• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

CARS 3 (2017) REVIEW : Comeback Stories tentang Harapan


Cars, sebuah franchise film animasi milik Pixar Animation Studios ini menjadi sebuah franchise yang dikhawatirkan bagi penonton maupun fans. Hal ini dikarenakan filmnya yang pertama tak terlalu memberikan impresi yang berlebih dibandingkan dengan karya-karya milik Pixar lainnya. Tetapi, hal itu tidak diindahkan oleh para petinggi Pixar karena hasil penjualan merchandise dari film ini ternyata laris manis di pasaran. Oleh karena itu, Pixar tetap mempertahankan sebuah franchise paling lemah di barisan karyanya.

Maka, datanglah Cars 2 yang membuat reputasi dari Pixar Animation Studios ini menurun karena filmnya tak bisa memuaskan para penontonnya, terlebih kepada para kritikus. Hal ini menjadi turning point bagi Pixar untuk kembali membangun reputasinya sebagai sebuah rumah produksi film animasi yang berbeda kepada penontonnya. Cukup mengagetkan ketika Pixar Animation Studios kembali memberikan kesempatan untuk franchise ini.

Setelah John Lasseter yang menangani kedua film dari Lightning McQueen ini, di film ketiga posisi itu berganti ke Brian Fee. Cars 3 ini adalah film debutnya sebagai seorang sutradara, setelah lama Brian Fee berkecimpung sebagai art department di dalam film-film Pixar Animation Studios. Bintang-bintang lama dari franchise ini tentu kembali menyemarakkan Cars 3 seperti Owen Wilson, Bonnie Hunt, dan Larry The Cable Guy. Tetapi juga ada nama-nama baru yang menghidupkan karakter baru di film Cars 3. 


Melihat dari trailer film ketiganya, Pixar Animation Studios terlihat berusaha untuk lebih serius dalam menggarap Cars 3. Setidaknya, franchise ini kembali ke akarnya dengan memberikan sebuah cerita yang lebih personal kepada karakter Lightning McQueen. Maka, hadirlah Cars 3 sebagai cara bagi Pixar Animation Studios untuk memperbaiki kesalahan di franchise-nya. Beruntungnya, itikad baik ini diartikan sangat baik dan diterjemahkan dengan baik dalam Cars 3.

Brian Fee mengubah Cars 3 menjadi sebuah film yang akan mengikat penontonnya. Dengan durasinya yang mencapai 109 menit, Cars 3 berhasil menjadi comeback stories dengan performa yang cukup solid. Cars 3 membicarakan banyak sekali topik tentang sebuah warisan yang tak melulu berurusan dengan harta, tetapi juga tentang mewariskan kepercayaan. Brian Fee melekatkan topik itu kepada karakter Lightning McQueen yang juga sedang mencari jati dirinya yang telah melewati banyak zaman.


Inilah kisah dari Lightning McQueen (Owen Wilson) yang tak lagi menjadi yang tercepat di lintasan balapannya. Kedigdayaannya sebagai pembalap ternyata akan dengan mudah direbut oleh para pendatang baru yang memiliki terobosan-terobosan baru dengan teknologinya. Datanglah Jackson Storm (Armie Hammer) sebagai pembalap baru yang dapat menyaingi Lightning McQueen dan selalu menjadi nomor satu di setiap perlombaan.

Hingga suatu ketika, Lightning McQueen tertimpa sebuah musibah yang menyebabkan dia harus istirahat total dari perlombaan. Di saat dirinya sudah sembuh, Lightning McQueen diangkat lagi menjadi seorang pembalap oleh seseorang yang menjadi sponsornya. Lightning McQueen pun berusaha bangkit lagi dengan latihan yang diarahkan oleh Cruz Ramirez (Cristela Alonzo). Lightning McQueen berusaha beradaptasi dengan teknologi-teknologi baru yang dapat menyokong perlombaannya. 


Paska Cars 2 yang kacau balau, tentu franchise satu ini tidak diharapkan hadir di layar lebar. Tetapi, dengan kemasan yang diramu begitu solid oleh Brian Fee di Cars 3, tentu setidaknya ada sebuah pengampunan dari penonton Pixar kepada franchise ini. Memang tidak ada kisah yang begitu baru yang berusaha ditawarkan oleh Cars 3. Tetapi, ramuannya dalam mengangkat cerita tentang warisan dan comeback stories oleh sosok yang bisa dibilang legendaris ini berhasil membuat penontonnya menikmati 109 menit film ini.

Cars 3 berusaha untuk mengembalikan franchise satu ini pada awal mula kemasannya. Tak berusaha untuk terlalu bersenang-senang, memiliki plot cerita yang lebih utuh, dan menanamkan nilai-nilai yang cukup besar agar bisa dinikmati oleh segala usia. Sehingga, Cars 3 menjadi sebuah film animasi yang juga menjadi sebuah pembelajaran dalam proses pembentukan karakter bagi siapa saja yang menonton film ini. Begitulah yang diinginkan oleh sang pembuat kepada penonton ketika menyaksikan Cars 3 di bioskop. 


Memang, secara cerita Cars 3 memberikan pendekatan yang sedikit lebih dewasa. Tetapi, dengan adanya hal ini pada nantinya menjadi poin menarik oleh para orang tua untuk berdiskusi dengan anaknya. Ada banyak sekali pembelajaran di dalam filmnya tentang membentuk karakter dan memaksimalkan potensi diri dan referensi itu dilekatkan pada karakter Cruz. Inilah yang membuat Cars 3 terasa begitu spesial. Sebuah film keluarga yang tak sekedar lalu lalang sebagai tempat menghabiskan waktu saja tetapi ada pula poin untuk dibicarakan dengan anggota keluarga lainnya.

