• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

PETER RABBIT (2018) REVIEW : Adaptasi Buku Klasik dengan Kemasan Masa Kini


Mengadaptasi sebuah buku klasik ke dalam sebuah film tentu tak bisa dilakukan dengan cara yang sembarangan. Tentu, beberapa orang akan meragukan performa film adaptasi dari sebuah buku klasik tersebut. Hal ini terjadi kepada Sony Pictures Animation yang berusaha mengadaptasi buku klasik untuk anak-anak Peter Rabbit. Banyak orang yang meragukan dan mempertanyakan cara Sony Pictures mengadaptasi buku milik Beatrix Potter ketika trailernya muncul. 

Pada akhirnya, Sony Pictures Animation memaknai film adaptasi dari buku klasik ini sebagai sebuah adaptasi bebas yang terikat dengan cerita yang ada di dalam bukunya. Adaptasi yang dilakukan oleh Sony Pictures terhadap Peter Rabbit ini disutradarai oleh Will Gluck yang pernah menangani film-film komedi milik Sony Pictures pula. Pun, film ini dibintangi oleh nama-nama besar seperti Domnhall Gleeson, Rose Bryne, Daisy Ridley, Margot Robbie, dan jangan lupakan James Cordon sebagai Peter Rabbit ini.

Dengan apa yang berusaha ditampilkan oleh Sony Pictures di dalam trailer Peter Rabbit, tentu penonton tak akan berharap apa-apa.  Bahkan ada beberapa orang yang meragukan Peter Rabbit akan bisa tampil memiliki cita rasa klasik yang dimiliki oleh bukunya. Hanya saja, sebagai sebuah film adaptasi bebas dari bukunya, Peter Rabbit tampil di luar dugaan. Meski masih memiliki beberapa kekurangan, Peter Rabbit tampil sangat menghibur penontonnya.


Bukan hanya penonton anak-anak yang menjadi target segmentasi film ini, tetapi juga bagi penonton dewasa yang menemani mereka menyaksikan Peter Rabbit di layar besar. Will Gluck berusaha untuk menyajikan Peter Rabbit tetap pada hakikatnya yang sesuai dengan segmentasi yang tercipta lewat bukunya. Sehingga, Peter Rabbit adalah film keluarga yang tepat untuk disaksikan bersama-sama di saat sedang penat dan membutuhkan hiburan di sela-sela waktu yang sibuk.

Peter Rabbit memang tak mengadaptasi salah satu plot cerita di dalam seri bukunya. Tentu sebagai sebuah film adaptasi bebas, Will Gluck membuat plotnya sendiri untuk Peter Rabbit. Secara cerita, Peter Rabbit memang akan masih memiliki formula yang sama dengan beberapa film yang temanya serupa. Tetapi, Peter Rabbit masih memiliki banyak amunisinya untuk membuat filmnya sebagai sajian film keluarga yang seru untuk disaksikan.


Peter Rabbit ini lebih menceritakan tentang seorang kelinci bernama Peter (James Cordon) yang hidup di sebuah lubang di bawah pohon yang rindang. Musuh terbesar dari Peter adalah Old McGregor yang memiliki perkebunan indah di luar sana. Peter sering sekali berusaha untuk masuk ke dalam kebun tersebut untuk mengambil makanan hasil kebun. Meskipun, dia sering pula untuk selalu kejar-kejaran dengan sang pemilik kebun tersebut.

Hingga suatu ketika, Old McGregor wafat dan Peter beserta ketiga adiknya tentu girang bukan main karena kebun tersebut bisa diambil alih olehnya. Hanya saja, kebahagiaan dari Peter tentu tak bertahan lama. Thomas McGregor mewarisi semua harta milik Old McGregor yang telah wafat. Ternyata, Thomas semakin melindungi kebun yang dia warisi dengan cara yang lebih ganas agar tak lagi dihancurkan oleh binatang-binatang yang ada di sana. Di sinilah, Peter berusaha untuk melawannya.


Secara plot besar, tentu Peter Rabbit arahan dari Will Gluck ini tak memiliki intensi sama sekali untuk mengambil salah satu plot dalam buku cerita yang ada dari Beatrix Potter untuk diadaptasi ke dalam sebuah film. Meski ini akan sangat beresiko bagi kelangsungan filmnya, nyatanya Will Gluck bisa memberikan tindakan preventif agar film Peter Rabbit miliknya tak berjalan terlalu jauh. Plotnya yang sudah pernah ditemui di dalam genre serupa beruntung diarahkan dengan sangat aman dan bahkan sedikit di atas ekspektasi penontonnya.

Peter Rabbit tentu menjadi sebuah sajian yang sangat menyenangkan untuk diikuti sepanjang filmnya. Tanpa adanya usaha untuk memberikan plot yang revolusioner, Peter Rabbit masih bisa memberikan amunisi tawa yang sangat besar baik kepada penonton muda ataupun dewasa. Will Gluck masih berhasil memunculkan citarasa film keluarga ke dalam filmnya. Meskipun, Will Gluck harus mengorbankan cita rasa klasik dari Peter Rabbit ini hilang seketika.

Mungkin, ini akan menjadi problematika bagi para penggemar karakter Peter Rabbit yang diciptakan oleh Beatrix Potter. Tetapi, Will Gluck tetap berusaha untuk tak terlalu mengabaikan sumber asli di dalam filmnya. Ada beberapa detil yang ada di dalam buku milik Beatrix Potter yang berusaha ditampilkan ke dalam filmnya. Memberikan sebuah penghormatan kepada karakter-karakter yang ada di dalam buku klasiknya dengan kemasan yang lebih mengikuti zaman.


Memberikan unsur friend-enemy bak Home AloneTom & Jerry, dan film-film serupa, Peter Rabbit dipresentasikan sebagai sebuah film yang lebih penuh akan petualangan. Pun, film ini memiliki amunisi lain dari desain karakter di dalam filmnya yang akan membuat penonton bisa merasa gemas dengan Peter Rabbit dan ketiga saudarinya. Meski di tengah film, Peter Rabbit memang tak berjalan mulus karena ada beberapa subplot yang terlalu menumpuk sehingga penyelesaiannya pun tak bisa halus.

