• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

TRANSFORMERS : THE LAST KNIGHT (2017) REVIEW : ‘Bumbu’ Lain dalam 'Makanan Cepat Saji'

Michael Bay datang lagi menawarkan “makanan junk food” kepada penontonnya. Transformers adalah sebuah franchisepenuh visual efek spektakuler yang terlihat enak disantap di luar, tetapi sebenarnya tidak sehat. Tetapi, meski terlihat tak sehat, film-film seperti ini adalah film yang akan dinantikan dan selalu menjadi favorit bagi semua orang yang ingin hiburan secara instan. Maka, tahun ini muncul sebuah seri kelima dari seri ini.

Seri kelima ini pada awalnya digadang menjadi seri terakhir dari Transformers. Tetapi, Paramount Pictures telah memberikan lampu hijau untuk seri ini agar berlanjut menjadi 12 seri selanjutnya. Sehingga bagi penonton yang tak suka dengan seri dari film ini,  taruh impian anda untuk menyaksikan seri terakhir dari Transformers. Karena Transformers : The Last Knights adalah awal mula dari babak baru yang akan dibuat oleh Michael Bay beserta Paramount untuk lagi-lagi mengeruk finansial penontonnya agar selalu menikmati “makanan cepat saji” ala mereka.

Transformers : The Last Knightmelanjutkan linimasa cerita yang telah dibangun ulang lewat Age of Extinction. Dengan begitu, tokoh utama di dalam film Transformers kali ini masih dipegang oleh Mark Wahlberg dan juga dipenuhi dengan berbagai macam aktor-aktris baru. Tetapi, meskipun cerita telah diulang menjadi sesuatu yang baru, seri ini tak menunjukkan perubahan lain selain visual efeknya yang semakin mengagumkan. Tetapi, beruntungnya Transformers : The Last Knight kali ini hanya berdurasi 150 menit –hal itu berarti 15 menit lebih pendek daripada film sebelumnya. 


Tetapi, dengan durasi yang lebih pendek 15 menit, tak membuat Transformers : The Last Knight memiliki bangunan cerita yang lebih baik. Cerita di Transformers : The Last Knight ini berusaha memiliki kerumitan daripada film sebelumnya. Bagaimana Optimus Prime yang kembali ke planetnya, Cybertron, dikuasai oleh Quintessa. Optimus Prime pun diberi pengaruh oleh Quintessa untuk mengembalikan Cybertron seperti semula tetapi dengan cara menghancurkan planet bumi.

Sementara itu, Cade Yaeger (Mark Wahlberg) berusaha menenangkan konflik yang terjadi di bumi. Di mana Decepticon berusaha untuk mencari pedang legenda milik King Arthur yang sebelumnya telah diberi kekuatan oleh Autobot di masa itu dan menjadi pedang terkuat di bumi. Sehingga, Cade Yaeger bersama dengan teman-teman Autobot-nya berusaha untuk menghalang Decepticon menemukan pedang tersebut agar tak disalahgunakan. 


Akan ada banyak orang yang memberikan saran kepada penonton seri Transformers untuk tak begitu mempedulikan bagaimana plotnya bergerak. Nikmati saja setiap visual efek dan sekuens aksi menggelegar yang akan diberikan oleh Michael Bay di sepanjang film. Menetapkan ekspektasi seperti itu memang sedikit perlu, agar bisa menikmati film Transformers milik Michael Bay. Tetapi, ketika mengatur ekspektasi sedemikian rupa, Transformers : The Last Knight melenceng jauh dari bagaimana seri Transformers seperti biasanya.

Dengan cerita dan berbagai subplot seperti itu, Transformers : The Last Knight berusaha untuk memberikan pondasi cerita yang kuat. Hanya saja, dengan berbagai macam karakter, plot, dan cabang plotnya, Transformers : The Last Knightgagal dalam mengikat penontonnya dengan durasi 150 menit. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, hingga menimbulkan kebingungan penonton untuk berusaha mengikuti apa yang dimau oleh Michael Bay di dalam Transformers : The Last Knight ini.  Cerita yang berbeda dan lebih rumit tak membuat Transformers : The Last Knightmemiliki performa yang kuat. 


Karakter dan plot hanyalah sebagai formalitas yang ada agar film ini memiliki atributnya sebagai sebuah film. Tetapi, di sepanjang 1 jam awal, Transformers : The Last Knight memiliki atmosfir layaknya video perkenalan sebuah wahana yang berusaha dipanjang-panjangkan. Lantas di satu jam selanjutnya, Transformers : The Last Knight tak lantas menjadi membaik. 1 jam selanjutnya, muncul konflik lain yang semakin membuat suasana film semakin riuh tetapi tak terkendali.