Tetapi, tentu saja Brian Fee sebagai sutradara perlu mendapat apresiasi. Tanpa arahannya yang sentimentil, Cars 3 tak bisa begitu saja mengeluarkan momen-momen magisnya untuk bisa merebut hati penontonnya. Arahan Brian Fee yang sentimentil ini berhasil memunculkan kehangatan di beberapa adegannya sekaligus emosional. Tetapi, tak melupakan unsur senang-senang yang diselipkan di dalamnya seperti adegan balapan atau pun kelakar-kelakar lucu yang perlu muncul agar bisa dinikmati oleh penonton usia belia. 


Hingga tiba waktunya, Cars 3 membicarakan tentang hubungan orang tua dan generasi penerusnya yang mungkin sesekali dibicarakan secara intim di antara mereka. Pembicaraan tentang sebuah harapan generasi millenium terhadap generasi masa kini untuk melanjutkan pekerjaan-pekerjaannya agar bisa terus beradaptasi dan tak punah. Ya, Cars 3 membicarakan hal tersebut dengan begitu emosional. Membuat penontonnya tersenyum lebar dengan hati yang begitu hangat saat credit title bergulir nantinya. Cars 3 kembali dengan kemasan yang jauh lebih kuat dan menjadi yang terbaik di dalam serinya. 

BAD GENIUS (2017) REVIEW : Kemasan Unik tentang Kecurangan di Dunia Pendidikan

 
Semenjak pecahan dari GTH entertainment berubah menjadi GDH, banyak film-film Thailand ini yang mendapatkan antusias lebih dari penonton. Mulai dari One Day dan A Gift, penonton cukup menanti film-film yang diproduksi dari rumah produksi ini. Penonton menunggu hal terbaru apa yang berusaha ditawarkan agar semua penonton mempercayai film yang dibuat oleh rumah produksi ini. Datanglah film ketiga dari rumah produksi ini yang cukup membuat penontonnya menantikan karena trailernya yang cukup menggugah selera.

Nattawut Poonpiriya menjadi pemegang kunci untuk mengarahkan produk film ketiga dari rumah produksi GDH ini. Berbeda dengan kedua film Thailand lainnya, film ketiganya ini ber-genre suspenseyang sudah biasa dia lakukan lewat debut filmnya Countdown. Proyek  terbarunya kali ini tidak mengombinasikan suspense-nya dengan thriller, tetapi dengan film heist  ala Ocean’s Eleven atau yang paling dekat dengan rentang tahunnya yaitu Now You See Me.

Tetapi, proyek heist-suspensefilm ini tak menggunakan magic trickatau pencurian besar-besaran yang memang akan memberikan problematika yang terlihat serius. Bad Genius, proyek terbaru dari Nattawut Poonpiriya ini fokus tentang kecurangan-kecurangan kecil yang mungkin dilakukan oleh setiap orang saat sekolah dulu. Mencontek, sesuatu yang mungkin akan lumrah terjadi di kehidupan akademis yang terlihat begitu kecil tetapi ternyata efeknya bisa jadi lebih dari itu. 


Inilah Bad Genius yang menceritakan tentang para siswa-siswi Sekolah Menengah Atas di Thailand yang sedang berusaha bertahan hidup di tengah kerasnya ujian sekolah. Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), seorang siswi pintar pindahan dari sekolah lain dan mendapatkan beasiswa di sekolah barunya. Di tengah perasaan asingnya dengan lingkungan sekolah barunya, Lynn menemukan seorang teman bernama Grace (Eisaya Hosuwan). Berbeda dengan Lynn, Grace memiliki problem dengan nilai-nilai di sekolahnya.

Dengan adanya hal tersebut, Lynn berusaha mencari cara agar bisa membuat Grace juga mendapatkan nilai yang bagus. Tetapi, cara yang ditempuh Lynn adalah cara yang salah dilakukan oleh Lynn. Dia berusaha memberikan contekan kepada Lynn di ujiannya dan tentu saja membantu meningkatkan nilai ujian dari Grace. Hal ini dimanfaatkan pula oleh pacar Grace, Pat (Teeradon Supapunpinyo) dan membuatnya menjadi lahan bisnis. Lynn pun menerima penawaran dari Pat dan Grace karena dia juga membutuhkan uang. 


Inilah Bad Genius yang memberikan sebuah realita tentang kehidupan pendidikan yang begitu relevan di berbagai masanya. Sebuah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para siswa di banyak sekolah yang sudah menjadi kebiasaan dan lumrah dilakukan oleh banyak orang. Nattawut Poonpiriya berusaha mengungkap berbagai cara bagi siswa-siswi di sebuah sekolah untuk mendapatkan jawaban dengan cara yang curang.

Mengungkapkan sebuah realita yang terjadi di lingkungan sosial sekitar pun bisa dikemas dengan berbagai genre yang dapat membuat penontonnya tak perlu merasa bosan. Dengan Bad Genius ini, Nattawut Poonpiriya membuat fenomena sosial yang terasa lumrah dilakukan di masyarakat ini menjadi sebuah sajian yang begitu menegangkan di durasinya yang mencapai 129 menit. Di durasinya yang cukup lama itu, Nattawut Poonpiriya memberikan banyak sekali keefektifan dalam pengarahanya.