Tetapi, Will Gluck berusaha untuk tetap menyuntikkan amunisi hati yang sangat besar di dalam Peter Rabbit. Sehingga, meski filmnya ditutup dengan tak sempurna, masih ada rasa emosional yang bisa dirasakan oleh penontonnya sehingga membuat hati hangat. Dengan begitu, Will Gluck bisa menetapkan film adaptasinya ini sebagai sebuah film keluarga yang menyenangkan tetapi memiliki hati besar untuk menyampaikan pesannya tentang keluarga. Meskipun harus tetap mengorbankan citarasa klasik tersebut, setidaknya 95 menit milik Peter Rabbit masih sangat bisa dinikmati.

SEKALA NISKALA (2018) REVIEW : Sebuah Bentuk Seni Tentang Kehilangan.


Membuat sebuah film dengan pesan dan penuturan yang berat secara simbolik memang tak bisa sembarangan. Tak serta merta memiliki plot cerita yang tak utuh, pengambilan gambar longtake, serta minim akan musik membuat sebuah film bisa begitu saja dikategorikan sebagai film arthouse. Tentu, sebuah seni seharusnya bisa diinterpretasi oleh penontonnya. Begitu pula dengan film-film arthouse yang seharusnya memiliki pesan dengan interpretasi yang bebas tetapi tak berusaha menyampaikan pesan yang sangat eksklusif.

Narasi film-film seperti tentu akan sangat berbeda dengan sebuah film pada umumnya. Seorang penonton harus lebih aktif untuk memaknai apa yang berusaha ditampilkan lewat pesan visualnya. Lantas, seorang sutradara pun juga harus tahu mengolah pesan simbolik tersebut dengan kemasan visual yang tak sembarangan. Sebuah film serupa hadir dari sosok Kamila Andini berjudul Sekala Niskala yang belakangan ini ramai dibicarakan orang.

Dengan judul internasionalnya, Seen And The Unseen, film ini berhasil mendapatkan penghargaan di Berlin International Film Festival. Tentu dengan didapatkannya penghargaan ini akan daya tarik sendiri untuk penonton Indonesia. Sekala Niskala diputar secara terbatas di Indonesia di pertengahan Maret ini. Meski begitu, ada beberapa nama terkenal yang ikut andil di dalam filmnya. Mulai dari Ayu Laksmi dan Happy Salma. Serta pemain cilik baru yang ternyata performanya tak bisa diremehkan begitu saja.


Sekala Niskala tentu bukan sebuah film yang bisa diterima oleh banyak orang. Film ini akan sangat memiliki jangkauan penonton yang lumayan terbatas dibanding dengan film-film pada umumnya. Sebagai sebuah tontonan alternatif, Sekala Niskala tentu sangat menitikberatkan plotnya kepada narasi visual. Kenikmatan menonton Sekala Niskala tentu dengan cara memaknai secara aktif visual-visual simbolik yang ada di dalam filmnya.

Sebagai sebuah film tontonan alternatif, Sekala Niskala mampu menyampaikan pesannya dengan baik. Berusaha menggarisbawahi sebuah pesan utama tentang kehilangan dan kematian sehingga penonton masih mengerti tema besar apa yang ada di dalam filmnya. Bagi penonton yang bisa menerima pesan-pesan simbolik ini, tentu Sekala Niskala adalah sebuah perjalanan spriritual bagi mereka yang ingin memaknai lebih tentang kehilangan.


Ini adalah sebuah kisah bagi mereka yang kehilangan. Saudara kembar bernama Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) dan Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih) yang hidup berdua bersama keluarga kecilnya. Mereka hidup bahagia dan saling melengkapi satu sama lain sebagai seorang saudara hingga suatu saat Tantra diserang sebuah penyakit yang membuatnya semakin melemah. Mengetahui hal ini, tentu Tantri merasa sedikit kehilangan.

Tak ada lagi yang diajak Tantri untuk bermain bersama, tak ada lagi yang mengurus Tantri saat hanya tinggal berdua saja di rumah. Tak ada lagi teman untuk Tantri membagikan sebuah hidangan dari telur karena Tantri hanya suka di bagian putihnya saja. Tetapi Tantri masih merasa bahwa Tantra masih berada di sampingnya. Menemaninya bermain dan menceritakan kisah hidup Tantra yang dipenuhi dengan narasi penghormatan tentang kehilangan.


Ini adalah sebuah film penuh pesan visual yang tampil tanpa ada pretensi apapun selain memberikan pengertian bahwa film bisa dikategorikan sebagai sebuah seni. Hal inilah yang membuat Kamila Andini menjadi seorang sutradara yang memiliki sensitivitas berbeda karena berhasil mengemas film ini dengan arahan yang tepat. Memiliki pemahaman yang benar tentang membuat sebuah film simbolik tanpa melupakan tugasnya sebagai sutradara untuk membuat Sekala Niskala tetap memiliki satu benang merah utuh di setiap adegannya.

Menyelipkan unsur budaya bali tentang Sekala yang artinya dunia nyata, dan Niskala yang artinya dunia gaib. Kamila Andini berusaha mentranslasikan kehidupan di antara dua dunia tersebut.  Memberikan analogi-analogi tentang kehidupan lewat pesan simbolik tetapi memiliki keterkaitan dengan benang utama dalam filmnya dan hal inilah yang sudah jarang ada dalam beberapa film Indonesia alternatif di beberapa tahun terakhir ini. Menyelipkan perumpamaan tentang kehilangan tersebut lewat medium benda yaitu telur. Benda ini adalah cara Kamila Andini menekankan tentang bagaimana keseimbangan yang ada di dalam sebuah kehidupan.

