• Kalo kamu memang Anak generasi 90an, pasti sudah memasuki fase di mana menunggu Doraemon dan Nobita Serta...
  • Daftar Album Lagu Ungu Religi Terbaru Komplit
  • Meski diangkat dari komik dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini. Dia adalah Harley Quinn.

BUKA’AN 8 (2017) REVIEW : Kapsul Waktu Penuh Kritik Sosial


Di setiap tahunnya, Angga Dwimas Sasongko akan selalu melahirkan sebuah film dengan kemasan yang berbeda. Kekuatan Angga Dwimas Sasongko dalam mengarahkan film-filmnya adalah ketika dia berhasil membuat karakternya sangat terkoneksi dengan penontonnya. Mulai dari Hari Untuk Amanda hingga Surat Dari Praha, Angga Dwimas Sasongko berhasil memberikan intimasi yang membuat penonton memiliki kedekatan dan simpati kepada karakter-karakter dan problematika yang ada di dalam filmnya.

Di tahun 2017 ini, Angga Dwimas Sasongko kembali menyuguhkan karya terbarunya. Proyek film besutannya kali ini bekerjasama dengan Salman Aristo sebagai penulis naskah. Film terbarunya ini dibintangi oleh Chicco Jerikho dan aktris pendatang baru, Lala Karmela. Angga Dwimas Sasongko mendedikasikan film ini sebagai bentuk kapsul waktu anak pertamanya. Kali ini, Angga Dwimas Sasong bermain dalam genre drama komedi lewat Buka’an 8.

Sebuah kapsul waktu untuk anak dari Angga Dwimas Sasongko, jelas membuat film terbarunya ini akan terasa sangat personal. Akan banyak referensi dan pengalaman pribadi dari sang sutradara yang mempengaruhi kemasan dari Buka’an 8. Meski film ini punya tujuan personal, tetapi Angga Dwimas Sasongko membuat Buka’an 8 dengan mudah dinikmati secara universal. Buka’an 8 bukan sekedar sebuah drama komedi yang dapat membuat penontonnya terhibur, tetapi juga penuh akan komedi satir yang emosional karena dibuat dengan hati yang besar.


Ada banyak isu yang berusaha disampaikan oleh Angga Dwimas Sasongko saat mengarahkan Buka’an 8. Lewat film ini, sang sutradara berusaha memberikan informasi dan pengertian tentang isu menjadi orang tua yang penuh dengan tanggung jawab. Belum lagi isu-isu sosial dan politik lainnya yang disematkan oleh setiap karakternya. Film Buka’an 8 memang akan terasa penuh akan tujuan-tujuan yang pretensius, tetapi Salman Aristo sebagai penulis naskah berhasil memberikan porsi yang baik sehingga semua isu itu terasa seimbang.

Buka’an 8 bertumpu pada cerita tentang satu titik kejadian yang terjadi pada karakternya, bukan berusaha mengenalkan siapa Alam dan Mia secara runtut dari awal hingga akhir. Berangkat akan satu premis yang sederhana dan satu titik kejadian dalam hidup mereka, Angga Dwimas Sasongko sangat berhasil membuat konflik dan setiap karakternya begitu kaya. Penonton pun dengan mudah menaruh simpati kepada Alam dan Mia dan problematikanya menantikan anak pertama. 


Problematika film ini sederhana, menceritakan bagaimana Alam (Chicco Jerikho) dan Mia (Lala Karmela) yang sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Tetapi, proses adminitrasi di rumah sakit tak semudah dan baik-baik saja seperti yang dikira oleh Alam. Kendala ada pada biaya administrasi Rumah Sakit yang kurang. Alam pun memutar otak untuk mencari sisa uang agar Mia dapat melahirkan dengan perawatan yang layak.

Konflik ini sudah terjadi di berbagai kalangan, tetapi yang menjadi berbeda adalah sosok Alam yang unik. Dia adalah selebtwit yang memiliki banyak followers di sosial media. Tak berhenti di sana, Alam sering melakukan perang opini di sosial terbuka yang membuat dirinya semakin mendapat masalah dengan opininya. Inilah yang membuat proses menantikan kelahiran anak pertama keluarga Alam dan Mia menjadi berbeda. 


