• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

ANT-MAN AND THE WASP (2018) REVIEW : Smaller Scale But Big Heart

 
Avengers : Infinity War yang rilis akhir April lalu telah mengubah bagaimana film tentang superhero Marvel menetapkan sebuah standar. Serta, memunculkan banyak pertanyaan yang perlu dijawab di akhir film Avengers : Infinity War. Setelah banyak klimaks yang hadir lewat Avengers : Infinity War, Marvel memberikan sebuah rencana lain untuk membuat penggemarnya sedikit ketenangan sambil menunggu lanjutan dari Avengers : Infinity War.

Ant-Man and The Wasp menjadi back up plan dari Marvel bagi penggemar agar sedikit merelaksasi pikirannya dari plot cerita yang cukup banyak ketegangan dari Avengers : Infinity War. Sekuel dari Ant-Man and The Wasp ini kembali disutradarai oleh Peyton Reed dan berganti penulis naskah dari Edgar Wright dan Joe Cornish ke Chris McKenna dan 4 orang lainnya. Tetapi, yang perlu diperhatikan adalah Paul Rudd masih memiliki kontrol atas naskah dari film Ant-Man ini.

Tentu saja Paul Rudd tetap menjadi sosok Scott Lang ini dan problematikanya pun tetap berada di jalur yang lebih kecil dibanding film-film Marvel lainnya. Ant-Man selalu menelisik ranah kekeluargaan dan dirilis setelah film Avengers telah dirilis. Film pertamanya yang dirilis setelah Age of Ultron, kini giliran Ant-Man and The Wasprilis setelah Infinity War. Mungkin, Ant-Man and The Wasp memiliki skala pendekatan yang jauh lebih intimate dan sempit, tetapi hati yang besar hadir di film ini dan menjadi peredam yang manjur setelah banyak klimaks yang terjadi di beberapa film Marvel sebelumnya.


Ant-Man and The Wasp tetap memberikan konflik yang tak muluk-muluk dan menjadikannya sebagai ciri khas yang menempel di film-film Ant-Man. Tetapi, kesederhanaan yang ada di setiap konfliknya inilah yang menjadi kekuatan di dalam filmnya. Ranah personal tentang orang-orang yang disayangi, keluarga, dan persahabatan yang kental adalah area bermain bagi Peyton Reed saat mengembangkan karakter Scott Lang di film Ant-Man and The Wasp.

Dengan begitu, karakter Scott Lang ini akan terasa dekat kepada penontonnya. Banyak yang menyayangkan kehadiran plot cerita milik Ant-Man and The Wasp tak bisa sebesar dan megah seperti film-film Marvel lainnya. Konflik ceritanya yang dalam ranah yang sempit itu pun sudah ditegaskan lewat karakter berkekuatan supernya yang juga memiliki kemampuan mengecilkan dirinya seukuran semut. Meski begitu, Peyton Reed mampu meracik bumbu di dalam Ant-Man and The Wasp sehingga memiliki cita rasa yang akan dirindukan oleh penggemar film superhero Marvel.


Ant-Man and The Waspmengulik kehidupan Scott Lang (Paul Rudd) paska apa yang dia lakukan setahun setelah Captain America : Civil War. Dirinya kali ini kembali menjadi seorang tahanan, tetapi dia adalah tahanan rumah. Sesekali Scott Lang masih bisa bermain dengan Cassie (Abby Ryder Forston), anaknya yang mengunjunginya di rumah. Banyak hal yang berusaha dilakukan oleh Scott agar tidak merasa bosan saat menjadi tahanan rumah.

Hingga suatu ketika, Scott Lang ‘bertemu kembali’ dengan Hope (Evangeline Lily) dan Dr. Hank Pym (Evangeline Lily) yang sedang dalam proses membuat terowongan menuju Quantum Realm. Hal ini sangat kebetulan karena Scott juga mendapatkan sebuah mimpi tentang anak kecil dan seseorang di Quantum Realm. Tetapi, proyek milik Hank Pym ini harus diselamatkan karena ada sosok bernama Ghost (Hannah John-Kamen) yang ingin menghalangi proyek ini dengan motif misterius.