Sekala Niskala memberikan pesannya lewat benda telur yang selalu ditekankan di dalam beberapa adegannya. Visualnya simbolik, menekankan bahwa Tantra dan Tantri adalah telur yang sering mereka konsumsi. Mereka terlahir dari satu sel telur yang sama, tetapi terdiri dari insan yang berbeda tetapi tanpa adanya salah satu dari mereka akan ada sesuatu yang tak seimbang dan tak utuh. Inilah yang berusaha Kamila Andini sampaikan kepada penontonnya dalam film Sekala Niskala. Meresapi artinya kehilangan setelah menjadi sebuah bagian yang seharusnya menjadi satu.


Dan ketika Tantra dan Tantri tak lagi bisa menikmati hari-harinya bersama tentu ini adalah sebuah cara Kamila Andini memahami mereka yang sedang kehilangan. Sekaligus menjadi cara untuk menyelami sebuah mitos tentang kematian dengan cara-caranya yang unik. Memberikan visualisasi secara teatrikal yang memberikan arti baru tentang kematian yang ternyata bisa diartikan sebagai sebuah kelahiran baru bagi mereka yang sedang mengalaminya. Inilah sebuah pesan bagi Tantri bahwa sebenarnya dia harus merelakan.

Bagaimana pesan simbolik ini memiliki dipresentasikan dengan kemasan yang sederhana tetapi cantik. Visualnya tak berusaha menunjukkan keindahan yang semu, tetapi sinarnya mampu memancarkan bahwa Sekala Niskala adalah pengalaman spiritual secara visual yang sangat meneduhkan hati. Dengan hal inilah, Sekala Niskala membuktikan bahwa menjadi sebuah film yang puitis itu seharusnya tak memiliki pretensi apapun untuk menjadi berbeda. Ini adalah sebuah bentuk seni bagi mereka yang ingin memaknai lebih tentang kehilangan dan kematian.

RED SPARROW (2018) REVIEW : Membangun Tensi dan Karakterisasi dengan Naskah yang Dibatasi


Setelah berkolaborasi dalam film trilogi The Hunger Games, nampaknya sutradara Francis Lawrence memiliki aktris kesayangan. Jennifer Lawrence kembali berkolaborasi dengan sutradara Francis Lawrence dalam film terbarunya yang diadaptasi dari sebuah novel. Proyek film terbaru mereka ini diadaptasi dari buku yang ditulis oleh Jason Matthews berjudul Red Sparrow. Jennifer Lawrence menjadi sosok mata-mata Rusia dan hal ini  tentu adalah hal yang menarik untuk dinantikan.

Adaptasi dari buku Red Sparrowke dalam naskah ini ditulis oleh Justin Haythe yang pernah menuliskan naskah di beberapa film. Pun, tak hanya Jennifer Lawrence saja, ada beberapa nama besar yang juga ikut andil di dalam proyek adaptasi Red Sparrow ini. Mulai dari Joel Edgerton, Charlotte Rampling, hingga Jeremy Irons ikut meramaikan film yang bertemakan mata-mata rusia ini. Dengan trailer yang seduktif, tentu Red Sparrow akan semakin menarik untuk dinantikan.

Di tangan 20th Century Fox, film adaptasi dari novel tentu punya riwayat yang tidak cukup baik. Mulai dari The Maze Runner hingga Miss Peregrine tentu memiliki performa yang tak bisa maksimal. Tentu saja ini adalah sebuah lampu kuning bagi Francis Lawrence yang ingin mengadaptasi sebuah buku ke dalam film seperti Red Sparrow ini. Sebagai sebuah film mata-mata, Red Sparrowtampil elegan tetapi penceritaannya tak sempurna akibat naskah adaptasi yang tak begitu diperhatikan.


Ini menceritakan tentang sosok perempuan yang awalnya penari balet bernama Dominika Egorova (Jennifer Lawrence) yang sangat berbakat. Tetapi, karirnya harus hancur ketika saat tampil di atas panggung, rekannya menyabotase penampilannya yang mengakibatkan dirinya mengalami patah tulang. Dominika sangat terpukul dengan kejadian ini dan menganggap dirinya sudah tidak punya harapan lagi. Dengan kejadian ini, Dominika yang sangat kesal ingin membalas dendam.

Dominika berusaha menghancurkan rekan baletnya dengan sangat sadis. Hal ini tentu membuat Dominika panik dan takut. Sehingga pada akhirnya, Dominika harus masuk ke dalam sebuah pelatihan rahasia oleh pamannya sendiri dan program ini dinamai Red Sparrow. Di sana dia diajari untuk menjadi seorang mata-mata negara dengan cara yang lain. Menggunakan seluruh aset yang ada di dalam tubuhnya untuk dijadikan senjata ampuh untuk melakukan investigasi.


Dengan cerita-cerita seperti ini, sebenarnya Red Sparrow memiliki potensi untuk mempunyai performa yang sangat unggul. Terlebih, Red Sparrow ini memiliki Jennifer Lawrence sebagai kunci utama di dalam filmnya. Pun, didukung oleh kekuatan pengarahan dari Francis Lawrence yang sebenarnya tak bisa diremehkan begitu saja. Tetapi, Red Sparrow pada akhirnya harus terjebak dengan beberapa kelemahan dalam penulisan naskahnya.

Sebagai sebuah film yang penuh akan teka-teki, Justin Haythe tak bisa menerjemahkan setiap misteri yang ada di dalam buku milik Jason Matthews. Ada beberapa informasi yang tak bisa disampaikan dengan baik karena naskahnya sendiri tak bisa menjelaskan hal itu. Efeknya, kepingan-kepingan teka-teki itu tak bisa tersusun dengan baik dan akan menimbulkan berbagai pertanyaan bagi penonton. Efek lainnya adalah timbul sebuah konklusi yang sangat lemah dalam film-film serupa.

Sehingga, yang sangat membantu performa dari Red Sparrow ini secara keseluruhan adalah pengarahan dari Francis Lawrence yang sangat kuat. Dengan naskah yang begitu lemah, Francis Lawrence berhasil merajut setiap menitnya dengan sangat baik. Membangun perkembangan karakter dan atmosfir yang mencekam di dalam Red Sparrow untuk menutupi lubang-lubang yang ada dalam setiap informasinya. Ini tentu akan sangat membantu performa dari Red Sparrow terlebih ketika durasinya pun mencapai 136 Menit.


