• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

GODZILLA II: KING OF THE MONSTERS (2019) REVIEW: Pertarungan Besar dengan Narasi Tak Seimbang


Setelah Godzilla (2014) dan Kong: Skull Island, Warner Bros memiliki keinginan untuk membentuk cinematic universe yang menggabungkan pengalaman menonton makhluk gigantis di layar lebar. Dimulai lagi lewat membuatkan sekuel untuk Godzilla agar memiliki jembatan cerita yang lebih besar dibandingkan dengan film sebelumnya. Godzilla dan Kong: Skull Island memiliki komentar yang beragam dalam keseluruhan presentasinya.

Godzilla II: King of the Monsters berubah haluan untuk tak lagi malu-malu mengeluarkan segala makhluk gigantis di filmnya. Sutradara pun beralih ke Michael Doughtery dengan trailer yang dikemas menarik. Beberapa nama besar pun ikut andil di dalam proyek film ini. Mulai dari Vera Farmiga, Sally Hawkins, Millie Bobby Brown, dan masih banyak lagi. Dalam trailernya pun, tentu menjadi sebuah mimpi yang terwujud jadi nyata bagi para penggemar Godzilla.

Godzilla II: King of the Monsters ini tak hanya memunculkan satu makhluk Titan. Ada kreatur dengan nama-nama besar di dalamnya yang dikeluarkan di trailer yang menjadi daya tarik calon penontonnya. Entah, hal ini bijak atau tidak sebagai ajang promosi dari film Godzilla II: King of the Monsterskarena bisa jadi apa yang disuguhkan di trailer sudah terlalu membocorkan terlalu banyak hal. Di sisi lain, hal itu akan memunculkan hype bagi yang tak dekat dengan para makhluk Titan.


Problematika instalmen Godzilla sebelumnya adalah ketika filmnya sendiri tak bisa memperlihatkan pertarungan besar dari makhluk Titan ini. Segala tensi yang terjalin di film Godzilla pertama berada di segala dialog dan konflik yang dimainkan oleh karakter-karakter manusianya. Godzilla II: King of the Monsters tentu terlihat ingin memperbaiki hal itu dan memuaskan para penggemar Godzilla yang ingin melihat pertarungan besar di layar yang lebar.

Tentu, Michael Doughtery berhasil untuk menyajikan segala pertarungan besar yang tak malu-malu memporak porandakan tempat manusia tinggal ini. Semua penggemar atau penonton awam pun akan bersuka cita melihat makhluk-makhluk Titan ini bertarung habis-habisan dilengkapi dengan ledakan-ledakan masif. Tetapi, problematika hadir dalam narasinya saat mengantarkan konfliknya menuju ledakan besar para Titans saling bertarung satu sama lain.


Narasi klise dan karakterisasi yang tak kuat sebenarnya bukan problem utama apabila sang sutradara tahu bagaimana cara mengemas itu semua. Narasi di mulai di sebuah keluarga kecil yang tak sempurna. Emma Russell (Vera Farmiga), seorang ibu yang hidup sendiri dengan satu anaknya, Madison (Millie Bobby Brown). Dia adalah seorang ahli paleobiologi yang percaya bahwa Titans bisa menyelamatkan bumi saat setelah bencana besar menyerang.

Ketika Emma sedang mengembangkan ORCA, dirinya diserang oleh sisi lain yang memiliki tujuan lain dengan alat tersebut. Di sinilah, Mark (Kyle Chandler), mantan suami Emma sekaligus mantan rekan kerjanya diutus untuk mencari Emma dan Madison yang ditahan oleh musuhnya. Di tengah jalan banyak konflik yang terjadi, sehingga makhluk-makhluk Titans yang berbahaya ini bangun dan semakin memporak porandakan bumi yang sudah berantakan.

 
Alih-alih film ini fokus menjadi sebuah sajian style over substance, film ini menyibukkan diri untuk bercerita. Plotnya ingin membuat karakterisasinya tak terkesan dangkal dan konfliknya bisa menjadi jembatan untuk pertarungan besarnya. Tetapi, itikad baik itu malah menjadi bumerang bagi filmnya. Sehingga, 132 menit di dalam Godzilla II: King of the Monsters terasa begitu panjang dan melelahkan untuk diikuti. Bahkan berharap di sepanjang film hanya berisi dengan pertarungan Godzilla dengan para Titans yang lain.

Setiap konflik dari karakter manusia muncul, Godzilla II: King of the Monsters berada di titik paling rendah dalam filmnya. Dengan karakternya yang begitu banyak, tak ada satupun dari karakternya yang bisa memunculkan simpati penontonnya. Hal ini tentu akan berpengaruh dengan lancarnya mencerna setiap konflik yang ada di dalam Godzilla II: King of the Monsters. Jika saja ada bagian yang dalam konfliknya yang lebih disimplifikasi, sepertinya akan lebih bijaksana.