Sayangnya, saat menceritakan sosok misterius bernama Ghost ini Ant-Man and The Wasp memang kewalahan. Sehingga, Ant-Man and The Wasp harus kembali berhadapan dengan problematika lama film-film stand alone milik Marvel sebelumnya yang memiliki karakter villainyang lemah. Ghost memang hadir dengan screen time yang cukup banyak. Hanya saja, kehadirannya di dalam film ini hanya sebagai formalitas seorang penjahat yang harus berhadapan dengan sang manusia super.

Tak ada pembangunan karakter yang akan berdampak signifikan dengan presentasi Ant-Man and The Wasp. Tetapi, Peyton Reed tahu bahwa apa yang diarahkannya ini sebenarnya adalah sebuah film keluarga dalam sebuah film superhero. Sehingga, pendekatannya tak berusaha untuk menjadi terobosan baru melainkan menggunakan formula lama. Tetapi, Peyton Reed masih bisa menjadikan Ant-Man and The Wasp menjadi sesuatu yang sangat menghibur.

Peyton Reed tahu akan porsinya dalam mengarahkan Ant-Man and The Wasp. Film ini memiliki pacing yang sangat pas meski dengan konflik yang cukup tumpang tindih. Kesederhanaan dalam mengemas Ant-Man and The Wasp butuh ketelitian dari Peyton Reed. Kesederhanaan inilah yang membuat Ant-Man and The Wasp begitu kaya akan rasa. Semuanya mengalir tanpa ada hambatan mulai dari penyampaian cerita, sekuens aksi, hingga lelucon riuh yang berkolaborasi menjadi satu.


Semuanya bersautan satu sama lain dengan penempatan yang tak tumpang tindih, berada di timing yang tepat. Sehingga, 120 menit milik Ant-Man and The Wasp ini sangat terasa pas untuk bercerita. Peyton Reed sepertinya memiliki misi untuk mendekatkan dan mengembangkan karakter Scott Lang sebagai superhero baik untuk dunia maupun keluarganya kepada penonton. Sehingga, penonton akan mudah merasa dekat dan menaruh simpati kepada karakternya.

Caranya untuk fokus terhadap konflik dari Scott Lang adalah untuk menumbuhkan hati yang sangat besar saat berbicara tentang keluarga dan menyelamatkan dunia. Tujuan akhir dari Ant-Man and The Wasp saat menghadapi musuhnya adalah kembali ke orang-orang yang mereka sayangi. Meski dengan skala yang lebih kecil, Ant-Man and The Wasp dirasa perlu untuk hadir di tengah gempuran film superhero Marvel. Ant-Man and The Wasp adalah medium untuk mengingatkan penontonnya untuk kembali memikirkan hal-hal kecil di sekitar mereka, terutama tentang keluarga.

HEREDITARY (2018) REVIEW : Munculkan Ketakutan Karena Asumsi


A24 sebagai rumah produksi selalu memberikan sebuah tontonan alternatif dengan performa yang menarik. Tentu saja di tahun ini, A24 tak ingin kehilangan momentum untuk bermain dalam genre horor yang sedang naik daun. Sudah pernah A24 menyajikan film bergenre serupa lewat The Witch, It Comes At Night, dan bisa dibilang A Ghost Story juga masuk di dalamnya. Tetapi, kali ini A24 menggaet sosok baru dalam mengarahkan sebuah film layar lebar.

Inilah Ari Aster yang ditunjuk untuk mengeluarkan sebuah karya unik dari A24 sebagai alternatif tontonan di genre horor ini. Hereditary menjadi sebuah film debut dari Ari Aster yang dibintangi oleh Toni Collette, Alex Wolff, Milly Shapiro, dan Gabriel Byrne sebagai satu keluarga. Penampilan Hereditarysebagai sebuah film telah dibuktikan lewat pemutaran terbatas di beberapa festival film yang ada. Banyak yang memberikan klaim bahwa Hereditary adalah sebuah film horor yang sangat menyeramkan tahun ini.

Dengan adanya klaim tersebut, tentu saja banyak orang akan berekspetasi besar terhadap Hereditary. Apalagi bagi para pecinta film horor, Hereditarytentu sangat patut untuk dinantikan. Tetapi, dengan adanya berbagai rekam jejak A24 dalam menyajikan sebuah film horor, tentu saja akan berbeda rasanya. Hereditary jelas akan memberikan sajian horor yang berbeda dibandingkan dengan film-film horor pada umumnya.