Dengan premis yang mungkin terlihat begitu kacangan, Nattawut Poonpiriya berhasil menjadikannya sebagai sebuah heist film yang penuh akan komplikasi. Keefektifan yang dilakukan oleh Nattawut Poonpiriya adalah menggunakan 129 menitnya untuk menceritakan kerumitan yang muncul di dalam plot ceritanya. Menggali lebih dalam tentang setiap karakternya sehingga penonton bisa ikut bersimpati dengan para pion penggerak ceritanya. Hal ini penting agar penonton Bad Genius bisa tak memalingkan wajahnya dari layar. 


Terlebih, bagaimana Poonpiriya begitu berhasil membangun tensinya dengan sangat kuat. Dengan cerita yang diarahkan dan penggalian karakternya yang digarap begitu kuat, tensi yang dibangun susah payah oleh sutradaranya akan menambah kekuatan cengkraman kepada penontonnya. Sehingga, Bad Genius tak hanya sekedar menjadi sebuah film yang memberikan realita dan kritiknya terhadap dunia pendidikan dengan kemasan yang begitu-begitu saja. Tetapi sekaligus menjadi sebuah film yang sangat menghibur penontonnya dari awal hingga akhir.

Kerapatan dalam filmnya ini juga dipengaruhi oleh penulisan naskah filmnya yang berhasil memberikan cerita yang penuh komplikasi tetapi tidak basa-basi. Nattawut Poonpiriya, Tanida Hantaweewatana, dan Vasudhorn Piyaroma mengemas naskahnya dengan cara yang segar dengan premis cerita yang terlihat biasa saja. Segala pergerakan ceritanya memiliki alasan dan memiliki hubungan sebab-akibat yang lebih realistis dan memuaskan segala penontonnya. Hal ini terlihat dengan bagaimana cara Bad Genius mengakhiri filmnya. 


Bad Genius di awal film sebenarnya memberikan atribut optimisitik dan heroik kepada karakternya yang melakukan tindak kriminal cukup membuat penontonnya khawatir dengan bagaimana film ini akan berakhir. Tetapi, naskah yang ditulis oleh Nattawut Poonpiriya bersama teman-temannya ini berhasil memberikan penyelesaian yang memuaskan bagi penontonnya. Tak ada kesan glorifikasi atas kecurangan yang dilakukan karakternya dan memunculkan tentang keadilan, konsekuensi atas apapun yang dilakukan oleh setiap karakternya.

Poin itu yang berusaha ditekankan oleh Nattawut Poonpiriya ke dalam Bad Genius. Kritiknya terhadap siapapun yang terlibat di dalam dunia akademis yang memperlihatkan bahwa hasil akhir bukanlah sekedar angka. Tetapi, hasil akhir tersebut adalah hal yang perlu ditanggung jawabkan nantinya di dunia akademis. Kecurangan-kecurangan sekecil apapun yang dilakukan oleh pelaku dunia pendidikan ini pasti akan konsekuensinya. Kecurangan sekecil apapun tetaplah melanggar peraturan, ada konsekuensi yang tak bisa dikompromikan di dalam sebuah aturan tersebut.


Sehingga, Bad Genius tak hanya sekedar sebuah film dengan dosis hiburan yang sangat tinggi lewat heist genre-nya. Tetapi juga menjadi sebuah gambaran tentang realita dunia pendidikan yang masih saja memiliki celah untuk dapat dicurangi oleh para akademisinya. Tetapi, gambaran atas realita tersebut bisa dikemas dengan begitu rapat dan diarahkan dengan sangat baik oleh Nattawut Poonpiriya. Sehingga, efek yang ditimbulkan setelah menonton ini akan sangat kepada penontonnya. Ditutup dengan adegan penutup yang begitu adil sekaligus bisa dijadikan sebuah kontemplasi bagi penontonnya. Terlebih, bagi yang pernah melakukan kecurangan dan pemalsuan di dunia pendidikan. 

ANNABELLE : CREATION (2017) REVIEW : Kombinasi Dua Unsur Horor yang Efektif


Kemunculan film horor laris yang disutradarai oleh James Wan yaitu The Conjuring ini membuat Warner Bros ingin membuatnya lebih besar. Selain memberikan kesempatan yang selebar-lebarnya untuk membuat sebuah sekuel, tentu Warner Bros ingin membuat The Conjuring ini memiliki cerita-cerita pengantar lainnya. Salah satunya adalah cerita tentang boneka sebagai medium arwah penasaran yang mahsyur yaitu Annabelle.

Membuat film sendiri tentang Annabelle ini telah dilakukan oleh John R. Leonetti di tahun 2014. Sayangnya, film tentang boneka menyeramkan ini tak begitu disukai oleh penikmat filmnya meskipun secara kuantitas film ini bisa dikategorikan film laris. Seakan tak puas begitu saja, Annabelle pun mendapatkan kesempatan lain untuk diceritakan. Lewat sutradara David F. Sandberg, Annabelle mempunyai panggung untuk menceritakan kisahnya paling awal lewat Annabelle : Creation.

Respon yang didapatkan pun beragam. Ada yang sudah mulai jera karena presentasi dari film Annabelle sebelumnya yang tak terlalu bagus, tetapi ada pula yang masih menantikan film ini karena berharap bisa ditakut-takuti. Meski begitu, Annabelle sendiri telah menjadi sebuah produk yang akan dikonsumsi oleh penonton karena namanya yang sudah melambung itu sendiri. Tetapi, Annabelle : Creation ini sendiri secara mengejutkan berhasil membuat penonton bersenang-senang dengan segala keseruannya sebagai film horor. 