Fokuskan saja kisahnya ke beberapa karakter utama tanpa perlu menambah menambahi karakter manusia dengan itikad jahat. Jika saja lebih fokus untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi oleh bumi dan Titans dengan sedikit sentuhan nilai-nilai keluarga di dalamnya, mungkin saja itu akan bekerja lebih baik. Sehingga, konklusi yang ada bukan sekedar usaha karakter manusianya memperbaiki kehidupan bumi tetapi juga memperbaiki kehidupan dengan sesamanya.

Tentu yang tersisa dari Godzilla II: King of the Monsters ini hanyalah pertarungan antara para Titans yang memang luar biasa megah. Diiringi dengan originaltheme song-nya, pertarungan Godzilla, Mothra, King Ghidorah, dan Rodan tentu sangat mudah merebut hati penggemarnya karena hal-hal trivial ini. Tetapi, bagi penonton awam yang tak dekat, hal ini belum tentu bekerja dengan baik kecuali sebagai spektakel visual yang perlu ditonton di layar besar. Tetapi, pengalamannya akan hilang begitu saja setelah film ini selesai.


Ini tentu menjadi perdebatan bagi para penggemar yang berusaha membela ketika monster mayhem di Godzilla II: King of the Monsters sudah dianggap lebih dari cukup. Bukankah akan lebih maksimal lagi pengalaman menontonnya, ketika karakter manusia sebagai pondasi penuturan ceritanya bisa berjalan seimbang dengan parade para Titansnya. Sehingga, film ini tak hanya menjadi sesuatu yang sakral bagi para penggemarnya, tetapi juga menumbuhkan penonton-penonton baru yang menunggu film-film Godzilla lainnya akan dibuat. Apalagi, Warner Bros memiliki rencana untuk memperbesar monsters universe ini.

ALADDIN (2019) REVIEW: Rendisi Moderen Dengan Segala Plus dan Minusnya


Masih berlanjut, Disney dan caranya untuk merejuvenasi segala kisah klasiknya ke layar lebar masa kini. Daur ulang lagi kisah-kisah yang pernah diangkatnya agar generasi sekarang bisa berkembang dan tumbuh dengan kisah-kisah klasik milik Disney. Hal ini tentu juga disambut baik oleh penggemar Disney sejak dahulu. Cara Disney ini tentu menjadi ajang nostalgia bagi para penggemarnya. Meski tentu saja, Disney harus memberi pembeda agar adaptasi daur ulangnya ini akan lebih kaya rasa.

Di tahun ini tentu sudah banyak film adaptasi daur ulang Disney yang mengantri. Dimulai dari adaptasi daur ulang kisah Dumbo yang disutradarai oleh Tim Burton. Di bulan Mei ini, Aladdinmendapatkan kesempatann untuk diangkat kembali oleh Guy Ritchie sebagai sutradara. Dibintangi oleh wajah-wajah baru seperti Mena Massoud sebagai Aladdin. Naomi Scott sebagai Jasmine ini pun pernah menjadi wajah Disney Channel di film televisi bernama Lemonade Mouth.

Sayang, cemoohan untuk film Aladdintiba-tiba membesar ketika Disney memberikan foto promosi Will Smith sebagai Genie dengan cara yang salah. Hal ini menjadi bulan-bulanan warganet dan fans Disney hingga di beberapa materi promo lainnya. Tetapi, ketika trailer kedua dari Aladdin muncul, komentar sedikit mereda karena munculnya lagu-lagu klasik dalam film Aladdin. Percayalah, cemoohan itu sebenarnya tak benar-benar terjadi di dalam filmnya.


Aladdin milik Guy Ritchie ini memang mengubah sedikit kisahnya, terutama untuk arc character dari Jasmine yang termasuk sebagai Disney Princess. Tentu, di era sekarang, perlu adanya perubahan atas sosok perempuan dalam representasinya. Maka dari itu, naskah dari John August serta Guy Ritchie akhirnya menambahkan urgensi tertentu agar keberadaan karakter perempuannya tak hanya sebagai Damsel in Distress semata.

Tetapi, di luar dari penambahan kisah tentang karakter Jasmine di dalam film ini, Aladdin milik Guy Ritchie ini tentu saja masih mempunyai dasar cerita yang sama dengan film animasinya. Bahkan atribut-atribut klasiknya pun tak serta merta dilepas begitu saja di dalam film adaptasi daur ulangnya ini. Tetapi, alih-alih menjaga cita rasa klasiknya seperti yang dilakukan oleh beberapa film adaptasi film Disney Princess sebelumnya, Aladdin milik Guy Ritchie ini bergerak sebagai sebuah rendisi moderen yang mana akan ada sisi positif dan negatifnya.