Benar saja, Hereditary bukan sekedar horor supernatural yang akan membuat penontonnya bergidik ngeri lewat penampakan makhluk astral. Gangguan yang dimunculkan oleh Ari Aster sebagai sutradara lebih ke pengalaman psikologis penontonnya. Tentu saja, penampakan yang muncul di dalam film Hereditarytak akan sebanyak film-film horor pada umumnya. Hal ini tentu saja membuat Hereditary tak akan bisa dicintai secara penuh bagi penonton awam.

Hereditary mungkin akan memiliki dampak besar bagi penonton yang memiliki kesempatan lebih mengenal film-film yang ada di genrenya. Tetapi, bagi penonton awam, Hereditary mungkin akan mengecewakan mereka yang lebih ingin melihat makhluk astral yang dieksploitasi di kamera apalagi bagi penonton Asia. Tetapi, Hereditary akan menakut-nakuti penontonnya lewat cara pendekatannya yang lebih psikologis tentang keluarga yang tak lagi menjalankan fungsi dan perannya masing-masing.


Ketika Ibu dari Annie (Toni Collette) meninggal, keluarga ini sedang dalam kondisi yang sedang berduka. Charlie (Milly Shapiro), anak dari Annie yang merasa dekat dengan sang nenek semakin merasa bahwa dirinya sendirian karena kondisi fisiknya yang sama sekali berbeda. Charlie juga memiliki seorang kakak laki-laki bernama Peter (Alex Wolff). Peter berusaha untuk menghibur Charlie agar tak lagi sedih saat mengingat kematian dari neneknya.

Kematian sang nenek ini tak hanya membuat keluarga satu ini merasa sedih tetapi juga merasakan hal-hal mencekam di dalam hidup mereka. Banyak hal-hal janggal terjadi di dalam kehidupan mereka. Meskipun satu sama lain sedang berusaha untuk menjalankan perannya masing-masing sebagai sebuah keluarga. Tetapi, hal ini tak membantu hubungan mereka satu sama lain yang sudah lama dingin. Banyak kejadian-kejadian mistis nan misterius yang harus mereka hadapi.


Sayangnya kejadian mistis yang terjadi di keluarga ini tak digambarkan dengan cara yang literal. Hereditarymencekam penontonnya lewat bagaimana secara pintar Ari Aster membangun sebuah suasana horor yang berbeda. Kekuatan Ari Aster mampu mengubah sebuah drama tentang dysfunctional family menjadi sebuah tekanan lahir dan batin penontonnya. Ditambah dengan sebuah misteri-misteri yang dapat dikategorikan sebagai film horor yang akan berdampak bagi psikis penontonnya.

Lalu yang muncul adalah ketakutan-ketakutan yang dibuat sendiri oleh penontonnya saat menonton Hereditary. Rasa khawatir, curiga, dan bertanya-tanya muncul dan mengusik pikiran penonton sehingga Hereditary bisa menakut-nakuti penontonnya lewat caranya membuat sebuah ketidakpastian. Inilah kunci yang bisa membuat Hereditaryadalah sebuah film horor yang segar sekaligus berbeda dengan film horor lainnya.

Munculnya banyak asumsi saat Ari Aster memberikan adegan demi adegan inilah yang membuat muncul rasa tertekan bagi batin penonton saat menonton Hereditary. Kumunculan rasa depresi saat menyaksikan keluarga ini menghadapi masalah yang semakin besar lalu berakumulasi menjadi sebuah atmosfir mencekam yang sangat besar. Sehingga tak salah, menonton film ini akan menimbulkan rasa lelah lalu membekas ke benak penontonnya dengan jangka waktu yang lebih lama.


Asumsi yang menimbulkan ketakutan ini semakin kuat dengan performa dari para pemain yang ada di Hereditary. Toni Collette bisa memberikan performanya yang sangat kuat sehingga mampu memberikan efek mencekam bagi penontonnya. Pun dengan Alex Wolff yang bisa menjadi sosok aktor pendukung yang semakin memperkuat adegan penutup di dalam filmnya. Lewat performa mereka inilah, penonton akan semakin merasakan atmosfir yang misterius saat menonton Hereditary.

