• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

CRITICAL ELEVEN (2017) REVIEW : Mempercayai Sebuah Cinta Dengan Segala Turbulensinya


Dari sekian banyak film-film dengan genre drama romantis di perfilman Indonesia, hanya ada beberapa film yang diproduksi dengan baik. Tak hanya dari segi teknis, tetapi juga dari sisi pengarahan film yang tak terlalu digarap serius. Menciptakan nuansa penuh akan cinta di sebuah film tak akan semudah yang dibayangkan orang. Apabila hal tersebut tak bisa diarahkan dengan baik, penonton tak akan bisa merasakan koneksi atas atmosfir penuh kasih sayang di dalam film drama bertemakan cinta.

Maka, inilah yang berusaha dilakukan oleh Starvision dan Legacy Pictures untuk membuat sebuah drama romantis dengan ideal. Mereka memutuskan untuk bersama-sama mengadaptasi sebuah buku dari penulis ternama Ika Natassa. Critical Eleven, salah satu buku laris miliknya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk ‘lahir’ pertama kali sebagai sebuah film layar lebar. Critical Elevenmemiliki kru dan jajaran aktris yang tak sembarangan. Mulai dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti sebagai pemeran utama, Jenny Jusuf sebagai penulis skenario, serta Monty Tiwa yang kali ini berkolaborasi untuk mengarahkan sebuah film dengan Robert Ronny.

Misi mulia dari Ika Natassa dan segala orang yang terlibat di dalam film Critical Eleven adalah tentang memberikan harapan dalam cinta. Nyatanya, dengan performa milik Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang menghidupkan setiap karakter fiksinya ini berhasil meyakinkan penonton atas misi mulia milik Ika Natassa. Inilah kisah cinta milik Ale dan Anya yang penuh akan asam manis di setiap perjalanannya, tetapi bisa membuat setiap orang akan percaya dengan kekuatan cinta. 


Membicarakan tentang cinta akan terdengar sangat melankolis dan picisan. Tetapi, memiliki kehidupan tanpa cinta di sekitar kita tak serta merta membuat hidup kita lebih bahagia. Hal itu lah yang berusaha disampaikan di dalam film Critical Eleven ini. Tema Cinta yang dibahas di dalam Critical Eleven ini memang tak sekedar antar pasangan, tetapi juga lebih di setiap aspek. Mulai dari keluarga, sahabat, dan juga setiap menit kehidupan yang tuhan berikan kepada kita.

Semua misi tentang cinta ini disajikan ke dalam sebuah film dengan durasi yang mencapai 135 menit. Critical Eleven adalah analogi tentang keadaan dalam pesawat yang paling kritis yaitu 3 menit sesaat setelah terbang dan 8 menit sesaat sebelum mendarat yang mewakili kehidupan setiap orang. Ini pula yang dirasakan sesaat ketika film berjalan di durasinya yang panjang. Film Critical Eleven sebagai sebuah pesawat mengalami masa kritis itu tak selamanya dengan mulus. Sesekali ada Turbulensi yang terjadi saat film baru saja menerbangkan sayapnya dan sesaat sebelum film akhirnya tiba di tujuan.  


Misi tentang memberikan harapan kepada cinta kali ini ditugaskan kepada Anya (Adinia Wirasti), seorang perempuan mandiri yang bekerja dengan giat. Anya begitu mencintai bandara hingga suatu ketika dia juga bertemu dengan seorang pria bernama Ale (Reza Rahadian). Pertemuan yang tak disengaja itu ternyata mendekatkan mereka. Hingga pada akhirnya, Ale dan Anya memutuskan untuk menikah dan Ale yang bekerja di Oil Rig di daerah meksiko memutuskan agar mereka tinggal di New York.

Kehidupan di New Yorkmemberikan mereka kebahagiaan, apalagi Anya telah mengandung Ale Junior yang telah diidam-idamkan. Kehidupan Anya paska hamil memang tak semudah yang dibayangkan. Ale menjadi sangat overprotektif kepada Anya karena takut kehilangan buah hatinya. Dengan adanya perubahan sifat ini, muncullah keegoisan masing-masing yang sesekali menimbulkan perdebatan di tengah keharmonisan hubungan mereka. Juga, beberapa peristiwa dalam keluarga kecil mereka yang semakin memunculkan sisi egois masing-masing pihak.