Annabelle Creation ini sendiri menceritakan tentang awal mula sosok boneka Annabelle. Di mana, boneka ini ditemukan di sebuah rumah milik keluarga Mullins. Rumah keluarga Mullins ini diperbolehkan untuk ditinggali oleh anak-anak yatim piatu. Mereka boleh memilih kamar semau mereka, hanya saja ada satu kamar di rumah tersebut yang tidak boleh ditinggali. Kamar tersebut adalah kamar dari anak keluarga Mullins yang telah meninggal.

Tetapi, secara tidak sengaja, salah satu anak yatim piatu bernama Janice (Talitha Bateman) dan Linda (Lulu Wilson) masuk ke dalam kamar tersebut dan menemukan sebuah boneka perempuan yang menyeramkan. Setelah menemukan boneka tersebut, kejadian-kejadian aneh menghiasi rumah keluarga Mullins. Teror-teror jahat dari arwah penasaran mulai menyerang seluruh penghuni rumah tersebut. Teror jahat itu berasal dari boneka menyeramkan yang ternyata berisi roh jahat. 


Dengan cerita yang sebenarnya familiar bahkan terkesan generik di dalam genre-nya, David F. Sandberg berhasil meningkatkan reputasi spin-offdari The Conjuring universe ini. Annabelle : Creation menjadi sebuah sajian film horor yang menyenangkan untuk diikuti dengan durasinya sepanjang 109 menit. Hal yang membuat Annabelle : Creation ini berhasil adalah bagaimana David F. Sandberg tak hanya sekedar membuat sebuah film horor yang bertumpu pada kengeriannya saja.

Ada cerita pengantar dengan karakter-karakter di dalam filmnya sebagai pion para penonton bertumpu dan menemukan seseorang untuk bersimpati. Penonton bisa dibuat bersimpati dengan setiap karakternya dengan problematika hidupnya. Sehingga, secara historikal, Annabelle memiliki cerita yang lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan film sebelumnya.

Annabelle : Creation memiliki bangunan cerita yang juga diarahkan dengan begitu baik oleh David F. Sandberg. Dengan begitu, efek kengerian yang terjadi di dalam Annabelle : Creation akan muncul dengan sangat efektif serta memberikan dampak yang sangat besar. Hal ini bagus bagi sebuah film horor, agar tak merasa terburu-buru untuk menakut-nakuti penontonnya. Dengan adanya cerita yang bergerak dengan runtut, dampak yang terjadi kepada penonton akan terasa lebih efektif dan memiliki efek jangka panjang setelah menontonnya. 


David F. Sandberg sebagai sutradara yang sudah menangani genre serupa lewat Lights Out, berhasil memunculkan atmosfir horor yang kuat di setiap adegannya. Sehingga, teror dari boneka Annabelle ini tak hanya sekedar dengan penggunaan Jump Scares berlebihan yang tak menimbulkan efek apapun bagi penontonnya. David F. Sandberg tahu benar bagaimana memberikan efektivitas kepada film Annabelle : Creation sebagai sebuah film horor.

Hal inilah yang menjadi kekuatan utama dari Annabelle : Creation di bawah komando dari David F. Sandberg. Annabelle : Creation memanfaatkan kombinasi antara horor atmosferik yang begitu kuat. Tetapi, tak melupakan formula jump scares efektif yang juga muncul sebagai kekuatan terbaik di dalam film Annabelle : Creation. Kombinasi dua formula umum dalam film horor yang muncul sama kuatnya inilah yang berhasil membuat Annabelle : Creation menjadi salah satu film horor yang begitu menyenangkan untuk diikuti.

Dengan ruang gerak durasinya yang mencapai 109 menit, David F. Sandberg memanfaatkan betul agar film horor yang diarahkannya tak sia-sia. Annabelle : Creation memunculkan atmosfir horor dan rasa ngeri kepada penontonnya dengan sangat perlahan namun pasti. Di awal film akan muncul rasa penasaran penonton terhadap teror yang terjadi kepada Janice dan Linda. Sehingga, ketika jurus pamungkasnya hadir di paruh ketiga akhirnya, penonton bisa merasakan sensasi seru menonton film horor dengan berbagai penampakan makhluk halus tersebut.


Dengan begitu, David F. Sandberg adalah kunci utama dari film Annabelle : Creation ini secara keseluruhan. Pengarahannya yang begitu kuat berhasil membuat The Conjuring Universe semakin mengeluarkan taringnya. Lewat Annabelle : Creation pula, secara resmi The Conjuring Universe diluncurkan kepada publik. Memberikan petunjuk tentang sosok-sosok di dalam film The Conjuring yang akan mendapatkan panggung lain untuk dikembangkan.

Dan bagaimana pula adegan penutup di dalam Annabelle : Creation yang berhasil memberikan benang merah atau koneksi dengan film-film yang ada di The Conjuring Universe. Sehingga, penonton pun akan mengerti bagaimana secara historis Annabelle ini nantinya. Sehingga, sebagai sebuah prekuel dari sebuah spin-off, Annabelle : Creation berhasil memperbesar dunianya dan begitu menarik untuk diikuti kelanjutannya. Apalagi adanya cameo Valak dan after credit’s scene tentang Valak yang akan ikut menghiasi kemegahan The Conjuring Universe ini nantinya. 