Hereditary mungkin bukan yang pertama menggunakan metode ini dalam genre horor. Tetapi, sebagai karya dari sutradara debut, Ari Aster bisa menggunakan Hereditary sebagai sebuah portofolio dalam karirnya. Juga, dengan naskah yang ditulisnya sendiri, Ari Aster membuktikan bahwa film horor yang baru saja dia kerjakan bukan sembarangan. Meskipun penyelesaiannya terlalu diceritakan secara eksplisit, tetapi ini menjadi jembatan bagi penonton awam untuk memahami Hereditary nantinya.


Hereditary sebagai sebuah film horor di tahun 2018 mampu memberikan sebuah sajian yang berbeda dan nafas segar bagi penikmat film horor. Dengan mengarahkan film ini, Ari Aster tentu akan dilirik dan dipercaya oleh rumah produksi lainnya untuk mengarahkan sebuah film horor atau bahkan genre lainnya. Meski tak bisa membuat suara bulat untuk mematenkan bahwa Hereditary adalah sebuah film yang horor. Tetapi nyatanya Hereditaryakan mencekam para penonton yang sudah punya referensi lebih lewat asumsi yang dibuat sendiri tetapi lebih melekat.

JAILANGKUNG 2 (2018) REVIEW : Performa Sebuah Sekuel Yang Semakin Menurun


Memiliki raihan secara kuantitas hingga 2,5 juta penonton, tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi Screenplay Films untuk melanjutkan kisah tentang matianak. Meskipun, di akhir film Jailangkung pertama penonton sudah diberi petunjuk tentang adanya sekuel untuk film ini. Performa Jailangkung pertama yang belum matang tak menjadi alasan bagi proyek ini untuk berhenti. Mungkin, di film keduanya Jailangkung bisa membenarkan kesalahannya di film pertama.

Jailangkung 2 kembali ditangani oleh Rizal Mantovani bersamaan dengan Jose Purnomo untuk mengarahkan filmnya. Sama-sama memiliki jejak rekam menangani film horor dan bahkan berkecimpung di mitos yang sama, tentu menjadi alasan kenapa mereka berdua tetap menangani sekuel dari Jailangkung. Selain sutradara yang sama, tentu saja Jailangkung 2 kembali menggunakan dua pemain utamanya yaitu Jefri Nichol dan Amanda Rawles.

Bukan hanya itu, nama-nama besar seperti Hannah Al-Rashid, Lukman Sardi, bahkan almarhum Deddy Soetomo ikut menjadi bagian dari Jailangkung 2 ini. Untuk urusan naskah, kali ini Baskoro Adi Wuryanto dibantu oleh Ve Handojo untuk Jailangkung 2. Meskipun dengan banyak orang-orang yang terlibat di perfilman, Jailangkung 2 ternyata tak bisa memberikan performa yang baik. Bahkan, film ini pun mengalami penurunan performa dibandingkan film pertamanya.


Jailangkung 2 memang berusaha untuk menampilkan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan film pertamanya. Terlebih, konflik yang semakin rumit itu sudah tersebar di film pertamanya sehingga film keduanya sudah memiliki dasar untuk melanjutkan cerita. Sayangnya, apa yang dituturkan oleh Jailangkung 2 ini tak bisa sesuai dengan tujuannya. Konfliknya semakin kabur dengan banyaknya cabang cerita yang berusaha dimasukkan di dalam filmnya.

Begitu pula dengan durasinya yang mencapai 83 menit, Jailangkung 2 tak memiliki ruang untuk semakin berkembang. Cerita dengan karakter yang semakin banyak, membuat Jailangkung 2 serasa bingung untuk membawa filmnya ini ke arah mana. Karakternya berhenti di tempat yang sama, ceritanya pun melebar ke mana-mana. Sehingga, Jailangkung 2 benar-benar hanya menyisakan nama-nama besar sebagai produk utama untuk meraih jumlah penonton yang fantastis.


Kisahnya tentu saja berlanjut dan bermulai dari kisah akhir di film Jailangkung yang pertama. Di mana mati anak, seorang  bayi campuran iblis yang lahir dari rahim Angel (Hannah Al-Rashid) membawa petaka di keluarganya. Sang ayah, Ferdi (Lukman Sardi) yang baru saja kembali nyawanya setelah diambil oleh arwah jahat berusaha untuk membuat keluarganya kembali seperti semula. Tetapi, tentu saja hal itu tak bisa begitu saja terjadi.