Francis Lawrence membangun setiap ceritanya perlahan sehingga ini akan memunculkan efek ke dalam ceritanya yang memiliki tempo lambat. Temponya yang lambat ini digunakan oleh Francis Lawrence sebagai cara untuk mengenalkan karakter dan konfliknya agar dekat kepada penontonnya. Pun, tempo lambatnya inilah yang menjadi kekuatan Red Sparrowdalam membangun setiap tensinya yang semakin mencekam. Tetapi, ini tentu akan berdampak lain bagi orang yang tak suka dengan film tempo lambat karena tentu hal ini akan diasumsikan sebagai film yang membosankan.

Tak ada sekuens aksi yang sangat besar muncul di dalam film Red Sparrow. Semua intensitasnya muncul dari penuturan Francis Lawrence di dalam setiap dialognya. Tentu, hal ini tak akan mujarab apabila Jennifer Lawrence tak bisa memberikan performa yang luar biasa. Dirinya mampu menjadi sosok mata-mata yang sangat meyakinkan. Jennifer Lawrence mampu memberikan range emosi yang sangat besar sehingga penonton pun ikut berhasil termakan tipu daya Jennifer Lawrence yang berperan sebagai mata-mata di dalam film ini.

Red Sparrow menjadikan tema seduktifnya sebagai cara menunjukkan kepada penontonnya tentang perempuan dan juga tubuhnya. Perempuan bisa secara bebas menggunakan tubuhnya atas itu masih dalam kemauan dari alam sadarnya sendiri. Tubuh perempuan pun bisa sebagai senjata yang ampuh untuk memanipulasi pemikiran laki-laki. Secara tak langsung hal ini mewakili bagaimana perempuan punya kontrol besar atas tubuhnya untuk berusaha menumpas pemikiran-pemikiran konvensional laki-laki yang selalu memandang tubuh perempuan sebagai objek.


Sehingga, tema seduktif di dalam film ini bukan hanya sebagai sebuah tambahan tak berarti untuk memuaskan mata lelaki. Dengan caranya, Red Sparrow membuktikan sekali lagi tentang kedigdayaan perempuan dalam realita yang menjadi krisis dan urgensi untuk muncul dalam sinema akhir-akhir ini. Meski  masih memiliki misteri yang tak bisa ditangani dengan baik, setidaknya 136 menit Red Sparrow ini masih sangat bisa dinikmati oleh mereka yang suka dengan tempo dan tema seperti ini.

LADY BIRD (2018) REVIEW : Memorabilia Masa Remaja yang Bersemangat



Menggambarkan sebuah pengalaman tentang transisi remaja mungkin sudah pernah ada di dalam banyak film. Tema-tema seperti ini tentu sudah bukan lagi sebuah hal yang baru bagi perfilman Hollywood. Dinamika remaja yang terus berubah-ubah setiap waktu ini tetap saja menjadi topik yang masih sering dibicarakan apalagi dalam ranah tontonan alternatif Hollywood. Hal ini pula yang sedang berusaha disampaikan lewat Greta Gerwig dalam debut penyutradaraannya.

Greta Gerwig berusaha untuk membuat sebuah catatan kecil dalam bentuk visual tentang dirinya dan kota kecilnya dalam film Lady Bird. Naskah dari film Lady Bird ini juga ditulis sendiri oleh Greta Gerwig sehingga tentu film ini akan terasa sangat personal baginya. Diperankan oleh aktris yang tak main-main yaitu Saoirse Ronan dengan ditemani oleh nama-nama terkenal seperti Laurie Metcalf, Timothee Chalamet, dan beberapa nama lain.

Remaja tentu punya banyak cerita, dinamika kehidupan mereka pun masih sangat bergairah. Bahkan sering kali semangat mereka terlalu meluap untuk selalu membenci kehidupan mereka. Greta Gerwig berusaha untuk menampilkan dinamika remaja seperti ini di dalam Lady Bird. Keinginan seorang remaja yang terkadang terlalu muluk ini terwakili dengan baik lewat karakter Christine yang diperankan oleh Saoirse Ronan.


Digarap dengan personal bukan berarti Lady Bird pada akhirnya tak bisa dinikmati dengan jangkauan yang lebih luas. Lady Bird tentu bisa mewakili bagi mereka yang pernah mengalami hal serupa. Ingin merasakan indahnya dunia tanpa memperhatikan kondisi yang ada di sekitar mereka. Menjadi remaja yang selalu merasa hidupnya serba kekurangan dan membencinya karena diri mereka terlalu egois untuk mengakui dan bersyukur atas apa yang mereka punya.

Greta Gerwig bisa menyajikan catatan kecil tentang hidupnya ini sebagai memorabilia bagi siapa saja yang pernah remaja saat menonton film ini. Rasa jujur dan sederhana inilah yang berusaha ingin ditunjukkan oleh Greta Gerwig di dalam debut penyutradaraannya. Emosi dalam Lady Bird ini sangat kuat tetapi tak berusaha terlihat meletup-letup inilah yang akan jarang ditemui di dalam film bertema serupa. Sehingga tak salah apabila Greta Gerwig patut untuk dinominasikan dengan sutradara lainnya dalam Oscars 2018 ini.


Menceritakan tentang seorang remaja perempuan bernama Christine McPherson (Saoirse Ronan) yang sedang mengalami transisi di dalam kehidupan remajanya. Di akhir tahun sekolahnya, Christine ingin melanjutkan sekolah ke universitasnya memiliki lingkungan dengan jangkauan yang lebih luas. Tetapi sayangnya, hal ini tidak disetujui oleh sang ibu, Marion McPherson (Laurie Metcalf). Tentu saja ini membuat Christine harus sering berdebat hebat dengan Ibunya setiap saat.

Meskipun problematika utamanya adalah kondisi keluarga mereka yang serba kekurangan, Christine tetap seorang remaja perempuan yang tak mau mengalah. Perempuan yang biasa menyebut dirinya Lady Bird ini tetap memaksakan kehendaknya untuk bisa bersekolah di daerah yang lebih memiliki budaya. Berbagai cara dilakukan oleh Christine agar dia mendapatkan rekomendasi untuk bersekolah di tempat yang dia inginkan.