Dengan menekankan pada konflik keluarga yang rumit ini, akan terasa terlalu berat apabila Buka’an 8 malah dikemas terlalu serius. Angga Dwimas Sasongko menyiasatinya dengan mengemas Buka’an 8 menjadi film komedi. Film ini penuh akan misi untuk memberikan kritik sosial yang ada di sekitar masyarakat. Buka’an 8membangun relevansi antara karakter fiksi dengan realita sosial yang ada. Sehingga, sang sutradara mengajak penontonnya untuk bersama-sama menertawakan problematika sosial yang sebenarnya mereka jalani.

Angga Dwimas Sasongko tahu benar atas segala konflik di dalam Buka’an 8 dan berhasil diterjemahkan lewat naskah yang disusun begitu rapi dan detil oleh Salman Aristo. Keduanya berhasil memberikan sebuah kolaborasi yang pintar. Penonton akan tahu bahwa film ini sangat personal yang didasari pengalaman pembuatnya. Bila dapat diibaratkan, Buka’an 8 adalah anak dari Angga Dwimas Sasongko yang dirawat penuh dengan kasih dan penuh tanggung jawab.

Dengan problematika dan kritikan sosial yang pretensius itu, Angga Dwimas Sasongko tak menyampaikannya dengan menggebu-gebu. Angga Dwimas Sasongko menuturkan setiap konflik ceritanya dengan begitu lembut. Sang sutradara berusaha untuk memberikan romantisasi atas konfliknya yang sudah terlalu berat ini. Dengan begitu, penonton akan dengan mudah menangkap maksud dan tujuan di dalam Buka’an 8. Film ini tak akan menjadi personal bagi pembuatnya, tetapi juga bagi siapa saja yang menontonnya.  


Buka’an 8 sebenarnya sebuah surat cinta kepada masyarakat yang menganggap bahwa menikah adalah jawaban atas segala masalah kehidupan satu individu yang bertambah berat. Buka’an 8 membuka fakta bahwa sebenarnya menikah pun akan membuat tanggung jawab akan semakin besar. Keluarga bukan tentang satu individu dengan problematikanya, tetapi tentang sekelompok individu yang memiliki masalah masing-masing. Butuh kepala dingin agar dapat mendapatkan solusi atas setiap masalah yang akan mereka hadapi.

Nilai tentang Tanggung jawab inilah yang berusaha ditekankan di dalam film Buka’an 8. Mulai dari tanggung jawab menjadi kepala keluarga, hingga bertanggung jawab dalam opini yang disampaikan. Entah opini tersebut dilayangkan secara verbal atau pun di ruang publik yang berpindah ke sosial media. Poin ini dilekatkan pada karakter Alam yang meskipun tak perlu kilas balik latar belakang ceritanya, akan terasa bagaimana tranformasi Alam dalam mengemban tanggung jawabnya.

Tak hanya kolaborasi Angga Dwimas Sasongko dan Salman Aristo saja yang bersinergi, tetapi juga performa dari Chicco Jerikho dan Lala Karmela. Mereka dapat menumbuhkan ikatan kuat yang meyakinkan penontonnya. Mereka bisa memperkuat setiap adegan demi adegan dan ketika mencapai pada adegan kunci, penonton bisa merasakan emosinya. Belum lagi Dayu Wijanto dan Sarah Sechan sebagai pemeran pembantu juga bisa mengiringi tanpa perlu mendominasi peran mereka. Semua pemainnya bersinergi dengan iringan musik yang tahu tempat. 


Maka dari itu, Buka’an 8bukan hanya karya personal dari Angga Dwimas Sasongko tetapi juga mampu membuat karyanya ini terasa personal bagi siapa saja yang menontonnya. Meskipun personal, film ini mampu memberikan kritik sosial yang bersinergi dengan baik. Buka’an 8 penuh akan misi tentang banyak hal pretensius yang bagusnya bisa berjalan seimbang dan tak menggebu-gebu. Ada penuturan yang lembut layaknya seorang ayah yang menasihati anaknya di dalam film. Dengan penulisan naskah Salman Aristo yang detil dan pengarahan Angga Dwimas Sasongko yang kuat,  Buka’an 8 adalah sebuah opini dari Angga Dwimas Sasongko tentang tanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan. Sebuah kapsul waktu yang didedikasikan kepada para buah hati yang sangat emosional. Luar biasa!