Critical Eleven memang bukan sekedar kisah tentang cinta yang dibuat hanya untuk merasakan indahnya jatuh cinta. Critical Eleven adalah kisah tentang cinta yang menunjukkan penontonnya tentang jatuhnya hidup bergantung kepada cinta. Translasi yang sangat baik dilakukan oleh Jenny Jusuf sebagai penulis skenario yang berhasil mengadaptasi sumber aslinya dengan berbagai cara hingga setiap karakter memiliki kontinuitas yang menarik. Ada detil-detil kecil sebagai sebuah tanda yang dihasilkan oleh Jenny Jusuf di dalam filmnya yang memperkuat karakternya. Tanda itu seperti mainan-mainan yang dimiliki oleh karakter Ale dan Anya.

Bukan hanya sekedar detil kecilnya, tetapi juga memindahkan emosi ke dalam penulisan naskahnya. Selain itu pula, ada kolaborasi baik antara naskah dengan pengarahan yang dilakukan oleh Monty Tiwa dan Robert Ronny dalam Critical Eleven. Penonton bisa merasakan setiap konfliknya yang terjadi di dalam Critical Eleven. Secara tak langsung, penonton menemukan referensi lain yang melekat di karakter dan konfliknya sehingga timbul simpati dan merasakan adanya kedekatan.

Hanya saja, Critical Elevenmemiliki sedikit isu dalam pengarahan yang membuat 135 menit yang ada di dalam filmnya tak memiliki performa yang stabil. Paruh pertama film ini memiliki sedikit turbulensi terhadap penyampaian konflik dan karakternya. Ada penyampaian emosi yang menggebu-gebu sehingga beberapa pesan yang tak tersampaikan dengan sepenuhnya baik. Pemilihan dialog yang sering kali menggunakan bahasa asing membuat adanya jarak antara pesan yang ingin disampaikan kepada penontonnya. Rasa manis di awal film pun beberapa kali terkadang terasa redup. 


Begitu pula dengan turbulensi yang datang lagi di ‘pesawat’ milik Critical Eleven saat ingin mendarat. Critical Eleven memang sudah memiliki landasan mendarat yang mumpuni, tetapi kemulusan terhadap cara memberikan konklusi di film ini tak bisa memberikan rasa manis yang kuat setelah menonton. Di tengah karakter Ale dan Anya yang sudah dikembangkan dengan sangat baik di setiap menitnya, ada cara mendarat yang memberikan sedikit membuat penontonnya tak nyaman. Bagaimana paruh ketiga film ini intensitas cerita sudah tak terjaga dan membuat simpati penontonnya sedikit berkurang.

Kemagisan asam manis cinta yang semakin bertambah durasi semakin terasa ini hampir saja hilang dengan pengarahan yang kurang mulus. Sehingga, ada sambungan adegan yang sedikit saja dihilangkan di dalam naskah yang mungkin dapat menimbulkan keefektifan cerita yang lebih memberikan efek yang kuat kepada penontonnya. Tetapi, beruntung sekali Critical Eleven memiliki Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Mereka memberikan performa terbaiknya di dalam film ini sehingga penonton bisa merasakan setiap manis dan getir hubungan mereka. Mereka bisa menerjemahkan karakter Ale dan Anya yang tak hanya hidup, tetapi juga berkembang dan berubah. 


Sebagai sebuah film drama dengan tema cinta, Critical Eleven memang masih bisa menaikkan standar yang ada. Ini jelas sebuah film Indonesia yang dibuat dengan sepenuh hati dan teliti, apalagi dalam segi teknis film. Gambar, musik, dan nilai-nilai produksi di dalam film Critical Eleven memperkuat alasan bahwa film ini memang tak main-main. Meski memiliki sedikit turbulensi dalam penceritaannya, tetapi Critical Elevenmasih bisa menimbulkan rasa asam dan manis cinta lewat performa luar biasa dari Adinia Wirasti dan Reza Rahadian. Pun, didukung dengan kedetilan dalam bertutur lewat naskah milik Jenny Jusuf. Critical Eleven cukup berhasil mencapai tujuannya untuk membuat penonton percaya dengan cinta dan menggantungkan harapan kepadanya. 
 