Lady Bird bisa menjadi sebuah gambaran tentang kehidupan masyarakat menengah ke bawah dan cara-cara mereka berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Betapa mereka sangat memimpikan kemapanan yang ternyata harus bertabrakan dengan realita mereka sendiri. Sehingga, dalam film Lady Birdini bisa menjadi sebuah kontemplasi bagi mereka yang ada di dalam kelas tersebut untuk selalu bisa bersyukur dengan keadaan. Tetapi mereka pun tetap bisa berusaha untuk mewujudkan mimpi tentang kemapanan mereka menjadi nyata.

Pun, Lady Bird adalah sebuah surat cinta bagi mereka yang sedang berusaha bermigrasi ke tempat yang dirasa lebih baik. Pengarahan dari Greta Gerwig bisa menangkap maksudnya tanpa ada pretensi apapun ataupun memiliki pesan-pesan ambisius di dalam filmnya. Inilah yang membuat Lady Bird punya citarasa yang berbeda dibandingkan dengan film-film bertema serupa. Lady Bird berusaha menyajikan apa adanya dinamika kehidupan remaja yang terkadang emosinya pun masih tak stabil.

Hal ini tergambar jelas dengan bagaimana performa Saoirse Ronan sebagai Christine “Lady Bird” McPherson. Saoirse Ronan mengeluarkan pesona terbaiknya dengan menjadi sosok remaja labil dengan range emosi yang sangat luas. Perpindahan karakter Christine yang sangat cepat membuat penontonnya merasa bahwa mereka memang sedang benar-benar menyaksikan dinamika kehidupan remaja yang sebenarnya di sekitar mereka.


Hal ini pun didukung oleh performa yang sangat luar biasa dari Laurie Metcalf yang mampu menerjemahkan arti pemeran pendukung dengan baik. Laurie Metcalf berhasil meyakinkan penonton bahwa dirinya adalah Ibu asli dari Saoirse Ronan. Memerankan karakter yang dapat mengontrol pemeran utamanya tanpa perlu harus berusaha mendominasi. Kedua pemeran inilah yang juga menjadi kunci utama dari presentasi Lady Bird selama 94 menit.

Greta Gerwig punya sensitivitasnya sebagai seorang sutradara yang mampu membuat filmnya yang sederhana ini bisa menempel di benak penontonnya. Greta Gerwig menyalurkan emosi dalam hatinya tentang kerinduannya akan kota kelahirannya dengan sangat baik kepada penontonnya. Sehingga, di akhir film, penonton akan diberikan sebuah perjalanan montage kecil tentang kota kelahiran Christine yang sederhana namun berhasil memberikan dampak emosional yang sangat luar biasa besar.


Sehingga pada akhirnya Lady Birdtentu bisa jadi sebuah catatan kecil bagi mereka yang jauh dengan rumah asli mereka. Digambarkan dengan berbagai cara yang sangat menyentuh dan komedi-komedi sarkastik yang muncul di saat-saat yang tepat. Pun, Lady Bird juga bisa menjadi sebuah memorabilia masa remaja yang penuh akan rasa keegoisan yang meluap-luap dan semangat yang menggebu-gebu untuk meraih apa yang diinginkan. Juga, masa remaja yang penuh akan jatuh bangun dalam menjalani hari-hari.

YOWIS BEN (2018) REVIEW : Bahasa Jawa Timuran, Bahasan Tetap Universal.


Budaya jawa timuran dalam sebuah film memang bukan lagi hal baru. Ada beberapa film yang setting jawa timurnya pun kental. Yowis Ben, film arahan dari Fajar Nugros yang berkolaborasi dengan Bayu Skak ini terlihat mengasyikkan. Bukan sekedar karena filmnya yang menggunakan bahasa jowoan, tetapi lebih karena trailernya yang terlihat menarik. Pun, lebih menarik lagi ketika ada nama Bayu Skak yang ikut membantu Fajar Nugros sebagai sutradara.

Selain itu, naskah dari Yowis Ben pun ditulis sendiri oleh Bayu Skak. Trailernya menarik tetapi tak disangka bahwa Yowis Ben bisa menjadi sebuah film yang mendatangkan jumlah penonton yang cukup banyak. Dengan kedekatan budaya, tentu saja Yowis Bensangat menarik penonton di daerah jawa timur mulai dari Surabaya, apalagi Malang yang setting filmnya pun berada di sana. Tentu ini adalah sebuah fenomena menarik dalam perfilman Indonesia.

Tetapi, akan masih banyak penonton yang meragukan bagaimana performa Yowis Ben secara utuh. Nama Bayu Skak tentu menjadi taruhan serta alasan lain bagi mereka yang tak dekat dengan budayanya untuk hadir menonton film Yowis Ben ini. Ketenaran Bayu Skak di media sosial tentu menjadi keunggulan sendiri bagi Yowis Ben untuk melakukan promosi dan mendatangkan jumlah penonton. Tetapi, kedekatan secara budaya ini adalah kata kunci bagaimana Yowis Ben bisa sangat sukses.


Kesuksesan yang didapatkan oleh Yowis Ben ini untungnya masih selaras dengan bagaimana 100 menit dari film ini dikemas oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak. Yowis Ben memiliki kekuatan utama dalam bahasa jawa timurannya sebagai gong utama semua celotehan komedinya. Tak bisa dipungkiri bahwa bahasa lokal inilah yang menjadi keistimewaan dari Yowis Ben. Terlebih, sebenarnya Yowis Ben tak memiliki sesuatu yang baru di dalam genre-nya untuk ditawarkan kepada penontonnya.

Yowis Ben sangat menggantungkan dirinya dengan kedekatan budaya lokal yang sangat kental. Hal ini mungkin tak bisa sepenuhnya bisa membuat penonton yang tak kenal budaya tersebut akan mendapatkan efek yang sama dengan yang sudah kenal dengan budaya tersebut. Tetapi, Fajar Nugros dan Bayu Skak setidaknya sudah memberikan caranya sendiri untuk mengemas film Yowis Ben agar tetap bisa dinikmati setiap orang.