WAR FOR THE PLANET OF THE APES (2017) REVIEW : Penutup Kisah Caesar yang Tak Sempurna

Cerita tentang kera bernama Caesar ini telah mencapai ke seri ketiganya yang digadang menjadi penutup. Kehadiran trilogi remake dari Planet of The Apes ini memiliki performa yang cukup mengagetkan karena berhasil dibuat dengan kualitas yang di atas rata-rata. Penonton yang sudah cukup meremehkan pembuatan ulang dari film Planet of The Apes ini dibuat kagum dengan bagaimana performa Rise of The Planet of the Apes.

Kesuksesan secara kualitas ini pun berhasil dijaga dan dibuat dengan performa yang jauh lebih bagus lagi di dalam Dawn of the Planet of the Apes. Performa Dawn of the Planet of the Apes yang meningkat berkat pergantian sutradara dari Rupert Wyatt ke Matt Reeves ini membuat 20th Century Fox memutuskan untuk menggunakan Matt Reeves untuk mengarahkan bagian penutupnya. Maka dari itu, Matt Reeves kembali mengarahkan trilogi Planet of The Apes ini ke dalam sebuah penutup yang diharapkan dapat memiliki performa yang bagus.

War For the Planet of The Apesini adalah sebuah seri kunci sekaligus penutup untuk kisah komplotan kera yang dipimpin oleh Caesar ini. Tak hanya Matt Reeves saja yang kembali sebagai pengarah filmnya, tetapi juga Matt Bomback yang juga membantu Matt Reeves untuk menyelesaikan naskah dari film penutupnya ini. Dimeriahkan pula oleh Woody Harrelson di jajaran nama departemen aktingnya bersama dengan Andy Serkis yang tentu saja tetap menjadi Caesar. 


Trilogi baru dari Planet of the Apes ini menjadi sebuah sesuatu yang perlu diapresiasi di perfilman Hollywood karena performanya yang stabil dan cenderung meningkat. War For the Planet of The Apes ini memang masih menjadi sebuah film yang diarahkan dan dibuat dengan baik. Tetapi, sebagai sebuah penutup, War For The Planet of The Apes ini adalah sebuah penutup yang tak sempurna. Memiliki berbagai macam kelemahan yang mendistraksi kemegahan pembuatan film ini.

Kisah utama di dalam seri-seri Planet of the Apes ini tentu saja adalah para kera, terutama tentang Caesar sebagai pemimpinnya. Tetapi, problematika penonton di film-film sebelumnya adalah minimnya relevansi yang dapat dilekatkan dengan para karakter manusianya. Sehingga, War For the Planet of the Apes ini berusaha untuk menumbuhkan relevansi itu. Hal ini pada akhirnya menganggu Matt Reeves untuk bercerita kepentingan-kepentingan karakter yang berusaha dimasukkan ke dalam film ini. 


War For the Planet of the Apesmenceritakan tentang bagaimana Caesar (Andy Serkis) dan para komplotan keranya yang sudah mencari tempatnya yang damai dan aman dari gangguan. Tetapi, kehidupan mereka pada akhirnya diusik oleh para manusia yang berusaha memusnahkan komplotan kera yang dipimpin oleh Caesar. Para manusia dibantu oleh para kera lain yang membelot dari kepemimpinan Caesar ini menemukan tempat persembunyian Caesar dan komplotannya.

Caesar yang merasa dirinya dan komplotannya aman pun tak menyadari bahwa dirinya akan diserang oleh manusia. Perang pun terjadi antara para komplotan Caesar dan manusia. Hal ini pun menyebabkan banyak korban dari komplotan kera milik Caesar berjatuhan terutama kera-kera yang dekat dengan Caesar. Dengan keadaan yang seperti ini, Caesar berusaha untuk membalaskan dendamnya dan menyerang markas besar manusia yang dipimpin oleh The Colonel (Woody Harrelson). 


Berusaha memperbaiki apa yang diminta oleh para penikmat filmnya tentu menjadi sangat penting bagi sineas. Selain untuk tetap menjaga kepercayaan dari penontonnya, hal ini juga menunjukkan bahwa sineas tersebut mau belajar. Tetapi, hal tersebut tentunya perlu diimbangi dengan bagaimana kemampuan seorang sutradara dalam mewujudkan keinginan penontonnya. War For the Planet of the Apes sebenarnya akan lebih terasa penuh makna apabila tetap fokus dengan plot cerita utamanya yaitu tentang balas dendam.

Tetapi, yang dilakukan oleh Matt Reeves dan Matt Bomback adalah dengan memberikan subplot tentang manusia dan kehidupannya yang semakin melemah karena virus yang disebabkan. Informasi tentang hal tersebut memang seharusnya penting untuk semakin memperkuat dan memperbesar bangunan dunia rekaan di dalam film ini. Hanya saja, Matt Reeves seperti tak bisa menanganinya dengan seimbang. Sehingga, informasi-informasi ini yang dimasukkan sebagai cabang cerita pada akhirnya menjadi bumerang terhadap hasil keseluruhannya.

Memasukkanplot tentang kisah manusia dan memasukkan karakter manusia terlebih kepada karakter Nova menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan. Informasi yang diterima oleh penonton pada akhirnya tak bisa sepenuhnya diterima. Penonton meraba sendiri ada apa dengan karakter Nova sehingga menumbuhkan urgensi untuk masuk ke dalam plot cerita dengan screen time yang cukup banyak. Terutama ketika Nova menjadi poin kunci di akhir film dan penonton pun masih mencari motivasi karakter tersebut untuk pada akhirnya harus menjadi sosok yang penting. 