GUARDIANS OF THE GALAXY Vol. 2 (2017) REVIEW : Sekuel Dengan Kemeriahannya Yang Berbeda


Marvel Cinematic Universe fase ketiga sudah berjalan dengan diawali dari Captain America : Civil War di April 2016 lalu. Perjalanan fase ketiga ini memiliki lebih banyak komplikasi dibandingkan dengan beberapa fase sebelumnya. Tibalah di mana fase ketiga ini akan lebih membahas banyak tentang orang-orang yang berada di sekitar Infinity Stone. Mulai dari Doctor Strange, Guardians of The Galaxy Vol. 2, dan Thor : Ragnarok. Semuanya akan berada di titik temu fase ketiga yaitu Avengers : Infinity War yang akan bertarung melawan Thanos.

Di bulan April ini, para mantan penjahat dengan tujuan heroik ini akan menyapa penontonnya di edisi kedua filmnya. Guardians of The Galaxy Vol. 2 tetap diarahkan oleh sutradara film pertamanya yaitu James Gunn dengan naskah yang juga ditulis olehnya. Film pertamanya telah sukses merebut perhatian banyak orang sebagai sebuah film manusia super dengan latar belakang cerita yang cukup unik di jajaran film milik Marvel Cinematic Universe. Kelanjutan filmnya pun tentu dinanti banyak orang karena selain menjadi superhero yang berbeda, tetapi warna cerita di dalam filmnya pun unik dibanding yang lain.

Guardians of The Galaxy Vol. 2hadir dengan performa yang sama menyenangkannya dengan film pertamanya. James Gunn berusaha untuk agar Guardians of The Galaxy Vol. 2 masih memiliki ritme dan tempo yang sama dengan film pertamanya. Hanya saja, sebagai film sekuel tentu James Gunn berusaha memikirkan poin pembeda dari filmnya. Apabila Guardians of The Galaxy edisi pertama konflik yang lebih universal, di film keduanya para mantan penjahat ini lebih terfokus terhadap permasalahan internal yang bisa mendekatkan penontonnya kepada setiap karakternya. 


Kali ini masalah hadir saat para penjaga galaksi ini sedang pergi ke sebuah planet yang menjadi kliennya. Mereka membantu Ayesha (Elizabeth Debicki) dengan imbalan membebaskan saudara perempuan Gamora (Zoe Saldana) yaitu Nebula (Karen Gillan). Tetapi, Rocket Raccoon (Bradley Cooper) mencuri benda penting milik Ayesha sehingga mereka pun menjadi buron dan dikejar oleh anak buahnya. Di tengah pelarian dan membela dirinya, mereka diselamatkan oleh ayah dari Star Lord (Chris Pratt).

Star Lord sudah lama menanyakan perihal ayahnya yang menghilang begitu saja dari kehidupannya yang ternyata adalah seorang dewa bernama Ego (Kurt Russell). Ketika Star Lord memiliki banyak pertanyaan tentang hidupnya, bahaya telah datang dan mengancam Star Lord beserta timnya yaitu Drax (Dave Bautista), Rocket, Groot (Vin Diesel), dan Gamora. Mereka diincar oleh The Ravager, tim yang diketuai oleh Yondu (Michael Rooker), mereka ditugaskan oleh Ayesha untuk menangkap para penjaga galaksi ini. 


Tak mungkin bagi banyak orang untuk tak membandingkan sekuelnya kali ini dengan film pertamanya. Guardians of The Galaxy memang menjadi salah satu fenomena baru di Marvel Cinematic Universe. Filmnya yang pertama ternyata tak disangka akan memunculkan penggemar baru sehingga edisi kedua ini akan sangat dinantikan. Beruntung, James Gunn tetap memiliki cita rasa yang sama dan dijadikan dasar dalam pengarahannya untuk tetap memuaskan para penggemarnya di edisi kedua.

