parker yang memiliki kedekatan secara emosi dengan Tony Stark, di film ini pun dijelaskan masih merasakan efeknya. Jon Watts berhasil menyalurkan segala kerapuhan Peter Parker di dalam filmnya yang mencapai 129 menit ini.

Ketika orang dalam fase dirundung duka dan tak stabil emosinya, tentu akan dengan mudah dimanipulasi oleh orang yang memiliki dominasi lebih kuat. Hal inilah yang berusaha diangkat oleh Spider-Man: Far From Home. Menghadirkan sosok Villain yang manipulatif seperti Quentin Beck atau Mysterio ini. Naskah dari Chris McKenna dan Erik Sommers bisa memberikan ruang untuk karakter Quentin ini berkembang. Sehingga, semua set up yang terjadi begitu meyakinkan.


Hingga tak salah pula, apabila muncul keputusan-keputusan dari Peter Parker yang membuat dirinya jatuh ke dalam problematika yang lebih kompleks. Mungkin, formula ini akan mengingatkan para penggemar Marvel dengan formula yang juga diterapkan di Iron Man 3. Tetapi, Spider-Man: Far From Home sudah memikirkan langkahnya dengan lebih matang.

Di film Spider-Man: Far From Home ini pula, Jon Watts seperti ingin memperbaiki kesalahan dalam membuat sekuens aksi di dalam film sebelumnya. Spider-Man: Far From Home berhasil menyajikan memberikan sekuens aksi yang sangat menghibur penontonnya. Visual-visualnya sangat spektakuler dan akan memanjakan mata penontonnya. Ditambah lagi, film ini juga dihiasi dengan kisah cinta remaja antara Peter dan MJ. Sehingga, membuat Spider-Man: Far From Home rasanya lebih lengkap.


Sebuah keputusan tepat untuk mengakhiri fase tiga dari Marvel Cinematic Universe dengan kehadiran Spider-Man: Far From Home. Bukan hanya karena film ini ringan dan menjadi sebuah obat atas rasa emosional dan duka di Avengers: Endgame. Melainkan, Spider-Man: Far From Home meninggalkan banyak celah dan lubang untuk Marvel pada akhirnya mengembangkan universe-nya lebih luas lagi. Serta, bisa saja Peter Parker akan menjadi tokoh sentral untuk bangunan dunia sinema milik Marvel yang akan datang. Get ready and be prepared!

TOY STORY 4 (2019) REVIEW: The Franchise Still Flies To Infinity and Beyond!


Dengan adegan penutup di ending Toy Story 3, tentu banyak orang yang menganggap bahwa franchise dari Pixar ini sudah ditutup dengan sempurna dalam sebuah trilogi. Tak menyangka bahwa Pixar memutuskan untuk meneruskan kisah Woody dan Buzz dengan seri selanjutnya. Maka, ketika diumumkannya sebuah sekuel dari Toy Story, tentu mendapatkan beragam komentar. Serta, muncul rasa skeptis dengan seri keempat ini akankah akan menyamai film ketiganya.

Toy Story 4 kali ini disutradarai oleh Josh Cooley yang sebelumnya pernah menangani film Inside Out, salah satu karya dari Pixar juga. Tentu, voice cast di Toy Story kembali untuk mengisi suara-suara para karakter legendarisnya. Tom Hanks sebagai Woody dan Tim Allen sebagai Buzz Lightyear. Tetapi, ada banyak orang-orang baru yang bergabung di instalmen keempatnya ini. Tentu, ini hadir sebagai karakter baru pula. Mulai dari Keegan-Michael Key, Christina Hendricks, Jordan Peele, hingga sang bintang besar Keanu Reeves mau bergabung di film ini.

Toy Story tentu menjadi sebuah franchise milik Pixar yang sudah sangat terkenal dan legendaris. Instalmen pertama dari Toy Story adalah film pertama dari Pixar ini sendiri. Jelas, Toy Story menjadi landasan bagi Pixar untuk menelurkan karya-karya terbarunya.  Tentu, keputusan Disney dan Pixar untuk memberikan kisah baru untuk karakter-karakter mainan milk Andy yang sudah berpindah tangan ke Bonnie ini telah dipikir matang. Jadi, tak mungkin Pixar lepas tangan begitu saja saat membuat Toy Story 4 ini.