Yowis Ben menceritakan tentang seorang remaja sekolah menengah atas bernama Bayu (Bayu Skak) yang masih saja terjebak problematika zaman now yaitu popularitas. Bayu yang hidup bersama Ibunya yang berprofesi sebagai penjual nasi pecel membuat Bayu dikenal sebagai Pecel Boy. Ini karena Bayu sering membantu ibunya berjualan nasi pecel kepada teman-temannya di sekolah. Hal inilah yang membuat Bayu berpikir untuk memperbaiki reputasinya di sekolah.

Bersama dengan teman dekatnya,  Doni (Joshua Suherman), Bayu memutuskan untuk membuat band yang bisa mengangkat popularitasnya di sekolah. Ini juga menjadi alasan agar Bayu bisa mendekati cewek yang dia taksir di sekolah bernama Susan (Cut Meyriska). Akhirnya bertemulah Bayu dan Doni dengan Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim). Mereka menamai band mereka menjadi Yowis Bendan beberapa videonya berhasil menjadi viral.


Plot ceritanya tak ada yang spesial, Yowis Ben menggunakan pakem dan tema yang sama dengan beberapa film remaja yang ada. Sehingga, memang bagi yang sudah pernah menonton film dengan genre serupa, Yowis Ben tak akan menawarkan sesuatu yang baru. Tetapi, hal tersebut tak semata-mata membuat Yowis Ben tak bisa menjadi sajian yang menarik. Pintarnya Fajar Nugros dan Bayu Skak mengemas sesuatu yang usang itu sehingga memiliki daya tariknya yang baru.

Memasukkan bahasa lokal sebagai injeksi daya tarik sekaligus sorotan utama dalam film ini tentu bukanlah perkara mudah. Celotehan-celotehan bahasa jawa timuran ini adalah kekuatan utama dalam porsi komedinya dan ini harus punya ketelitian agar tak timbul adegan yang jatuhnya menganggu. Bayu Skak dalam naskahnya memiliki ketelitian itu di dalam Yowis Ben. Pun, bahasa lokal ini tak hanya sebagai dialognya saja, tetapi juga bahasa dalam lagu yang dimainkan oleh para karakternya ini berhasil menjadi cocok di kuping penontonnya.

Yowis Ben berhasil memberikan gambaran tentang dinamika remaja zaman sekarang yang sangat mempedulikan popularitas apalagi di dunia maya. Konflik inilah yang perlu digarisbawahi bahwa semua remaja di belahan provinsi manapun ternyata memiliki konflik yang sama. Pengikut di akun media sosial menjadi momok yang penting bagi perjalanan hidup remaja zaman sekarang. Tetapi, mereka tak benar-benar tahu apa yang didapatkan setelah sangat mempedulikan persona yang mereka tampilkan di dunia maya. Inilah yang membuat Yowis Ben bisa dinikmati oleh semua budaya.


Tetapi, tak bisa dipungkiri pula bahwa pentingnya penggambaran dinamika remaja zaman sekarang ini tak bisa tersampaikan dengan sempurna. Yowis Ben mengorbankan konflik ini kepada subplot lain tentang kekeluargaan dan cinta-cintaan yang pada akhirnya membuat Yowis Ben tak memiliki penceritaan yang baik. Beberapa adegan memiliki tempo yang melambat dan plot mereka menjadi saling tumpang tindih dan diselesaikan dengan secepat mungkin.

Performa Yowis Ben pada akhirnya memang tak bisa sempurna karena beberapa minor yang ada di dalam filmnya. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Yowis Ben masih memiliki beberapa hal yang bisa dinikmati oleh penontonnya. Film ini memang sangat bertumpu kepada bahasa lokalnya sebagai kekuatan utama untuk meluncurkan punchline komedi yang mengundang tawa. Meski akan ada beberapa yang meleset bagi mereka yang tak dekat dengan budayanya, setidaknya Yowis Ben sudah berusaha menjadi sajian yang universal lewat konfliknya.

EIFFEL IM IN LOVE 2 (2018) REVIEW : Kisah Cinta Pasangan Tak Sempurna Yang Manis


Kedatangan produk-produk nostalgia ke layar lebar ini memang telah menjadi tren di perfilman Indonesia. Nyatanya, amunisi seperti ini adalah sebuah senjata yang tepat guna untuk mendatangkan banyak penonton. Terlebih ketika Ada Apa Dengan Cinta? 2 berhasil meraup 3,5 juta penonton dan berbagai rumah produksi pun berlomba-lomba untuk mencari amunisinya mengembalikan memori lama penonton. Hal ini yang dilakukan oleh Soraya Intercine Films di tahun 2018.

Kisah cinta Adit dan Tita ini memang pernah menjadi salah satu box office hit di Indonesia kala itu. Eiffel I’m In Love menjadi amunisi utama dari Soraya Intercine Films untuk mengembalikan memori penontonnya yang ingin tahu seperti apa mereka sekarang. Sebenarnya, jika ditilik lebih lama lagi, Eiffel I’m In Love sudah memiliki lanjutan ceritanya dengan cast yang tentu saja berbeda lewat Lost in Love. Tetapi, film tersebut dianggap sebagai sebuah angin lalu dan Soraya Intercine Films tetap memutuskan untuk membuat sekuel dari kisah cinta Adit dan Tita.

Cast dari film ini masih tetap sama yaitu Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Hanya saja, Eiffel I’m In Love 2 kali ini memiliki pilot yang berbeda. Rizal Mantovani kali ini memegang kendali mau di bawa ke mana kisah cinta Adit dan Tita kali ini. Tak bisa dipungkiri mungkin banyak orang yang mulai ragu dengan bagaimana Rizal Mantovani mengarahkan kisah cinta Adit dan Tita kali ini. Hal ini dikarenakan beberapa kail Rizal Mantovani sering meleset dalam mengarahkan sebuah film.