Sebagai sebuah sekuel, James Gunn memang berusaha agar Guardians of The Galaxy Vol. 2 memiliki pembeda dengan film pertamanya. Guardians of The Galaxy Vol. 2 memiliki lingkup cerita yang lebih kecil dibandingkan dengan film pertamanya. Konflik yang ada di dalam Guardians of The Galaxy Vol. 2 lebih menyorot kepada internal setiap karakternya. Alih-alih Guardians of The Galaxy Vol. 2 menjadi sebuah film yang baru, film ini lebih menekankan sebagai sebuah film pelengkap dari seri pertamanya.

Volume kedua bukan berarti tak menjadi sebuah film yang bagus, tetapi kedua film ini memiliki kemeriahannya masing-masing. Dengan konfliknya yang begitu personal, Guardians of The Galaxy Vol. 2 bisa membuat penontonnya untuk lebih dekat kepada setiap karakternya dan bagaimana mereka sebagai sebuah tim. James Gunn berusaha menjelaskan kepada penontonnya bahwa para penjaga galaksi ini bukan sekedar menjadi sebuah tim dengan ketidaksengajaan, tetapi mereka secara tak langusng semakin lama semakin memiliki ikatan emosional dengan para anggotanya. 


Dengan durasi yang mencapai 135 menit, James Gunn memiliki pendalaman karakter yang sangat menarik dan kuat dari setiap karakternya. Dengan begitu, penonton akan bisa mengetahui siapa saja para penjaga galaksi yang mungkin tak begitu ditekankan di film pertamanya. Keputusan untuk menggunakan konflik internal sebagai pion cerita di film keduanya ini tepat guna untuk memberikan pondasi setiap karakternya agar penonton dapat terasa lebih dekat dengan mereka.

Menumbuhkan nilai tentang kekeluargaan menjadi beberapa topik yang sering ada di dalam banyak film akhir-akhir ini. Guardians of The Galaxy Vol. 2 juga mengeksplorasi nilai tentang kekeluargaan itu agar edisi kedua film para penjaga galaksi ini memiliki perbedaan di film pertamanya. Eksplorasi akan sisi humanis yang nantinya akan  berdampak dengan keemosionalan cerita di akhir film. James Gunn berhasil untuk mengeksplorasi itu dan berdampak pada penontonnya. Hanya saja, kembali kepada referensi penontonnya yang mungkin memiliki sensitivitas lain tentang nilai-nilai dan kaitannya dengan sebuah keluarga.

Tentu saja, Guardians of The Galaxy Vol. 2 sudah menghantam penontonnya dengan berbagai spektakel aksi dan visual dari awal hingga akhir. Guardians of The Galaxy Vol. 2 penuh akan visual efek bombastis yang tak hanya sekedar menghibur tetapi juga akan membuat penontonnya berdecak kagum. James Gunn lagi-lagi bisa menghasilkan tensi yang kuat dan bisa membuat penontonnya tak akan memalingkan wajah dari layar. Tentu tak akan ketinggalan bagaimana James Gunn memberikan unsur komedi yang sangat bisa membuat penontonnya menikmati setiap menit dari durasinya. Apalagi dengan iringan lagu-lagu ngetop di era tahun 70 hingga 80an. 


Maka, inilah para penjaga galaksi dari dunia buatan milik Marvel yang telah memiliki babak baru. Guardians of The Galaxy Vol. 2 lebih menjadi sebuah film pelengkap dari edisi pertamanya yang dikemas dengan sangat menyenangkan dengan konflik yang lingkupnya lebih kecil dan lebih personal. Tetapi, James Gunn berhasil menggunakannya sebagai medium untuk memperdalam setiap karakternya dan menjawab setiap pertanyaan yang akan muncul saat menonton film pertamanya. Juga, menyelipkan nilai yang berkaitan dengan keluarga yang muncul sebagai cara memunculkan keemosionalan cerita. Sehingga, Guardians of The Galaxy Vol. 2menjadi sebuah film sekuel yang memiliki pembeda dari film pertamanya. Tak hanya berbeda, tetapi juga meriah dan menyenangkan dengan caranya sendiri.