LION (2016) REVIEW : Perjalanan Menemukan Arti Rumah

Berbicara tentang perjalanan kembali menuju rumah di dalam sebuah film akan dengan mudah merebut hati penontonnya. Bahkan kritikus dan ajang penghargaan akan dengan mudah mengapresiasi film-film seperti ini. Tahun 2016 lalu, sebuah film bertema perjalanan kembali menuju rumah mendapatkan sebuah sorotan dan pujian oleh kritikus dan beberapa ajang penghargaan. Film tersebut adalah Lion yang disutradarai oleh Garth Davis dan berdasarkan sebuah kisah nyata.

Lion diangkat dari kisah asli dari Saroo yang telah ditulis dalam sebuah novel. ‘A Long Way Home’ adalah buku yang mendasari Garth Davis untuk mengarahkan filmnya. Naskah adaptasinya diserahkan kepada Luke Davies untuk menentukan struktur ceritanya. Dev Patel dipercaya untuk menggambarkan sosok asli dari Saroo dewasa. Ada pula Sunny Pawar yang memerankan Saroo di fase masih kecil. Film ini pun dibintangi oleh beberapa nama lain seperti Nicole Kidman dan Rooney Mara.

Tema-tema tentang menemukan kembali rumah memang sudah biasa dan sering hadir di berbagai film sebelumnya. Tetapi, tak ada salahnya apabila tema-tema seperti ini kembali diangkat ditambah dengan pengarahan yang begitu kuat dan memiliki dampak kepada penontonnya. Lion milik Garth Davis ini kembali hadir mengusung tema yang generik ini dan dikemas ulang menjadi sesuatu yang segar. Hal itu dikarenakan bagaimana Garth Davis punya sensitivitas yang berhasil membuat Lion begitu hidup dan emosional. 


Orang akan menganggap film-film dengan tema yang diangkat oleh film Lion bukanlah sesuatu yang baru dan mendapat apresiasi. Benar, memang tak ada yang baru dari plot cerita di dalam film Lion. Segala ceritanya berjalan linear dan penuturannya memang memiliki linimasa cerita yang runtut seperti babak kehidupan nyatanya. Tetapi, Lion memiliki sesuatu yang berbeda di hal lain yaitu bagaimana Garth Davis menceritakan setiap babak kehidupan dari Saroo.

Garth Davis tahu bahwa film-film bertema seperti ini tak memiliki gaya penuturan cerita yang baru. Semuanya akan jatuh menjadi film yang generik dengan film-film sebelumnya. Tetapi, Garth Davis mampu memberi sesuatu yang kaya dan akan membuat penontonnya sangat menikmati Lion di durasinya yang mencapai 118 menit. Poinnya adalah bukan dari bagaimana film Lion bisa memberikan sesuatu yang baru di dalamnya. Layaknya Saroo yang punya keinginan teguh mencari rumahnya, Garth Davis juga ingin membuat penonton merasakan setiap proses penuturannya lewat Lion. 


Ini adalah sebuah kisah tentang Saroo kecil (Sunny Pawar) yang kala itu ingin ikut sang kakak, Guddu (Abhishek Bharate) mencari nafkah untuk membantu Ibunya. Di sebuah stasiun saat malam hari, Guddu menyuruh Saroo untuk diam di sebuah bangku stasiun agar tak hilang selagi Guddu mencari sesuatu.  Merasa bosan, Saroo pun terlelap tidur dan ketika dia bangun Guddu masih belum kembali. Di tengah dia mencari Guddu, dia masuk ke dalam sebuah kereta dan tak sengaja terlelap lagi di dalam kereta itu.

Kereta itu ternyata membawanya ke Calcutta, tempat yang sangat jauh dari rumahnya. Perjuangan Saroo bertahan hidup pun susah, hingga akhirnya Saroo dibawa ke sebuah penampungan anak-anak.  Saat berada lama di tempat penampungan karena tak ada yang mencarinya, Saroo diadopsi oleh Sue (Nicole Kidman) dan John Brierley (David Wenham) yang berasal dari Australia. Setelah tinggal lama, Saroo yang sudah beranjak dewasa (Dev Patel) merindukan kembali rumahnya yang dulu. 