Tak mau main-main dengan franchise milik Pixar yang legendaris ini, banyak pihak terlibat untuk menjalin cerita dari Toy Story 4. Naskahnya sendiri ditulis oleh Andrew Stanton dan Stephany Folsom. Ini tentu untuk mencegah kekhawatiran para penonton ataupun penggemar dari Toy Story bahwa instalmen keempatnya ini adalah sekuel yang tidak perlu. Nyatanya, Pixar berhasil mematahkan kekhawatiran penggemarnya di Toy Story 4 ini.

Perjalanan Woody dan Buzz kali ini sudah bukan lagi sedang berusaha mengambil hati Andy, tetapi tentang menjaga Bonnie yang mendapatkan kepercayaan menjaga mainan dari Andy. Perjalanan ini dikemas oleh Josh Cooley menjadi sebuah sajian yang menyenangkan. 100 menit dari Toy Story 4 penuh dengan canda dan tawa. Dan tentu saja, sebagai produk Pixar, Toy Story 4 memiliki banyak sekali pengisahan yang akan membawa perasaan penontonnya. Apalagi bagi yang sudah sangat dekat dengan kedua karakter utamanya ini, Woody dan Buzz.


Kisah Toy Story 4 bermula dari rumah Bonnie (Madeleine McGraw) yang sedang mengalami kurangnya rasa percaya diri saat akan masuk sekolah barunya. Woody (Tom Hanks) berusaha untuk membuat Bonnie merasa tenang saat pergi ke sekolah. Atas bantuan Woody, Bonnie akhirnya bisa membuat mainan baru bernama Forky (Tony Hale) yang otomatis menjadi teman barunya. Bonnie sangat mencintai Forky dan Woody berusaha agar menjaga Forky tetap untuk Bonnie.

Bonnie dan orang tuanya sudah merencanakan road trip untuk liburan. Forky yang terbuat dari barang-barang bekas menganggap dirinya dalah sampah bukan mainan. Dirinya berusahha kabur saat Bonnie dan orang tuanya sedang road trip. Woody pun berusaha mencari Forky yang menghilang. Di tengah perjalanannya menemukan Forky untuk kembali ke Bonnie, Woody bertemu dengan masa lalunya. Dia adalah Bo Peep (Annie Potts), seorang dari masa lalu Woody yang dia cintai.


Iya, awalnya memang Toy Story 4 dijanjikan sebagai sebuah romantic comedy. Inilah kenapa kehadiran Bo Peep di film ini menjadi sangat penting. Bahkan, menjadi subplot sampingan yang memberikan signifikansi terhadap kelangsungan durasi dari Toy Story 4 ini sendiri. Bo Peep kembali dengan ragam pembaruan dari karakternya. Tak hanya desain animasi dari Bo Peep saja yang lebih detail, tetapi juga karakterisasi yang menjadikannya sebagai pion untuk menyampaikan cerita serta isu masa kini yang lebih relevan.

Toy Story 4 masih berhasil menjadi sebuah sajian animasi yang solid. Bahkan, tak hanya menadi medium untuk nostalgia untuk penggemarnya saja, tetapi para penggemar baru pun bisa menikmati film ini. Filmnya tak terlalu bertumpu pada seri-seri sebelumnya. Ketika film ini berakhir pun, tujuan adanya Toy Story 4 adalah untuk memberikan ekspansi terhadap franchise ini. Entah ini akan menjadi sebuah penutup atau pembuka sekuel baru, yang jelas penonton akan dengan senang hati menanti.


Tentu saja, Pixar dalam membuat animasi tak akan main-main. Toy Story 4 menjadi salah satu film animasi dengan gambar paling cantik. Semua karakter hingga lanskap pemandangannya dibuat dengan sangat detil. Sehingga, menikmati pemandangan yang ada di sekitar karakter-karakternya pun akan membuat penontonnya berdecak kagum. Terlebih, ketika film ini mengambil setting filmnya di sebuah toko barang antik.