KARTINI (2017) REVIEW : Refleksi Tentang Emansipasi


Penikmat film Indonesia seakan tak akan pernah berhenti untuk diberi sebuah film biografi. Memberikan ruang bagi semua orang untuk sesekali mengintip kehidupan sosok penting di sebuah layar perak. Sosok itu bisa beragam, mulai dari yang sering orang kenal hingga siapa saja yang berjasa dalam melakukan perubahan. Hanung Bramantyo, bisa dibilang seorang sutradara yang sudah beberapa kali membuat film biografi. Mulai dari tokoh agama hingga mantan presiden Republik Indonesia telah memiliki memoir yang dibuat oleh tangannya.

Adanya inkonsistensi dalam berkarya membuat Hanung Bramantyo sering kali kehilangan kepercayaan penontonnya. Hingga April tahun ini, Hanung Bramantyo hadir menyapa penonton film Indonesia lewat film biografi tentang salah satu perempuan berjasa dan mahsyur dalam memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kartini, film ini mendapatkan sorotan yang cukup besar karena menempatkan nama Dian Sastrowardoyo sebagai pemeran Kartini.

Selain Dian Sastrowardoyo, Kartini juga memiliki nama-nama lain di dunia perfilman Indonesia yang memiliki kredibilitas yang luar biasa kuat. Dengan itulah, Kartini menjadi salah satu film biografi yang patut dinanti oleh banyak pihak. Hanung Bramantyo memang sudah sering mengarahkan film dengan genre serupa, tetapi Kartini memiliki pembeda antara karya yang lainnya. Meski masih ada beberapa ciri khas Hanung Bramantyo yang tak bisa dibendung lagi, Kartini adalah sebuah film Biografi yang sangat digarap dengan teliti. 


Tak bisa dipungkiri, setiap orang akan muncul suatu kekhawatiran tentang sebuah film biografi. Khawatir akan bagaimana mengolah informasi tentang seseorang ini agar tak menimbulkan persepsi dan bagaimana seorang sutradara bisa memiliki alternatif cara untuk menyampaikan informasi itu. Hanung Bramantyo menjadi sosok yang berbeda dalam mengarahkan Kartini. Film terbarunya ini tak berubah menjadi sebuah film biografi yang penting tetapi terasa tak memiliki ambisi apapun untuk disorot berlebih.

Kartini tak hanya sekedar memberikan informasi tentang seseorang, melainkan juga sebagai medium untuk memberitahukan tentang apa yang sedang diperjuangkan oleh sosok R.A. Kartini itu sendiri. Emansipasi, terlebih dalam hal menuntut ilmu yang sebenarnya tak terbatasi oleh gender tertentu menjadi momok penting untuk dibicarakan. Film Kartini adalah sebuah film tentang fenomena sosial yang ada tanpa dramatisasi berlebih tetapi bisa menyentuh hati sekaligus menginspirasi setiap penontonnya. 


Adegan dibuka dengan bagaimana Kartini kecil sedang berusaha agar ibunya, Ngasirah (Nova Eliza) bisa kembali tidur bukan di kamar pembantu. Pertanyaan itu akan membawa penonton menyelami cerita selanjutnya yang terfokus kepada Kartini (Dian Sastrowardoyo) yang sudah tumbuh dewasa. Dia sedang dipingit agar bisa menjadi seorang Raden Ajeng. Di tengah dia sedang jengah atas setiap aturan budaya yang mengekangnya, Kartono (Reza Rahadian) sebagai kakak Kartini memberikan semangat agar diri dan pemikirannya tak ikut dipingit oleh aturan yang ada.