Di luar kebingungan Matt Reeves untuk berusaha memberikan relevansi antara penonton dengan karakter manusia, Matt Reeves masih bisa membuat War For the Planet of the Apes sebagai sebuah film yang masih kuat. Ada beberapa adegan yang diarahkan dengan baik sehingga muncul berbagai macam tensi dan emosi. Terlebih dalam mengarahkan Andy Serkis di balik teknologi motion capture-nya sebagai karakter Caesar. Tanpa directing dan ketelitian berakting dari Andy Serkis, War For the Planet of the Apes akan jatuh menjadi film penutup yang sia-sia.

Sebagai sebuah seri penutup, War For the Planet of the Apes masih tampil dengan cukup kuat berkat beberapa adegan penuh tensi dan keseruan yang berhasil diarahkan oleh Matt Reeves. Tetapi, sayangnya War For the Planet of the Apes bukanlah sebuah penutup yang sempurna dikarenakan usaha Matt Reeves itu sendiri dengan usahanya menjawab kemauan penonton. Hal itu menjadi bumerang bagi performa film ini serta beberapa kali diganggu oleh musik milik Michael Giacchino yang muncul terlalu sering. Sehingga, segala rasa emosional itu sering kali terasa manipulatif sekaligus memunculkan kesan dramatisasi yang berlebih. Meski begitu, trilogi Planet of the Apes ini adalah sebuah trilogi yang perlu untuk diapresiasi.

DUNKIRK (2017) REVIEW : Visual yang Subtil tentang Perang Dunia Kedua

 
Menceritakan sebuah kisah yang sudah menjadi bagian dari sejarah memang sudah biasa dilakukan oleh para sineas Hollywood. Ada berbagai macam jenis film yang berusaha menjelaskan berbagai macam peristiwa sejarah penting yang bisa memberi sebuah informasi sekaligus atensi dari penonton. Tetapi, bagaimana informasi tentang peristiwa penting itu dikemas menjadi sesuatu yang perlu untuk dikembangkan. Tentu, ada satu poin tertentu yang membuat film-film tentang sebuah peristiwa ini bisa terjebak dengan kemasan yang sama.

Christopher Nolan berusaha menantang dirinya sendiri untuk mengarahkan sebuah film tentang salah satu peristiwa sejarah penting yang ada di perang dunia kedua ini yaitu Battle of Dunkirk. Christopher Nolan mengemasnya menjadi sebuah film yang berjudul Dunkirk yang dibintangi oleh Tom Hardy, Cillian Murphy, Kenneth Branagh serta memberikan nafas baru dengan merekrut aktor-aktor baru seperti Fionn Whitehead dan Harry Styles.

Christopher Nolan adalah seorang sutradara yang biasanya terjun dalam film-film bertema science fiction atau yang memiliki jalan cerita penuh twist and turn. Tentu Dunkirk ini akan menjadi sesuatu yang terasa baru bagi Christopher Nolan untuk berusaha mengemas sebuah peristiwa sejarah penting yang mungkin akan terjebak dengan kemasan yang sama. Tetapi, Christopher Nolan tetaplah seorang Christopher Nolan. Sebuah peristiwa sejarah penting yang sudah memiliki linimasanya ini dikemas dengan pembagian 3 sudut pandang sekaligus 3 setting waktu yang berbeda. 


Membuat film yang sudah memiliki cerita di dunia nyata dan dikemas dengan cara seperti yang dilakukan oleh Christopher Nolan ini memang cukup riskan. Tetapi, Christopher Nolan sudah terbiasa untuk mengemas filmnya dengan linimasa waktu yang terpencar seperti ini. Sehingga, dalam pengaplikasiannya, Christopher Nolah berhasil membuat 3 linimasa waktu dan 3 sudut pandang ini menjadi sesuatu yang segar sekaligus unik untuk menceritakan peristiwa sejarah penting dalam sebuah film.

Sebagai sebuah perang, Dunkirkmemang akan terasa berbeda seperti film-film perang lainnya atau contoh yang paling baru adalah Hacksaw Ridge. Visual adalah kekuatan dari Dunkirkuntuk menimbulkan tensi dan emosi yang ada di dalam filmnya. Maka dari itu, kekuatan naskah yang ditulis sendiri juga oleh Christopher Nolan adalah bagaimana dirinya sebagai seorang sutradara dapat mengadegankan setiap gambarnya yang minim akan dialog tetapi memiliki penyampaian yang subtil. Memberikahan pemahaman kepada penontonnya tentang perang itu sendiri dengan caranya sendiri. 


Menceritakan tentang sebuah peristiwa perang di Dunkirk, ada banyak pasukan Inggris yang sudah terkepung dan tak bisa kembali ke tanah kelahirannya. Hal tersebut demi membela harga diri negara tersebut. Maka tiga sudut pandang dan tiga linimasa waktu ini diwakili oleh Tommy (Fionn Whitehead), Ferrier (Tom Hardy), dan Mr. Dawson (Mark Rylance). Mereka adalah perwakilan dari setiap sisi cerita dari perang di daerah Dunkirk ini.

Tommy, seorang tentara inggris yang sedang berusaha menyelamatkan dirinya bersama dengan teman-temannya. Ferrier, seorang pilot angkatan udara yang juga berusaha menjaga dan menyingkirkan serangan udara dari para musuhnya. Sedangkan, Mr. Dawson adalah seorang warga sipil biasa yang berinisiatif untuk menyelamatkan tentara-tentara yang sedang berusaha keras membela negaranya.