Woody dan Buzz adalah inti dari franchise Toy Story ini sendiri. Josh Cooley sebagai sutradara tahu persis hal ini. Dengan begitu, Josh Cooley bisa memainkan emosi di Toy Story 4 ini. Meski ada berbagai macam karakter baru mulai Forky hingga Gabby Gabby, tetapi Toy Story 4 tetaplah milik Woody dan Buzz. Tetapi, karakter-karakter barunya ini juga memiliki tempat untuk berkembang dan bersinar. Gabby Gabby sebagai karakter baru juga akan dengan mudah mengambil simpati penontonnya. Meski diatur menjadi sosok antagonis, tetapi dirinya punya sisi abu-abu yang menarik untuk dikulik.


Sehingga, ketika perjalanan cerita Toy Story 4 telah menuju akhir dan karakter barunya akhirnya mendapatkan sebuah destinasi, barulah Josh Cooley bermain di inti hati franchise ini. Memberikan keputusan yang berani dan terasa tepat untuk karakter legendarisnya untuk akhirnya mengikuti hati nurano. Meski akan terasa berat hati untuk melepaskan, tetapi juga muncul perasaan lega dari penontonnya. Dengan Toy Story 4 di dalam entry-nya, franchise semakin mengukuhkan tahtanya dan terbang tanpa batas menjadi sebuah animation franchise paling solid sepanjang masa. The legacy still flies, to infinity and beyond!

PARASITE (2019) REVIEW: Komedi Satir Tentang Kelas Sosial


Bong Joon Ho dan setiap karyanya memang punya keunikan sendiri. Mulai dari Mother, Memories of Murder hingga Okja. Setiap filmnya punya rekam jejak tak hanya sebagai sebuah media untuk menghibur saja. Tetapi juga sebagai medium untuk mengkritisi sebuah isu sosial tertentu. Tentu, ada sebuah ketertarikan dan minat sendiri untuk menantikan karya-karya dari Bong Joon Ho nantinya. Apalagi, dirinya sudah dengan mudah bekerjasama dengan aktor dan aktris Hollywood.
    
Di tahun ini, Bong Joon Ho kembali untuk menelurkan sebuah karya terbarunya dengan judul Parasite. Film ini pun dilirik dan mendapatkan penghargaan tertinggi di Cannes Film Festival. Selain itu, Parasite pun mendapatkan pendapatan yang besar di Korea Selatan sana, mengalahkan beberapa judul film-film Hollywood. Tentu, ketika Parasite memiliki kesempatan untuk hadir di Indonesia, film ini tentu banyak dinantikan oleh para penikmat film.

Song Kang-ho kembali berkolaborasi dengan Bong Joon Ho dalam film in. Ditemani oleh Lee Sun-Kyun, Choi Woo-Sik, dan banyak lagi. Parasite juga tak hanya disutradarai oleh Bong Joon Ho, tetapi juga naskahnya pun ditulis olehnya. Mungkin, secara trailer yang ditampilkan oleh Parasite, film ini akan menjadi film-film festival pada umumnya. Tetapi, Bong Joon Ho tak akan semudah itu membuat karyanya menjadi sesuatu yang generik. Dia akan memberikan sesuatu yang lebih lagi di dalamnya.


Parasite diawali dengan narasi yang menitikberatkan ke sosok anak laki-laki bernama Kim Ki-Woo (Choi Woo-Shik) yang hidup dengan keluarganya yang secara finansial kurang beruntung. Tetapi, dirinya mendapatkan sebuah kesempatan untuk sedikit mengubah nasib keluarganya. Dia ditawari oleh temannya untuk menjadi guru les privat di sebuah keluarga kaya raya, keluarga Park. Tentu saja, melihat peluangan ini Kim Ki-Woo langsung tertarik.

Datanglah dia ke keluarga Park dengan identitasnya yang diubah agar tidak terlalu kentara. Di sinilah, kehidupan keluarga Kim berubah. Dengan adanya akses menuju keluarga Park, Kim Ki-Woo dan keluarganya mulai berusaha agar bisa bekerja di keluarga kaya raya ini. Segala upaya dilakukan oleh mereka agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Hingga suatu ketika, keputusan ini ternyata menjadi bumerang bagi keluarga Kim.