Beruntungnya, Eiffel I’m In Love 2 masih memiliki nafas yang sama dengan film sebelumnya. Mungkin, Eiffel I’m In Love 2 tak menawarkan sesuatu yang baru di dalam filmnya. Plot ceritanya masih saja memiliki unsur klise film cinta-cintaan yang ada. Tetapi, Eiffel I’m In Love 2 berhasil memainkan perannya sebagai sebuah film sekuel. Ada konsistensi dan perkembangan setiap karakternya yang membuat Eiffel I’m In Love 2 ini tampak sangat hidup di durasinya selama 115 menit.

Eiffel I’m In Love 2 memang sebagai sebuah film utuh tak bisa tampil secara sempurna. Tetapi, kedigdayaan film ini tampil karena bagaimana kepiawaian naskah yang ditulis oleh Donna Rosamayna ini berhasil merajut kisah cinta Adit dan Tita tampil manis. Menghidupkan dan mempertahankan karakter Adit dan Tita yang sudah terbentuk di film pertamanya di dalam film keduanya. Tetapi, juga memberikan sedikit gubahan dari dalam karakternya yang memberikan relevansi.


Ini dia kisah Adit dan Tita yang memiliki rentang 12 tahun dari film pertamanya. Tita (Shandy Aulia) sudah berhasil menyelesaikan sekolahnya dan menjadi dokter hewan. Tetapi, di umurnya yang sudah tak lagi muda, Tita memiliki krisis. Di saat semua teman-teman seusianya sudah memiliki suami, Tita masih saja sendiri karena Adit (Samuel Rizal) tak segera melamarnya. Tita pun mulai sedih apalagi jika diingat bahwa mereka masih saja sering bertengkar karena masalah-masalah sepele.

Lalu, ada kabar bahwa Tita dan keluarganya harus pindah sementara ke Paris. Tita pun sangat bahagia karena pada akhirnya dia bisa dekat dengan Adit. Tetapi, dekat dengan Adit bukan berarti masalah ketidakpastian akan hubungan mereka berakhir begitu saja. Adit dan Tita semakin sering ribut tiap hari di saat sering bertemu. Tita pun merasa bahwa Adit sudah tak lagi sayang dengannya dan masalah-masalah lain pun muncul dalam hubungan mereka.


Kisah cinta Adit dan Tita memang tak selalu mulus, begitupula dengan kemasan yang ada di dalam film Eiffel I’m In Love 2. Beberapa bagian di dalam film ini memang berjalan tak mulus apalagi dengan durasi yang mencapai 115 menit. Konflik yang terjadi di dalam film ini memang tak banyak, tetapi memiliki perjalanan yang cukup panjang. Efeknya, Eiffel I’m In Love 2 memiliki tempo yang melambat di pertengahan filmnya.

Naskah yang ditulis oleh Donna Rosamayna ini memang seharusnya bisa membuat Eiffel I’m In Love 2 menawarkan cita rasanya sendiri sebagai sebuah film drama romantis. Banyak momen-momen manis yang tergambar dengan baik dibantu oleh pengarahan oleh Rizal Mantovani. Tetapi sayangnya, Rizal Mantovani tak bisa secara signifikan memberikan kekuatan untuk mendukung naskah yang sudah baik-baik ditulis dengan rapi.


Muncul beberapa bagian di dalam filmnya yang tak bisa mendukung plot cerita utamanya. Beberapa adegan pun muncul dengan transisi yang tak mulus dan memberikan suasana canggung yang tak mendukung. Terutama ketika plot cerita itu harus digerakkan oleh karakter-karakter pendukung selain Tita dan Adit. Inilah yang menjadi kendala utama dari Eiffel I’m In Love 2. Tak ada pemain yang bisa memiliki performa yang sama dengan Shandy Aulia dan Samuel Rizal. Entah, apakah ini menjadi tujuan utama dari sekuel ini karena performa mereka sangat mirip dengan film pertamanya.

Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Eiffel I’m In Love 2 punya banyak asupan adegan manis yang bisa membuat penonton terbawa arus suasana yang ada. Cita rasa manis itu didukung dengan tone warna pastel dari filmnya dibalut dengan kemegahan visual dari Yunus Pasolang. Pun, dengan lagu serta musik dari Anto Hoed dan Melly Goeslow yang juga mumpuni mendukung suasana romantis kisah Adit dan Tita di layar perak.


Dengan adanya asupan-asupan adegan manis di dalam Eiffel I’m In Love 2, film yang dirilis di bulan kasih sayang lalu ini sangat pas ditonton bersama pasangan. Pun, bagi mereka yang ingin kembali merasakan sensasi nostalgia kisah cinta Tita dan Adit 12 tahun silam. Dengan konsistensi karakterisasinya dan perubahan kedewasaannya yang mengikuti zaman, tentu hal ini membuat penonton yakin bahwa pasangan Tita dan Adit ini nyata dan begitu pula cinta kasih mereka.

BLACK PANTHER (2018) REVIEW : Genre Superhero dan Urgensinya Tentang Representasi dalam Media


Menjajaki fasenya yang semakin dekat dengan akhir dari fase ketiganya, Marvel menawarkan sebuah representasi lain dari sosok manusia super. Berasal dari manusia super yang kedatangannya hanya muncul sebagai cameo di dalam Captain America : Civil War, Black Pantherpada akhirnya dikagumi oleh banyak orang. Tentu, tak sedikit orang yang menginginkan superhero yang masih dalam kategori baru ini memiliki filmnya sendiri.

Maka, untuk menyanggupi kemauan penonton, Black Panther hadir memiliki filmnya sendiri untuk disaksikan oleh banyak orang di dunia. Menggaet sutradara handal yang pernah mengarahkan film-film kecil seperti Fruitvale Station dan Creed, Ryan Coogler. Tentu, Black Panther tak hanya sekedar film yang hadir sebagai kemauan Marvel mengenalkan produk superhero baru dalam ranah sinematik. Tetapi juga sebagai jawaban atas representasi yang ada di dalam film-film serupa di Hollywood.