Setiap menit akan dikenalkan karakter baru, dengan begitu cabang plot cerita juga semakin bertambah. Hanya saja, Michael Bay tak bisa mengendalikan hal tersebut dengan baik. Dampaknya ada di dalam performa Transformers : The Last Knight yang terasa begitu acak untuk diterima oleh penontonnya. Kekacauan itu juga semakin diperkuat dengan penyuntingan yang tak bisa menemukan garis lurus untuk menyajikan cerita di dalam filmnya. Sehingga, penonton tak bisa menikmati apa yang berusaha disampaikan oleh Michael Bay di dalam seri terbarunya.

Meski sebenarnya film-film Transformers hanya mempedulikan efek visual, secara keselurahan Transformers : The Last Knight tak memberikan sesuatu yang akan menancap di ingatan penontonnya. Semuanya sudah pernah ada di film-film sebelumnya, bahkan bisa dibilang Transformers : The Last Knightmemiliki sedikit sekuens aksi, apalagi yang menancap di ingatan penonton. Tidak ada alternatif lain yang muncul dari segi efek visual yang menjadi kekuatan utama seri ini. 


Menentukan ekspektasi agar tak memikirkan plot cerita di seri-seri Transformers, nyatanya tak berlaku di seri terbarunya ini. Transformers : The Last Knight seperti sebuah makanan junk food yang sudah disukai oleh penontonnya dan berusaha memberikan ‘bumbu’ lain di dalamnya. Sehingga, konsumennya akan berusaha mengidentifikasi rasa lama yang terganggu dengan ‘bumbu’ barunya. Michael Bay berusaha memberikan konsentrasi plot cerita di dalam filmnya, tetapi juga tak bisa melepaskan pentingnya efek visual yang biasanya jadi kekuatan seri ini. Sehingga dengan durasi sepanjang 150 menit, Transformers : The Last Knighttak bisa memiliki performa yang baik –dengan standar seperti biasanya. Belum lagi, penuturan ceritanya juga belum bisa efektif. Sayang sekali. 


Film ini dirilis dengan format yang khusus untuk IMAX 3D. Berikut adalah review dari format tiga dimensi dari film ini :

DEPTH 
 
Transformers : The Last Knight memiliki kualitas kedalaman yang bisa membuat penontonnya melihat mereka di balik kaca.

POP OUT 

Efek keluar dari layar di film Transformers : The Last Knight cukup memberikan sensasi menarik saat menonton.

Direkam menggunakan kamera IMAX 3D, maka tak ada alasan tak menyaksikan Transformers : The Last Knight di dalam format tiga dimensi. 

WONDER WOMAN (2017) REVIEW : Hanya Film Manusia Super Seperti Biasanya



DC Extended Universe kembali mengeluarkan sebuah kisah salah satu manusia supernya untuk dikenalkan agar bangunan dunianya semakin memiliki dimensinya. Digadang sebagai sebuah film manusia super wanita pertama yang dibuatkan filmnya sendiri –meskipun sebenarnya sudah ada beberapa film-film manusia super yang dibuat sebelumnya –DC Extended Universe menunjukkan taringnya bahwa dunianya sudah menjadi sesuatu yang perlu diantisipasi.

Wonder Woman yang diperankan oleh Gal Gadot ini akhirnya mendapatkan porsinya untuk bercerita tentang dirinya. Patty Jenkins, seorang sutradara perempuan yang kredibilitasnya sudah diakui oleh Academy Awards lewat film Monster memiliki kesempatan untuk mengarahkan cerita manusia super wanita ini. Selain itu, film ini juga dibintangi oleh Chris Pine dan beberapa aktor aktris lainnya sehingga Wonder Woman menjadi salah satu film yang diantisipasi oleh banyak orang.

Setelah Batman V Superman : Dawn of Justice dan Suicide Squad, film-film milik DC Extended Universe tak memliki performa yang bisa membuat terkagum. Bahkan, kedua film tersebut memiliki performa jauh di bawah film-film manusia super lainnya. Sehingga, menantikan film-film DC Extended Universe tak bisa membuat hati berdegup kencang, kecuali para penggemar komik yang telah begitu dekat dengan karakter-karakter di dalam DC Comics


Ketika Wonder Woman dirilis, film ini mendapatkan resepsi kritik yang begitu dipuji-puji. Wonder Woman digadang menjadi sebuah kisah asli manusia super yang sangat segar dibandingkan dengan kisah-kisah dari manusia super lainnya. Dengan munculnya klaim hiperbolis seperti itu, Seketika muncul sebuah harapan baru bagi kelanjutan DC Extended Universe selanjutnya. Tentu semua berharap DC Extended Universe bisa menjadi alternatif tontonan kisah-kisah manusia super di sebuah pengalaman sinematis yang ada.

Tetapi, semua kembali dari bagaimana pengalaman dan referensi setiap penonton yang ada ketika menonton Wonder Woman. Sejujurnya, Wonder Woman memang memiliki nafas yang terasa berbeda daripada film-film DC Extended Universe. Hanya saja, ketika disangkutpautkan dengan kata-kata “sangat segar” rasanya Wonder Woman juga tidak bisa dikatakan demikian. Wonder Woman punya kisah asli yang sudah pernah dirasakan oleh penonton di film-film manusia super 4 atau 5 tahun lalu secara sinematis. 