Bella (Amanda Rawles), adik dari Angel berusaha untuk menyingkirkan mati anak dari keluarganya agar tidak terjadi hal-hal aneh di keluarga tersebut. Bella pun meminta bantuan dari Rama (Jefri Nichol) yang kala itu juga membantu dirinya menyelamatkan hidup sang ayah. Kali ini dia berusaha meminta bantuan Rama untuk menyingkirkan mati anak dengan cara mencari kalung mistis yang bisa menghentikan mati anak. Dan perjalanan mencari kalung kali ini mendapatkan rekan tambahan yaitu Bram (Naufal Samudra) yang mengetahui keberadaan kalung tersebut.


Jika plot cerita Jailangkung 2hanya berfokus kepada satu linimasa yang dituliskan di sinopsis di atas, setidaknya Jailangkung 2 masih bisa memiliki performa dengan film sebelumnya. Meskipun, tak bisa membaik, tetapi ceritanya masih tak berputar sendiri yang menyebabkan penonton merasa kebingungan. Ada plot cerita lain yang bertambah di film Jailangkung 2 ini tetapi tak memiliki pengenalan dan penjelasan dengan porsi yang pas.

Hasilnya, plot cerita Jailangkung 2 serasa muncul tiba-tiba dari antah berantah tanpa adanya pemberitahuan. Tentu saja ini karena pengarahan yang belum teliti dari kedua sutradaranya. Jailangkung 2 seperti 2 film yang diringkas menjadi satu dengan pengarahan yang sesuai dengan egonya masing-masing. Jailangkung 2 sudah berjalan terlalu jauh meninggalkan mitos legendarisnya. Tak ingin mensia-siakan kesempatan itu, Jailangkung 2berusaha hadir secara formalitas untuk meramalkan mantra “datang gendong, pulang bopong” sebagai plot cerita lain.  

Plot ini tetap beriringan dengan plot menghilangkan matianak yang bahkan tak memiliki koneksi apapun satu sama lain.  Tentu saja ini akan membuat munculnya kerutan di dahi dari penonton untuk mengikuti plot cerita mana yang ingin disampaikan. Dampaknya, penonton akan lelah dengan apa yang berusaha disampaikan dengan Jailangkung 2. Sudah tak memiliki simpati dengan setiap karakternya, plot ceritanya pun tak bisa diikuti dengan baik.


Tak ada tensi horor yang berhasil dibuat di dalam Jailangkung 2. Segala usahanya untuk menakut-nakuti penontonnya terasa sangat hambar hanya dibantu dengan ilusi tata rias karakter hantunya dan penyuntingan suara. Bahkan, kedua aspek itu tak bisa sepenuhnya membantu agar adegan tersebut bisa tersampaikan dengan baik di filmnya. Dan tak bisa dihindari pula, beberapa penyuntingan film yang terasa sangat berloncat dengan setting yang berbeda padahal masih berada di satu setting waktu yang sama sering terlihat di dalam film ini.

Yang tersisa dari Jailangkung 2tentu saja hanyalah beberapa adegan yang tak sengaja membuat penontonnya tertawa. Hal ini muncul karena kurangnya ketelitian dalam pengarahan dari Rizal Mantovani dan Jose Purnomo. Meski terlihat sekali bagaimana Jailangkung 2 sebenarnya memiliki intensi untuk membuat sekuelnya memiliki dunia yang lebih besar dan rumit. Tetapi, apa yang hadir di dalam presentasinya malah membuat Jailangkung 2 hanyalah sebuah sekuel yang performanya malah menurun dari film pertamanya yang juga jauh dari kata sempurna. Sayang sekali!

DIMSUM MARTABAK (2018) REVIEW : Kisah Upik Abu Ala Televisi


Raffi Ahmad berusaha untuk berpindah keberuntungan dari layar televisi ke layar perak. RA Pictures menjadi rumah produksi baru yang menelurkan film-film bioskop. Intensinya baik, menarik pasar televisi ke layar lebar dan semakin memeriahkan perfilman Indonesia. Mulai dari Rafathar, The Secret, hingga proyek terbarunya yang rilis pada musim lebaran tahun ini berusaha dia lepas. Raihan penontonnya pun bisa dibilang lumayan untuk ukuran rumah produksi baru.