Menyaksikan sebuah film tentang kelas sosial yang ada di masyarakat ini cukup menarik untuk diikuti. Problematika seperti ini pasti akan selalu ada di setiap negara. Dan film menjadi medium paling tepat untuk memberikan gambaran atas kesenjangan sosial tersebut. Penonton yang berbeda regional tetapi ingin tahu keadaan atas isu tersebut, setidaknya menjadi sedikit lebih tahu dan mengenali masalah tersebut dengan keadaan budaya yang juga berbeda.

Cannes Film Festival mungkin akhir-akhir ini sedang melirik Asia dan problematika seperti ini. Bila ingat, Shoplifters pun juga mengangkat tema serupa tetapi pendekatannya tentu berbeda dengan Parasite milik Bong Joon Ho ini. Parasite ini lebih menekankan dirinya sebagai sebuah film komedi tragis yang memang terjadi di filmnya. Bong Joon Ho memberikan sentuhan humor kelam dalam beberapa adegan di filmnya yang sebenarnya bisa menjadi refleksi bagi penontonnya bahwa isu-isu yang diangkat ini masih ada dan sangat dekat di kehidupan kita.

Iya, isu yang diangkat oleh Parasite memang seberat itu sebenarnya. Tetapi tenang, Bong Joon Ho tahu bagaimana mengemas Parasite agar bisa dinikmati oleh banyak orang. Penonton awam tak perlu susah untuk mencerna Parasite karena pendekatan secara narasi pun semacam film-film populer pada umumnya. Semuanya diceritakan dengan sangat runtut. Meskipun sebenarnya naskah dan adegannya memiliki simbol-simbol menarik yang bisa membuka ruang diskusi lebih banyak tentang Korea Selatan dan problemtika kelas sosialnya.


Bisa dibilang, ini adalah karya Bong Joon Ho yang  bisa menceritakan  semuanya dengan rapi. Parasite membuka tabirnya perlahan-lahan, menutupi setiap segala kemungkinan yang ada menuju ke momentum yang tepat untuk membongkar semuanya. Tentu, hal ini adalah pencapaian tertinggi Bong Joon Ho dalam mengarahkan filmnya. Membawa perubahan tone dalam ceritanya dengan halus menuju ke sebuah babak baru yang tak pernah penonton kira sebelumnya.

Semua ensemble cast-nya pun bisa bermain sesuai dengan porsinya masing-masing. Semuanya saling melengkapi dan hingga berada di satu momen ketika semua karakternya bisa mengakumulasi emosinya. Terasa semua telah diperhitungkan, naskah dari Bong Joon Ho bisa mengakomodir setiap karakternya untuk berjalan sesuai arahnya. Hingga, keputusan-keputusan yang diambil oleh setiap karakternya akan memiliki alasan.

Banyak sekali simbol-simbol tentang kesenjangan sosial, dialognya pun memiliki metafora demikian. Membahas tentang bagaimana susahnya para kaum sosial menengah ke bawah untuk menjangkau kehidupan kelas atasnya. Bagaimana susahnya mendapatkan kehidupan yang lebih baik tanpa melakukan sedikit ‘perubahan’ dalam hidupnya. Serta, bagaimana kelas sosial atas yang telah meraih kesuksesan luar biasa lupa tentang dirinya di masa lalu.


Hal-hal inilah yang membuat Parasite terasa begitu spesial. Parasite hadir untuk menyodorkan realita tentang keadaan ini dengan kultur lokalnya yang mungkin ingin dilihat oleh negara-negara lain. Bong Joon Ho menawarkan sebuah realita pahit di atas kedigdayaan negaranya yang terlihat makmur. Tetapi, narasinya yang masih populer dibalut dengan komedi kelamnya yang tragis membuat Parasite setidaknya lebih mudah diterima oleh banyak orang. Tak salah apabila film ini akan laris di pasaran dan bahkan dicintai oleh penikmat film yang melihat sebuah film dengan penuh pertimbangan.