Meski setiap sudut pandangnya memiliki pion-pion utamanya untuk mengerakkan ceritanya. Tetapi, yang diinginkan oleh Christopher Nolan adalah mengenalkan peristiwa Dunkirk secara menyeluruh. Sehingga, aktor utama dari film ini adalah peristiwa Dunkirk itu sendiri yang dapat membuat penonton bergidik ngeri dan merasakan emosional yang terjalin di setiap rangkaian adegan yang diarahkan oleh Christopher Nolan. Penonton tak merasa perlu memihak karakternya, tetapi mereka perlu untuk memihak mereka semua secara keseluruhan dalam menghadapi peristiwa Dunkirk yang mencekam.

Meskipun, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Christopher Nolan ini memiliki resiko untuk membuat Dunkirktak bisa diterima secara universal. Penonton yang belum terbiasa dengan bagaimana sebuah pesan di dalam film disampaikan lewat sebuah gambar mungkin akan kesusahan untuk bersimpati. Mereka tak memiliki sosok karakter untuk menyamakan referensi dan pengalamannya hingga akhirnya dapat terkoneksi dengan apa yang ditampilkan di layar. Sehingga, penonton yang membutuhkan tuntunan karakter untuk menceritakan pesan di dalam filmnya.

Tentu, Directing dari Christopher Nolan adalah kunci dari keseluruhan presentasi dari film Dunkirk. Nolan berusaha untuk mengabungkan segala bentuk teknis untuk dapat menghasilkan sebuah presentasi film yang bisa memberikan aspek emosional yang diadegankan dengan sederhan tetapi punya dampak yang akan melekat. Dunkirkpenuh akan dramatisasi tanpa perlu ditampilkan berlebihan, sebuah kesederhanaan yang akan memunculkan aspek emosi yang mengharu biru dan getir untuk dirasakan oleh penontonnya. 


Kedetilannya dalam mengarahkan sebuah film diaplikasikan ke dalam sebuah tatanan teknis yang tak main-main. Pengambilan gambar yang dilakukan oleh Hoyte Van Hoytema ini juga menjadi aspek penguat bagaimana pengarahan Christopher Nolan yang kuat. Dunkirkmenjadi sebuah pengalaman sinematik yang sebenarnya di tahun 2017 ini. Gambar di dalam film Dunkirk ini adalah medium untuk menyampaikan pesan. Sehingga, penggunaan kamera IMAX 70 mm ini menjadi hal yang bukan sekedar gimmick, melainkan sebuah hal yang benar-benar krusial di dalam film ini.

Poin krusial di dalam film Dunkirktak hanya berhenti di dalam sisi pengambilan gambar, tetapi juga bagaimana suara juga menjadi hal penting. Christopher Nolan berusaha untuk memberikan atmosfir perang yang apa adanya, meskipun akan menjadi perdebatan apabila film tersebut tak memiliki pertumpahan darah. Tetapi, keputusan Nolan adalah tentang bagaimana memberikan pengalaman sinematik tetapi juga dengan atmosfir perang yang terasa nyata yang memiliki batasan bahwa Dunkirk tetaplah sebuah film. Sehingga, suara dan tata teknis kamera ini adalah sebuah ilusi dalam film ini yang bisa membuat penontonnya merasa terjebak di dalam situasi perang yang sesungguhnya. 


Maka, Dunkirk adalah sebuah cara bagi Nolan untuk memberikan sesuatu yang berbeda dengan pondasi cerita yang berdasarkan sebuah sejarah yang penting di linimasa perang dunia kedua. Tetapi, keputusan Christopher Nolan membuat Dunkirkmemiliki bahasa visual yang lebih kuat akan membuat penonton yang tak terbiasa akan tak dapat menyamakan referensi dan pengalamannya agar bisa bersimpati dengan apa yang disampaikan. Dengan begitu, Dunkirkakan terasa begitu tersegmentasi tetapi sekalinya Dunkirk akan tepat sasaran dengan segmentasinya, Dunkirk akan menjadi sebuah pengalaman sinematis yang sangat kuat sekaligus luar biasa emosional di sepanjang tahun sejauh ini. 

DESPICABLE ME 3 (2017) REVIEW : Cabang Plot yang Saling Mendistraksi


Film animasi buatan Illumination Pictures ini tak disangka menjadi sleeper hit, tak hanya dalam segi kuantitasnya di Box Office tetapi juga mendapatkan pujian oleh para kritikus. Despicable Me  hadir menjadi sebuah franchise yang sangat menjanjikan, terlebih ketika sidekick karakter di dalam film ini berhasil mencuri semua orang. Dan pada akhirnya, film ini pun dinantikan oleh banyak orang karena ingin menyaksikan tingkah jenaka para karakter sidekick yaitu Minions. 

Yang membuat sekuel kedua dari Despicable Me tak lagi bisa sekuat filmnya yang pertamanya adalah screen-time dari Minions membuat distraksi plot utama filmnya. Tetapi, hal tersebut malah membuat sosok Minions ini semakin memiliki nama dan membuat penontonnya ingin menyaksikan film selanjutnya. Meskipun pada akhirnya Minions memiliki filmnya sendiri, tetapi Illumination Pictures tetap menjadikan kesuksesan filmnya sebagai alasan membuat instalmen ketiga.

Pierre Coffin sebagai pencetus seri ini kembali mengarahkan film ini tetapi dengan rekan kerja yang berbeda. Kyle Balda menjadi pengganti Chris Renaud untuk mendampingi Pierre Coffin dalam mengarahkan seri ketiganya. Despicable Me 3 siap untuk kembali memberikan cerita baru kepada penontonnya, pun dengan para pengisi suara yang masih setia dari seri keduanya. Begitu pula dengan Cinco Paul dan Ken Daurino juga kembali sebagai penulis naskah seri ketiganya. 