Minimnya representasi yang tepat atas kaum people of color, menjadikan Black Panther sebagai sebuah mega hit blockbuster yang rilis di bulan Februari dengan pencapaian yang sangat fantastis. Mendulang sukses dalam segi kuantitas ternyata juga berbanding lurus dengan kualitas yang dihasilkan oleh Ryan Coogler di dalam film Black Panther. Film ini mendapatkan pujian yang sangat luar biasa baik dari kritikus maupun dari pencinta film.


Black Panther main tak hanya dalam memuaskan ranah politik minoritas yang menjadi isu terkuat di luar sana. Sejatinya, sebagai sebuah film manusia super, Black Panther benar-benar memberikan sebuah hal yang baru di dalam filmnya. Tak sekedar menunjukkan Black Panther sebagai sosok superheroyang baru, tetapi juga memberikan pendekatan baru dalam kemasannya. Sehingga, Black Panther tentu adalah sebuah euforia bagi pecinta adaptasi komik manusia super sekaligus sebuah pesta representasi yang tepat.

Tak seperti Thor : Ragnarok, Spider-Man : Homecoming, maupun Guardians of the Galaxy yang hanya mengemas formula usangnya dengan cara mengutak-atik genre-nya, Black Panther bermain jauh daripada itu. Film superhero arahan Ryan Coogler ini memasukkan unsur budaya yang kental sehingga bisa memberikan nuansa yang sangat berbeda di film-film superheroyang ada, bahkan untuk jajaran film Marvel sendiri. Meskipun, sebenarnya Black Panther tetap bermain di ranah-ranah cerita yang sudah pernah dipakai dalam film-film bertema medieval.


Wakanda, sebuah negara yang didiami ini telah memiliki rajanya hingga suatu ketika sang raja meninggal. T’Challa (Chadwick Boseman) sebagai anak lelaki dari sang raja tentu secara tak langsung mewarisi tahta tertinggi di Wakanda. Tetapi, keberadaan T’Challa pada awalnya sangat diragukan untuk menjadi raja. Beberapa pihak masih belum terima bahwa T’Challa mampu untuk memimpin Wakanda yang terdiri dari berbagai suku dan budaya yang berbeda.

Kepantasannya sebagai seorang raja diuji dengan adanya Vibranium yang sedang diincar oleh banyak pihak yang ingin menyalahgunakan kegunaannya. T’Challa pun pergi memburu orang tersebut dibantu oleh Okoye (Danai Gurira) dan Nakia (Lupita Nyong’o). Tetapi, orang-orang yang sedang memburu Vibranium tersebut memiliki satu benang merah ke satu orang bernama Erik Killmonger (Michael B. Jordan) yang ternyata adalah seseorang dari masa lalu negara Wakanda ini.


Perebutan tahta dan kekuasaan yang terjadi kepada T’Challa mungkin sudah pernah dialami oleh beberapa karakter di dalam film-film dengan genre yang berbeda. Bahkan yang paling dekat adalah plot utama dari Thor yang membahas tentang mitos-mitos kerajaan yang mungkin sama. Perbedaannya adalah bagaimana Ryan Coogler memberikan identitas bagi filmnya sehingga memiliki sentuhan yang berbeda dengan film-film superhero yang ada.

Adanya nilai-nilai etnis yang sangat beragam dan begitu kental masuk ke dalam film Black Panther. Membaur menjadi satu dengan plot utamanya sehingga menghasilkan perpaduan menarik yang membuat Black Panther memiliki cita rasa yang lebih signifikan berbeda dengan yang lain. Representasi yang tepat akan kekuatan people of color yang juga bisa memiliki kehidupan yang layak dengan orang-orang yang ada di sekitarnya ini terangkum dengan kemasan yang sangat menyenangkan.

Tak ada pretensi dalam Black Panther untuk menjadi sebuah film yang penuh akan muatan pesan dan perwakilan yang berat. Ryan Coogler masih tahu porsinya dan ingat bahwa Black Panther bukanlah drama satir dengan muatan pesan yang kuat seperti film-film yang pernah dia tangani sebelumnya. Dengan berbagai kekentalan budaya dan representasi yang tepat tersebut, Black Panther masih menjalankan misinya sebagai film manusia super yang layak untuk dikonsumsi semua pihak. Tetapi, masih memiliki signature khas dari Ryan Coogler yang berusaha memberikan urgensi representasi dalam media tentang people of color


Mungkin perjalanan cerita di paruh awal tak semulus yang dibayangkan banyak orang. Begitu pula dengan sekuens aksinya yang mungkin masih patah sehingga ada beberapa yang tensinya tak terjaga. Ryan Coogler menempatkan tensinya ke dalam kekuatan emosional bercerita tentang rumitnya perebutan tahta yang ada di Wakanda. Ini mungkin secara tak sadar membuat konfliknya terulur tetapi sesuai dengan kerumitan yang memang ditawarkan ke dalam konfliknya.

134 menit di dalam film Black Panther pun secara efektif terjalin dengan baik mulai dari performa deretan pemainnya hingga permainan gambar serta musik yang sangat dikelola dengan baik. Injeksi komedinya memang tak sebanyak Thor : Ragnarok, tetapi memiliki keefektifan yang maksimal untuk menghibur penontonnya. Tak juga lupa nilai dan desain produksi di dalam Black Panther yang diperhatikan dengan sangat detil. Sehingga, setiap karakternya memang sejatinya memiliki identitasnya masing-masing. Penonton akan dengan mudah membedakan setiap karakternya.


Black Panther memang hadir untuk menjadi sebuah pesan bagi khalayak tentang pentingnya sebuah representasi dalam media terlebih terhadap kaum people of color. Lewat film Black Panther, pesan ini seharusnya bisa secara efektif menimbulkan perilaku signifikan dari penonton dengan realita yang ada. Misinya memang sangat berat tetapi nyatanya sebuah pesan tentang representasi ini bisa dikemas semenarik mungkin untuk bisa diterima dan bahkan menghibur penontonnya. Sebuah perpaduan yang menarik.