Maka, Kartini mendapatkan warisan ilmu dari buku-buku milik Kartono yang membuatnya bisa merasakan indahnya dunia. Dengan adanya hal tersebut, Kartini berusaha untuk bisa berkarya melalui tulisan-tulisan yang akan mengharumkan namanya. Kartini pun sudah mendapatkan sorotan dari berbagai pihak terutama orang-orang Belanda. Kartini pun mengajak adik-adiknya, Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Roekminah (Acha Septriasa) untuk menyuarakan keluh kesahnya agar tumbuh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 


Inilah film Kartini yang dibuat dengan nilai produksi yang tak sembarangan, tetapi juga masih memiliki cara bertutur yang pas. Semua orang boleh menertawakan bagaimana rekam jejak karir Hanung Bramantyo di sepanjang karirnya, tetapi Kartini jelas sebuah karya yang tak boleh begitu saja dilewatkan. Dengan durasi sepanjang 115 menit, Kartini memiliki caranya untuk menuturkan segala konflik sekaligus pembagian latar belakang cerita sesuai dengan takaran yang pas.

Semua jajaran pemain di dalam film Kartini bermain sesuai dengan porsinya, tak ada yang berusaha untuk saling mendominasi satu sama lain. Inilah yang menjadi kekuatan utama dari film Kartini yang berhasil membuat filmnya begitu solid. Naskah milik Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo ini juga memberikan alternatif penceritaan lain di dalam sebuah film biografi. Teringat ketika pertama kali Kartini membaca buku milik kakaknya dan muncul sebuah visualisasi dari apa yang terjadi di bukunya. Inilah gambaran ketika buku bisa disebut dengan jendela dunia, dan membaca adalah tiket untuk bisa mengelilingi dunia tersebut. Menegaskan pula bahwa ilmu itu penting dimiliki oleh setiap orang.

Di sinilah cara bagaimana Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo mengemas informasi mereka dengan cara yang dapat menghibur penontonnya. Sehingga, informasi yang disampaikan tak sekedar untuk memberikan afirmasi tentang kebenaran, tetapi juga untuk memberikan pemahaman yang bisa terpatri di pemikiran penontonnya. Beruntungnya, naskah rapi itu bisa diterjemahkan dengan baik pula oleh Hanung Bramantyo secara visual, sehingga tercapailah sudah tujuan tersebut. 


Hanung Bramantyo sebagai sutradara tentu memiliki khasnya sendiri dan tentu Kartini masih memiliki kekhasannya dalam bercerita. Kartini adalah cara Hanung Bramantyo untuk bisa memuaskan setiap orang yang memiliki berbagai paradigma tentang nilai –mulai sosial hingga agama. Dalam hasil akhirnya, ada beberapa bagian cerita yang sedikit terlalu dilantunkan secara eksplisit, yang mungkin bertujuan agar setiap orang bisa mengakses informasi yang berusaha disampaikan oleh Hanung. Tetapi, hal tersebut masih dalam porsi yang wajar dan bisa diterima.

Film Kartini ini juga sebagai refleksi atas keadaan sosial Indonesia yang masih memiliki problematikanya dalam menempatkan seorang perempuan. Raden Ajeng Kartini adalah kiblat bagi para perempuan untuk mendapatkan emansipasi dan digunakan dengan benar. Maka itu pula yang ditekankan dalam film Kartini ini, bahwa perempuan juga bisa menjadi seorang yang mandiri. Bukan berarti terlepas dari sosok laki-laki, tetapi menjadi sosok yang setara karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan satu dengan yang lainnya. 


Sebagai sebuah film Biografi dengan pendekatan yang populer, Kartini adalah jawaban dari segala keluh kesah penikmat film. Kartini hadir dengan takaran yang pas tanpa berusaha untuk terlalu mendayu-dayu dan tak menimbulkan kesalahan persepsi tentang sosok tersebut. Inilah Kartini sebagai sebuah film biografi yang bisa memberikan informasi, inspirasi, dan sekaligus dapat dinikmati dengan khidmat oleh penonton dengan segala latar belakangnya yang berbeda. Hanung Bramantyo dan Bagus Bramanti memberikan naskah yang solid dan memberikan alternatif cara untuk menyampaikan informasi yang bisa diterima oleh khalayak luas. Mungkin, hal itu membuat beberapa ceritanya terkesan menggurui di beberapa bagian. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Kartini adalah film penting yang digarap dengan detil, hati-hati, dan akan menggugah hati penontonnya.