Kali ini, Despicable Me 3 difokuskan kepada Gru (Steve Carell) yang sudah tak lagi menjadi seorang penjahat dan bergabung ke Liga Anti-Viillain harus menangkap seorang musuh bernama Baltazhar (Trey Parker). Baltazhar adalah mantan artis cilik yang sangat terobsesi untuk kembali dikenal karena reputasinya di dunia pertelevisian yang semakin lama semakin menurun. Oleh karena itu, Baltazhar merancang sebuah rencana yang bisa membuatnya menguasai dunia.

Gru hampir saja menangkap Baltazhar hingga pada akhirnya gagal. Gru hampir saja menyerah hingga suatu ketika ada sebuah berita yang mengatakan bahwa Gru memiliki saudara kembar. Dru, saudara kembar dari Gru adalah seseorang yang berbanding terbalik dengan Gru. Dia memiliki kehidupan yang mewah dan baik-baik saja. Tetapi, Dru ingin menjadi jahat seperti Gru dulu. Sikap Dru yang ingin seperti Gru membuat Dru terpaksa ikut terlibat dalam menangkap Baltazhar. 


Tak ada yang salah memang apabila Despicable Me memiliki instalmen ketiga. Toh, film ini pun masih dikategorikan sangat menguntungkan sekaligus menghibur penonton dengan jumlah yang masif. Tetapi, formula di setiap instalmen inilah yang perlu diperhatikan agar penonton pun masih bisa merasa dijaga untuk tetap dihibur oleh seri dari Despicable Me ini. Kesalahan dari Despicable Me 2 adalah screen timedari Minions yang mendistraksi cerita, sehingga penonton akan menerima informasi yang terpecah.

Despicable Me 3 berusaha keras agar tak mengulangi kesalahan tersebut dan sayangnya penonton tak bisa mendapatkan sebuah penceritaan yang kuat. Kesalahan di dalam Despicable Me 3 ini adalah bagaimana Kyle Balda dan Pierre Coffin tak bisa menyatukan ritme dua plot cerita yang menjadi poin penting di dalam film ini. Informasi yang diberikan di dalam film ini pun banyak, sehingga terasa bahwa Despicable Me 3 dipaksa untuk ada.

Dosis kelucuan di dalam Despicable Me 3 pun tak bisa memiliki euphoria yang besar seperti yang mereka lakukan di kedua instalment sebelumnya. Minions tetap hadir memberikan sedikit kesegaran di dalam plot ceritanya yang kering dan para Minions tahu tempat mereka yang hanya sekedar sidekick di seri Despicable Me ini. Hal itu memang bagus, tetapi tak diimbangi dengan bagaimana Kyle Balda serta Pierre Coffin berusaha mengarahkan filmnya yang sudah keluar jalur ritmenya. 


Yang terjadi adalah subplot tersebut berjalan sendiri-sendiri layakanya dua film yang berusaha digabungkan jadi satu. Keduanya seperti sedang mengarahkan film mereka sendiri-sendiri sehingga di hasil akhirnya mereka baru menggabungkannya menjadi satu film yang sama. Ketika penonton berusaha memahami problematika Gru dan Baltazhar, penonton diberi informasi tentang bagaimana plot cerita antara Gru dan Dru. Dampaknya, penonton akan melupakan bagaimana plot Gru dan Baltazhar ini seharusnya juga perlu diselesaikan.

Sehingga, ketika Despicable Me 3 berusaha menyelesaikan plot cerita tentang Gru dan Baltazhar, penonton sudah merasa lelah terlebih dahulu karena disibukkan dengan plot cerita Gru dan Dru. Belum lagi ada beberapa cabang plot lain dengan Minions yang juga semakin mendistraksi bagaimana performa instalmen ketiganya ini. Selain itu, hilangnya kesinambungan atau korelasi antara setiap cabang cerita film ini yang membuat penontonnya tak begitu bisa menikmati Despicable Me 3 ini.

Despicable Me 3 tak memiliki pengalaman sinematik layaknya kedua instalmen sebelumnya. Dengan plot cerita yang dibuat begitu asal, penonton hanya merasakan sebuah serial animasi di hari minggu pagi yang biasa mereka tonton di televisi. Tetapi, serial animasi tersebut sedang melakukan pertunjukkan spesial yang membuatnya harus memperpanjang durasinya hingga 89 menit. Menonton Despicable Me 3 pun tak bisa memberikan efek apapun setelahnya selain menemani para penonton anak-anak yang memang menjadi target segmentasinya. 


Oleh karena itu, Despicable Me 3 ini memang tak sepenuhnya gagal dalam melakukan misinya karena tujuan utamanya untuk menyenangkan segmentasinya masih saja berhasil. Tetapi, Despicable Me 3 tak bisa memberikan sebuah hiburan keluarga instan yang bisa dinikmati oleh segala usia. Pengarahan dari Kyle Balda dan Pierre Coffin yang sangat minimalis ini membuat film ini begitu lemah dan terasa panjang. Distraksi kali ini bukan muncul dari para Minions, tetapi bagaimana setiap cabang cerita di dalam film ini tak bisa saling berkompromi agar dapat memunculkan sebuah kombinasi yang menarik. Despicable Me 3 adalah sebuah instalmen yang sangat lemah dibanding dua film sebelumnya.