Kali ini, Raffi Ahmad menunjuk seorang sutradara baru Andreas Sullivan untuk mengarahkan sebuah drama kisah komedi romantis. Film terbarunya ini pun disupervisi oleh Fajar Bustomi yang pernah mengarahkan Dilan 1990. Pun, dibantu dengan naskah yang ditulis oleh Alim Sudio yang sudah sering menulis film dengan genre yang sama. Dimsum Martabak, judul ini dibintangi oleh Ayu Ting-Ting dan juga Boy William sebagai pasangan utama.

Dimsum Martabak adalah debut akting dari Ayu Ting-Ting di layar lebar. Tentu saja banyak yang meragukan performa yang ditampilkan oleh Ayu Ting-Ting di dalam film Dimsum Martabak. Dengan banyaknya nama baru di dalam Dimsum Martabak, tentu saja proyek ini bisa dibilang sangat berani untuk rilis di musim lebaran. Jika performa sebuah film bisa diukur dengan keberaniannya, Dimsum Martabak ini mungkin belum sepenuhnya berani dalam menyampaikan ceritanya.


Kisah ini dimulai dari seorang pelayan sebuah restoran chinese food bernama Mona (Ayu Ting-Ting) yang hidup menjadi tulang punggung keluarga. Dirinya bekerja banting tulang karena ayahnya yang sudah meninggalkan meninggalkan banyak hutang untuk keluarganya. Mona harus bekerja siang malam demi bisa membayar hutang keluarganya. Sayangnya, Mona harus dipecat oleh istri pemilik restoran karena dikira ingin merebut suaminya.

Setelah dipecat, Mona kebingungan mencari pekerjaan ke sana ke mari untuk tetap bisa membuat keluarganya bahagia. Bertemulah dia dengan Sooga (Boy William), pemilik kedai Martabak yang butuh karyawan agar bisnisnya berjalan lancar. Mona pun bersedia menjadi karyawan dan membantu Sooga untuk membuat sistem untuk kedai martabaknya. Semakin lama, Sooga melihat ada sesuatu yang menarik pada Mona. Ternyata, Sooga jatuh cinta kepada Mona.


Ya, cerita dalam Dimsum Martabakmemang semudah itu. Sebagai film komedi romantis, Dimsum Martabak memang tak perlu menjadi sesuatu yang rumit. Apalagi, intensi dari rumah produksi ini adalah untuk memindahkan penonton televisi ke layar perak. Dengan cerita semudah ini, tentu saja niat dari RA Pictures bisa dikatakan berhasil. Inilah konten yang diinginkan oleh penonton televisi kita selama ini. Mimpi menjadi seorang upik abu yang derajatnya naik karena menemukan seorang pangeran tampan dan kaya raya.

Dengan kisah segenerik ini, Dimsum Martabak sebenarnya masih bisa memuaskan segmentasi penontonnya. Bisa dikatakan bahwa 40 menit pertama dari film ini masih diarahkan dengan baik. Konflik-konflik sederhanya dikemas dengan ajaib dan ditambah pula dengan dialog serba cheesy, Dimsum Martabak sebenarnya masih sangat bisa ditoleransi. Untuk film yang berada di kelasnya, Dimsum Martabak masih digarap dengan cukup baik.

Andreas Sullivan bisa membuat Dimsum Martabak dinikmati oleh penontonnya. Kisah cintanya pas, ditambahi dengan bumbu komedi yang juga tahu tempat dan porsinya. Sehingga, plot ceritanya bisa tersampaikan dengan baik. Begitu pula dengan performa Ayu Ting-Ting yang sebenarnya bisa mengeluarkan sinarnya. Menjadi sosok perempuan damsel in distress yang mungkin karakternya generik tetapi untungnya masih bisa diperankan dengan baik oleh Ayu Ting-Ting.


Tapi sayangnya, bagian terbaik dari Dimsum Martabak hanya bertahan hingga 45 menit pertamanya saja. Setelahnya, Dimsum Martabak penuh akan cabang-cabang cerita yang tak bisa disampaikan dengan baik. Sebenarnya dalam naskah yang ditulis oleh Alim Sudio, sudah menunjukkan intensi untuk menampilkan cabang cerita yang cukup banyak. Hanya saja, Pengarahan dari Andreas Sullivan seperti tak tahu harus menyampaikan semua plotnya dengan benar.