Menonton Lion memang tak perlu berusaha terlalu keras mencocokkannya dengan berbagai bidang keilmuan. Cukup menontonnya dengan tenang, maka Lion akan sangat mudah dinikmati oleh berbagai kalangan. Cerita Lion harus diakui memang sangat linear dan itu membuat penontonnya akan dengan mudah menebak bagaimana kelanjutan setiap ceritanya. Tetapi, sekali lagi, sajian Lion sebagai sebuah film bukan sekedar menunjukkan sebuah superioritas, melainkan tentang merasakan setiap adegannya.

Proses penyampaian di dalam film Lion lah yang perlu dirasakan oleh penontonnya. Garth Davis berhasil menampilkan berbagai adegan emosional. Garth Davis tahu detil cerita mana yang akan membuat penontonnya terenyuh, merasakan sebuah pahit manisnya perjalanan proses kehidupan Saroo mulai kecil hingga tumbuh dewasa. Garth Davis punya sensitivitas itu dalam mengarahkan Lion sehingga di setiap detil kecil filmnya memiliki emosi tanpa perlu menggebu-gebu.

Memang, tak berarti Lion adalah sebuah film yang sempurna. Penyampaian dari Garth Davis memang beberapa kali terasa lepas dari ritme apalagi di awal film. Penonton akan berusaha meraba siapa Saroo dan keluarganya agar dapat terkoneksi. Meskipun ketika sudah memiliki ritmenya, poinnya maka bukan siapa Saroo dalam film Lion, tetapi seperti apa Saroo dalam film Lion yang semakin bertambah durasi karakter ini juga akan semakin berkembang. 


Teringat sebuah adegan di mana Saroo dan Sue yang diperankan oleh Sunny Pawar dan Nicole Kidman di sebuah kamar mandi. Sue sedang menatap Saroo yang sedang membersihkan diri, memperlihatkan bagaimana seseorang merindukan sesuatu di dalam hidupnya. Meski adegannya begitu tenang, Garth Davis mampu mengarahkan Nicole Kidman agar dapat dirasakan oleh penontonnya. Itulah Lion yang berusaha menonjolkan pesan tentang Rumah adalah tempat yang nyaman untuk beristirahat.

Setiap karakter di dalam film Lion memiliki representasi atas pesan yang berusaha ditampilkan oleh Garth Davis. Di durasinya selama 118 menit, Lion berisikan tentang orang-orang yang sedang rindu akan ‘Rumah’, tempat yang tenang dan sejenak melupakan kehidupan yang berat. Saroo yang merindukan Guddu, Sue yang merindukan kehadiran anak di dalam keluarganya. Gambaran setiap karakter ini mengingatkan penontonnya bahwa Rumah bukan hanya sekedar sebuah bangunan, melainkan memiliki arti yang menenangkan, ketika mengingatnya saja hati sudah terasa tentram.

Penuturan dan pesannya tentang rumah yang tentram dan nyaman diperkuat dengan tata sinematografi oleh Greig Fraser yang lembut dan mendayu. Pas dengan bagaimana alur dan ritme film ini melaju. Belum lagi denting piano yang cantik sebagai scoring yang mengiringi setiap adegan di film ini. Dibuat begitu sederhana oleh Dustin O’Halloran dan Hauschka untuk memperkuat sensitivitas pengarahan dari Garth Davis ini sendiri. 


Maka, inilah Lion yang mengingatkan penontonnya akan rasa rindu akan rumah. Mengingatkan penontonnya akan Rumah yang tak hanya diartikan secara harfiah sebagai sebuah bangunan yang menampung satu keluarga. Tetapi arti Rumah yang menekankan pada tempat istirahat yang nyaman dan tenang. Garth Davis berusaha melekatkan makna itu pada setiap karakter-karakter di Film Lion. Dengan kemasannya yang sederhana dan linear, Garth Davis mampu memberikan emosi yang kaya di setiap adegannya. Mengarungi setiap babak demi babak proses kehidupan Saroo yang berkembang hingga menjadi sebuah individu yang kuat. Dan ketika judul ‘Lion’ muncul sebagai penutup adegannya, maka penonton akhirnya dapat merasakan bahwa inilah Rumah yang dirindukan.
 