Namanya juga film dengan judul Aladdin, film ini tentu saja dimulai dari kisah seorang anak jalanan bernama Aladdin (Mena Massoud) yang hidup sendiri bersama dengan partner keranya, Abu. Di tengah menjalankan rutinitasnya, bertemulah dia dengan sosok perempuan berparas cantik bernama Jasmine (Naomi Scott). Dia adalah seorang permaisuri kerajaan yang sedang berusaha untuk lari dari rutinitasnya yang selalu dikekang dengan alasan dia adalah seorang perempuan.

Aladdin tak menahu atas Jasmine, hingga suatu ketika dia datang ke kerajaan untuk menemuinya. Tetapi, Jafar (Marwan Kenzari) berusaha menangkap Aladdindan membawanya ke sebuah gua yang berisikan harta karun besar. Di sana lah, dia mendapatkan sebuah lampu ajaib yang membuatnya bertemu dengan sosok Genie (Will Smith). Lewat Genie lah, Aladdinmendapatkan 3 permintaan yang akan dikabulkan dan berguna untuk dirinya.


Iya, kisahnya secara garis besar tentu saja masih sama dengan animasi klasiknya. Tetapi, beberapa poin yang diubah dari naskahnya adalah ketika membuat setiap karakternya memiliki alasan yang lebih berkaitan satu sama lain. Rendisi moderen dalam kisah Aladdinini terjadi dalam sosok Jasmine yang dibuat untuk lebih punya kekuatan sebagai perempuan. Sehingga, ini tentu akan memberikan pandangan baru bagi sosok Disney Princess dan penikmatnya untuk memahami karakter perempuan dalam sebuah film.

Perempuan boleh memimpin, perempuan boleh menjadi apa saja yang dia mau, dan perempuan boleh menentukan apapun sesuai dengan keinginannya. Pesan-pesan inilah yang berusaha dilekatkan kepada karakter Jasmine sehingga Disney Princess satu ini bisa menjadi alternatif role model bagi perempuan masa kini. Hal ini juga sudah pernah diterapkan di beberapa film live-action Disney yang melibatkan karakter-karakter Disney Princess. Tetapi, penyampaian di dalam Aladdin ini terasa lebih terlihat karena Guy Ritchie menyampaikannya dengan lebih moderen saja.

Tetapi, rendisi moderen dari Guy Ritchie ini juga berdampak negatif bagi kesakralan magis di film live-actionAladdin ini. Meski atribut-atribut klasiknya tak hilang begitu saja, tetapi Aladdinmilik Guy Ritchie ini terkesan hanya menceritakan ulang kisah Aladdin tanpa menjaga cita rasa klasiknya yang membuat film-film Disney terasa magis. Kekuatan Aladdin hanya datang bagi penggemar yang memiliki kedekatan referensi dengan filmnya. Itu pun hanya merasakan sensasi nostalgia, tanpa ada rasa klasik yang menempel di dalam filmnya.


Rendisi moderen tak hanya dalam kisahnya, tetapi juga musik-musik dan lagunya. Aladdin milik Guy Ritchie ini memberikan sentuhan moderen dalam lagu-lagu klasiknya, terlebih untuk lagu A Whole New World. Ini menjadi sangat menarik untuk filmnya, bahkan dilantunkan dengan indah. Tetapi, problematika lain datang di lagu baru yang dinyanyikan oleh Naomi Scott. Speechless, gubahan dari Justin Paul dan Benj Pasek ini terasa berada bukan pada tempat dan atmosfernya.

Lagunya yang terlalu kekinian membuat kemagisan dari Aladdin ini menjadi semakin hilang. Didukung dengan musical sequences-nya yang juga tak bisa menunjukkan kemegahan dan kesakralan kisah klasik milik Disney ini. Walaupun harus diakui, bahwa lagu Speechless ini akan sangat mudah dinikmati dan diingat di benak banyak orang. Beruntungnya, Naomi Scott bisa membawakan lagu ini dengan powerful, sehingga emosi yang ingin disampaikan bisa terlihat.

 
Tetapi, di luar gaya rendisi moderen milik Guy Ritchie dalam adaptasi daur ulang yang memberikan plus dan minus yang sama, film ini masih sangat menyenangkan untuk ditonton di bioskop. Bukan hanya sebagai tempat nostalgia, tetapi film ini cocok untuk membuat hati menjadi sumringah lagi. Visualnya cantik, lagu-lagunya memikat, warna-warnanya pun sangat indah. Yang jelas, film tak seperti diragukan oleh banyak orang. Mena Massoud, Naomi Scott, dan bahkan Will Smith memberikan performa terbaiknya. Will Smith sebagai Genie juga bermain dengan enerjik kok, jadi gak perlu khawatir.