Kesibukan membuat kesenangan di 45 menit pertama ternyata membuatnya terlena untuk harus mengakhiri ceritanya. Paruh akhir dari Dimsum Martabak tampil sangat malas dan menunjukkan konklusi-konklusi ala sinema elektronik yang sudah basi. Performanya pun semakin menurun, dari kisah komedi romantis yang energik menuju ke sebuah  drama mendayu-dayu dengan penyelesaian yang juga semakin ajaib.

Belum lagi dengan pemilihan casting dan penyampaian komedi ala variety show yang ada di televisi yang semakin menunjukkan segmentasi dari film ini sebenarnya. Padahal, seharusnya Dimsum Martabak memiliki potensi untuk setidaknya dinikmati oleh berbagai kalangan. Yang tersisa hanyalah kemewahan-kemewahan setting yang sebenarnya adalah properti pribadi dari Raffi Ahmad. Hal itu pun tak bisa membuat Dimsum Martabak kembali bisa dinikmati oleh penontonnya secara general.


Mungkin dalam berbagai aspeknya, Dimsum Martabak adalah sebuah film generik yang seharusnya memiliki kesempatan untuk bersinar. Sayangnya, tarik ulur dalam konklusinya membuat pace film ini semakin lambat dan belum lagi adegan-adegan yang membuat mata berputar. Untuk target segmentasinya, Dimsum Martabakseharusnya masih bisa memuaskan mereka. Sayangnya, bagi penonton yang general tanpa mengetahui intensi ini, Dimsum Martabak hanyalah sebuah kisah upik abu dan mimpi para penikmat televisi yang usang ditelan waktu.

KUNTILANAK (2018) REVIEW : Potensi Yang Kurang Maksimal


Film horor sedang menjadi genreyang sedang mendapatkan hype sangat besar di perfilman Indonesia. Dimulai dari Danur, Jailangkung, hingga Pengabdi Setan, ketiganya memiliki raihan penonton yang sangat fantastis. Lantas, banyak judul-judul lain yang juga kena getahnya yang setidaknya mendapatkan raihan ratusan ribu penonton. Hal ini akhirnya juga membuat rumah produksi Multivision Plus ikut meramaikan genre ini.

Multivision Plus dulunya pernah memiliki franchise horor yang menjanjikan yaitu trilogi Kuntilanak. Multivision Plus ingin membangkitkan lagi mitos tentang Kuntilanak tersebut untuk ditonton oleh penonton masa kini. Rizal Mantovani adalah juru kunci atas ketiga cerita Kuntilanak yang melibatkan Julie Estelle. Di tahun 2018 ini, Kuntilanakkembali dipanggil dengan juru kunci yang sama tetapi melibatkan artis muda Aurelie Moeremans, Fero Walandouw, dan artis-artis cilik lainnya.

Naskah yang digunakan sebagai dasar pengarahan dari Rizal Mantovani ini ditulis oleh Alim Sudio. Dengan rekam jejak Rizal Mantovani dalam mengarahkan film horor, tentu banyak orang yang meragukan performa Kuntilanak sebagai sebuah film utuh. Sebuah prediksi yang kurang menyenangkan ini sayangnya benar-benar terjadi di film Kuntilanak terbaru ini. Jika harus dibandingkan dengan versi sebelumnya, Kuntilanakini tampil kurang sempurna sebagai sebuah film horor.


Film Kuntilanak terbaru ini memang masih menggunakan mitos yang sama. Bahkan, beberapa nama dan ciri-cirinya pun seperti masih menggunakan benang merah film trilogi Kuntilanak sebelumnya. Secara tulisan, Alim Sudio sebenarnya sudah berusaha untuk memberikan penuturan cerita yang runtut di dalam naskahnya. Problematika utama dari Kuntilanak terbaru ini adalah pengarahan dari Rizal Mantovani yang terasa tak matang.