LONDON LOVE STORY 2 (2017) REVIEW : Realisasi Mimpi Tentang Cinta Yang Hiperbolis


Kedatangan Screenplay Filmsdi perfilman Indonesia memang memiliki warna baru. Film-filmnya sejak Magic Hour selalu mendatangkan penonton dan itu cukup mengagetkan banyak pihak. Sehingga, dengan kedigdayaannya di perfilman Indonesia membuat rumah produksi satu ini selalu hadir dengan karya terbaru setiap tahunnya karena tahu potensinya menggaet penonton. Screenplay Films pun semakin lama semakin melebarkan sayapnsya dengan berasosiasi bersama Legacy Pictures.

Setelah Magic Hour, film kedua Screenplay Films pun laris manis. London Love Story, yang dirilis pada tahun 2016 ini memasang nama-nama familiar di mata penonton yaitu Michelle Ziudith dan Dimas Anggara dan berhasil menggaet 1 juta penonton. Dengan prestasi raihan penonton yang di luar ekspektasi itu, Screenplay Films kembali menghadirkan kisah cinta Caramel dan Dave di seri berikutnya. Asep Kusdinar tetap -bahkan selalu -kembali menyutradari film-film Screenplay Films lewat London Love Story 2.

Film-film Screenplay Filmsmemang memiliki segmentasi penontonnya sendiri dan film-film mereka akan selalu dinantikan. Kesuksesan London Love Storyseri pertama secara kuantitas ini akan menjadi senjata utama dari Screenplay Films untuk merilis filmnya yang kedua. Formula cerita yang digunakan di London Love Story pertama ini penuh akan poin-poin klise dan kata-kata buaian tentang cinta. Tak perlu kaget, apabila London Love Story 2 ini juga akan kembali menggunakan formula yang sama. 


Kesalahan London Love Storysebelumnya adalah kemasannya yang belum sinematik. Screenplay Films yang berangkat dari rumah produksi untuk televisi memiliki problematika dalam membungkus kemasannya. Penonton tak diberi satu diferensiasi antara film televisi yang biasa mereka saksikan secara gratis dengan film yang mereka khususkan sebagai film bioskop. Begitu pula dengan dialog-dialognya yang tak memiliki kedewasaan serta penuh akan kiasan hiperbola tentang cinta.

Perubahan memang berubah secara bertahap, London Love Story 2 memang tak sepenuhnya berubah menjadi sebuah film dengan konten yang berbeda dan dewasa. Setidaknya, London Love Story 2 memperbaiki tata teknis filmnya yang jauh lebih sinematik. Meski begitu, London Love Story 2 tetap dipenuhi dengan dialog-dialog ajaib dan penuturan yang beda tipis dengan London Love Storysebelumnya. Meski dasar cerita dalam London Love Story 2 adalah tentang tahapan yang lebih matang dalam sebuah hubungan, tetapi kemasannya tetap kekanak-kanakan. 


Kisahnya tetap tentang Dave (Dimas Anggara) dan Caramel (Michelle Ziudith) yang sudah kembali bersama dan menjalani hubungan yang bahagia. Mereka pun berusaha untuk serius satu sama lain dan ingin lanjut ke hubungan yang lebih dewasa. Tetapi, perjalanan hubungan tak semulus yang mereka bayangkan. Dave mengajak Caramel pergi ke Swiss dengan tujuan liburan, tetapi perjalanan liburan mereka malah menjadi sebuah bencana bagi hubungan mereka.

Di tengah liburannya, Caramel yang sedang menikmati makanan di suatu restoran atas rekomendasi Sam (Ramzi), dikejutkan dengan hadirnya masa lalu Caramel saat SMA. Gilang (Rizky Nasar), Chef restoran itu adalah masa lalu dari Caramel yang pernah mengisi ruang hatinya. Sam yang sudah akrab dengan Gilang, mengenalkannya pada Dave. Dan mereka berempat pun liburan bersama-sama dan membuat Caramel was-was akan kehadiran Gilang di tengah hubungannya dengan Dave yang sudah bahagia. 