Menceritakan tentang Diana (Gal Gadot) seorang putri amazon yang hidup dengan tenang pada awalnya. Tetapi, dengan keadaan tenang tersebut, Diana tetap diperingatkan tentang kejahatan di luar sana yang melibatkan sosok Ares. Dengan begitu, Diana akan selalu waspada apabila suatu saat kejahatan datang dan menghancurkan Amazon yang mereka cintai. Hingga pada akhirnya, kekacauan datang ketika seorang pemuda tiba-tiba terdampar di pinggiran pantai Amazon.

Steve Trevor (Chris Pine), seorang mata-mata yang sedang bertugas ini terdampar ketika para musuhnya mengejar dirinya. Sehingga, para musuhnya juga ikut menganggu ketenangan para Amazonian ini. Perang pun terjadi antara Amazonian dengan musuh dari Steve Trevor yang menyebabkan banyaknya korban salah satunya adalah saudara perempuan Diana yaitu Antiope (Robin Wright). Diana menganggap ini semua adalah ulah Ares dan menggunakan Steve Trevor untuk mencari keberadaan Ares ini.  


Mendapatkan sebuah klaim tentang kesegaran dan kejeniusan di dalam film Wonder Woman, rasanya hal tersebut kurang pas. Sebagai sebuah film origin story, Wonder Woman sebenarnya memiliki formula yang pernah digunakan oleh berbagai film asal mula superhero lainnya. Memang, ada rasa naif di dalam sosok manusia super yang muncul dari karakter Wonder Woman. Tetapi, Wonder Woman tak sepenuhnya menjadi sebuah tontonan yang mendapat klaim kata “segar”. Wonder Woman mungkin akan lebih tepat dikatakan sebagai pemicu rasa nostalgia.

Dengan durasinya yang mencapai 141 menit, Wonder Woman muncul menceritakan sesuatu yang terlalu biasa.. Tetapi, secara bertutur, Wonder Woman tak ayal adalah sebuah film dengan plot yang lurus-lurus saja dengan penyelesaian konflik yang seadanya. Pembangunan dunia para Amazonian muncul terlalu sebentar, sehingga tak ada korelasi emosi yang muncul antara karakter dan juga penontonnya. Ketika penonton sudah mulai terkoneksi dengan ceritanya, poin pemantik konflik di dalam film ini muncul terlalu cepat. Sehingga, bangunan dunia milik Wonder Woman tak bisa mengikat begitu kuat.

Kejeniusan Allan Heinberg di dalam naskah yang ditulisnya adalah ketika menggunakan Wonder Woman sebagai medium untuk menyampaikan kesetaraan perempuan yang sedang menjadi isu sosial di berbagai belahan dunia. Kenaifan yang muncul menjadi sifat dari Wonder Woman adalah cara bagaimana Allan Heinberg memberikan pengertian tentang bagaimana peran gender muncul dari setiap manusia. Bukan ingin berprasangka buruk, mungkin hal inilah yang membuat Wonder Woman mendapat resepsi baik. Wonder Woman adalah sebuah propaganda politik tentang marjinalitas kaum perempuan. Tetapi, ketika melihat Wonder Woman sebagai film itu sendiri, sebenarnya tampil baik tetapi performanya tak muncul sebaik itu. 


Dengan durasi 141 menit, Wonder Woman seharusnya bisa memiliki komplikasi yang lebih baik lagi untuk membangun setiap plot beserta subplotnya. Tetapi, di akhir 20 menit, Wonder Woman masih memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan konflik. Membuat filmnya terkesan memiliki banyak sekali subplot yang perlu diselesaikan karena munculnya 2 karakter villain yang tertuduh menjadi karakter yang penting. Tetapi dengan konklusi seperti itu di dalam filmnya, dalih tentang 2 karakter penjahat tersebut terkesan sia-sia dan tak memiliki tujuan utamanya. Belum lagi keklisean yang muncul di dalam konklusi Wonder Woman yang melihatkan bahwa tak ada lagi unsur “segar” di dalam film ini.

Memang, sebagai sebuah film yang berada di dalam DC Extended Universe, ini adalah sebuah film yang segar. Tetapi, ketika dibandingkan dengan berbagai film manusia super yang ada, Wonder Woman hanyalah repetitif bahkan adaptasi dari berbagai referensi dengan performa yang cukup tapi tak semegah itu. Menonton Wonder Woman dan memahaminya butuh referensi dan pengalaman dari dalam diri. Sehingga, ketika selesai menonton, Wonder Woman adalah hal yang bisa didiskusikan untuk saling berbagi pengalaman dan referensi. Wonder Woman mungkin lebih tepat untuk mendapatkan predikat “nostalgic” ketimbang menggunakan kata-kata “segar” yang sebenarnya menimbulkan anomali.