Kuntilanak sebagai sebuah film horor, tak bisa mengeluarkan taringnya secara maksimal. Film ini tak bisa memberikan sensi ngeri yang harusnya ada di dalam sebuah film horor. Hanya saja sebagai sebuah film, Kuntilanak mampu memberikan cara berceritanya yang runtut meskipun harus banting setir ke genre lain. Berbedanya di film Kuntilanak kali ini adalah bagaimana karakter dari artis-artis cilik yang membuat film ini lebih memiliki cita rasa film dengan genre petualangan.


Kuntilanak terbaru ini menceritakan tentang mitos makhluk ini yang datang dari sebuah rumah tak berpenghuni. Rumah tersebut ternyata bekas dari sebuah keluarga yang anaknya pernah menghilang karena diambil oleh Kuntilanak. Cermin tempat Kuntilanak bersarang ini sayangnya berpindah ke rumah seorang Ibu Rumah Tangga bernama Donna (Nena Rosier). Donna hidup sebagai seorang Ibu yang mengadopsi banyak anak.

Cermin tersebut dibawa oleh Glenn (Fero Walandouw), pacar dari Lydia (Aurelie Moeremans) yang tinggal bersama Donna. Ketika Donna pergi ke luar negeri, anak-anak di dalam rumah tersebut ternyata harus berurusan dengan makhluk astral tersebut. Banyak kejadian-kejadian janggal yang terjadi di rumah tersebut. Mereka diganggu oleh Kuntilanakyang berasal dari rumah tersebut. Hingga suatu ketika, anak-anak kecil tersebut berusaha untuk membuktikan mitos tersebut.


Jika memang intensinya untuk mengubah nuansa film terbarunya agar memiliki perbedaan dengan film sebelumnya, Kuntilanaksebenarnya memiliki potensi untuk menjadi berbeda. Bahkan, bisa menjadi sebuah film horor dengan pendekatan yang lebih segar. Tak dapat dipungkiri bahwa Kuntilanak memiliki referensi seperti Super 8, Stranger Things, atau IT yang memadukan genre supernatural dengan petualangan bersama anak kecil. Jangan asal skeptis, karena menyadur referensi seperti ini bukan berarti langsung menduplikasi.

Kuntilanak bisa saja menjadi sebuah sajian film horor yang segar, terlebih dengan banyaknya film horor yang diproduksi akhir-akhir ini. Sayangnya, Rizal Mantovani tak bisa memanfaatkan potensi itu agar bisa tampil maksimal. Naskah dari Alim Sudio memang masih memiliki beberapa penceritaan yang terkesan tumpang tindih. Bermain baik dalam komposisi dramanya, tetapi naskahnya belum bisa mempadu padankan kedua genre yang ada agar bisa melebur satu sama lain.


Tak sepenuhnya salah dalam penulisan naskah, tetapi Rizal Mantovani juga tak bisa menyampaikan kelemahan dalam naskah dengan pengarahannya yang kuat. Rizal Mantovani yang sudah lama terjun dalam mengarahkan sebuah film horor, Kuntilanak tak bisa menjawab kerinduan penonton untuk ditakut-takuti. Sayang, padahal bagaimana sebuah film horor bisa menakut-nakuti penontonnya adalah amunisi yang harusnya dimiliki.

Tak seperti film sebelumnya, Kuntilanakterbaru ini tak bisa mengantarkan mitos tentang makhluk astral ini dengan cara yang lebih otentik seperti film sebelumnya. Cerita tentang budaya sekte pemanggilan Kuntilanak yang tak lagi lebih detil di film ini, membuat Kuntilanakmenjadi sebuah film horor Indonesia yang generik. Pun, Kuntilanak dalam film ini memiliki tata rias yang kurang bisa menakut-nakuti penontonnya. Padahal cara ini bisa jadi salah satu ilusi bagi penontonnya untuk bisa merasa takut dengan makhluk tersebut.


Dengan berbagai film horor yang ada di Indonesia akhir-akhir ini, Kuntilanak memang masih bisa dikategorikan sebagai film yang dibuat dengan layak. Mulai dari tata suara, sinematografi, warna, dan nilai produksi yang masih bisa dinikmati. Juga, usaha film Kuntilanak terbaru ini yang ingin tampil dengan berbeda ini masih menjadi poin menarik di film ini. Sayang, segala potensinya yang bisa mambuat Kuntilanakini akan terasa segar tak bisa tersampaikan dengan baik.