Tak salah apabila di sebuah film remaja masih menggunakan formula yang itu-itu saja, begitu pula yang terjadi di London Love Story 2. Film ini hanya mengulang, sulam dan tambal cerita-cerita usang agar menjadi sesuatu yang  baru. Pengarahan Asep Kusdinar pun masih berusaha untuk berkembang, meskipun tak terasa begitu signifikan. Penuturan kisah cinta klise di dalam London Love Story 2 sudah lebih berkembang ketimbang film pertamanya.

Setiap konflik yang ada di film ini setidaknya menemukan ritme yang lebih baik untuk diarahkan lebih runtut dibanding karya-karya Asep Kusdinar di Screenplay Films sebelumnya. London Love Story 2 pun berkembang menjadi sesuatu yang setidaknya masih bisa dinikmati dan tak membuat penonton bingung karena lantaran susunan plotnya minim kekacauan. Tetapi, bukan berarti London Love Story 2 akhirnya menjadi karya sempurna dan menjadi lonjakan dari film-film Screenplay Films sebelumnya.

London Love Story 2 dipenuhi dengan plot cerita yang membuat dahi berkerut karena banyak sekali keajaiban yang terjadi di dalam ceritanya. Kisah cinta segitiga yang penuh akan pengorbanan dihiasi dengan elemen-elemen kematian dan ditinggalkan dengan atas nama romantisasi. Belum lagi naskah yang diramu berdua oleh Sukhdev Singh dan Tisa TS masih memiliki rangkaian kata penuh majas hiperbola yang terasa dibuat-buat. 


Inilah yang selalu menjadi poin minus dari Screenplay Films di segala karyanya yang sebenarnya sudah memiliki perkembangan secara teknis. Naskah di London Love Story 2 inilah yang menjadi masalah karena tak diatur dengan baik. Terasa bagaimana London Love Story 2tak memiliki struktur cerita yang kuat, sehingga berdampak pula pada pengarahan Asep Kusdinar yang belum terlalu kuat. Dasar struktur dalam London Love Story 2 yang tak kuat ini akan membuat penontonnya bingung dan meraba apa yang terjadi oleh karakter-karakternya.

London Love Story 2 sibuk memberikan sorotan lebih kepada karakter sampingannya, sehingga Asep Kusdinar lupa untuk memberikan pengarahan lebih kepada plot utamanya. Sehingga, ketika masuk ke dalam konfliknya penonton akan berusaha sendiri mencari jawaban atas lubang cerita yang ada di dalam London Love Story 2. Belum lagi dialog-dialog hiperbola yang selalu mewarnai film-film Screenplay Films yang seakan-akan sudah menjadi signature.

Dialognya penuh akan romantisasi hiperbola yang tak begitu sanggup untuk didengar. London Love Story 2penuh akan dialog yang berusaha keras untuk diromantisasi dan hasilnya malah terdengar begitu hiperbolis. Terlalu manis untuk diucapkan setiap karakternya yang membuat film ini hanyalah sebuah hasil realisasi mimpi yang tak kunjung ditemukan oleh penulisnya. London Love Story 2 bukan malah menimbulkan efek romantis, yang ada malah menekankan bahwa film ini terasa dongeng yang fiktif. 


Dengan begitu, London Love Story 2 tak serta merta menjadi karya terbaik dari film-film Screenplay Films. Persepsi yang keluar adalah London Love Story 2 setidaknya memiliki babak yang lebih runtut dan lebih mending dibanding film-film sebelumnya. Sisi teknis sinematik di London Love Story 2 setidaknya sudah berkembang dan pengarahan yang sedikit berkembang. Tetapi, London Love Story 2 masih memiliki kelemahan-kelemahan film Screenplay Films sebelumnya. Struktur cerita yang tak terlalu kuat diiringi dengan dialog-dialog ajaib yang membuat penonton tak bisa menahan tawa. Meski digadang sebagai sebuah film romantis, London Love Story 2 hanya sebuah realisasi mimpi yang tak terwujud dengan kemasan yang hiperbolis.